Share

Part 4. Raya pingsan.

"Raya, Papa pulangnya masih nanti. Raya sarapan dulu. Nanti kalau Papa sudah pulang, boleh, jika Raya pingin disuapi sama Papa."

"Kenapa Papa belum pulang? Bukankah Papa harus pergi bekerja? Bagaimana Papa akan punya uang, jika Papa tidak bekerja? Bukankah semuanya itu, harus dibeli dengan uang?" Kalimat yang kemarin-kemarin sering diucapkan untuk memberi pengertian pada anakku, kini berbalik ke arahku.

"Sebentar lagi Papa juga pulang, asal Raya mau makan dan minum obat ...." bujukku.

"Kalau begitu, Raya mau makan sambil video call Papa. Biar Papa melihatnya. Biar Papa cepat pulang."

"Ok, boleh, kok! Video call, sambil makan yang banyak, ya? Biar Papa senang melihatnya!"

Aku lekas memberikan ponselku pada Raya. Gadis kecil itu terlihat mengusap-usap layarnya. Saat dia sedang fokus pada ponselnya, aku mengambil kesempatan memberikan satu suap menu sarapan ke mulutnya.

Namun tidak lama kemudian, aku mendengar Raya berteriak.

"Papa, sedang menggendong siapa?!"Raya menjerit dengan begitu histeris.

Aku terkejut, mendengar jeritan Raya. Lebih terkejut lagi, saat aku melihat gadis kecilku itu sudah melempar ponselku.

Aku pun penasaran, dengan apa yang Raya ucapkan. Siapa yang digendong oleh suamiku? Apakah istri atasannya yang kini telah menjanda itu?

"Raya, kok Raya kayak gitu?" Aku berbicara dengan lembut.

Tidak biasanya Raya bersikap seperti ini. Dia biasanya akan selalu bersikap sopan, bertutur kata penuh kelembutan, seperti yang selalu aku dan suamiku ajarkan. Kalau pun dia sedang marah, biasanya dia hanya akan diam, atau duduk menghadap tembok di pojok ranjang.

Namun pagi ini aku mendapati Raya yang berbeda. Dia tak ubahnya seperti anak yang sedang tantrum, dan belum jelas sebab pastinya.

"Raya, katakan pada Mama. Raya melihat apa, baru saja?"

Gadisku itu tetap terdiam. Kemudian dia mendekat ke arahku, terisak-isak dalam tangisan.

Kuangkat tubuh yang masih terasa panas itu. Kuletakkan sarapan yang baru berkurang satu suapan, kemudian kuambil ponsel yang tadi sempat terlempar.

"Tadi Raya melihat Papa sedang menggendong siapa, Sayang?" Kupasang jarik di pundak, dan bersiap hendak menggendongnya.

Namun Raya menolaknya. Dia turun dari gendongan, dan terhuyung-huyung berjalan ke luar.

Aku mengikuti langkahnya, sembari memegang pundaknya dari belakang. Raya duduk di kursi teras. Tatapannya kosong ke depan. Entah apa yang sedang gadis kecil itu pikirkan.

"Yang digendong oleh Papa, itu Tante-tante seumuran Mama, atau anak kecil seumuran Raya, atau bayi?"

Aku bertanya dengan pelan. Berusaha menekan rasa penasaran yang tidak karuan. Jika saja bukan Raya yang sedang kuajak berbicara, tentu saja aku sudah bertanya dengan keras, sambil menghentak-hentakkan tubuhnya.

Astaghfirullah hal azim. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku.

"Papa tadi menggendong anak kecil, seumuran Raya. Papa juga menyuapinya ...."

Deg. Ucapan Raya, serta merta membuatku menjadi berfikir keras. Siapa anak kecil yang digendong dan disuapi oleh suamiku?

Bukankah semalam Mas Abi pamit ingin pergi takziah?

Segera aku mencoba menyalakan ponsel yang telah mati. Berhasil. Ponsel itu masih bisa dihidupkan.

Segera kutelpon suamiku, ingin meminta penjelasan darinya.

Namun entah berapa kali aku mencoba menelponnya, panggilanku tidak diangkat juga. Hingga kesabaran yang sudah kugenggam dengan begitu erat, hampir saja bergejolak, jika saja aku tidak ingat ada Raya di sini.

Sebuah teladan baik pun harus kuberikan. Kelembutan bersikap pun harus kucontohkan, meskipun berbagai syak wasangka telah menggerogoti jiwa, hingga hatiku merasa begitu kesakitan.

Hati wanita mana yang bisa tetap tenang, jika ada yang bilang, bahwa suami kita, terlihat sedang menggendong dan menyuapi anak kecil? Apalagi berita itu jelas didengar dari anak sendiri, yang seratus persen bisa dipercaya kebenarannya?

Bukankah pekerjaan menggendong dan menyuapi itu, hanya pantas dilakukan oleh ayah kepada anaknya, atau oleh kakek nenek kepada cucunya, atau oleh baby sitter kepada anak yang diasuhnya?

Ditambah lagi, setelah Raya melakukan video call kepada papanya, dan Raya melihat semuanya, kenapa justru saat aku menelponnya, panggilanku diabaikan begitu saja? Apakah dia memang sengaja melakukannya?

Kucoba menelpon lagi, namun panggilan itu sama sekali tidak terhubung. Kirimkan pesan pun, juga hanya ada centang satu. Itu artinya ponselnya memang sengaja dimatikan.

"Papa sudah tidak bisa ditelpon kan, Ma?"

Masih dengan nada yang sangat lemas, dengan punggung yang berstandar di sandaran sofa, Rayaku itu berbicara.

"Papa sudah tidak sayang sama Raya. Papa sudah punya anak yang lainnya. Tadi bahkan Raya melihat Papa tengah menyuapi anak itu ... Raya benci Papa!"

Raya berlari masuk ke dalam rumah. Aku segera menyusulnya. Namun sebelum aku berhasil mendapatkan tubuhnya, Raya sudah ambruk ke lantai.

Spontan, aku langsung membopong tubuh itu. Matanya terpejam, tubuhnya lemas seolah tak bertulang.

"Raya, bangun, Nak ...." Aku menepuk pipinya berkali-kali, sambil berteriak memanggil namanya berulang kali.

"Raya, bangun, Nak ...." Aku menepuk pipinya berkali-kali, sambil berteriak memanggil namanya berulang kali.

Ibu mertua datang tergopoh-gopoh dari arah pintu depan.

"Raya kenapa, Anjani?" Ibu mertua tampak mendekat ke arah kami. Mengambil cucu semata wayangnya dari dekapanku.

Ya, meskipun Ibu tidak begitu menyukaiku, namun beliau tetap menyayangi cucunya. Mungkin karena Raya memang adalah cucu satu-satunya.

"Huek ... huek ...." Raya membuka matanya. Namun dia langsung muntah begitu saja.

Nasi sarapan yang baru saja kusuapkan, kini telah dikeluarkan. Tepat mengenai baju ibu mertuaku.

"Obatnya sudah diberikan belum, Anjani?" Ibu mertua juga tidak kalah paniknya.

"Belum, Bu. Rencananya mau saya berikan setelah selesai sarapan, tapi baru dapat satu suapan, Raya sudah keburu pingsan."

"Ya sudah, lekas siapkan air hangat. Mandikan yang bersih, setelah itu sarapan, baru kasih obat!" Ibu mertua masih memangku Raya.

Aku segera berlalu dari hadapan beliau. Namun baru saja aku memutar badan, ibu mertua sudah kembali memanggilku.

"Anjani, kaki kamu kenapa?" Beliau menatap lepuhan di kakiku.

"Bukan apa-apa, Bu. Hanya terkena air panas saja." Aku kembali berjalan.

"Sudah dibawa ke dokter?" tanya ibu kemudian.

Aku hanya menggeleng pelan. Bagaimana mungkin mau dibawa ke dokter? Bahkan sejak semalam, aku harus mengurus Raya yang sakit, sendirian.

"Makanya, jangan ceroboh. Kerja itu harus teliti, harus hati-hati. Kalau sudah kayak gitu, kamu kan, yang merasakan sakit?"

Aku lebih memilih untuk segera pergi. Dari pada terus di sini, hanya akan mendengar ucapan yang nantinya akan membuatku sakit hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status