Share

Part 5. Sebuah noda.

Dengan cekatan, aku segera menyiapkan air hangat untuk memandikan anakku. Setelah semuanya siap, segera kuambil Raya dari pangkuan ibu mertuaku, untuk kumandikan. Ibu mertua pun pulang ke rumah sebelah.

Setelah mandi, suhu badannya Raya sudah agak mendingan. Tidak sepanas tadi malam. Bahkan, kuraba-raba, suhu badannya terasa seperti normal.

Aku pun lekas menyuapinya. Lumayan, sarapan pagi ini bisa termakan separuhnya. Obat pun kemudian kuberikan.

"Raya mau nonton tv?" Aku sudah menyalakan tv, memilih channel kesukaan anakku.

"Matikan saja tv-nya, Ma. Raya mau melukis. Sudah dua hari Raya tidak melukis."

Masyaallah, putriku yang belum sehat benar, ternyata sudah ingin memulai rutinitasnya. Dia memang tipe anak yang penuh semangat. Selain hobi melukis, Raya juga sedang belajar membaca dan berhitung. Kecerdasan Raya, terlihat lebih menonjol, jika dibanding dengan anak-anak seusianya.

"Raya, tidak usah belajar dulu tidak apa-apa. Nanti kalau Raya sudah sembuh, Raya mulai belajar lagi." Aku merasa kasihan dengan keadaannya yang belum pulih benar.

"Tapi Raya sudah sehat kok, Ma. Tulang-tulangnya Raya sudah tidak sakit lagi." Anak itu berjalan mengambil perlengkapan melukisnya.

Sebuah buku gambar besar, pensil, penghapus, dan juga cat air.

Tangan kecil itu mulai memegang pensil, dan bergerak-gerak di atas kertasnya. Dalam beberapa menit, sudah mulai tampak sketsa gambar yang ingin dilukisnya.

Hatiku teramat lega, melihat putriku sepertinya sudah pulih seperti biasanya. Semoga dia benar-benar sembuh, agar besok, aku bisa bekerja seperti biasanya. Dua hari ini aku terpaksa cuti, karena Raya sedang demam tinggi. Tidak mungkin kutinggalkan dia di rumah seorang diri.

Saat Raya sedang sibuk dengan kegiatannya, aku pun menunggu di sampingnya. Hal yang sering kulakukan, jika memang aku sedang ada waktu senggang.

Dari pagi hingga siang, Mas Abi tidak kunjung pulang. Kutelpon pun, tidak pernah diangkat. Mencoba kutelpon pihak kantor, mereka bilang, pagi tadi suamiku itu mengajukan cuti. Ingin bertanya banyak hal kepada orang kantor, aku merasa tidak enak, takut mereka akan berfikiran yang tidak-tidak.

Entah Mas Abi masih ada di rumah almarhum Arman atau tidak, aku tidak tahu. Jika dia memang berbohong atau mendusta pun, hanya dia dan Allah saja yang mengetahuinya.

Untuk menyusul suamiku ke rumah almarhum Arman pun, itu juga tidak mungkin bagiku. Aku masih punya rasa malu.

Raya melakukan kegiatan melukis, hingga siang. Bahkan dia sempat bilang, bahwa besok dia sudah siap untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya.

Selepas shalat zhuhur, aku segera memberikan dia makan siang, memberikan dia obat, dan kemudian kuajak untuk tidur siang.

Raya sudah terpejam, dengan nafasnya yang begitu lembut beraturan. Aku pun sebenarnya juga lelah dan mengantuk. Namun saat mataku baru bisa sedikit terpejam, tiba-tiba aku langsung terbangun.

Sebuah mimpi yang sangat buruk, terasa begitu mengejutkan. Aku terbangun dengan nafas yang tersengal.

Dalam mimpiku, aku seolah melihat suamiku yang sedang tidur dengan perempuan. Mimpi itu terlihat seperti begitu nyata.

Setelah bermimpi seperti itu, aku langsung kembali berusaha menelponnya. Namun lagi-lagi dia tidak mengangkat telponku.

Hingga aku menjadi begitu lunglai. Hanya duduk dengan tatapan kosong, dari siang hingga sore.

Sorenya, seperti biasanya, aku memasak untuk menyiapkan makan malam. Saat aku sedang sibuk di dapur, terdengar deru suara mobil suamiku yang berhenti di halaman.

Lekas kusongsong dia ke depan. Terlihat wajahnya yang menyiratkan kelelahan. Tangannya memeluk sebuah boneka besar. Boneka yang mungkin baru saja dibelinya untuk Raya.

Tanpa memperhatikan sedikit pun raut kesal, aku segera mencium tangannya, dan memberikan senyuman terbaik yang kupunya. Kusimpan dulu berbagai pertanyaan yang merongrong jiwa.

Bahkan setelah aku menerima boneka itu, aku rasanya ingin menghamburkan tubuhku di pelukannya. Namun dia menolakku.

"Jangan minta peluk. Aku masih bau tanah kuburan," ucapnya.

Akhirnya kami pun masuk ke dalam, dengan langkah beriringan.

"Saya buatkan teh ya, Mas?"

Dia terlihat mengangguk, kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Raya, mana?" Mas Abi bertanya.

"Masih tidur, Mas. Mungkin karena pengaruh obat," jawabku sambil berlalu menuju dapur.

Usai teh kubuat, tak kudapati suamiku di ruang tamu. Ternyata dia sedang mandi. Sementara, Raya masih tertidur pulas di kamarnya. Boneka yang tadi dibelikan oleh Mas Abi, sudah ikut terbaring di sampingnya. Pasti, suamiku yang sudah menaruhnya.

Sengaja, aku menunggu suamiku dengan duduk di bibir ranjang. Pandangan mata, melihat ke arah pintu kamar mandi yang mulai terbuka perlahan.

Suamiku keluar dengan rambut basahnya. Tubuhnya hanya berbalut handuk berwarna putih, yang menutupi bagian bawah pusar hingga atas lututnya.

"Sudah selesai, Mas?" Aku memberikan pakaian yang sudah kusiapkan.

Namun pandanganku justru menangkap adanya sesuatu yang janggal.

Aku melihat ada noda. Noda berwarna merah, di dada suamiku.

Kutatap lagi dengan lebih seksama. Lebih mendekat lagi ke arahnya. Bahkan kini tanganku telah terulur, menyentuh dadanya.

"Ini bekas apa, Mas?"

Aku bertanya dengan nada tinggi. Berbagai prasangka buruk, mulai menghantui. Aku mulai mengait-ngaitkan dengan mimpiku siang tadi.

"Oh, be--kas? be--kas a--pa, maksudmu?" Mas Abi gelagapan.

Lelakiku itu meraba-raba dadanya. Karena tidak sabar, maka aku lekas menyeretnya ke depan kaca, agar dia juga melihatnya.

"Oh ... ini? Ini mungkin tadi digigit nyamuk kuburan, Sayang, soalnya tadi kami agak lama di kuburan. Dan di sana banyak nyamuknya!" jawabnya cepat.

"Digigit nyamuk kuburan? Memangnya kamu di kuburan tadi tidak pakai baju?"

Suamiku kembali gelagapan, menghadapi pertanyaanku. Dia seperti tidak siap menghadapi seranganku.

"Em ... pakai baju, sih, tapi nyamuknya ganas-ganas. Mulutnya runcing. Bahkan celana jins pun, bisa tembus."

"Sudahlah, Mas. Aku bukan anak kecil. Aku tahu itu bekas gigitan apa. Yang jadi pertanyaanku, kamu melakukannya dengan siapa?"

Aku memutar tubuh suamiku dengan kasar. Kami yang tadinya berdiri berhadapan, kini dia menjadi membelakangiku.

Kuteliti sekujur tubuhnya. Dari ujung kaki hingga sampai ke ujung kepalanya. Hingga akhirnya, di belakang telinganya, aku juga menemukan noda yang sama.

Rasa sesak ini kian menyiksa dada. Mimpiku siang tadi, kembali terbayang dengan begitu nyata. Tapi dengan siapa suamiku melakukannya?

Tidak mungkin dia melakukan dengan istrinya Pak Arman. Di rumah itu pasti ada banyak orang.

"Sayang, please, jangan curigaan. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Lagi pula, cobalah kamu berfikir jernih. Mana mungkin aku sempat begituan. Aku tidak pergi ke mana-mana, selain di rumah duka dan di kuburan. Itu pun, di sana juga ada banyak orang. Kamu pakai nalar, dong. Atau kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja sama teman-teman kantorku." Mas Abi memberikan ponselnya kepadaku.

Entahlah, aku bingung. Jika dipikir, memang selama ini, kelakuan Mas Abi sama sekali tidak terdapat keanehan. Hanya sejak atasannya meninggal itu saja, kelakuannya menjadi menyebalkan.

"Sayang, percayalah sama aku. Aku sangat mencintaimu. Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benakku untuk menduakan kamu. Kamu adalah satu-satunya. Kalian itu sangatlah berharga ... kamu percaya kan, sama aku?"

Dia menatapku begitu dalam. Menatapku dengan penuh keyakinan, tidak sedikit pun memperlihatkan keraguan.

"Kamu itu perempuan yang cerdas. Berpikirlah yang jernih. Jangan karena hal yang seperti ini, kamu menjadi berfikiran buruk pada suami."

"Tapi tadi aku mimpi buruk, Mas ...."

"Mimpi buruk apa, Sayang ...."

"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status