Jalan dari rumah menuju rumah Paman Tohir ternyata membuat perutku sedikit ngilu dan keringetan. Punggungku basah.
Rumah paman Tohir tampak ramai seperti habis ada acara. Mereka semua ada di teras.
Begitu melihat kedatanganku Bibi Irma langsung menyambut dengan senyuman ramahnya.
“Assalamualaikum, Bi?” Kuambil tangannya lalu kucium takzim cipika cipiki. Hanya bibi dan Citra anak bibi yang masih SMA yang bersalaman denganku. Paman dan anak-anak lelakinya tidak karena kami bukan muhrim.
“Enak sekali aku dibawain martabak telor. Makasih ya, Mbak Fatki,” ucap Citra girang.
“Sama-sama.”
“Ayok, masuk!” Paman dan bibi mempersilakan aku masuk.
“Ada apa malam-malam begini sendirian ke sini? Apa bertengkar dengan suamimu?” tanya paman to the point.
“Em ... aku mau minta tolong Paman sama anak-anak untuk membantu angkat dipan dan juga lemari dipindahkan ke kamar belakang.”
“Nah, ini sudah aku duga. Arman itu tidak akan bisa berbuat adil. Lahwong ngaji aja enggak pernah kok nekat poligami segala.” Paman terlihat sangat geram pada Mas Arman.
“Itu kan, hasil didikan adikmu, Mas. Arman itu seperti tidak punya otak mau saja menuruti kemauan ibunya.”
Aku jadi tidak enak paman dan bibi malah berdebat.
“Fatki. Mertuamu bilang kamu sudah setuju Arman menikah lagi, katanya biar cepat punya momongan. Apa itu benar, Nak?” tanya bibi hati-hati. Suaranya pelan sekali.
“Bibi, mana ada wanita yang mau di duakan. Mas Arman menikah aku sama sekali tidak tahu kalau tidak ada yang memberi tahuku,” jawabku jujur.
“Jadi waktu Arman menikah kamu di mana? Kalau kamu bilang tidak tahu. Mertuamu bilang kamu pulang kampung karena tidak mau merusak acara sakral suamimu,” kata bibi lagi.
Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dari bibi.
“Aku di rumah sakit, Bi. Aku dirawat karena keguguran.”
“Apa!” Bersamaan Paman dan Bibi teriak. Mereka pasti tidak menyangka kalau aku sakit.
“Benar-benar keterlaluan mertuamu itu. Kalau tahu kamu di rumah sakit dan kamu tidak tahu suamimu nikah lagi tidak sudi Paman datang ke sana,” ucap paman.
“Kami juga tidak tahu kalau kamu sedang hamil, Nak. Kamu juga masih aktif menjahit,” ujar bibi.
“Halah, Bu. Kamu kan, tahu sendiri Fatki ini pekerja keras apa lagi dia yang selama ini membantu Arman cari uang. Paman benar-benar marah pada Arman,” sahut paman.
“Ya, sudahlah Bi. Mungkin ini sudah takdir hidupku yang harus aku jalani. Jika nanti aku tidak kuat aku memilih mundur Bi. Kita mau mengumpat bagaimana pun juga semuanya sudah terjadi. Meski sulit aku akan berusaha untuk menjalaninya dulu. Aku tidak ingin tiba-tiba pulang dalam keadaan begini. Biar orang tuaku tahu dengan sendiri,” ucapku jujur. Bibi mengelus pundakku.
Bukan aku yang menangis, tapi bibi dan Citra yang menangis. Mungkin aku sudah kebal jadi tidak bisa sembarangan lagi air mata keluar.
“Maafkan adik dan keponakan Paman, ya, Nak. Kami akan berusaha untuk mengingatkan mereka atas sikap mereka.”
“Paman tidak perlu minta maaf. Bukan paman yang salah.”
“Ya, sudah, ayo berangkat! Malam ini kita pindahkan barang-barangmu.”
Paman beranjak ke belakang memanggil anak-anak bujangnya. Anak paman ada 4 perempuannya hanya Citra.
🌸🌸🌸
Kami pulang bersama ke rumah ibu. Kami sengaja jalan kaki karena memang hanya berjarak 300 meter.
Sampai rumah keadaan sudah gelap padahal baru jam 20.30 WIB. Paman Tohir menghela nafas. Beliau terlihat kesal sekali.
Aku beruntung sekali memiliki keluarga seperti Paman Tohir mereka begitu baik padaku dan selalu membelaku. Padahal aku ini keponakan ipar.
“Assalamualaikum ... Bu!” Aku sedikit berteriak agar kedengaran.
“Apa! Enggak usah pulang kamu! Sana tidur di luar! Tidak sudi rumahku ditempati orang seperti kamu!” jawab ibu dari dalam. Suaranya terdengar jelas pasti ibu ada di ruang tamu.
“Assalamu’laikum. Buka, Mbak!” Kali ini paman yang salam.
Tidak menunggu lama pintu langsung dibuka.
“Ka—kalian ada apa malam-malam begini ke sini?” tanya ibu, sepertinya beliau memang takut pada paman Tohir.
“Kamu ngadu apa sama pamanmu, Fatki!” Ibu murka padaku.
“Fatki tidak bilang apa-apa, Mbak!” bentak paman.
“Kalau enggak ngadu apa-apa kenapa kalian ke sini ramai-ramai begini sudah seperti mau demo saja.”
“Memang kamu mau demo. Fatki tidak ngadu apa pun dia hanya menjawab pertanyaan kami dengan jujur,” sahut paman.
“Ma—kasutnya apa, ya?”
“Ada apa, Bu? Eh, Paman?” Mas Arman menyalami keluarga paman lalu duduk gelisah di dekat ibu.
“Arman! Kamu laki-laki kenapa punya otak tidak dipakai? Istri sakit keguguran kamu tinggal kawin lagi. Kamu memalsukan data kalau istrimu setuju. Parah kamu! Ingat Fatki ini masih punya orang tua kalau kamu sudah tidak cinta lagi kembalikan baik-baik pada orang tuanya. Bukan kamu perlakukan seperti ini. Dan kamu, Mbak! Jadi orang tua harusnya mengarahkan ke hal yang bagus untuk anaknya bukan malah menjerumuskan begini!” Paman Tohir lantang bersuara tidak ada yang berani menyela.
“Kamu tidak di posisiku, Tohir! Aku ingin cucu sedang Fatki tidak bisa ngasih!” Ibu pun tidak kalah lantang menentang ucapan paman.
“Owalah otak kok di taruh dengkul jadinya konslet begini! Perkara hamil itu mutlak kuasa Allah, Mbak. Hanya DIA yang berhak memberi kita sebagai manusia tidak bisa menuduh orang sembarangan. Fatki tidak mandul dia selama berumah tangga dengan Arman sudah hamil 3 kali. Itu artinya dia subur. Kamu Arman harusnya menolak permintaan tidak masuk akal dari ibumu ini bukan malah dengan senang hati kamu kawin lagi. Edan kamu! Aku rasa inilah yang buat Fatki keguguran terus. Dia punya suami tidak bertanggung jawab kerjaan pun tidak jelas. Kasih makan satu istri saja tidak becus kok mau ngasih makan dua istri. ” Paman makin murka karena ibu membantah.
“A—aku akan berusaha adil, Paman,” sahut Mas Arman.
“Adil? Walah tidak percaya aku. Adilmu sebatas apa? Baru hitungan hari menikah saja sudah kelihatan tidak adilnya. Itu barang-barang milik Fatki dipakai istri mudamu saja kamu tidak bisa tegas. Mikir Arman! Ini otak dipakai untuk mikir!” Paman menoyor kepala Mas Arman.
“I—tu karena Fatki juga mengizinkan,” elak Mas Arman. Dia memandang ke arahku meminta pembelaan.
“Bohong! Aku pun tidak ikhlas barang-barang milikku dipakai pelakor itu,” jawabku tegas. Mas Arman geleng-geleng kepala dia terlihat sekali marah padaku.
“Nah, kamu dengar sendiri bukan! Kamu, Mbak kalau ngomong dipikir dulu, tadi aku dengar kamu tidak sudi rumah ini dihuni Fatki. Kok, lucu ini tanah milik Fatki kalau mau ngusir dia bayar dulu tanahnya.” Ibu tidak bisa berkutik lagi beliau diam seribu bahasa begitu juga dengan Mas Arman.
“Juna ajak adik-adikmu masuk, kita bantu Mbakmu Fatki angkat dipan dan yang lainnya ke kamarnya yang sekarang.” Juna ke teras memanggil adik-adiknya. Hebat paman Tohir tidak melibatkan pembicaraan orang dewasa dengan anak-anaknya.
“Eh ... maksudnya apa, nih?” tanya ibu.
“Ya, barang Fatki.” Ibu tidak terima beliau mencoba menghalangi. Sedang Mas Arman terlihat pasrah.
Saat kami masuk kamar Reni sedang tidur pulas hanya memakai lingerie. Mas Arman sigap menutup badan Reni pakai selimut dan membangunkannya.
"Ren, bangun!"
"Apa si, Mas? mau minta lagi? Besok pagi saja ya, aku capek," jawab Reni. Mas Arman terlihat sekali malu.
"Bukan, itu. Ayo, cepetan bangun!" Reni bangun hendak menyibakkan selimutnya, tapi dicegah Mas Arman.
"Hah, kenapa kamar kita jadi ramai begini, Mas?" tanya Reni kaget.
"Ayo, bangun dulu! Ini pakai jaketnya ayo kita keluar!"
Meski terlihat kesal Reni menurut saja. Pandangan kami bertemu Reni tersenyum sinis padaku. Ck, dasar perempuan tidak tahu malu. Lihat saja habis ini tidak akan bisa tersenyum lagi.
"Mas Kenapa kita keluar? Aku sangat ngantuk," tanya Reni dia bergelendot manja pada Mas Arman.
"Juna, Rafa, Riski, ayo bantu, Bapak!" Paman dan anak-anaknya cekatan mengeluarkan isi lemari ditaruh di kasur semua.
"Aaaa! Kalian apakan barang-barangku. Hei, berani sekali kalian!" Reni berteriak histeris Mas Arman kewalahan karena Reni berontak.
"Ini pasti ulah kamu kan, perempuan mandul! Dasar tidak tahu diri!" umpat Reni padaku. Semua orang yang ada di sini heran dengan mulut Reni. Paman dan bibi sampai geleng-geleng kepala.
"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku." "Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi. Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat. Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri. Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini. Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi. "Dik, aku mau bicara padam
🌸🌸🌸Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.“Mbak, pinjam tas ini, ya?” Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.“Enggak boleh! Pakai saja tasmu!” Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.“Pelit banget sih, Mbak!” teriaknya.“Emang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!” jawabku santai.“Ibuuuuu!” Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.“Ada apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!” sahut ibu sewot.“Aku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,” rengek Intan.“Perkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”“Tapi, Dik?”“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.“Lah,
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
🌸🌸🌸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~U🌸🌸🌸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!” Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.“Bu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?” Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.“Aku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
“Ah, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!” Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.“Mbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,” pamitnya. Aku mengiyakan.“Heh, mau ke mana kamu!” Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.“Jangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!” Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.“Punya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!” ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
🌸🌸🌸“Aku akan adukan semuanya pada Mas Sam!” Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.“Adukan saja, aku tidak takut!” jawab ibu.“Mas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,” pinta Intan.“Mas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,” jawab Mas Arman.“Ck, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,” gerutu Intan.“Pokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!”Mas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.“Cuma segini? Mana cukup!”“Enggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.”“Ayo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.” Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.“Sudah sana, Mas kerja.”“Hari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,” jawab Mas
🌸🌸🌸“Dik, aku rindu padamu,” ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.“Aku ngantuk Mas, aku mau tidur,” tolakku halus.“Kamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,” ucap Mas Arman lagi.“Lakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,” jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.