Share

BAB 8. Ika otewe pulang ke rumah

"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku."

"Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi.

Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat.

Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri.

Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini.

Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi.

"Dik, aku mau bicara padamu dari hati ke hati." Mas Arman menarik lenganku saat aku mau masuk kamar.

"Bicaralah."

"Dik, tolong sekali ini saja. Reni tidak terbiasa tidur di kasur lantai begitu nanti dia bisa sakit. Jadi, Mas minta tolong kamu ngalah, ya?"

"Apa! Ooo ... jadi gitu ceritanya. Enak saja aku tidak akan mengalah untuk sesuatu yang sudah aku dapatkan dengan susah payah. Kecuali suami seperti Mas Arman. Malahan aku bersyukur kalau pisahan."

"Tidak! Aku sudah katakan sampai kapan pun aku tidak akan ceraikan kamu."

"Ya, sudah kalau gitu enggak usah ngatur- ngatur. Beli aja sendiri itu semua aku beli dari hasil jerih payahku. Enak saja dipakai sama pelakor." Mas Arman pasrah di menunduk lama sekali aku tinggal masuk kamar. Terserah kalian perang dunia juga tidak apa-apa yang penting aku bisa tidur nyenyak malam ini.

~K~UšŸŒøšŸŒøšŸŒø

"Fatki bangun!" Pintu kamarku digedor-gedor ibu. Sudah seperti rentenir penagih hutang saja.

Kulihat jam memang sudah siang, sudah 6.30 WIB karena aku sedang tidak salat jadi santai. Semalam aku minum obat setelah keluarga paman pulang. mungkin karena efek obat juga aku tidur sangat lelap biasanya selalu dengar azan subuh dan alarm. Lagi pula suami sendiri sudah ada yang mengurus jadi aku tambah santai.

"Tidur apa mati, kamu! Fatki!" Ibu makin kencang teriaknya. Jujur, kalau sudah diubrak-ubrak begitu jadi malas mau bangun.

"Fakti! Bangun!" Ibu tidak mau menyerah rupanya. Kubuka jendela udara pagi masuk sangat segar. Aku jadi ingin menanam beberapa bunga di depan jendela kamarku ini jadi ada yang bisa dipandang. Baiklah, pagi ini aku akan pergi ke penjual kembang mau beli bunga mawar, melati, dan anggrek.

"Eh, dasar ya, orang gila! Dipanggilin enggak dengar malah senyum-senyum sendiri sambil meluk tralis jendela. Sinting kamu itu!" Sebenarnya aku kaget karena ibu tiba-tiba ada di depanku pas. Andai tidak terhalang jendela pasti ibu sudah dengan mudah memainkan tangannya untuk memukulku.

"Bangun, sudah siang buat sarapan kami sudah lapar" pinta ibu. Ck, kebiasaan di pagi hari ternyata tidak membuatnya jera menyuruhku. Kutinggalkan ibu kembali duduk di ranjang. Ibu kembali ke dalam.

Dasar aneh, dari pada sibuk bangunin orang kan, lebih baik dipakai untuk masak.

Tepat jam 7 pagi aku ke luar kamar. Orang rumah sedang sarapan nasi bungkus kalau tercium dari aromanya sih, sepertinya mereka beli nasi uduk.

"Dik, sini ikut sarapan!" ajak Mas Arman. Ah, pasti dia ada maunya karena bersikap manis begitu.

"Eh, makasih Mas. Aku enggak biasa sarapan nasi uduk begitu. Lebih baik aku makan nasi biasa dengan telur ceplok," tolakku.

"Belagu, orang kampung saja enggak doyan uduk!" maki Reni dan aku tidak ambil pusing. Karena memang aku tidak biasa sarapan nasi uduk.

"Sudahlah Reni, jangan begitu. Kamu semalam sudah janji, kan, mau bersikap manis pada Fatki." Apa kupingku tidak salah dengar. Duh, drama apa yang sedang mereka mainkan.

Sedang asyik memasak nasi goreng ponselku berdering. Nasi goreng mata sapi aku bawa ke kamar.

Aku tidak mau sarapan bareng mereka lebih baik aku menghindar dari pada hati terus saja tersakiti.

Kulihat ponsel ternyata Mbak Sulis yang telepon. Aku seperti hanya punya teman Mbak Sulis saja karena dia yang rajin sekali menelepon dan juga kirim pesan. Padahal temanku di sini lumayan banyak. Bedanya mereka akan menelepon jika ada hal penting saja.

Aku sedang menikmati sarapanku jadi malas mau angkat teleponnya. Kalau penting juga nanti dia akan menelepon lagi atau malahan datang ke sini.

"Dik, Mas berangkat kerja dulu ya, doakan hari ini dapat rezeki banyak. Oh, iya, Mas mau minta ongkos dong, duit Mas habis." Luar biasa suamiku ini. Bersikap manis hanya untuk mendapatkan keuntungan.

"Aku tidak punya uang lagi, Mas."

"Kemarin kan, Mas sudah kasih uang, Dik. masa sudah habis."

"Loh, itu kan, uangku kenapa diminta lagi? Enggak ada. Minta saja sana sama Ibu," tolakku.

Ponselku kembali berdering, Ah, ini saat yang tepat dari pada aku berdebat dengan Mas Arman lebih baik aku angkat telepon dari Mbak Sulis saja.

"Assalamualaikum ... Mbak?" sapaku.

"W*'alaikumsalam ... eh, sibuk banget ya, Mbak Fatki. Aku dari tadi telepon dicuekin."

"Iya,  sedikit. ada apa, Mbak Sulis?" Begitu mendengar nama Mbak Sulis, Mas Arman langsung mengambil ponselku.

"Jangan banyak main dengan pembantu. Nanti ketularan jadi pembantu! Dengar kamu, Fatki!" Mas Arman sangat murka. Aneh sekali padahal biasanya tidak begini aku mau main dengan siapa pun asal orang baik dia selalu mengizinkan.

"Apaan sih, Mas! Kamu itu enggak sopan! Sini HP-ku." Kurebut HP dari tangan Mas Arman takut dibanting lagi.

"Hallo, Mbak. Maaf ya, Ini suami marah. Ada apa Mbak?" Untung saja Mbak Sulis tidak marah.

"Aku W* saja ya, Mbak. Maaf sudah mengganggu. Assalamualaikum ...."

"Baiklah. W*'alaikumsalam."

"Kalau kamu masih main dengan pembantu itu HP-mu aku sita!" Ancam Mas Arman.

"Silakan saja, maka aku akan pulang." Aku tidak takut ancaman Mas Arman.

"Kamu itu ya, kenapa sekarang susah banget sih, dibilangin!" Mas Arman kesal dan membanting pintu keluar.

Ting!

Pesan dari Mbak Sulis, dia mengirimkan sebuah gambar padaku. Setelah kuunduh ternyata skrinsut status W* si Ika.

[Mbak, ternyata nomorku enggak jadi diblokir sama itu orang. Lihat itu status W*-nya dia mau pulang ke rumah ibu mertua Mbak Fatki.]

{Otewe ke rumah suami.} Begitulah yang ditulis Ika.

Astaghfirullah apa Ika mau pulang ke sini, ya?

[Mbak?]

[Mbak Fatki, kok diem aja?]

[Mbak ....]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status