🌸🌸🌸“Permisi? Apa benar ini rumah Mbak Fatki?” tanya seseorang pada ibu mertuaku yang sedang menjemur baju. Aku sudah di ruang jahit jadi aku bisa dengan jelas mendengar.Kulihat ibu memperhatikan orang itu dari atas sampai bawah. Aku pun begitu. Siapa, ya? Berpakaian rapi, sepatu mengkilap, rambut klimis, dan naiknya mobil. Tumben sekali ada yang nyari aku sekeren ini. Biasanya yang nyari kan, emak-emak yang mau jahit.“Ganteng ya, Mbak. Weeh, kenal di mana, Mbak?” celetuk Susanti.“Enggak tahu, Mbak enggak ingat, San. Aku juga lagi mikir itu siapa dan ada keperluan apa?”“Bu—kan, kenapa emang, Mas?” jawab ibu berbohong.“Em, ini Bu, tadi Mbak Fatki share lokasi ke sini. Saya mau tanya- harga tanah,” jawab orang itu.Seketika aku langsung buka pintu dan melambaikan tangan padanya. Ah, biarin saja dibilang sok akrab. Nyatanya aku butuh pembeli.“Mas! Mas, Nanang, ya? Saya Fatki. Mari masuk!” teriaku.Ekspresi tidak suka langsung tergambar di wajah ibu.“Enggak usah ganjen gitu, Fat
”Oooh, ini otak makanya sekolah Fatki! Jadi, bisa mikir dengan benar!” Lagi ibu menoyor kepalaku hingga terjeduk tembok.“Justru karena aku sekolah, Bu, jadi aku paham ““Kamu paham apa? Kamu mau jual rumah yang kamu tempati itu yang dibilang paham?”“Bu, tanah ini milikku. Sertifikatnya pun masih aman padaku belum berubah sedikit pun sampai saat ini. Karena bangunan Ibu berdiri di atas tanahku ya, itu udah resikonya Ibu kalau rumah ini ikut kejual.”.”Tidak! Ibu tidak akan mau pergi dari sini.” Ibu kekeh tidak mau menjual rumahnya.“Kalau begitu Ibu yang bayarin tanah ini saja. Jadi, Ibu tidak akan pindah ke mana-mana.”“Gendeng! Otakmu payah diajak ngobrol Fatki. Minta diruqyah!” bentak ibu lagi.Apa tidak kebalik ya? Harusnya ibu yang diruqyah, bukan aku.“Picik sekali otakmu itu, Fatki. Rumah masih ditempati kok, mau dijual.”“Sebab otakku waras makanya mau aku jual, Bu. Aku mau pindah dari sini.”“Ya, kalau mau pindah, sok atuh, silakan pindah! Enggak perlu kan, jual-jual segal
“Sudah-sudah ... kalian ini apa-apaan si, malah perang mulut. Kamu juga Intan, pulang kuliah itu mandi, ganti baju, enggak malah cari perkara!” bentakku.“Siapa yang cari perkara. Itu si buluk teriak-teriak di rumah orang enggak sopan banget. Kalau mau teriak-teriak itu sana di hutan. Bukan di sini. Ganggu ajah!” bantah Intan tak mau kalah.“Biarin juga buluk yang penting tidak jadi pelakor,” ucap Susanti lagi.“Ha ha ha ... ternyata kamu merasa pacarmu direbut aku, ya? Eh, bocil buluk! Pacarmu saja yang terpesona sama aku. Makanya kamu jadi cewek yang cantik, dong! Perawatan jangan kayak pantat panci begitu. Hitam legam dan mengerikan,” ejek Intan lagi seraya tertawa terbahak-bahak.Santi kesal dimasukkannya beberapa kain potong bekas ke mulut Intan.“Beh, beh! Ueek! Kurang ajar ya, kamu. Beraninya kamu melawanku!” teriak Intan seraya meludahkan kain yang dimasukkan ke mulutnya.“Makanya punya mulut itu dijaga jangan seenaknya sendiri!” bela Susanti.“Sudah sana pergi. Kamu itu gan
🌸“Ada apa ya, Mbak, Nenek lampir itu ke sini? Ih, firasatku enggak enak, nih?” bisik Susanti.Kukedipkan mataku agar Susanti tidak sembarangan ngomong. Tidak enak kalau didengar orang.“Kalau begitu biar saya suruh satpam untuk buka pintu gerbangnya,” ujar Bu Hajjah Halimah.“Jangan, Bu Hajjah! Kami sudah mau pulang ini kebetulan habis Maghrib ada acara pernikahan anaknya guru ngaji saya,” pamitku.Aku tidak mau kalau ibu dan Intan masuk rumah Bu Hajjah Halimah, bisa-bisa panjang urusannya.Bu Hajjah Halimah terlihat bingung. Begitu juga anaknya.“Benaran enggak usah?” tanya beliau lagi.“Iya, benar Bu Hajjah, enggak usah. Itu pasti tadi ibu mertuaku bingung karena aku pergi tidak pamit. Kami buru-buru sekali.” Meski ibu mertuaku jahat padaku tidak lantas aku menjelekkan-jelekkan dirinya di depan orang lain.“Oh, ya, sudah kalau gitu. Kita ketemu besok di ruko. Insya Allah ... kebetulan juga Ibu mau ke sana ada calon pembeli.”“Insya Allah ya, Bu. Kami pamit assalamualaikum ....” K
“Bukan perkara aku lebih nurut ada siapa, Mas, tapi ini tentang etika bertetangga dan adab pada guru. Toh, selama ini aku nurut dan patuh padamu, tapi tidak pernah dihargai sama sekali, kan? Justru pengkhianatan yang aku dapat,” jawabku menohok. Mas Arman melompong seperti gentong. Pasti dia merasa tersindir sekali dengan ucapanku.Dari luar sudah terdengar suara motor Intan. Aku segera masuk tanpa mau mempedulikan panggilan Mas Arman. Berdebat sampai kiamat juga enggak bakalan kelar.Sedikit berlari aku menyambar handuk di jemuran samping dapur lalu masuk kamar mandi.Lebih baik aku mendengar suara gemercik air yang keluar dari kran dari pada hari mendengarkan repetan ibu mertuaku.“Cepetan, Mbak! Kamu mandi apa semedi lama amat!” teriak Intan seraya menggedor-gedor pintu kamar mandi.Klek!“Apa sih, kamu itu, Tan! Ribut aja! Apa mulutmu itu tidak capek?” tegurku.“Mulut-mulutku sendiri kok, bawel si, Mbak. Cepetan awas, aku mau pipis!” Intan mendorong tubuhku hingga hampir terjungk
“Iya, juga, sih, Mbak. Nah ... sudah siap. Ini temanku juga sudah WA aku. Dia juga sudah siap.”“Baik. Sekali lagi terima kasih ya, Mbak. Nanti honornya aku tranfser aja ya, Mbak.”“Iya. Sekali lagi terima kasih banyak ya Mbak, sudah order make -upku.”“Sama-sama. Recommended banget, nih, nanti kalau ada yang tanya sekalian aku promosikan.“Beneran, Mbak, wah, makasih, ya?”Kami keluar bersama. Semua orang yang di ruang makan memandangku takjub. Terutama Mas Arman.“Gimana make-up aku? Bagus kan, Bu, Tan?”Tidak ada yang bersuara, tapi aku tahu di balik diamnya mereka ada rasa takjub yang tidak mau mereka ungkapkan.“Ka—mu cantik sekali, Dik. Aku sampai pangling,” ucap Mas Arnan“Kondangan di mana, sih, Mbak kok, cetar banget. Sampai sewa Mua segala?” tanya Intan penasaran.“Ke nikahan anaknya Ustazah Zahra.”“Oo ... pantes pakaiannya begitu.”Aku melihat gamis yang kupakai tidak ada yang salah malahan bagus, berkelas. Ah, mungkin maksud Intan bukan pakaian seperti miliknya kalau kon
“Tu—nggu dulu, aku ikut ya, Mbak Fatki?” Intan menggandeng lengan tangan dan mencubit pinggangku.“Ikut? Kamu, kan, enggak diundang?” jawabku.Wajah Intan seketika memerah bak kepiting rebus pasti dia menahan malu. Ha ha ha makanya jangan main kasar. Emang enak aku kerjain. Kalau enggak mau dicubit jangan nyubit orang duluan.“A—ku mau temanin Mbak Fatki,” ujar Intan lagi. Tidak mau menyerah rupanya. Intan ngebet sekali ikut pasti karena ada pak dosen idolanya. He he he dasar ABG labil.“Enggak bisa, ini sudah malam nanti kita telat datang ke acaranya apalagi kamu dandanya lama banget. Kasihan ini Mas Fais nunggu lama. Iya, kan, Mas?” sahut Susanti.“I—ya, ini umiku sudah kirim pesan menanyakan sudah sampai mana,” jawabnya tanpa menoleh pada kami. Pandangannya sibuk ke ponsel.“Nah, betul sekali. Ayo, kita berangkat!” ajakku.Aku lihat Intan sangat kesal lalu membanting pintu.Aku dan Susanti duduk di bangku belakang. Mobil Mas Fais ini sangat bagus. Honda Civic keluaran terbaru. Mulu
“I—ya, Mbak ... maaf deh!Mas Fais muncul dari sebelah kiri bersama rombongan pengantin pria.Sekarang Mas Fais sudah ganti kostum. Kalau tadi pakai kemeja sekarang dia ganti pakai batik. Itu mungkin yang membuat dia izin sebentar karena mau ganti baju.Mas Fais tersenyum ke arah kami seraya melambaikan tangannya. Susanti ikut melambaikan tangannya. Aku diam saja tengok kanan-kiri takut salah. Sudah ger-er ternyata bukan melambaikan tangannya pada kami.Mas Fais mempersilakan rombongan itu untuk masuk ke dalam lewat pintu khusus untuk tamu laki-laki.Ternyata tamunya di pisah. Antara laki-laki dan perempuan.Setelah mengantar rombongan pengantin itu Mas Fais menghampiri kami.“Maaf ya, Mbak, lama banget ya, nunggunya, tadi rombongan pengantinnya salah jalan alias kesasar jadi, nunggu di depan dulu. Terus kami melaksanakan salat isya dulu di masjid sebelah. Ayo, masuk, sudah ditunggu, Umi,” jawab Mas Fais.“Enggak apa-apa Mas, mau lama kayak apa pun aku tetap setia menunggu,” ujar S