Share

VERDINDA
VERDINDA
Penulis: nadhifahr5

FIRASAT

'Lo itu ya, jadi anak jangan songong deh! Jutek, dingin, sinis, apalah itu pokoknya gue muak sama lo. Gue pengin lo mengubah mindset lo. Pokoknya kalau lo gak mengubah itu semua, jangan harap lo akan ketemu gue lagi. Gue pergi!'

Verdi terbangun dari tidur lelapnya, rupanya tujuh jam terlelap dan sesekali terjaring dalam dunia mimpi itu mengenakkan. Apalagi saat mimpi itu terdapat 'dirinya'—orang yang sangat disayang, pasti ingin sekali berlama-lama dan tidak ingin melihat dunia nyata dengan segera, iya, bukan?

'Siapa?' batinnya. 

Verdi langsung mengusap mata dengan amat menunjukkan sikap acuh, mengacak rambutnya kesal lalu melirik jam di atas nakas. Menguap beberapa kali adalah salah satu kewajiban dirinya di samping mengembalikan nyawa waktu pagi.

Jam tujuh. Baginya, ini masih terlalu pagi untuk mengawali sebuah aktivitas. Verdi kembali menidurkan tubuhnya dan melamun menatap langit-langit kamarnya.

Dokk!! Dokk!! Dokk!! Dokk!!

Lamunan Verdi buyar ketika suara nyaring datang dari luar pintu kamar. Teriakkan serta gedoran pintu yang memekakkan.

Alhasil, gedoran itu membuat telinga Verdi memanas yang akhirnya diikuti kaki yang tiba-tiba berjalan dengan lesunya. Ia mendekati pintu berwarna cokelat tua dengan langkah super gontai namun berlagak sangat kesal.

"KAK BANGUN, UDAH JAM TUJUH LEBIH! NGEBO AJA LO KERJAANNYA!!" teriaknya lebih keras dari yang pertama. 

"KALAU LO TERUS-TERUSAN KAYAK GINI, MANA ADA CEWEK YANG MAU DEKET SAMA LO, KAK. KAK BANGUN!! GUE DOBRAK NIH PINTU LAMA-LAMA!!!" Verdi langsung membuka pintu saat Vanya hendak mengambil posisi untuk mendobrak pintu tersebut.

Verdi pun turun ke ruang makan tanpa memperhatikan seseorang yang kini berada di hadapannya. Apa ia tak melihat bidadari di dekatnya sekarang?

Vanya berdesis pelan, melipat tangan sembari menatap tajam kepergian Verdi yang semakin jauh.

"Itu kalau bukan kakak gue, udah gue buat seblak dia! Gue kasih bumbu ekstra pedes yang lebih dari level setan sama mercon terus gue santap habis-habisan. Kesel lama-lama punya kakak begitu terus." dumelnya tak kira-kira karena saking gemas melihat tingkah itu. Ia membuntutinya dengan segera.

Cowok berahang kuat itu masih saja berjalan menuruni tangga dengan kedua tangan berada di saku celana. Mata dinginnya menatap jauh di mana meja makan itu berada.

"Ver, sini, kita telat sarapan lima belas menit dari biasa dan itu gara-gara kamu tau gak?" ujar seorang pria dengan nada berat.

Verdi diam seribu bahasa, ia masih berjalan menuju ruang makan dengan sangat santai dan langsung menyambar makanan di hadapannya setelah sampai. Bukan apa, ia hanya khawatir jika dua irisan daging itu keburu diambil oleh Vanya.

Vanya pun sontak merasa jengkel saat kecepatan berjalannya bertambah, dalam hatinya ingin mengumpat kasar. Namun apalah daya dirinya di depan kedua orang tua? Hingga respon yang ia tunjukkan hanyalah melipat kedua tangan di depan dada dan melirik sadis cowok yang tengah asyik dengan santapan itu.

"Lo kok jahat sih kak! Itu kan makanan udah gue pesen sama bibi, kenapa lo ambil? Kalau mau ya bilang dong, biar bibi buatin buat lo juga." omelnya dengan lirikan tajam. 

Verdi masih bungkam, asyik dengan makanan tanpa menatap wajah adiknya.

"Lo cewek, belajar masak sana!" Verdi mengusap mulut dengan tisu yang sudah tersedia di sana sebagai bentuk respon.

"Gak mau, lo aja yang masak sana!"

"Males."

"Ma, itu makanan Vanya diambil kak Verdi. Mama gak marahin?" adu Vanya sedikit merengek. Rere pun hanya mengulas senyum dan geleng-geleng.

"Awas aja lo, kak! Bakal gue kasih pelajaran karena ambil ayam goreng gue." ancam Vanya dengan lirikan mata yang sangat tajam, giginya ia tekan sangat erat, hingga terlihat otot-otot hijau di lehernya.

"Lo mau?" tawar Verdi mengulurkan tangan yang terdapat sisa daging secuil dan tulang-tulang.

"Gue masih punya duit buat beli makanan yang lebih enak dari ini." kejam Vanya lalu mengambil nasi dan lauk seadanya.

"Makanya lo nggak dapet jodoh sampai sekarang, orang lo gak pernah bisa ngehargai perasaan cewek." sindir Vanya tak menatap Verdi.

"Gak ada hubungannya!"

"Ada lah, cewek itu minta dikasih perhatian, dihargai, dimanja dan yang paling utama itu dikasih rasa sayang yang lebih dari yang dia kasih." terang Vanya menggurui. "Lo aja nggak bisa ngehargai gue, ya lo gak bakal bisa dapetin cewek sampai kapanpun."

"Apa hubungan percintaan lo lebih hebat dari gue, Van?"

"Iya lah pasti. Gue punya pacar dan lo enggak, kak!"

Mendengar keributan kedua anaknya itu, orang tuanya semakin merasa geli, melihat sikap mereka yang kian hari semakin menjadi. Mereka berdua terkekeh pelan hingga membuat Verdi dan Vanya menatap datar.

"Aduh Ma, dulu ngidam apa sih sampai punya anak seperti mereka?" tanya Pak Rahmat setelah selesai makan. Ia terkekeh.

"Apa ya Pa? Kayaknya... Es kelapa muda tapi rasanya asam gitu, apa tercampur sama keringat si penjual kali, ya?" canda Bu Rere tertawa geli hingga diikuti Rahmat dan akhirnya berakhir pada puterinya.

"Jadi kak Verdi minum keringat si penjual es kelapa muda?" katanya dipertengahan tawanya, "pantas aja kalau lahirnya kayak gini, sukurin lo, Kak." tawanya lagi.

Jika kalian mendapatkan ejekan seperti itu dari adik kalian, apa yang kalian lakukan?

Mungkin seorang Otong akan mencubit lengannya sampai berwarna biru keunguan, lalu membopongnya ke kamar mandi. Satu hal yang berbanding terbalik dengan Verdi yang hanya menjawab lewat perkataan tanpa tindakan.

"Pa-an sih! Lo juga kali, gak usah sok sukurin gue segala." dengusnya tak digubris, namun di meja makan itu kembali terjadi keheningan.

"Verdi mau pergi, nanti ajak Vanya." ijin ala seorang Verdi kepada orangtuanya, terdengar malas saat menyebut nama adiknya. 'Vanya'.

"Nggak mau, mending out sama temen gue yang jauh lebih happy darilada sama lo."

"Gue mau belanja, tapi ya udah sih kalau lo nggak mau. Gue malah lebih leluasa buat ngehabisin duit yang dikasih Papa."

Vanya langsung menatap Verdi serius. "Enak aja, gue juga mau lah kak. Nanti beliin gue baju, jaket, tas, sepatu—oh iya! Buku novel yang lagi trending juga, gimana mau kan?" ucapnya sambil memainkan jari-jarinya, mengedipkan mata seolah gemit kepada pacarnya. Menjijikkan.

"Mana ada duit sebanyak itu? Orang gue cuma mau keliling Mall doang." tuturnya membuat Vanya mendelik. Ternyata tak sesuai ekspektasinya sebelum ia heboh sendiri.

"Anj—"

"Pa, Vanya udah berani ngomong kasar. Ajarin tuh anaknya biar bisa ngehormati orang yang lebih tua dari dia." sinis Verdi yang tak suka akan tingkah bocah labil itu.

Verdi langsung berdiri, berjalan kembali ke kamar untuk membersihkan diri sendiri. Setelahnya, ia memakai kaos putih dilapis jaket hitam, serta celana jeans dan sepatu hitam kesayangannya.

Ia bergegas turun menemui adiknya yang super bawel. Vanya melebarkan senyum ketika melihat Verdi yang super ganteng dari biasanya, apalagi seulas senyum yang terbit dari bibir merah itu ketika menatap benda kecil yang ada di genggamannya.

'Kakak gue kalau gini keren juga, sayang kalau dibuang' batin Vanya terkekeh geli.

"Ggak punya pacar, sok-sokkan senyum lihat hape. Apa lo baru lihat video kekeyi bukan boneka?" tuding Vanya ke arah ponsel Verdi, berusaha melirik siapa yang Verdi hubungi atau ditonton.

"Bacot lo, anak kecil."

"Udah sana ganti baju, gue tunggu lima menit, kalau lo gak selesai gue tinggal." kata Verdi lalu duduk di sofa dan memainkan ponselnya.

"Beneran mau pergi, Kak? Oke, tunggu sebentar."

**

Mereka segera masuk ke mobil sport berwarna merah, yang mana merupakan kado ulang tahun Verdi ke tujuh belas saat itu dari orang tuanya.

Hening. Vanya tak memulai pembicaraan begitupun dengan Verdi. Membuat suasana nampak sepi, hanya terlihat Vanya sedang asyik memainkan ponselnya. Sedangkan Verdi, ia lebih memilih fokus untuk menyetir.

"Kak, lo udah punya pacar belum sih? Kok dari dulu gak pernah liat lo gandeng cewek ke rumah?" selidik Vanya mengundang kesinisan Verdi.

"Gak ada!" ketusnya yang masih fokus menyetir.

"Nyari dong kak, anak SMA kalah sama anak SMP, gak jaman lah." katanya remeh, "gak malu apa sama adik sendiri yang udah hampir satu tahun pacaran ini?" lanjutnya sedikit menyindir dengan candaan kecil.

"Belum waktu!" ketus Verdi tanpa menatap, "lo tahu kan, bahayanya orang pacaran, apalagi buat umur lo yang masih di bawah gue?" tutur Verdi sedikit mengintip Vanya lewat kaca.

"Putusin pacar lo atau lo bakal kecewa beberapa bulan lagi." titah Verdi membuat Vanya meringis, apa-apaan ini. Berani mengancam adiknya sendiri.

"Dasar iri."

"Gue nggak iri sama sekali sama lo."

"Terus kenapa sampai sekarang masih ngejomblo?" Vanya semakin mencari pertanyaan yang membuat Verdi mengaku akan keputusannya yang masih terus menjomblo.

"Gue bukan type cowok murahan yang seenak jidat mau macarin anak orang."

"Secara tersirat lo nyindir gue gitu, Kak? Lo mau bilang kalau gue itu murahan karena udah pacaran?" geram Vanya lalu menaruh ponsel yang sedari tadi ia gunakan.

"Gue nggak maksud bilang itu ke lo, Van. Itu jawaban dari pertanyaan lo ke gue."

**

Mobil sport itu sudah terparkir rapi di depan toko buku. Kedua kakak beradik ini segera masuk dan mencari buku yang akan mereka beli.

Terpampang sederetan buku yang tertata rapi, Verdi kini memilih buku bernuasa khas anak IPA yaitu Pengetahuan Alam. Akhirnya ia memilih dua buku pelajaran untuknya menghadapi ujiam, lalu pergi mencari sederetan buku komik kesukaannya.

Apa hidup orang pintar harus selalu seperti ini? Lebih menghabiskan uang untuk membeli berbagai buku pengetahuan daripada kuota untuk bermain game online?

Disisi lain, ada seorang gadis yang tidak terlalu tinggi juga mengambil buku sambil berjinjit. Ia kesusahan dalam mengambilnya. Bagaimana dengan Verdi?

"Mbak, itu buku yang di atas ambilin dong." gerutu gadis itu dengan sedikit nada tak suka.

"Susah banget sih ini buku, gue manjat sedikit aja kali ya? Mana mbaknya nggak dengar lagi. Nasib orang pendek." tanya gadis itu sendiri sambil menatap ke segala arah.

Verdi yang sudah mendapati buku, segera berbalik badan dengan sangat cepat dan tak sengaja ia menubruk gadis itu cukup keras. Membuat gadis yang kini akan memanjat kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh ke lantai.

Brukk!

"AWNJIIR!" pekiknya keras, "siapa sih yang jalan gak pakai kaki? Mata juga dimana, masak gak dipakai buat lihat cewek cantik kayak gue seperti ini." omel gadis itu sebelum melirik orang yang menubruknya.

Bagaimana jika itu om-om, atau orang yang lebih tua darinya? Sopankah? 

Gadis itu menatap ke atas, mendapati cowok keren menjulang tinggi di depannya. Gadis itu hanya menelan ludah dan menatapnya cukup lama. Jantungnya berdetak kencang, entah karena kaget akan jatuh, ucapan, atau cowok itu. Ia tak tahu, seakan semua tercampur menjadi satu.

Tangan Verdi pun terulur ringan. Bukan apa, ia hanya ingin bertanggung jawab karena sudah membuat anak orang jatuh begitu saja. Namun, ini bukan sepenuhnya salah Verdi. Salah siapa rak buku ingin dibuat tumpuan untuk berdiri?

"Lo mau nolongin gue setelah lo buat gue jatuh? Sori gue nggak butuh bantuan lo! Gue bisa sendiri!" ucapnya acuh sambil memegangi bagian lutut yang sedikit tergores. Verdi menyimpan kembali tangannya yang masih steril dari gadis itu.

"Lo tau gak, seumur-umur, gue gak pernah ditubruk kayak gini, apalagi sama cowok jelek kayak lo. Lagian, lo kalau jalan liat-liat dong! Tau ada orang kok seenaknya nabrak, ini toko juga bukan punya lo kan? Punya mata dipakek!" Omel gadis itu dengan sedikit meringis kesakitan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status