Share

BAB 5 Menyindir ibu mertua.

“Astaghfirullah ... ini beneran?” Aku membaca chatingan Ika dan Mbak Sulis. Di sana tertulis jika Ika memang sengaja dan mau menerima pinangan bapak mertuaku.

“Tapi, orang yang berzina harus menikah dengan pasangan zinanya. Kenapa bisa begini?”

“Aduh, Mbak Fatki kalau itu aku kurang paham. Ini lihat lagi. Si Ika keguguran waktu pulang kampung.” Mbak Sulis menunjukkan lagi foto Ika di rumah sakit. Di sana juga ada bapak mertua.

“Aneh, yang ambil foto siapa?” tanyaku penasaran.

“Kata Ika, suster yang ambil fotonya.” Lalu kubaca lagi chatingan mereka sampai pagi ini.

"Kok bisa, ada Bapak mertuaku di sana?" tanyaku ini benar-benar aneh dan janggal.

"Ika bilang, tidak sengaja ketemu Bapak mertua Mbak Fakti," jawab Mbak Sulis.

"Enggak sengaja ketemu kok, bisa seakrab ini? Lagi pula kenapa bisa jadi kebetulan begini?" ujarku penasaran

"Mbak Fakti, aku mana tahu, yang aku tahu persis seperti yang Ika bilang."

Mbak Sulis benar. Dia hanya tahu sebatas ini. Tidak mungkin Ika mau jujur semuanya pada Mbak Sulis.

Kubaca lagi chating mereka. Jadi, Ika bilang waktu pulang kampung dia bingung dan stres kemudian mencoba bunuh diri, bukan dia yang meninggal melainkan bayinya.

“Harus tunggu masa nifas loh, ini.”

“Aku juga bilang gitu Mbak. Kata Ika itu gampang bisa diatur.”

“Astaghfirullah ... kenapa sekarang orang menikah semakin asal-asalan.”

“Kita do’akan semoga Ika tidak menyesal sudah mau menerima pinangan mertua Mbak Fatki.”

“Entahlah ... aku bingung Mbak Sulis. Terlalu rumit untuk aku terima dengan akal sehatku. Dia sudah menjadi pelakor dalam rumah tanggaku ini menjadi pelakor juga bagi rumah tangga mertuaku. Sudah begitu dia tidak merasa bersalah sama sekali yang aku tangkap dari setiap tulisan Ika, dia mencoba untuk membalas dendam.”

“Masa si, Mbak? Aku kok, enggak paham ya?” 

“Ya, sudah, kalau Mbak Sulis enggak paham. Terima kasih ya, informasinya. Aku harap Mbak Sulis bisa menjaga rahasia ini,” pintaku tulus, meski aku tidak yakin.

“Insya Allah ... aku jaga rahasia ini. Oh, iya HP Mbak Fatki kenapa?”

"HP-ku rusak semalam terjatuh. Ini aku mau beli lagi beli second aja,” jawabku  berbohong. Tidak mungkin aku menceritakan masalah rumah tanggaku pada sembarang orang.

“Di konter 44 Cell aja, Mbak. Di sana harganya sedikit lebih miring dari toko lain. Aku waktu itu juga beli di sana,” saran Mbak Sulis.

“Oh, baiklah nanti aku ke sana. Aku mau belanja sayur dulu. Mbak Sulis sekali lagi terima kasih, ya? Tolong jaga rahasia ini,” pintaku sekali lagi.

“Iya, Mbak. Insya Allah,” jawab Mbak Sulis mantap. 

Aku jalan ke warung sayur langganan. Mbak Sulis pulang. Momongannya sudah rewel. 

Kalau melihat anak balita begitu aku terkadang sedih. Seharusnya aku bisa menimangnya juga. 

“Assalamu’alaikum ... Teh.” Begitu mendengar suaraku para tetangga yang sedang belanja langsung menghentikan aktivitasnya. Padahal tadi mereka asyik memilih ini dan itu.

“W*’alaikumsalam. Neng geulis. Silakan mau belanja apa?”

“Aku milih dulu ya, Teh."

“Sok atuh ... mangga dipilih."

“Mbak Fatki, pas nikahan suami lagi di mana?” Duh, kan, mereka mulai kepo.

“Apa Mbak Fatki ikhlas ditinggal nikah lagi?” sahut yang lain.

“Kamu aneh, sih. Mana ada suami nikah lagi kitanya ikhlas. Kecuali ilmunya sudah mumpuni.”

“Ssstt ... jangan pada sok tahu, tanya saja sama Mbak Fatki.”

“He’em ... miris ya, secantik ini aja diduakan apalagi model kayak aku?”

“Nasib-nasiban kalau itu. Kata mertuanya kan, Mbak Fatki mandul jadi dia ikhlas suaminya nikah lagi “

“Ah, masa si. Salah berarti pemikiran mertuanya.”

“Iya, ih kolot, ya? Padahal pernikahan itu bukan hanya tentang momongan.”

“Tumben otakmu benar.”

“Dia juga mandul, makanya ngomongnya begitu.”

“Teh, ini saja belanjaanku.” Kupingku panas kalau lama-lama di sini. Para tetangga langsung diam.

“Cepat amat belanjanya?” tanya teh warung.

“Buru-buru mau masak, sudah lapar,” jawabku jujur.

“Nanti dulu Mbak, kan, belum klarifikasi ucapan kita. Beneran Mbak Fatki mandul dan rela suami menikah lagi?” Kupejamkan mata mencoba menetralisir rasa sakit di dada.

“Salah, Bu-Ibu. Suamiku menikah lagi tanpa sepengetahuanku. Waktu dia menikah aku juga sedang dirawat di rumah sakit. Aku habis keguguran,” jawabku sedih. Entah kenapa kalau sudah menyinggung soal kehamilan aku begitu sensitif rasanya ingin menangis.

“Astaghfirullah ... amit-amit itu mertuamu tega banget mantu lagi sakit berjuang antara hidup dan mati kok, anaknya dinikahkan lagi sama gadis montok,” sahut salah satu dari mereka.

“Besok kalau arisan kita buli saja. Jadi malas aku kawanan sama dia,” timpal yang lainnya.

“Iya, benar. Kasihan sekali Mbak Fatki ini.”

“Teh, kok malah bengong berapa semuanya?”

“Eh, iya, maaf Neng, ini Teteh fokus dengar obrolan. Bentar aku hitung dulu. Cuma ini, Neng?”

“Iya, Teh.”

“20 ribu rupiah.” Kuberikan uang pas lalu pergi dari sini. 

Aku berjalan seperti orang linglung yang tidak tahu arah tujuan. Perihnya tidak terkira. Apa salahku sampai begitu bencinya mertua padaku. Bukankah selama ini aku sudah menjadi menantu yang baik. Apa hebatnya Reni sampai ibu mertuaku mengambilnya sebagai menantu.

Sampai konter 44 Cell aku segera mengutarakan maksudku. Pemilik konter mungkin sudah tahu tentang ceritaku yang dipoligami karena perlakuannya beda dan tentunya tatapannya juga beda.

“Samsung J2 Pro  ini 1,2  juta Mbak. Boleh kurang sedikit,” ucap Mbak pemilik konter.

“Em, gimana kalau 1,1 juta sudah dengan kuota unlimitednya dan juga casing yang ini?” tawarku. Aku menunjuk casing luar untuk pelindung ponselku.

“Boleh, Mbaknya mau pakai kartu apa?”

“Smartfren aja, Mbak. Ini kartuku sama memori cardnya tolong sekalian dimasukkan ya, Mbak?”

“Baik, tunggu sebentar, ya?”

Mbak counter dengan cekatan memasukkan nomor dan kawan-kawannya ke HP baruku.

“Ini Mbak, silakan dicoba dulu. Nanti kalau ada kendala Mbak bisa datang lagi ke sini. Garansi 1 bulan.”

“Oh, iya. Terima kasih ya, Mbak. Aku permisi.”

“Mari ... silakan datang kembali.” Aku mengangguk lalu buru-buru pulang.

Sampai rumah masih sepi tidak ada orang satu pun. Aku segera masak orek-orek tempe dan ceplok telor. Sudah matang aku bawa masuk ke kamar. Dosa sih, pelit begini, tapi aku sudah terlanjur sakit hati. Kalau Mas Arman mau makan tinggal minta saja padaku, tapi tidak untuk yang lain.

Tepat azan Zuhur semuanya beres. Akhirnya aku telat makan dan minum obat hari ini.

Kukunci kamar dan rebahan. Baru melakukan aktivitas begitu saja rasanya sudah sangat lelah.

Kuaktifkan data dan mencoba melihat pesan W* yang katanya Mbak Sulis tadi pagi kirimkan foto sekaligus bukti percakapan antara dirinya dan Ika.

Benar saja ini sama persis seperti yang aku baca tadi. Ya Allah aku tidak menyangka akan begini.

Ada pesan masuk juga dari ibu. Beliau mengirimkan foto pernikahan bapak mertuaku dan Ika. Jaraknya lumayan dekat. Apa bapak mertuaku tidak paham dengan ibuku. Kok, ibu bisa mengambil foto dari jarak dekat begini.

Aku juga tidak tahu kalau ternyata aku dan Ika masih satu kecamatan di kampung.

Ika, wajahnya yang lugu ini mungkin yang membuat Mas Arman jatuh cinta. Menurut chatingan yang kubaca tadi antara Mbak Sulis dan dia sangat jelas menunjukkan amarahnya dan berniat sekali balas dendam.

Pernikahan mereka lumayan meriah, dekorasi pelaminannya juga bagus. Mereka tidak mungkin nikah siri karena ini memang yang datang orang satu kampung dan dirayakan dengan meriah.

Segera kubalas pesan ibu.

[Bu, benar itu Bapak. Tadi pagi beliau memang pamit mau ke luar kota.] Sent dan langsung dibaca.

[HP-mu baru aktif, sibuk ya, Nak.]

[Enggak, Bu. Tadi kuotanya habis ini baru ngisi lagi.]

[Syukurlah. Ibu kira kamu sibuk. Nak, apa benar ibu mertuamu sudah mengizinkan? Soalnya ada surat pernyataan dari ibu mertuamu, Nak.]

[Kalau itu aku kurang paham, Bu. Sepertinya itu surat pernyataan palsu. Karena tadi pagi Bapak pamit pergi dengan takut-takut.]

[Astaghfirullah ... Zaman sudah makin edan, ya? Kamu bersyukur sekali Nak, punya ibu mertua sebaik itu, sabar, dan juga lemah lembut.] Puji ibu.

Duh, ibu enggak tahu saja sifat asli ibu mertuaku yang mirip di sinetron azab di TV ikan lele. Jahat dan diktator. Apalagi Kalau beliau tahu anaknya pun dipoligami sudah pasti lain lagi ceritanya. Maafkan aku bu, belum berani jujur.

[Ibu, kok bisa ambil foto sedekat itu. Memang Bapak enggak paham?]

[Bukan Ibu yang mengambil fotonya. Anak tetangga Ibu yang minta tolong. Sengaja dari dekat biar wajahnya jelas.] jelas ibu.

[Ya sudah, kalau gitu aku mau lanjut istirahat ya, Bu. Pokoknya Ibu jaga kesehatan selalu, ya?]

[Iya, Nak. Oh, iya, apa kamu sudah makan? Ibu kalau makan makanan enak gini ingat kamu.] 

Ah, ibu. Selalu saja bersikap begitu. Apa pun yang beliau makan selalu ingat anak.

[Alhamdulillah sudah Bu, jangan khawatir.] Kububuhkan emot love dan peluk.

[Alhamdulillah ... ya, sudah selamat istirahat ya, Nak. Kamu juga jaga kesehatan. Assalamualaikum.]

[W*’alaikumsalam, Bu.]

Kulihat status W* nomor-nomor yang aku save.

Status ibu sedang di pasar belanja baju. Intan sedang makan di kafe dekat kampusnya. Mas Arman sedang di ATM.

Ngapain Mas Arman di sana bukankah gajian dia harian. Ah, mungkin saja dia menemani Reni.

~K~U🌸🌸🌸🌸

“Dik, apa kamu di dalam?” panggilan dan gedoran pintu kamar membangunkanku dari tidur lelapku. Kulihat jam sudah jam 5 sore. Ya Allah aku tidur lama sekali, mungkin efek minum obat. Tapi, rasanya segar sekali bisa tidur selama ini.

Klek!

Kubuka pintu kamar dengan malas. Mas Arman sudah rapi lagi dengan baju muslimnya. Tumben sekali masih jam 5 sore sudah siap-siap pergi masjid. Biasanya baru pulang kerja dan masih malas-malasan sambil main HP.

“Lihatnya gitu amat, Dik. Ah, pasti kamu terpesona ya, sama suamimu yang ganteng ini?” ucap Mas Arman pede sekali.

“Biasa aja, aku hanya heran jam segini kok sudah siap-siap ke Masjid?”

“Iya, dong! Kan, Mas mau jadi imam yang baik untuk istri-istri Mas.”

“Ooo. Baguslah.” Kuacungkan jempol tangan sebagai bentuk apresiasi.

“Kok, oh, doang? Gimana ganteng, kan? Ini baju baru dibelikan Reni tadi, harganya cukup mahal loh, Dik. 100 ribu rupiah.” Hem, pantas saja dipakai orang baru.

“Ganteng saja tidak cukup, Mas. Harus dibarengi dengan hati yang bersih dan juga sikap yang baik. Baru juga baju harga segitu sudah memuji-muji. Mas juga sering aku belikan baju yang harganya jauh lebih mahal dari ini, tapi biasa aja, tuh. Enggak pernah muji,” jawabku kesal. 100 ribu rupiah mahal katanya. Dasar bucin!

“Loh, kok ngomongnya gitu? Aku juga bilang makasih kok, setiap dibelikan sesuatu sama kamu, Dik,” elak Mas Arman.

“Masa si, kok aku enggak pernah dengar, ya? Padahal kupingku masih normal loh,” kataku lagi.

“Kok kamu jadi ngambek gini si Dik? Perkara baju saja?” tanyanya tanpa rasa bersalah.

“Ngambek perkara baju? Enggak lah, Mas. Bukan itu poinnya.”

“Lalu apa? Oh, Mas tahu. Mas minta maaf soal semalam ....”

“Hanya maaf?” potongku.

“Nanti kalau Mas punya rezeki lebih Mas belikan HP baru untukmu.”

“Enggak percaya,” sahutku.

“Kalau istri sendiri enggak percaya lalu siapa yang mau percaya?”

“Baik kalau gitu mana hasil kerja hari ini?” Kutengadahkan tanganku. Baru kali ini aku minta uang pada suamiku sendiri. Biasanya aku selalu masa bodo. Dikasih aku ambil dan kalau enggak dikasih aku diam saja.

“Tumben kamu minta uang?” Mas Arman kaget.

“Kenapa? Salah Mas? Kan, minta uang sama suami sendiri.”

“Bukan salah, tapi itu. Anu ... uangnya sudah aku kasihkan semua pada Reni, Dik,” jawabnya salah tingkah.

“Kok, gitu? Itu namanya enggak adil, Mas. Aku mau uang itu bagi dua. Cepetan!” 

Mas Arman diam saja. Reni dan ibu yang mendengar teriakanku langsung menghampiri kami.

“Ada apa, si? Bangun Tidur kok marah-marah!” bentak ibu.

“Aku enggak akan marah kalau Mas Arman adil. Aku sebagai istri sah di mata agama dan negara meminta hakku. Aku meminta uang nafkah hari ini.”

“Mana bisa! Kamu selama ini sudah dinafkahi. Sekarang giliran aku!” Reni tidak terima dengan ucapanku.

“Itu otak dipakai dengan benar. Mana ada nafkah berhenti setelah punya istri lagi. Itu artinya aku bukan lagi istrinya Mas Arman. Kalau sudah begitu jelas. Aku tinggal ke pengadilan mengajukan gugatan cerai.” Kulirik Mas Arman dia sudah mulai gelisah.

“Dik, bukan gitu maksudnya. Hanya hari ini. Besok gantian kamu,” elak Mas Arman.

“Enggak mau! Aku mau uang itu sekarang!” teriakku.

“Kamu sudah seperti orang tidak waras si, Fatki. Perkara uang tidak seberapa!” bentak ibu, beliau menoyor kepalaku.

“Ibu, tidak paham di posisiku. Nanti juga ibu merasakannya sendiri,” jawabku sambil tersenyum sinis. Ibu mengerutkan dahinya pasti beliau memikirkan ucapanku.

“Ok, stop! Jangan berdebat. Ini sudah mau Maghrib. Malu didengar tetangga. Ini uang untuk kami, Dik.” Mas Arman melerai lalu mengambil dompet dan memberiku 3 lembar uang 50 ribuan. Dasar pelit tadi bilangnya habis untuk Reni semua.

“Mas! Kok banyak amat aku Cuma dikasih 100 ribu!” protes Reni.

“Ini namanya adil. Kamu hanya orang ke dua. Jadi, kamu memang layak mendapatkan lebih sedikit dariku. Oh, iya, Mas, mulai malam ini aku mau tidur di kamarku. Kalau tidak boleh aku ambil semua perlengkapan kamar itu aku yang beli. Ingat Mas, aku yang beli.”

“Enggak bisa gitu dong, Fatki. Biarlah Reni di sana barang sebentar saja sampai mereka beli kasur dan yang lainnya. Kasihan mereka kan, pengantin baru,” bela ibu. Reni langsung membusungkan dadanya merasa jadi menantu kesayangan.

“Bisa dong. Itu kan, milikku. Lagi pula ini perempuan kenapa si, doyannya bekasan orang. Amit-amit deh.”

“Enggak, kamu harus ngalah untuk Reni!” Ibu kekeh membela Reni.

“Em, begini saja kalau Ibu di posisiku memang mau, semua yang Ibu punya dipakai untuk oleh madu Ibu?” Duh, kenapa aku jadi keceplosan begini, sih.

“Heh, makin ngelunjak kamu ya, Fatki. Ibu enggak akan ada di posisi kamu. Karena ibu ini wanita sempurna. Sedang kamu punya anak juga tidak bisa!” maki ibu.

"Ibu yakin? Jangan merasa sempurna Bu, aku bisa buktikan omonganku."

"Dasar sinting!" maki ibu lagi.

“Ah, susah ngomong sama kalian. Suka atau tidak aku tetap akan mengambil barang-barangku!” Tidak mau memperpanjang karena sebentar lagi azan Maghrib. Aku menutup kembali pintu kamarku ini. Kuhiraukan panggilan Mas Arman. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status