Share

bab 4 Rahasia Bapak mertua bag 2

Entah aku harus bahagia atau sedih. Yang jelas diduakan itu sangat menyakitkan. Mungkin ayah sudah tidak tahan dengan sikap tidak baik yang dimiliki ibu. Selama aku menjadi menantu ibu belum pernah melihat ibu bersikap manis pada bapak.

Aku bingung harus bagaimana. Mas Arman harus kuberitahu atau tidak. Jujur kalau aku yang memberi tahu pada ibu sendiri yang ada nanti malah ibu akan marah padaku dan menganggap aku berbohong.

Bismillahirrahmanirrahim ... Lebih baik aku fokus pada kesehatanku saja. Setelah ini aku fokus menjahit dan mencari yang mau bekerja denganku. Jahitanku mulai dikenal banyak orang sehari aku bisa menyelesaikan dua baju harga yang kubandrol untuk satu baju adalah 100 ribu sampai 350 ribu rupiah tergantung dari model dan kerumitannya. Alhamdulillah aku bisa mengantongi 200 ribu per hari dari hasil jahitanku. Kalau aku punya pekerja bisa lebih dari itu.

Kata orang jahitanku rapi dan bisa bikin model apa pun sesuai permintaan konsumen. Aku tidak pernah promosi para penikmat jahitanku lah yang rajin mempromosikannya. Dari mulut ke mulut.

 Aku bisa menjahit belajar waktu di pondok.

Aku mondok dari lulus SD sampai Madrasah Aliyah. Ditambah pengabdian dua tahun. Ilmu jahit menjahit murni kudapat dari sana. Ustadzah tempat aku mondok bilang pekerjaan yang diperbolehkan untuk wanita salah satunya adalah penjahit. Maka dengan serius aku menekuninya. Alhamdulillah saat aku berumah tangga sangat bermanfaat untukku.

Kuscroll model-model kebaya yang ada di internet. Aku berniat membuat tiga buah kebaya pengantin lalu kupajang di etalase. Tabunganku cukup untuk menyewa tempat. 

Wanita jika sudah diinjak-injak harga dirinya selagi di jalan yang benar harus berani melawan karena itu bagian dari kehormatannya yang harus dilindungi. Prinsip itu pula yang mengobarkan semangatku. Cukup sekali aku dianggap remeh, dihina, dicaci maki dan dikatakan mandul. Aku akan buktikan pada mereka bahwa aku tidak seperti yang mereka ucapkan.

Ah, rasanya sakit sekali jika mengingat kembali. Bukan hanya ibu mertuaku saja banyak sanak saudara dan juga teman-temanku yang berkata demikian. Kalau dulu masih ada yang menguatkan yaitu suamiku sendiri. Sekarang jangankan menguatkan justru dialah yang menusukku dengan belati tajam hingga menghunus ke jantung. 

Hidup manusia ternyata seunik ini. Aku pikir dulu akan bahagia berjodoh hingga ke surga bersama suamiku tercinta. Nyatanya aku tersisih digantikan dengan wanita lain. 

Aku tidak bersalah. Aku selalu mengalah pada mertua, membantu perekonomian keluarga, menjadi istri yang baik sesuai ajaran agama, tapi kenapa ujianku begitu berat. Apa hanya aku yang mampu melewati ini semua hingga Allah berikan ujian ini padaku.

Entahlah ....

Mulai sekarang aku akan selalu berpikir positif. Aku memang kalah dalam percintaan, tapi aku tidak boleh kalah dalam hal lainnya.

“Kamu kok, enggak tidur, Dik? Sudah tengah malam itu,” tegur Mas Arman sambil menunjuk jam dinding.

“Aku sudah tidur dan tidak ngantuk. Sana ambil air wudu salat sunah tahajud  dulu,” titahku.

“Entarlah, masih jam 2 lewat tunggu jam 3 aja,” jawab Mas Arman enteng.

“Terserahlah, Mas. Aku hanya mengingatkan tidak mau memaksa.”

“Kok, gitu jawabnya? Hei, lihat aku di sini bukan di HP itu. Tumben malam-malam begini kamu main HP. Oh, apa kamu sedang mencari kesenangan dengan laki-laki lain?” Degh! Tega sekali dia bicara begitu.

“Tidak puaskah kamu sakiti aku dengan pengkhianatan? Sekarang kamu memfitnahku yang tidak-tidak?” Kutatap tajam mata suamiku. Tidak kutemukan penyesalan di sana. Matanya merah menahan marah.

“Lalu apa? Ini tengah malam loh, kamu biasanya jam segini sedang khusuk salat dan ngaji.”

“Kamu lupa, aku sedang masa nifas? Oh, aku tahu, jelas kamu lupa karena kamu tidak pernah libur sudah ada yang menggantikanku.”

“Jangan bicara ke mana-mana. Aku marah karena kamu main HP tengah malam. Untuk apa? Ternyata kamu sama saja dengan perempuan di luar sana. Mencari kesenangan saat suami tidak memperhatikan.”

“Cukup, Mas! Pergi dari sini! Kamu bukan suamiku yang dulu lagi. Aku benci padamu!” teriakku histeris.

 Mas Arman makin kalap dia merebut ponselku dan membantingnya ke lantai. HP-ku pecah porak-poranda hancur berkeping-keping seperti penggambaran hatiku saat ini.

“Lebih baik hancur dari pada kamu berselingkuh di belakangku!” Mas Arman tak kalah histeris. Dia mengacungkan jarinya tepat di depan wajahku.

“Hh ... lucu, siapa yang selingkuh siapa pula yang disalahkan. Beginilah sifat manusia. Akan selalu menutup kesalahan diri sendiri  dengan menuduh orang lain,” kataku santai. Kupungut kartu dan memori cardnya lalu kubiarkan ponsel itu begitu saja.

Klek!

Pintu kamarku terbuka. Ada Reni berdiri di sana.

“Mas ... kenapa si, marah-marah sampai kedengaran depan. Enggak dikasih jatah ya? Ayok, tidur sama aku. Kupuaskan kamu sampai pagi,” ucap Reni menjijikkan.

Mas Arman gegas berdiri dan mengekor pada Reni.

Astaghfirullah ... bisa-bisanya aku terjebak dalam pernikahan toxic seperti ini.

~K~U🌸🌸🌸

Tepat jam 06.00 WIB aku terbangun. Biasanya bangun jam 5 subuh, tapi karena tidak ada alarm jadi kesiangan. HP satu-satunya yang untuk alarm telah hancur semalam.

Gegas aku ke kamar mandi. Mandi pagi dan bersiap jalan-jalan ke depan. 

Sebenarnya temanku di sini banyak para Ummahat tempat biasa aku mengaji seminggu dua kali, tapi mereka semua orang rumahan keluar hanya jika ada kepentingannya saja. Mbak Sulislah yang setiap hari bisa bebas ke mana-mana karena dia bekerja sebagai baby sitter dan kebetulan anak majikannya hiperaktif jadi sering diajak jalan-jalan ke luar rumah.

“Mandi apa semedi, woi!” teriak Intan. 

Aku nyelonong saja keluar kamar mandi tanpa menyapa Intan seperti biasanya.

Aku disuguhi pemandangan memuakkan. Bisa-bisanya di meja makan Mas Arman dan Reni bermesraan sambil minum teh. Tidak tahu malu padahal ada ibu di depan mereka.

“Lihat apa? Cepetan masak bentar lagi suami dan madumu mau berangkat kerja. Kamu kan, di rumah aja nganggur jadi sudah menjadi tugas kamu menyiapkan sarapan untuk kami.” Jengah sekali aku mendengar perintah ibu mertuaku.

Kalau aku disuruh menyediakan makanan untuk suamiku saja meskipun aku sedang dalam keadaan marah tetap aku jabani. Lah, ini masak untuk istri mudanya juga ogah amat aku bukan pembantu di sini.

“Malah bengong! Sana bikin sarapan aku mau berangkat kerja,” bentak Reni.

Tak mau ambil pusing aku segera masuk kamar.

Ternyata ibu menyusulku.

“Ini kupingmu dipakai atau tidak? Sana bikin sarapan bukan malah dandan!” titah ibu, beliau menjewer kupingku seperti anak kecil.

“Kalau aku tidak mau?”

“Eh, bantah lagi! Cepetan sana sudah siang ini nanti Reni dan Arman telat!”

“Aku tidak peduli, Bu. Mau telat kek, enggak kek, bukan urusanku. Reni punya tangan Ibu pun punya tangan dipakailah untuk masak. Enggak malah ngandelin orang lain,” jawabku santai.

“Kurang ajar ya, kamu itu! Bantah orang tua! Arman!” Ibu memanggil Mas Arman, ah, pasti beliau minta pembelaan dari anak laki-laki semata  wayangnya itu.

“Dik, masaklah. Benar kata ibu sudah siang ini nanti kami telat,” pinta Mas Arman.

“Tidak mau! Aku sibuk dan aku bukan pembantu kalian! Kamu Mas, punya istri sehat kenapa enggak kamu suruh malah nyuruh aku. Oh, apa istri sehatmu itu hanya kamu pakai untuk pemuas nafsumu saja?” 

“Fatki! Lancang kamu, ya! Sama suami tidak ada hormat sama sekali!” bentak ibu.

“Terserah aku, memang benar kenyataan begitu.”

“Mas ... kita makan di luar saja, yuk! Sudah mau jam 7 nanti aku telat!” teriak Reni.

“Bu, aku berangkat dulu, ya? Ada urusan penting.” Tiba-tiba bapak mertua menyela keributan di antara kami.

Masya Allah bapak mertua penampilannya rapi sekali. Pakai kemeja lengan panjang warna putih dipadu celana dasar warna hitam dan juga sepatu pantofel warna senada dengan celananya.

Benar ucapan ibuku semalam. Bapak pasti akan menghadiri pernikahannya sendiri.

“Ha-ha Bapak rapi amat sudah kayak mau lamar kerja aja!” Ibu tertawa sambil mengejek.

“Enggak pantes Pak, pakai baju beginian, tapi terserah Bapak saja. Mau ke mana memangnya?” tanya Mas Arman.

“Em ... itu, Man. Anu ... mau ada kepentingan di luar kota, dua atau tiga hari,” jawab bapak terbata beliau tidak berani menatap istri dan anaknya. Tatapannya fokus ke lantai.

“Ya, sudah sana pergi. Mau berapa lama juga aku tidak peduli. Mana jatahku!” sahut ibu. Beliau menengadahkan tangannya pada bapak. Meminta uang.

Tidak menunggu lama seperti biasanya bapak langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil lima lembar uang merah untuk diberikan pada ibu.

“Tumben, Pak. Lagi banyak duit, ya?”

“Iya, Alhamdulillah.” Bapak mengulurkan tangannya pada ibu agar ibu salim, tapi ibu malah menampiknya. 

“Halah, sudah sana berangkat enggak usah salim segala nanti keburu siang!” 

Bapak diam saja, hanya aku yang bersalaman pada bapak. 

Beliau lalu memanaskan mobilnya dan gegas berangkat. 

Itu bukan mobil bapak melainkan mobil majikannya. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi. Itu sebabnya bapak bisa membawa mobil bagus ke rumah.

“Malah bengong! Sana masak. Ibu mau belanja mau makan di luar!” Ibu menoyor kepalaku.

Mas Arman pun pergi dengan Reni tanpa pamit padaku. Ah, terserah saja mau dibawa ke mana rumah tangga ini aku tidak mau terlalu ambil pusing. Aku akan membahagiakan diriku sendiri.

Aku dandan rapi dan pergi ke warung. Aku mau masak untuk diriku sendiri.

“Mbak!” 

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya yang dinanti nongol juga.

“Mbak aku W* kok ceklis, si. Aku ada info penting loh,” ucap Mbak Sulis. Seperti biasa dia tiap pagi keliling membawa anak majikannya yang paling kecil.

“Info apa lagi, Mbak? Sepertinya aku sudah tidak berminat. He-he,” jawabku. 

Entah kenapa aku merasa harus hati-hati pada Mbak Sulis. Dia orang baik si.

“Ih, gitu ya, sekarang.”

“Kalau mau ngomongin orang aku tidak mau Mbak, itu namanya ghibah. Dosa loh,” kataku mengingatkan.

“Hehe ya, sudah deh. Enggak jadi. Aku tadinya cuma mau bilang kalau si Ika hari ini nikah, dan nikahnya sama mertua Mbak Fatki,” bisik Mbak Sulis tepat di kupingku.

“Apa!? Ah, Mbak Sulis pasti bercanda.” Jujur aku syok sekali. Rasanya bumi ini berputar terlalu cepat. Membuat kepalaku pusing sekali.

“Nih, kalau enggak percaya. Aku kasih tahu ya, chatingan aku sama Ika.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status