Share

BAB 6. Sampah tidak akan pernah jadi berlian.

Istri adalah partner hidup yang tidak akan ada kata selesai kontrak. Menemani dari berjuang hingga berhasil. Bukan seperti suamiku. Belum juga berhasil sudah berani menikung tajam jalan lain.

Poligami bukan perkara mudah ada banyak hati yang harus dijaga. Bukan hanya hati istri-istrinya, tapi juga hati ke tiga belah keluarga. Aku yakin Mas Arman tidak mampu untuk urusan yang sangat berat ini.

Ting!

Lamunanku buyar ada pesan masuk dari nomor Mbak Sulis. Duh, ngapain lagi ya, Mbak Sulis ini rajin banget online.

[Otewe hotel bintang lima sama suamiku tercinta.]

Mbak Sulis mengirimkan skrinsut status W* Ika, dia sedang berada dalam mobil bersama bapak mau ke hotel katanya.

Aku bingung memang di kampungku sudah ada hotel bintang lima? Aku baru merantau dua tahun karena ikut suami masa secepat itu berdiri hotel di sana atau mungkin Ika ke kota.

Ting!

[Mbak, ibu mertua tirimu norak, ya? Masa mau wik wik dibuat status?] Hem, Mbak Sulis kepo banget sama urusan orang lain.

[Biarin ajalah, Mbak. Jangan komen Mbak nanti merusak kebahagiaan dia.] Akhirnya kubalas juga W* Mbak Sulis.

[Telaaattt ... sudah aku balas Mbak. Kata Ika yang penting happy enggak minta beli beras sama aku. Tu, orang mantan pembantu sama seperti aku aja belagu banget ya, Mbak? Padahal bukan menikah sama sultan. masih sama-sama kere!]

Nah, kan? Mulai memanas. Urusan postingan orang bisa sampai begini.

[Ya, sudah enggak usah kamu balas lagi. Lebih baik kamu ngaji sana sudah Maghrib sudah salat juga belum?]

[Aku sudah balas lagi Mbak. Greget aku dikatain begitu. Aku bilang juga dasar pelakor kampungan. Eeeh ... kok nomorku diblokir.] Hem ... syukurlah diblokir.

[Sudah Mbak Sulis sana salat Maghrib dulu.]

[Ya, udah iya, Mbak. Bye.] Takku balas lagi pesan Mbak Sulis. Aku fokus membereskan bajuku dan juga bersiap-siap untuk keluar sebentar.

Setelah ini aku akan minta tolong pada paman Tohir dan anak-anaknya untuk memindahkan dipan, meja rias, dan juga lemari jati yang ada di kamarku dulu. Setelah aku pikir ternyata lebih nyaman tinggal di kamar belakang. Sepi dan sejuk aku jadi bisa fokus nantinya jika mengerjakan pekerjaanku.

Paman Tohir dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga besar ibu mertua yang tidak pernah julit padaku. Bahkan mereka sangat baik dan mendukungku.

Aku juga heran kenapa kemarin waktu aku masuk rumah sakit mereka tidak datang menjenguk apa mereka tidak tahu.

Rumahnya memang berjarak 300 meter dari sini lumayan lelah jika jalan kaki.

Klek!

Kubuka pintu dan segera mengunci kembali. Mengambil air minum dan mencuci piring bekas aku makan.

“Loh, Fatki, kamu kok,  bisa makan? Dari mana?” tegur ibu tepat di belakangku. Aku yang sedang fokus sampai terlonjak kaget apalagi suara ibu selalu melengking tinggi.

“Masak, Bu. Aku punya tangan kok.”

“Mana masakannya? Oh, Ibu tahu pasti kamu bawa masuk kamar, kan? Dasar pelit!”

“Terserah akulah, Bu. Lagi pula kalian tidak akan doyan masakan kampungku. Bukankah Ibu tadi habis shopping dan makan di resto?”

“Itu kan, tadi siang sekarang sudah malam ya, sudah lapar lagilah.”

“Kalau lapar masak Bu, bukan marah-marah.”

“Kamu bantah terus, si? Kamu menantu di sini jadi sudah menjadi kewajiban kamu berbakti pada orang tua suamimu.”

“Ibu lupa menantu Ibu kan, enggak cuma aku. Tu, ada Reni yang nganggur suruh aja dia.”

“Reni capek pulang kerja. Kan, kamu yang stand by di rumah terus jadi urusan dapur menjadi urusan kamu.”

“Oh, ya? Berarti kalau gitu urusan ranjang jadi tugas wajib Reni, ya? Baiklah awas ya, jangan sampai anak Ibu menyentuhku lagi. Aku tidak sudi. Jijik.”

“Ck, lagi pula tidak ada untungnya juga menyentuh wanita mandul sepertimu. Untuk apa cantik kalau mandul!” maki ibu. Itu terus yang menjadi andalannya untuk menyakitiku.

Kalah menjadi abu, menang menjadi arang. Lebih baik aku tinggalkan saja ibu percuma ngomong panjang lebar kali tinggi tidak akan pernah mengerti.

Baru saja selangkah kaki ini beranjak tepat pintu kamar mandi terbuka. Mas Arman dan Reni baru keluar dari sana.

Ngilu di dalam dada ini seakan tidak mau dikompromi apalagi Reni terus saja bergelendot manja pada Mas Arman.

“Kamu mau ke mana, Dik? Rapi begini?” tanya Mas Arman dia sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak enaknya padaku.

“Kamu di kamar mandi lama sekali, Mas? Ini sudah hampir Isya. Kamu pasti tidak salat Maghrib,” jawabku.

“Aku tanya kamu mau ke mana kok, kamu malah jawab begitu?” Mas Arman tersinggung.

“Imam model begini poligami. Urusan dengan Allah saja ditinggalkan pantas saja berani meninggalkan istri pertama.” Mas Arman makin mengalihkan pandangannya ke sembarang arah setelah aku beranikan melototinya.

“Em ... itu enggak sempat.” Aku tertawa geli mendengar jawaban Mas Arman.

“Iyalah, enggak sempat kamu fokus pada nafsumu terus. Maghrib itu salat bukan malah bercinta.”

“Ribet amat si, hidupmu! Oh, aku tahu pasti kamu cemburu kan, karena kami selalu hangat?” sahut Reni.

“Bagaimana aku bisa cemburu padamu Reni, sedang levelmu jauh di bawahku. Lagi pula aku tidak peduli kalian mau ngapain, toh pada akhirnya aku berterima kasih padamu karena kamu sudah bersedia menjadi pemuas nafsu untuk Mas Arman. Aku sudah tidak sudi lagi disentuhnya. Aku jijik padanya.” Reni terlihat sangat marah begitu juga Mas Arman.

“Fatki! Tutup mulutmu!” teriak Mas Arman.

“Emang dasar ini Fatki. Enggak punya adab. Jawab aja kerjaannya kalau ada orang ngomong!” sahut ibu. Aku tidak mau menanggapi ucapan ibu. Buang-buang waktu saja.

“Kenapa Mas? Tidak terima? Aku capek jadi istri kamu. Baru tiga hari poligami sifatmu sudah seburuk ini.”

“Maksudmu apa, hah! Kamu ....”

Mas Arman tidak melanjutkan ucapannya karena ponselku berbunyi. Siapa juga yang telepon saat-saat seperti ini.

Oh, ternyata nomor asing. Siapa, ya?

“W*’alaikumsalam iya, benar ... aduh, maaf ya, Bu. Saya sedang sakit jadi belum bisa terima jahitan. Memangnya mau dipakai kapan?” Ternyata yang meneleponku konsumen.

“Bulan depan, Mbak tanggal 28.”

“Oh, masih lama ini juga masih awal bulan. Baiklah nanti akhir bulan ini Ibu antar saja ke sini, ya?”

“Baik. Alhamdulillah ... Terima kasih, ya, Mbak Fatki. Assalamualaikum ....”

“Sama-sama Bu, w*’alaikumsalam.”

Mas Arman menatapku nyalang. Dia pasti tidak suka aku punya HP lagi.

“Kamu dapat duit dari mana beli HP baru?!” tanyanya menahan marah.

“Duitku sendirilah, Mas. Masa duit dari kamu? Selama jadi istrimu aku kan, enggak pernah dikasih uang lebih malah aku selalu nombok untuk bayar ini dan itu. Kamu Reni mauan saja menikah dengan suami orang yang miskin," jawabku jujur. Segera kukantongi HP-ku takut dibanting lagi.

“Kamu harusnya izin dulu sama, aku!” Nah, kan, mulai emosi.

“Izin? Kamu saja menikah lagi tidak izini dulu. Aku beli HP pakai duitku sendiri ngapain harus izin.”

“Fatki, aku ini suamimu!”

“Suami yang dholim jadi, aku tidak izin pun tidak apa-apa.” Kutinggalkan Mas Arman yang masih dalam keadaan emosi.

“Fatki!” teriaknya lagi. Aku yakin, dia tidak akan berani mengejarku dia hanya pakai handuk.

“Fatki! Berhenti mau ke mana kamu!” Ibu pun ikut berteriak memanggilku.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
tidak mutu, masa mau²nya dimadu dan diperlakukan jelek gitu...
goodnovel comment avatar
Virafdylan S Saban
ciiiiih....cerita jelek,noooorak,bkin sakit mata sj
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status