"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku."
"Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi.
Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat.
Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri.
Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini.
Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi.
"Dik, aku mau bicara padamu dari hati ke hati." Mas Arman menarik lenganku saat aku mau masuk kamar.
"Bicaralah."
"Dik, tolong sekali ini saja. Reni tidak terbiasa tidur di kasur lantai begitu nanti dia bisa sakit. Jadi, Mas minta tolong kamu ngalah, ya?"
"Apa! Ooo ... jadi gitu ceritanya. Enak saja aku tidak akan mengalah untuk sesuatu yang sudah aku dapatkan dengan susah payah. Kecuali suami seperti Mas Arman. Malahan aku bersyukur kalau pisahan."
"Tidak! Aku sudah katakan sampai kapan pun aku tidak akan ceraikan kamu."
"Ya, sudah kalau gitu enggak usah ngatur- ngatur. Beli aja sendiri itu semua aku beli dari hasil jerih payahku. Enak saja dipakai sama pelakor." Mas Arman pasrah di menunduk lama sekali aku tinggal masuk kamar. Terserah kalian perang dunia juga tidak apa-apa yang penting aku bisa tidur nyenyak malam ini.
~K~Ušøšøšø
"Fatki bangun!" Pintu kamarku digedor-gedor ibu. Sudah seperti rentenir penagih hutang saja.
Kulihat jam memang sudah siang, sudah 6.30 WIB karena aku sedang tidak salat jadi santai. Semalam aku minum obat setelah keluarga paman pulang. mungkin karena efek obat juga aku tidur sangat lelap biasanya selalu dengar azan subuh dan alarm. Lagi pula suami sendiri sudah ada yang mengurus jadi aku tambah santai.
"Tidur apa mati, kamu! Fatki!" Ibu makin kencang teriaknya. Jujur, kalau sudah diubrak-ubrak begitu jadi malas mau bangun.
"Fakti! Bangun!" Ibu tidak mau menyerah rupanya. Kubuka jendela udara pagi masuk sangat segar. Aku jadi ingin menanam beberapa bunga di depan jendela kamarku ini jadi ada yang bisa dipandang. Baiklah, pagi ini aku akan pergi ke penjual kembang mau beli bunga mawar, melati, dan anggrek.
"Eh, dasar ya, orang gila! Dipanggilin enggak dengar malah senyum-senyum sendiri sambil meluk tralis jendela. Sinting kamu itu!" Sebenarnya aku kaget karena ibu tiba-tiba ada di depanku pas. Andai tidak terhalang jendela pasti ibu sudah dengan mudah memainkan tangannya untuk memukulku.
"Bangun, sudah siang buat sarapan kami sudah lapar" pinta ibu. Ck, kebiasaan di pagi hari ternyata tidak membuatnya jera menyuruhku. Kutinggalkan ibu kembali duduk di ranjang. Ibu kembali ke dalam.
Dasar aneh, dari pada sibuk bangunin orang kan, lebih baik dipakai untuk masak.
Tepat jam 7 pagi aku ke luar kamar. Orang rumah sedang sarapan nasi bungkus kalau tercium dari aromanya sih, sepertinya mereka beli nasi uduk.
"Dik, sini ikut sarapan!" ajak Mas Arman. Ah, pasti dia ada maunya karena bersikap manis begitu.
"Eh, makasih Mas. Aku enggak biasa sarapan nasi uduk begitu. Lebih baik aku makan nasi biasa dengan telur ceplok," tolakku.
"Belagu, orang kampung saja enggak doyan uduk!" maki Reni dan aku tidak ambil pusing. Karena memang aku tidak biasa sarapan nasi uduk.
"Sudahlah Reni, jangan begitu. Kamu semalam sudah janji, kan, mau bersikap manis pada Fatki." Apa kupingku tidak salah dengar. Duh, drama apa yang sedang mereka mainkan.
Sedang asyik memasak nasi goreng ponselku berdering. Nasi goreng mata sapi aku bawa ke kamar.
Aku tidak mau sarapan bareng mereka lebih baik aku menghindar dari pada hati terus saja tersakiti.
Kulihat ponsel ternyata Mbak Sulis yang telepon. Aku seperti hanya punya teman Mbak Sulis saja karena dia yang rajin sekali menelepon dan juga kirim pesan. Padahal temanku di sini lumayan banyak. Bedanya mereka akan menelepon jika ada hal penting saja.
Aku sedang menikmati sarapanku jadi malas mau angkat teleponnya. Kalau penting juga nanti dia akan menelepon lagi atau malahan datang ke sini.
"Dik, Mas berangkat kerja dulu ya, doakan hari ini dapat rezeki banyak. Oh, iya, Mas mau minta ongkos dong, duit Mas habis." Luar biasa suamiku ini. Bersikap manis hanya untuk mendapatkan keuntungan.
"Aku tidak punya uang lagi, Mas."
"Kemarin kan, Mas sudah kasih uang, Dik. masa sudah habis."
"Loh, itu kan, uangku kenapa diminta lagi? Enggak ada. Minta saja sana sama Ibu," tolakku.
Ponselku kembali berdering, Ah, ini saat yang tepat dari pada aku berdebat dengan Mas Arman lebih baik aku angkat telepon dari Mbak Sulis saja.
"Assalamualaikum ... Mbak?" sapaku.
"W*'alaikumsalam ... eh, sibuk banget ya, Mbak Fatki. Aku dari tadi telepon dicuekin."
"Iya, sedikit. ada apa, Mbak Sulis?" Begitu mendengar nama Mbak Sulis, Mas Arman langsung mengambil ponselku.
"Jangan banyak main dengan pembantu. Nanti ketularan jadi pembantu! Dengar kamu, Fatki!" Mas Arman sangat murka. Aneh sekali padahal biasanya tidak begini aku mau main dengan siapa pun asal orang baik dia selalu mengizinkan.
"Apaan sih, Mas! Kamu itu enggak sopan! Sini HP-ku." Kurebut HP dari tangan Mas Arman takut dibanting lagi.
"Hallo, Mbak. Maaf ya, Ini suami marah. Ada apa Mbak?" Untung saja Mbak Sulis tidak marah.
"Aku W* saja ya, Mbak. Maaf sudah mengganggu. Assalamualaikum ...."
"Baiklah. W*'alaikumsalam."
"Kalau kamu masih main dengan pembantu itu HP-mu aku sita!" Ancam Mas Arman.
"Silakan saja, maka aku akan pulang." Aku tidak takut ancaman Mas Arman.
"Kamu itu ya, kenapa sekarang susah banget sih, dibilangin!" Mas Arman kesal dan membanting pintu keluar.
Ting!
Pesan dari Mbak Sulis, dia mengirimkan sebuah gambar padaku. Setelah kuunduh ternyata skrinsut status W* si Ika.
[Mbak, ternyata nomorku enggak jadi diblokir sama itu orang. Lihat itu status W*-nya dia mau pulang ke rumah ibu mertua Mbak Fatki.]
{Otewe ke rumah suami.} Begitulah yang ditulis Ika.
Astaghfirullah apa Ika mau pulang ke sini, ya?
[Mbak?]
[Mbak Fatki, kok diem aja?]
[Mbak ....]
šøšøšøAku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.āMbak, pinjam tas ini, ya?ā Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.āEnggak boleh! Pakai saja tasmu!ā Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.āPelit banget sih, Mbak!ā teriaknya.āEmang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!ā jawabku santai.āIbuuuuu!ā Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.āAda apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!ā sahut ibu sewot.āAku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,ā rengek Intan.āPerkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
āNah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,ā sahut ibu membela Reni.āBenar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?ā Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.āNo way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.āāTolonglah Dik, sekali ini saja.āāTidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.āāTapi, Dik?āāTidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.āāOh, jadi kamu ngatain anakku kere?ā Ibu tidak terima atas pernyataanku.āLah,
šøšøšøāIntan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!ā bentak bapak.āSampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!ā Intan menunjuk tepat di wajah bapak.āMau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,ā jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.āFatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?āāEm ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,ā jawabku bohong.āBaiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?ā ucap bapak lagi.āTidak sudi!ā Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
šøšøšøMenikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~Ušøšøšø"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!ā Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.āBu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?ā Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.āAku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
āAh, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!ā Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.āMbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,ā pamitnya. Aku mengiyakan.āHeh, mau ke mana kamu!ā Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.āJangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!ā Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.āPunya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!ā ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
šøšøšøāAku akan adukan semuanya pada Mas Sam!ā Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.āAdukan saja, aku tidak takut!ā jawab ibu.āMas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,ā pinta Intan.āMas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,ā jawab Mas Arman.āCk, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,ā gerutu Intan.āPokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!āMas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.āCuma segini? Mana cukup!āāEnggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.āāAyo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.ā Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.āSudah sana, Mas kerja.āāHari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,ā jawab Mas
šøšøšøāDik, aku rindu padamu,ā ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.āAku ngantuk Mas, aku mau tidur,ā tolakku halus.āKamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,ā ucap Mas Arman lagi.āLakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,ā jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
āOgah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!ā pekik Reni.āAku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.ā Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.āOh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,ā tolak ibu.āBenar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,ā ujar Intan.āHah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!ā teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.āIni uangnya. Fatki, ini bagianmu!ā Aku menghampiri mereka yang duduk di sof