Istri adalah partner hidup yang tidak akan ada kata selesai kontrak. Menemani dari berjuang hingga berhasil. Bukan seperti suamiku. Belum juga berhasil sudah berani menikung tajam jalan lain.
Poligami bukan perkara mudah ada banyak hati yang harus dijaga. Bukan hanya hati istri-istrinya, tapi juga hati ke tiga belah keluarga. Aku yakin Mas Arman tidak mampu untuk urusan yang sangat berat ini.
Ting!
Lamunanku buyar ada pesan masuk dari nomor Mbak Sulis. Duh, ngapain lagi ya, Mbak Sulis ini rajin banget online.
[Otewe hotel bintang lima sama suamiku tercinta.]
Mbak Sulis mengirimkan skrinsut status W* Ika, dia sedang berada dalam mobil bersama bapak mau ke hotel katanya.
Aku bingung memang di kampungku sudah ada hotel bintang lima? Aku baru merantau dua tahun karena ikut suami masa secepat itu berdiri hotel di sana atau mungkin Ika ke kota.
Ting!
[Mbak, ibu mertua tirimu norak, ya? Masa mau wik wik dibuat status?] Hem, Mbak Sulis kepo banget sama urusan orang lain.
[Biarin ajalah, Mbak. Jangan komen Mbak nanti merusak kebahagiaan dia.] Akhirnya kubalas juga W* Mbak Sulis.
[Telaaattt ... sudah aku balas Mbak. Kata Ika yang penting happy enggak minta beli beras sama aku. Tu, orang mantan pembantu sama seperti aku aja belagu banget ya, Mbak? Padahal bukan menikah sama sultan. masih sama-sama kere!]
Nah, kan? Mulai memanas. Urusan postingan orang bisa sampai begini.
[Ya, sudah enggak usah kamu balas lagi. Lebih baik kamu ngaji sana sudah Maghrib sudah salat juga belum?]
[Aku sudah balas lagi Mbak. Greget aku dikatain begitu. Aku bilang juga dasar pelakor kampungan. Eeeh ... kok nomorku diblokir.] Hem ... syukurlah diblokir.
[Sudah Mbak Sulis sana salat Maghrib dulu.]
[Ya, udah iya, Mbak. Bye.] Takku balas lagi pesan Mbak Sulis. Aku fokus membereskan bajuku dan juga bersiap-siap untuk keluar sebentar.
Setelah ini aku akan minta tolong pada paman Tohir dan anak-anaknya untuk memindahkan dipan, meja rias, dan juga lemari jati yang ada di kamarku dulu. Setelah aku pikir ternyata lebih nyaman tinggal di kamar belakang. Sepi dan sejuk aku jadi bisa fokus nantinya jika mengerjakan pekerjaanku.
Paman Tohir dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga besar ibu mertua yang tidak pernah julit padaku. Bahkan mereka sangat baik dan mendukungku.
Aku juga heran kenapa kemarin waktu aku masuk rumah sakit mereka tidak datang menjenguk apa mereka tidak tahu.
Rumahnya memang berjarak 300 meter dari sini lumayan lelah jika jalan kaki.
Klek!
Kubuka pintu dan segera mengunci kembali. Mengambil air minum dan mencuci piring bekas aku makan.
“Loh, Fatki, kamu kok, bisa makan? Dari mana?” tegur ibu tepat di belakangku. Aku yang sedang fokus sampai terlonjak kaget apalagi suara ibu selalu melengking tinggi.
“Masak, Bu. Aku punya tangan kok.”
“Mana masakannya? Oh, Ibu tahu pasti kamu bawa masuk kamar, kan? Dasar pelit!”
“Terserah akulah, Bu. Lagi pula kalian tidak akan doyan masakan kampungku. Bukankah Ibu tadi habis shopping dan makan di resto?”
“Itu kan, tadi siang sekarang sudah malam ya, sudah lapar lagilah.”
“Kalau lapar masak Bu, bukan marah-marah.”
“Kamu bantah terus, si? Kamu menantu di sini jadi sudah menjadi kewajiban kamu berbakti pada orang tua suamimu.”
“Ibu lupa menantu Ibu kan, enggak cuma aku. Tu, ada Reni yang nganggur suruh aja dia.”
“Reni capek pulang kerja. Kan, kamu yang stand by di rumah terus jadi urusan dapur menjadi urusan kamu.”
“Oh, ya? Berarti kalau gitu urusan ranjang jadi tugas wajib Reni, ya? Baiklah awas ya, jangan sampai anak Ibu menyentuhku lagi. Aku tidak sudi. Jijik.”
“Ck, lagi pula tidak ada untungnya juga menyentuh wanita mandul sepertimu. Untuk apa cantik kalau mandul!” maki ibu. Itu terus yang menjadi andalannya untuk menyakitiku.
Kalah menjadi abu, menang menjadi arang. Lebih baik aku tinggalkan saja ibu percuma ngomong panjang lebar kali tinggi tidak akan pernah mengerti.
Baru saja selangkah kaki ini beranjak tepat pintu kamar mandi terbuka. Mas Arman dan Reni baru keluar dari sana.
Ngilu di dalam dada ini seakan tidak mau dikompromi apalagi Reni terus saja bergelendot manja pada Mas Arman.
“Kamu mau ke mana, Dik? Rapi begini?” tanya Mas Arman dia sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak enaknya padaku.
“Kamu di kamar mandi lama sekali, Mas? Ini sudah hampir Isya. Kamu pasti tidak salat Maghrib,” jawabku.
“Aku tanya kamu mau ke mana kok, kamu malah jawab begitu?” Mas Arman tersinggung.
“Imam model begini poligami. Urusan dengan Allah saja ditinggalkan pantas saja berani meninggalkan istri pertama.” Mas Arman makin mengalihkan pandangannya ke sembarang arah setelah aku beranikan melototinya.
“Em ... itu enggak sempat.” Aku tertawa geli mendengar jawaban Mas Arman.
“Iyalah, enggak sempat kamu fokus pada nafsumu terus. Maghrib itu salat bukan malah bercinta.”
“Ribet amat si, hidupmu! Oh, aku tahu pasti kamu cemburu kan, karena kami selalu hangat?” sahut Reni.
“Bagaimana aku bisa cemburu padamu Reni, sedang levelmu jauh di bawahku. Lagi pula aku tidak peduli kalian mau ngapain, toh pada akhirnya aku berterima kasih padamu karena kamu sudah bersedia menjadi pemuas nafsu untuk Mas Arman. Aku sudah tidak sudi lagi disentuhnya. Aku jijik padanya.” Reni terlihat sangat marah begitu juga Mas Arman.
“Fatki! Tutup mulutmu!” teriak Mas Arman.
“Emang dasar ini Fatki. Enggak punya adab. Jawab aja kerjaannya kalau ada orang ngomong!” sahut ibu. Aku tidak mau menanggapi ucapan ibu. Buang-buang waktu saja.
“Kenapa Mas? Tidak terima? Aku capek jadi istri kamu. Baru tiga hari poligami sifatmu sudah seburuk ini.”
“Maksudmu apa, hah! Kamu ....”
Mas Arman tidak melanjutkan ucapannya karena ponselku berbunyi. Siapa juga yang telepon saat-saat seperti ini.
Oh, ternyata nomor asing. Siapa, ya?
“W*’alaikumsalam iya, benar ... aduh, maaf ya, Bu. Saya sedang sakit jadi belum bisa terima jahitan. Memangnya mau dipakai kapan?” Ternyata yang meneleponku konsumen.
“Bulan depan, Mbak tanggal 28.”
“Oh, masih lama ini juga masih awal bulan. Baiklah nanti akhir bulan ini Ibu antar saja ke sini, ya?”
“Baik. Alhamdulillah ... Terima kasih, ya, Mbak Fatki. Assalamualaikum ....”
“Sama-sama Bu, w*’alaikumsalam.”
Mas Arman menatapku nyalang. Dia pasti tidak suka aku punya HP lagi.
“Kamu dapat duit dari mana beli HP baru?!” tanyanya menahan marah.
“Duitku sendirilah, Mas. Masa duit dari kamu? Selama jadi istrimu aku kan, enggak pernah dikasih uang lebih malah aku selalu nombok untuk bayar ini dan itu. Kamu Reni mauan saja menikah dengan suami orang yang miskin," jawabku jujur. Segera kukantongi HP-ku takut dibanting lagi.
“Kamu harusnya izin dulu sama, aku!” Nah, kan, mulai emosi.
“Izin? Kamu saja menikah lagi tidak izini dulu. Aku beli HP pakai duitku sendiri ngapain harus izin.”
“Fatki, aku ini suamimu!”
“Suami yang dholim jadi, aku tidak izin pun tidak apa-apa.” Kutinggalkan Mas Arman yang masih dalam keadaan emosi.
“Fatki!” teriaknya lagi. Aku yakin, dia tidak akan berani mengejarku dia hanya pakai handuk.
“Fatki! Berhenti mau ke mana kamu!” Ibu pun ikut berteriak memanggilku.
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p