Share

Part 3. Harus bagaimana?

Author: Enik Yuliati
last update Last Updated: 2023-07-06 05:47:00

Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah terbangun. Kulihat lampu sudah kembali menyala, lilin yang semalam pun sudah habis tidak bersisa.

Aku lekas menjulurkan kakiku, hendak turun dari ranjang. Namun aku justru dikejutkan dengan keadaan kakiku yang melepuh, berwarna merah kehitaman. Seperti ada banyak air yang tergenang di dalam kulitnya.

Dan rasanya, jangan ditanyakan. Panas bercampur perih, juga seperti ada rasa gatal yang tidak tertahankan.

Jika pun disuruh memilih, rasanya aku ingin berbaring saja, apa-apa tinggal minta. Tapi tentu saja, hal itu tidak akan bisa. Aku hanya bersama Raya saja. Tidak ada yang bisa kumintai tolong apa-apa. Meski rumah ibu mertua bersebelahan, namun tidak mungkin juga di pagi buta seperti ini aku akan membangunkannya. Apalagi mengingat ibu mertuaku yang sepertinya tidak begitu menyukaiku. Jangankan mau membantuku. Yang ada, nanti dia hanya akan kembali mengolok-olok penampilan dan pekerjaanku.

Akhirnya, dengan pelan dan hati-hati, aku pun melangkahkan kaki. Mulai melakukan rutinitas pagi. Meski jika digunakan untuk berjalan, lepuhan di kakiku ini seperti bergerak-gerak, seolah air yang ada di dalamnya hendak pecah dan tumpah keluar.

Kumasukkan semua pakaian kotor dan juga sprei, ke dalam mesin cuci. Sembari menunggu mesin cuci bekerja, aku menyibukkan diriku menyiapkan menu untuk sarapan pagi. Jika nanti Raya bangun dari tidurnya, aku berharap semua pekerjaanku telah terselesaikan, dan rumah pun sudah bersih dan rapi, sehingga aku bisa mengasuh Raya sepenuhnya.

Benar saja. Selang setengah jam kemudian, cucian sudah setengah kering, nasi sudah hampir matang, dan sayur pun sudah selesai memasaknya. Lauk sisa kemarin, hanya aku panaskan saja.

Bersamaan dengan adzan subuh yang berkumandang, aku lekas membersihkan diri, kemudian menunaikan kewajiban.

"Papa ...." Aku mendengar anakku merintih.

Dia masih memejamkan matanya. Wajahnya menoleh pelan ke kanan dan ke kiri.

Aku mendekatinya, melihatnya, sembari menempelkan punggung telapak tanganku di keningnya.

Panasnya masih tetap sama, belum turun juga. Ya Allah, kenapa belum turun juga suhu badannya.

"Mama, Papa mana? Sudah pulang, kan?" tanya dia, begitu matanya terbuka.

Kulihat kulit wajahnya tampak begitu putih, lebih putih dari biasanya. Bukan hanya putih, namun lebih terkesan kepada pucat. Sekitar matanya pun terlihat sangat cekung. Bibirnya kering, nyaris pecah-pecah, berwarna merah, lebih merah dari hari-hari sebelumnya. Baru dua hari demam, namun sudah terlihat jelas, perbedaan wajahnya. Kasihan sekali dia.

"Mama kenapa diam?" Suara lirih itu membuyarkan pikiranku.

"Sebentar lagi Papa pulang. Papa sedang takziah. Ada temannya yang meninggal dunia." Aku menjelaskan dengan nada yang lembut, dengan bahasa yang sederhana.

"Bukankah semalam Papa sudah berjanji akan pulang? Kenapa ini sudah pagi, Papa belum pulang juga? Kenapa Papa bohong? Bukankah Papa sendiri sering bilang, bahwa berbohong itu adalah perbuatan dosa?" Raya mengungkit janji papanya.

"Nanti insyaallah pulang, Sayang. Orang meninggal itu, jika belum dikubur, harus ditemani. Kasihan kalau ditinggal sendiri." Aku mencoba membuat alasan.

"Apakah semua yang hidup itu nantinya akan meninggal?" tanya Raya kemudian.

"Iya, Sayang. Bahwasanya semua yang hidup itu akan mati. Semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Begitu juga dengan nyawa kita."

"Tapi Raya tidak mau meninggal. Raya ingin sembuh. Raya ingin menjadi anak yang pintar, menjadi kebanggaan Mama dan Papa. Raya sayang sama Mama. Raya sayang sama Papa ...." Anak itu menangis lagi.

Apakah aku salah memberikan jawaban?

"Jangan menangis, Raya, ya? Mama yakin, Raya pasti akan sembuh. Insyaallah, kita semua akan diberikan umur panjang ...." Aku berusaha menghiburnya. Mengusap kepalanya, dan kemudian mencium pipinya.

"Raya mau Papa ...."

Inilah yang paling aku khawatirkan. Raya sangat dekat dengan papanya. Dan jika dia sudah menanyakan papanya, maka akan sulit untuk dibujuknya, kecuali jika memang papanya sedang bekerja.

Mungkin karena papanya kebanyakan bekerja di luar rumah, dan tidak memiliki banyak waktu untuk kami, membuat Raya merasa bahwa waktu bersama papanya, sangatlah berarti.

"Nanti Papa juga pulang, Sayang ... sabar, ya?"

Ya, seharusnya jika memang hanya sekedar takziah, tengah malam tadi juga sudah pulang. Karena jarak tempuh antara rumah kami dengan rumahnya almarhum Pak Arman, hanya sekitar seperempat jam. Sementara, semalam Mas Abi berangkat jam sepuluh malam.

Atau jika memang dia tidak bisa pulang, bukankah seharusnya dia memberikan kabar, agar hati istrinya ini menjadi tenang?

Mendadak aku merasa tidak enak. Takut terjadi apa-apa padanya. Jangan-jangan tadi malam dia sudah berusaha untuk pulang, tapi ada hal buruk di perjalanan. Ya Allah ....

Lekas kuambil ponselku, ingin menanyakan kabarnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mulai mencari nomor kontaknya.

Ada tulisan berdering, saat aku menelponnya. Namun sepertinya panggilan telponku tidak kunjung diangkatnya. Bahkan hingga panggilan ini mati dengan sendirinya.

Mendadak pikiranku menjadi berkelana ke mana-mana. Mengingat semalam, cuaca memang sangat tidak bersahabat. Hujan turun dengan sederas-derasnya. Apalagi ditambah berita adanya beberapa pohon yang tumbang di pinggir jalan.

Tidak putus asa, aku pun kembali mencoba menelponnya. Kemudian panggilan pun tersambung.

"Assalamualaikum, Mas ...."

"Waalaikum salam ...."

"Mas kenapa telponku dari tadi tidak diangkat? Mas baik-baik saja, kan?" tanyaku kemudian.

"Maaf, tadi sedang sibuk, jadi tidak sempat mengangkat telpon."

"Mas kapan bisa pulang? Raya menanyakan Mas ...." Aku mulai berbicara ke inti persoalan.

"Jenazah Pak Arman belum dikebumikan. Rasanya tidak pantas, jika Mas pulang duluan. Keluarganya masih sangat berduka. Bahkan istrinya pingsan berkali-kali. Kamu tangani saja Raya. Toh hanya demam biasa, kan? Kamu tolong mengertilah. Cobalah berfikir, seandainya kamu yang ditinggal mati oleh suamimu, bagaimana perasaanmu. Jangan egois jadi orang." Telpon pun langsung dimatikan dari seberang, tanpa aku diberi kesempatan untuk menjelaskan.

Apa tadi dia bilang? Aku egois?Seketika, hatiku terasa ada yang perih, mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh suamiku itu.

Ya, mungkin aku memang salah. Seharusnya aku mengerti, seharusnya aku memaklumi. Mereka sedang berduka. Sedangkan anakku, hanya demam biasa saja.

"Bagaimana, Ma? Papa bilang apa?" tanya Raya lagi.

"Papa akan pulang sebentar lagi, Sayang. Jangan khawatir." Aku mengusap kepalanya.

Gadis kecil bermata bulat itu nampak begitu kecewa. Tiba-tiba air matanya meleleh, membasahi pipinya yang terlihat sedikit tirus itu.

"Raya sarapan, ya? Habis itu minum obat. Raya pingin sembuh, kan?"

Raya diam saja. Tidak menjawab perkataanku. Aku pun lekas mengambilkan sarapan untuknya.

"Makan, ya?" kuulurkan satu sendok menu sarapan padanya.

Namun Rayaku itu tak kunjung membuka mulutnya. Dia mengunci rapat, bibir atas dan bawahnya.

"Raya mau disuapi sama Papa ...." ucapnya kemudian.

Gadis kecil itu terlihat begitu nelangsa dan memprihatinkan. Berkali-kali aku mencoba menyuapi, namun dia selalu menolak, ingin menunggu papanya, dia bilang. Jika sudah seperti ini, aku harus bagaimana?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 15. Meminjam suami.

    POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 14. Langkah kaki suamiku.

    POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 13. Sangat enak.

    POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 12. Bujukan syetan.

    POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 11. Terpergok di ruang IGD.

    POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur

  • VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU    Part 10. Aku harus menyelidikinya.

    POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status