Share

BAB 7. Tidak takut.

Jalan dari rumah menuju rumah Paman Tohir ternyata membuat perutku sedikit ngilu dan keringetan. Punggungku basah.

Rumah paman Tohir tampak ramai seperti habis ada acara. Mereka semua ada di teras.

Begitu melihat kedatanganku Bibi Irma langsung menyambut dengan senyuman ramahnya.

“Assalamualaikum, Bi?” Kuambil tangannya lalu kucium takzim cipika cipiki. Hanya bibi dan Citra anak bibi yang masih SMA yang bersalaman denganku. Paman dan anak-anak lelakinya tidak karena kami bukan muhrim.

“Enak sekali aku dibawain martabak telor. Makasih ya, Mbak Fatki,” ucap Citra girang.

“Sama-sama.”

“Ayok, masuk!” Paman dan bibi mempersilakan aku masuk.

“Ada apa malam-malam begini sendirian ke sini? Apa bertengkar dengan suamimu?” tanya paman to the point.

“Em ... aku mau minta tolong Paman sama anak-anak untuk membantu angkat dipan dan juga lemari dipindahkan ke kamar belakang.”

“Nah, ini sudah aku duga. Arman itu tidak akan bisa berbuat adil. Lahwong ngaji aja enggak pernah kok nekat poligami segala.” Paman terlihat sangat geram pada Mas Arman.

“Itu kan, hasil didikan adikmu, Mas. Arman itu seperti tidak punya otak mau saja menuruti kemauan ibunya.”

Aku jadi tidak enak paman dan bibi malah berdebat.

“Fatki.  Mertuamu bilang kamu sudah setuju Arman menikah lagi, katanya biar cepat punya momongan. Apa itu benar, Nak?” tanya bibi hati-hati. Suaranya pelan sekali.

“Bibi, mana ada wanita yang mau di duakan. Mas Arman menikah aku sama sekali tidak tahu kalau tidak ada yang memberi tahuku,” jawabku jujur.

“Jadi waktu Arman menikah kamu di mana? Kalau kamu bilang tidak tahu. Mertuamu bilang kamu pulang kampung karena tidak mau merusak acara sakral suamimu,” kata bibi lagi.

Aku tersenyum getir mendengar pengakuan dari bibi.

“Aku di rumah sakit, Bi. Aku dirawat karena keguguran.”

“Apa!” Bersamaan Paman dan Bibi teriak. Mereka pasti tidak menyangka kalau aku sakit.

“Benar-benar keterlaluan mertuamu itu. Kalau tahu kamu di rumah sakit dan kamu tidak tahu suamimu nikah lagi tidak sudi Paman datang ke sana,” ucap paman.

“Kami juga tidak tahu kalau kamu sedang hamil, Nak. Kamu juga masih aktif menjahit,” ujar bibi.

“Halah, Bu. Kamu kan, tahu sendiri Fatki ini pekerja keras apa lagi dia yang selama ini membantu Arman cari uang. Paman benar-benar marah pada Arman,” sahut paman.

“Ya, sudahlah Bi. Mungkin ini sudah takdir hidupku yang harus aku jalani. Jika nanti aku tidak kuat aku memilih mundur Bi. Kita mau mengumpat bagaimana pun juga semuanya sudah terjadi. Meski sulit aku akan berusaha untuk menjalaninya dulu. Aku tidak ingin tiba-tiba pulang dalam keadaan begini. Biar orang tuaku tahu dengan sendiri,” ucapku jujur. Bibi mengelus pundakku.

Bukan aku yang menangis, tapi bibi dan Citra yang menangis. Mungkin aku sudah kebal jadi tidak bisa sembarangan lagi air mata keluar.

“Maafkan adik dan keponakan Paman, ya, Nak. Kami akan berusaha untuk mengingatkan mereka atas sikap mereka.”

“Paman tidak perlu minta maaf. Bukan paman yang salah.”

“Ya, sudah, ayo berangkat! Malam ini kita pindahkan barang-barangmu.”

Paman beranjak ke belakang memanggil anak-anak bujangnya. Anak paman ada 4 perempuannya hanya Citra.

🌸🌸🌸

Kami pulang bersama ke rumah ibu. Kami sengaja jalan kaki karena memang hanya berjarak 300 meter.

Sampai rumah keadaan sudah gelap padahal baru jam 20.30 WIB. Paman Tohir menghela nafas. Beliau terlihat kesal sekali.

Aku beruntung sekali memiliki keluarga seperti Paman Tohir mereka begitu baik padaku dan selalu membelaku. Padahal aku ini keponakan ipar.

“Assalamualaikum ... Bu!” Aku sedikit berteriak agar kedengaran.

“Apa! Enggak usah pulang kamu! Sana tidur di luar!  Tidak sudi rumahku ditempati orang seperti kamu!” jawab ibu dari dalam. Suaranya terdengar jelas pasti ibu ada di ruang tamu.

“Assalamu’laikum. Buka, Mbak!” Kali ini paman yang salam.

Tidak menunggu lama pintu langsung dibuka.

“Ka—kalian ada apa malam-malam begini ke sini?” tanya ibu, sepertinya beliau memang takut pada paman Tohir.

“Kamu ngadu apa sama pamanmu, Fatki!” Ibu murka padaku.

“Fatki tidak bilang apa-apa, Mbak!” bentak paman.

“Kalau enggak ngadu apa-apa kenapa kalian ke sini ramai-ramai begini sudah seperti mau demo saja.”

“Memang kamu mau demo. Fatki tidak ngadu apa pun dia hanya menjawab pertanyaan kami dengan jujur,” sahut paman.

“Ma—kasutnya apa, ya?”

“Ada apa, Bu? Eh, Paman?” Mas Arman menyalami keluarga paman lalu duduk gelisah di dekat ibu.

“Arman! Kamu laki-laki kenapa punya otak tidak dipakai? Istri sakit keguguran kamu tinggal kawin lagi. Kamu memalsukan data kalau istrimu setuju. Parah kamu! Ingat Fatki ini masih punya orang tua kalau kamu sudah tidak cinta lagi kembalikan baik-baik pada orang tuanya. Bukan kamu perlakukan seperti ini. Dan kamu, Mbak! Jadi orang tua harusnya mengarahkan ke hal yang bagus untuk anaknya bukan malah menjerumuskan begini!” Paman Tohir lantang bersuara tidak ada yang berani menyela.

“Kamu tidak di posisiku, Tohir! Aku ingin cucu sedang Fatki tidak bisa ngasih!” Ibu pun tidak kalah lantang menentang ucapan paman.

“Owalah otak kok di taruh dengkul jadinya konslet begini! Perkara hamil itu mutlak kuasa Allah, Mbak. Hanya DIA yang berhak memberi kita sebagai manusia tidak bisa menuduh orang sembarangan. Fatki tidak mandul dia selama berumah tangga dengan Arman sudah hamil 3 kali. Itu artinya dia subur. Kamu Arman harusnya menolak permintaan tidak masuk akal dari ibumu ini bukan malah dengan senang hati kamu kawin lagi. Edan kamu! Aku rasa inilah yang buat Fatki keguguran terus. Dia punya suami tidak bertanggung jawab kerjaan pun tidak jelas. Kasih makan satu istri saja tidak becus kok mau ngasih makan dua istri. ” Paman makin murka karena ibu membantah.

“A—aku akan berusaha adil, Paman,” sahut Mas Arman.

“Adil? Walah tidak percaya aku. Adilmu sebatas apa? Baru hitungan hari menikah saja sudah kelihatan tidak adilnya. Itu barang-barang milik Fatki dipakai istri mudamu saja kamu tidak bisa tegas. Mikir Arman! Ini otak dipakai untuk mikir!” Paman menoyor kepala Mas Arman.

“I—tu karena Fatki juga mengizinkan,” elak Mas Arman. Dia memandang ke arahku meminta pembelaan.

“Bohong! Aku pun tidak ikhlas barang-barang milikku  dipakai pelakor itu,” jawabku tegas. Mas Arman geleng-geleng kepala dia terlihat sekali marah padaku.

“Nah, kamu dengar sendiri bukan! Kamu, Mbak kalau ngomong dipikir dulu, tadi aku dengar kamu tidak sudi rumah ini dihuni Fatki. Kok, lucu ini tanah milik Fatki kalau mau ngusir dia bayar dulu tanahnya.” Ibu tidak bisa berkutik lagi beliau diam seribu bahasa begitu juga dengan Mas Arman.

“Juna ajak adik-adikmu masuk, kita bantu Mbakmu Fatki angkat dipan dan yang lainnya ke kamarnya yang sekarang.” Juna ke teras memanggil adik-adiknya. Hebat paman Tohir tidak melibatkan pembicaraan orang dewasa dengan anak-anaknya.

“Eh ... maksudnya apa, nih?” tanya ibu.

“Ya, barang Fatki.” Ibu tidak terima beliau mencoba menghalangi. Sedang Mas Arman terlihat pasrah.

Saat kami masuk kamar Reni sedang tidur pulas hanya memakai lingerie. Mas Arman sigap menutup badan Reni pakai selimut dan membangunkannya.

"Ren, bangun!"

"Apa si, Mas? mau minta lagi? Besok pagi saja ya, aku capek," jawab Reni. Mas Arman terlihat sekali malu.

"Bukan, itu. Ayo, cepetan bangun!" Reni bangun hendak menyibakkan selimutnya, tapi dicegah Mas Arman.

"Hah, kenapa kamar kita jadi ramai begini, Mas?" tanya Reni kaget.

"Ayo, bangun dulu! Ini pakai jaketnya ayo kita keluar!"

Meski terlihat kesal Reni menurut saja. Pandangan kami bertemu Reni tersenyum sinis padaku. Ck, dasar perempuan tidak tahu malu. Lihat saja habis ini tidak akan bisa tersenyum lagi.

"Mas Kenapa kita keluar? Aku sangat ngantuk," tanya Reni dia bergelendot manja pada Mas Arman.

"Juna, Rafa, Riski, ayo bantu, Bapak!" Paman dan anak-anaknya cekatan mengeluarkan isi lemari ditaruh di kasur semua.

"Aaaa! Kalian apakan barang-barangku. Hei, berani sekali kalian!" Reni berteriak histeris Mas Arman kewalahan karena Reni berontak.

"Ini pasti ulah kamu kan, perempuan mandul! Dasar tidak tahu diri!" umpat Reni padaku. Semua orang yang ada di sini heran dengan mulut Reni. Paman dan bibi sampai geleng-geleng kepala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status