Entah aku harus bahagia atau sedih. Yang jelas diduakan itu sangat menyakitkan. Mungkin ayah sudah tidak tahan dengan sikap tidak baik yang dimiliki ibu. Selama aku menjadi menantu ibu belum pernah melihat ibu bersikap manis pada bapak.
Aku bingung harus bagaimana. Mas Arman harus kuberitahu atau tidak. Jujur kalau aku yang memberi tahu pada ibu sendiri yang ada nanti malah ibu akan marah padaku dan menganggap aku berbohong.
Bismillahirrahmanirrahim ... Lebih baik aku fokus pada kesehatanku saja. Setelah ini aku fokus menjahit dan mencari yang mau bekerja denganku. Jahitanku mulai dikenal banyak orang sehari aku bisa menyelesaikan dua baju harga yang kubandrol untuk satu baju adalah 100 ribu sampai 350 ribu rupiah tergantung dari model dan kerumitannya. Alhamdulillah aku bisa mengantongi 200 ribu per hari dari hasil jahitanku. Kalau aku punya pekerja bisa lebih dari itu.
Kata orang jahitanku rapi dan bisa bikin model apa pun sesuai permintaan konsumen. Aku tidak pernah promosi para penikmat jahitanku lah yang rajin mempromosikannya. Dari mulut ke mulut.
Aku bisa menjahit belajar waktu di pondok.
Aku mondok dari lulus SD sampai Madrasah Aliyah. Ditambah pengabdian dua tahun. Ilmu jahit menjahit murni kudapat dari sana. Ustadzah tempat aku mondok bilang pekerjaan yang diperbolehkan untuk wanita salah satunya adalah penjahit. Maka dengan serius aku menekuninya. Alhamdulillah saat aku berumah tangga sangat bermanfaat untukku.Kuscroll model-model kebaya yang ada di internet. Aku berniat membuat tiga buah kebaya pengantin lalu kupajang di etalase. Tabunganku cukup untuk menyewa tempat.
Wanita jika sudah diinjak-injak harga dirinya selagi di jalan yang benar harus berani melawan karena itu bagian dari kehormatannya yang harus dilindungi. Prinsip itu pula yang mengobarkan semangatku. Cukup sekali aku dianggap remeh, dihina, dicaci maki dan dikatakan mandul. Aku akan buktikan pada mereka bahwa aku tidak seperti yang mereka ucapkan.
Ah, rasanya sakit sekali jika mengingat kembali. Bukan hanya ibu mertuaku saja banyak sanak saudara dan juga teman-temanku yang berkata demikian. Kalau dulu masih ada yang menguatkan yaitu suamiku sendiri. Sekarang jangankan menguatkan justru dialah yang menusukku dengan belati tajam hingga menghunus ke jantung.
Hidup manusia ternyata seunik ini. Aku pikir dulu akan bahagia berjodoh hingga ke surga bersama suamiku tercinta. Nyatanya aku tersisih digantikan dengan wanita lain.
Aku tidak bersalah. Aku selalu mengalah pada mertua, membantu perekonomian keluarga, menjadi istri yang baik sesuai ajaran agama, tapi kenapa ujianku begitu berat. Apa hanya aku yang mampu melewati ini semua hingga Allah berikan ujian ini padaku.
Entahlah ....
Mulai sekarang aku akan selalu berpikir positif. Aku memang kalah dalam percintaan, tapi aku tidak boleh kalah dalam hal lainnya.
“Kamu kok, enggak tidur, Dik? Sudah tengah malam itu,” tegur Mas Arman sambil menunjuk jam dinding.
“Aku sudah tidur dan tidak ngantuk. Sana ambil air wudu salat sunah tahajud dulu,” titahku.“Entarlah, masih jam 2 lewat tunggu jam 3 aja,” jawab Mas Arman enteng.
“Terserahlah, Mas. Aku hanya mengingatkan tidak mau memaksa.”
“Kok, gitu jawabnya? Hei, lihat aku di sini bukan di HP itu. Tumben malam-malam begini kamu main HP. Oh, apa kamu sedang mencari kesenangan dengan laki-laki lain?” Degh! Tega sekali dia bicara begitu.
“Tidak puaskah kamu sakiti aku dengan pengkhianatan? Sekarang kamu memfitnahku yang tidak-tidak?” Kutatap tajam mata suamiku. Tidak kutemukan penyesalan di sana. Matanya merah menahan marah.
“Lalu apa? Ini tengah malam loh, kamu biasanya jam segini sedang khusuk salat dan ngaji.”
“Kamu lupa, aku sedang masa nifas? Oh, aku tahu, jelas kamu lupa karena kamu tidak pernah libur sudah ada yang menggantikanku.”
“Jangan bicara ke mana-mana. Aku marah karena kamu main HP tengah malam. Untuk apa? Ternyata kamu sama saja dengan perempuan di luar sana. Mencari kesenangan saat suami tidak memperhatikan.”
“Cukup, Mas! Pergi dari sini! Kamu bukan suamiku yang dulu lagi. Aku benci padamu!” teriakku histeris.
Mas Arman makin kalap dia merebut ponselku dan membantingnya ke lantai. HP-ku pecah porak-poranda hancur berkeping-keping seperti penggambaran hatiku saat ini.
“Lebih baik hancur dari pada kamu berselingkuh di belakangku!” Mas Arman tak kalah histeris. Dia mengacungkan jarinya tepat di depan wajahku.
“Hh ... lucu, siapa yang selingkuh siapa pula yang disalahkan. Beginilah sifat manusia. Akan selalu menutup kesalahan diri sendiri dengan menuduh orang lain,” kataku santai. Kupungut kartu dan memori cardnya lalu kubiarkan ponsel itu begitu saja.
Klek!
Pintu kamarku terbuka. Ada Reni berdiri di sana.
“Mas ... kenapa si, marah-marah sampai kedengaran depan. Enggak dikasih jatah ya? Ayok, tidur sama aku. Kupuaskan kamu sampai pagi,” ucap Reni menjijikkan.
Mas Arman gegas berdiri dan mengekor pada Reni.
Astaghfirullah ... bisa-bisanya aku terjebak dalam pernikahan toxic seperti ini.
~K~U🌸🌸🌸
Tepat jam 06.00 WIB aku terbangun. Biasanya bangun jam 5 subuh, tapi karena tidak ada alarm jadi kesiangan. HP satu-satunya yang untuk alarm telah hancur semalam.
Gegas aku ke kamar mandi. Mandi pagi dan bersiap jalan-jalan ke depan.
Sebenarnya temanku di sini banyak para Ummahat tempat biasa aku mengaji seminggu dua kali, tapi mereka semua orang rumahan keluar hanya jika ada kepentingannya saja. Mbak Sulislah yang setiap hari bisa bebas ke mana-mana karena dia bekerja sebagai baby sitter dan kebetulan anak majikannya hiperaktif jadi sering diajak jalan-jalan ke luar rumah.
“Mandi apa semedi, woi!” teriak Intan.
Aku nyelonong saja keluar kamar mandi tanpa menyapa Intan seperti biasanya.
Aku disuguhi pemandangan memuakkan. Bisa-bisanya di meja makan Mas Arman dan Reni bermesraan sambil minum teh. Tidak tahu malu padahal ada ibu di depan mereka.
“Lihat apa? Cepetan masak bentar lagi suami dan madumu mau berangkat kerja. Kamu kan, di rumah aja nganggur jadi sudah menjadi tugas kamu menyiapkan sarapan untuk kami.” Jengah sekali aku mendengar perintah ibu mertuaku.
Kalau aku disuruh menyediakan makanan untuk suamiku saja meskipun aku sedang dalam keadaan marah tetap aku jabani. Lah, ini masak untuk istri mudanya juga ogah amat aku bukan pembantu di sini.
“Malah bengong! Sana bikin sarapan aku mau berangkat kerja,” bentak Reni.
Tak mau ambil pusing aku segera masuk kamar.
Ternyata ibu menyusulku.“Ini kupingmu dipakai atau tidak? Sana bikin sarapan bukan malah dandan!” titah ibu, beliau menjewer kupingku seperti anak kecil.
“Kalau aku tidak mau?”
“Eh, bantah lagi! Cepetan sana sudah siang ini nanti Reni dan Arman telat!”
“Aku tidak peduli, Bu. Mau telat kek, enggak kek, bukan urusanku. Reni punya tangan Ibu pun punya tangan dipakailah untuk masak. Enggak malah ngandelin orang lain,” jawabku santai.
“Kurang ajar ya, kamu itu! Bantah orang tua! Arman!” Ibu memanggil Mas Arman, ah, pasti beliau minta pembelaan dari anak laki-laki semata wayangnya itu.
“Dik, masaklah. Benar kata ibu sudah siang ini nanti kami telat,” pinta Mas Arman.
“Tidak mau! Aku sibuk dan aku bukan pembantu kalian! Kamu Mas, punya istri sehat kenapa enggak kamu suruh malah nyuruh aku. Oh, apa istri sehatmu itu hanya kamu pakai untuk pemuas nafsumu saja?”
“Fatki! Lancang kamu, ya! Sama suami tidak ada hormat sama sekali!” bentak ibu.
“Terserah aku, memang benar kenyataan begitu.”
“Mas ... kita makan di luar saja, yuk! Sudah mau jam 7 nanti aku telat!” teriak Reni.
“Bu, aku berangkat dulu, ya? Ada urusan penting.” Tiba-tiba bapak mertua menyela keributan di antara kami.
Masya Allah bapak mertua penampilannya rapi sekali. Pakai kemeja lengan panjang warna putih dipadu celana dasar warna hitam dan juga sepatu pantofel warna senada dengan celananya.
Benar ucapan ibuku semalam. Bapak pasti akan menghadiri pernikahannya sendiri.“Ha-ha Bapak rapi amat sudah kayak mau lamar kerja aja!” Ibu tertawa sambil mengejek.
“Enggak pantes Pak, pakai baju beginian, tapi terserah Bapak saja. Mau ke mana memangnya?” tanya Mas Arman.
“Em ... itu, Man. Anu ... mau ada kepentingan di luar kota, dua atau tiga hari,” jawab bapak terbata beliau tidak berani menatap istri dan anaknya. Tatapannya fokus ke lantai.
“Ya, sudah sana pergi. Mau berapa lama juga aku tidak peduli. Mana jatahku!” sahut ibu. Beliau menengadahkan tangannya pada bapak. Meminta uang.
Tidak menunggu lama seperti biasanya bapak langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil lima lembar uang merah untuk diberikan pada ibu.
“Tumben, Pak. Lagi banyak duit, ya?”
“Iya, Alhamdulillah.” Bapak mengulurkan tangannya pada ibu agar ibu salim, tapi ibu malah menampiknya.
“Halah, sudah sana berangkat enggak usah salim segala nanti keburu siang!”
Bapak diam saja, hanya aku yang bersalaman pada bapak.
Beliau lalu memanaskan mobilnya dan gegas berangkat.
Itu bukan mobil bapak melainkan mobil majikannya. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi. Itu sebabnya bapak bisa membawa mobil bagus ke rumah.
“Malah bengong! Sana masak. Ibu mau belanja mau makan di luar!” Ibu menoyor kepalaku.
Mas Arman pun pergi dengan Reni tanpa pamit padaku. Ah, terserah saja mau dibawa ke mana rumah tangga ini aku tidak mau terlalu ambil pusing. Aku akan membahagiakan diriku sendiri.Aku dandan rapi dan pergi ke warung. Aku mau masak untuk diriku sendiri.
“Mbak!”
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya yang dinanti nongol juga.
“Mbak aku W* kok ceklis, si. Aku ada info penting loh,” ucap Mbak Sulis. Seperti biasa dia tiap pagi keliling membawa anak majikannya yang paling kecil.
“Info apa lagi, Mbak? Sepertinya aku sudah tidak berminat. He-he,” jawabku.
Entah kenapa aku merasa harus hati-hati pada Mbak Sulis. Dia orang baik si.
“Ih, gitu ya, sekarang.”
“Kalau mau ngomongin orang aku tidak mau Mbak, itu namanya ghibah. Dosa loh,” kataku mengingatkan.
“Hehe ya, sudah deh. Enggak jadi. Aku tadinya cuma mau bilang kalau si Ika hari ini nikah, dan nikahnya sama mertua Mbak Fatki,” bisik Mbak Sulis tepat di kupingku.
“Apa!? Ah, Mbak Sulis pasti bercanda.” Jujur aku syok sekali. Rasanya bumi ini berputar terlalu cepat. Membuat kepalaku pusing sekali.
“Nih, kalau enggak percaya. Aku kasih tahu ya, chatingan aku sama Ika.”
“Astaghfirullah ... ini beneran?” Aku membaca chatingan Ika dan Mbak Sulis. Di sana tertulis jika Ika memang sengaja dan mau menerima pinangan bapak mertuaku.“Tapi, orang yang berzina harus menikah dengan pasangan zinanya. Kenapa bisa begini?”“Aduh, Mbak Fatki kalau itu aku kurang paham. Ini lihat lagi. Si Ika keguguran waktu pulang kampung.” Mbak Sulis menunjukkan lagi foto Ika di rumah sakit. Di sana juga ada bapak mertua.“Aneh, yang ambil foto siapa?” tanyaku penasaran.“Kata Ika, suster yang ambil fotonya.” Lalu kubaca lagi chatingan mereka sampai pagi ini."Kok bisa, ada Bapak mertuaku di sana?" tanyaku ini benar-benar aneh dan janggal."Ika bilang, tidak sengaja ketemu Bapak mertua Mbak Fakti," jawab Mbak Sulis."Enggak sengaja ketemu kok, bisa seakrab ini? Lagi pula kenapa bisa jadi kebetulan begini?" ujarku penasaran"Mbak Fakti, aku mana tahu, yang aku tahu persis seperti yang Ika bilang."Mbak Sulis benar. Dia hanya tahu sebatas ini. Tidak mungkin Ika mau jujur semuanya p
Istri adalah partner hidup yang tidak akan ada kata selesai kontrak. Menemani dari berjuang hingga berhasil. Bukan seperti suamiku. Belum juga berhasil sudah berani menikung tajam jalan lain.Poligami bukan perkara mudah ada banyak hati yang harus dijaga. Bukan hanya hati istri-istrinya, tapi juga hati ke tiga belah keluarga. Aku yakin Mas Arman tidak mampu untuk urusan yang sangat berat ini.Ting!Lamunanku buyar ada pesan masuk dari nomor Mbak Sulis. Duh, ngapain lagi ya, Mbak Sulis ini rajin banget online.[Otewe hotel bintang lima sama suamiku tercinta.]Mbak Sulis mengirimkan skrinsut status WA Ika, dia sedang berada dalam mobil bersama bapak mau ke hotel katanya.Aku bingung memang di kampungku sudah ada hotel bintang lima? Aku baru merantau dua tahun karena ikut suami masa secepat itu berdiri hotel di sana atau mungkin Ika ke kota.Ting![Mbak, ibu mertua tirimu norak, ya? Masa mau wik wik dibuat status?] Hem, Mbak Sulis kepo banget sama urusan orang lain.[Biarin ajalah, Mbak.
Jalan dari rumah menuju rumah Paman Tohir ternyata membuat perutku sedikit ngilu dan keringetan. Punggungku basah.Rumah paman Tohir tampak ramai seperti habis ada acara. Mereka semua ada di teras.Begitu melihat kedatanganku Bibi Irma langsung menyambut dengan senyuman ramahnya.“Assalamualaikum, Bi?” Kuambil tangannya lalu kucium takzim cipika cipiki. Hanya bibi dan Citra anak bibi yang masih SMA yang bersalaman denganku. Paman dan anak-anak lelakinya tidak karena kami bukan muhrim.“Enak sekali aku dibawain martabak telor. Makasih ya, Mbak Fatki,” ucap Citra girang.“Sama-sama.”“Ayok, masuk!” Paman dan bibi mempersilakan aku masuk.“Ada apa malam-malam begini sendirian ke sini? Apa bertengkar dengan suamimu?” tanya paman to the point.“Em ... aku mau minta tolong Paman sama anak-anak untuk membantu angkat dipan dan juga lemari dipindahkan ke kamar belakang.”“Nah, ini sudah aku duga. Arman itu tidak akan bisa berbuat adil. Lahwong ngaji aja enggak pernah kok nekat poligami segala.
"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku." "Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi. Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat. Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri. Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini. Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi. "Dik, aku mau bicara padam
🌸🌸🌸Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.“Mbak, pinjam tas ini, ya?” Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.“Enggak boleh! Pakai saja tasmu!” Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.“Pelit banget sih, Mbak!” teriaknya.“Emang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!” jawabku santai.“Ibuuuuu!” Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.“Ada apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!” sahut ibu sewot.“Aku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,” rengek Intan.“Perkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”“Tapi, Dik?”“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.“Lah,
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
🌸🌸🌸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~U🌸🌸🌸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!” Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.“Bu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?” Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.“Aku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak