Share

Arrogant beginnings

"Chloe?"

"Nancy?"

Betapa terkejutnya mereka ketika saling menyebutkan nama. Chloe tidak dapat menutupi raut wajah kagetnya bertemu Nancy di sini. Sesosok gadis dengan rambut pirang yang menjadi temannya di sekolah menengah. 

Tak beda jauh dengan Nancy, kedua mata gadis itu membulat sempurna melihat Chloe di tempat terbuka seperti ini. Maksudnya, suatu kejadian langka menemukan seorang Chloe di bawah langit. Berada di halaman rumah Dave saja rasanya tidak mungkin. Apa lagi berada di sini? Di suatu tempat umum yang jaraknya lumayan jauh dari kediaman Dave. 

"Apa yang kau ingin lakukan ditempat ini, Chloe?" 

Chloe tak langsung menjawab. Matanya mengerjap bingung, ia masih tidak percaya akan bertemu teman lamanya di sini. 

"Kau sendiri, sedang apa di sini?" Nancy berdecak melihat tingkah konyol Chloe yang malah mengutarakan pertanyaan kembali. Nancy dibuat gemas. 

"Tentu saja, aku seorang mahasiswi di sini, apa lagi." Nancy menjawab sebelum Chloe membuka suaranya.

Tampak senyuman tipis terpatri di wajah Chloe. Syukurlah, ada satu orang yang ia kenal di sini. Jadi, Chloe tidak terlalu merasa asing dan kesepian di hari pertamanya ini.

"Aku juga, aku akan berkuliah di sini. Mulai hari ini!" Chloe menjawab dengan senyuman lebar yang menampilkan deretan gigi putihnya. 

Tanpa menyadari raut wajah Nancy yang berubah pucat seakan tengah dicekik kuat-kuat hingga darahnya tidak mengalir ke atas. 

"Apa?!" Nancy memekik hingga seluruh atensi pasang mata menoleh ke arah mereka. Chloe kehilangan senyumnya karena ikut terkejut.

Lalu, buku yang yang masih di peluk Chloe segera Nancy ambil dan menyerahkan pada pria tinggi yang dipanggil Leo tanpa menoleh.

Nancy menarik tangan Chloe menuju belakang suatu ruangan yang ia tebak sebuah gudang. Tempat sepi di universitas yang jarang dilalui orang.

Leo yang sedari tadi hanya diam, kini memperhatikan dua gadis yang baru saja membelah kerumunan. Kerutan di keningnya seolah memberitahu bahwa ia tengah berfikir. Melihat wajah Chloe seolah tidak asing. Seperti pernah melihat, pikirnya.

***

Garvin membuka tutup botol soft drink yang baru saja ia beli sembari berjalan menuju mobil. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu mobil, Garvin disambut dengan panggilan masuk di ponselnya.   

Meletakan botol minuman itu pada dashboard mobil dan mulai menggeser tombol hijau di layar. 

"Hallo?"

"Kau ada di mana?" 

Bukannya membalas sapaannya, sosok diseberang sana malah menanyakan keberadaannya. Garvin nampak menggaruk keningnya, bingung. Ingin menjawab jujur, tapi ia malas dengan rentetan pertanyaan dari sosok diseberang sana yang selalu ingin tahu.

"Kau sedang di kantor?" sahut Garvin, mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, aku sedang berada di Cafe biasa dekat lampu merah. Apa kau bisa menemuiku sekarang? Aku ingin berbicara sebentar denganmu."

Seraya mengulum bibirnya, kini Garvin tengah berpikir. Seperti yang sudah-sudah, gadis yang menghubunginya ini akan meminta bertemu dan biasanya berakhir Garvin akan menolak. Bukan tanpa alasan, ia tidak mau terjadi salah paham yang akan membuat Dave menyakiti Chloe kembali.

"Aku juga ada info mengenai kantor. Kau seharusnya datang untuk menghandle rapat siang ini, Vin. Apa kau lupa?"

Botol minuman itu ditenggak habis tak bersisa lalu menghela napas panjang. Omong-omong soal kantor, Garvin memang sudah direkrut dalam perusahaan iklan dan kini menjabat sebagai Art Direktur. Berbekalan kreativitasnya dalam hal menggambar, membuat Samuel tidak mengalami kesulitan menangani kantor meski ia terkadang tidak menyeluruh menjalankan tugasnya. Beruntung, ia selalu mendapat kompensasi izin dari atasan sebab pekerjaannya yang selalu bagus. 

Dari penjelasan di atas, tentu saja jika Garvin sesosok pria yang cukup mapan meski masih kalah jika dibandingkan Dave. Lalu, kenapa ia bisa berakhir menjadi pelayan Dave? Tentu saja, jawabannya hanya Chloe. Ia hanya ingin selalu melihat adiknya itu bagaimanapun keadaannya.

"Garvin? Kau masih di sana?" 

Segera tersadar dan mengusap wajahnya. Pandangannya teralih pada hamparan gedung fakultas di samping yang berjejer rapih. Dari sekian banyaknya makhluk yang berlalu, ada Chloe di sana. 

Sebetulnya, jika ia tidak memiliki pekerjaan Garvin tidak ingin meninggalkan Chloe. Namun, sikap profesional yang harus dibutuhkan di sini.

"Aku akan segera ke sana." selepas mengatakan itu, Garvin memutuskan sambungan. 

'Aku ingin mengurus pekerjaanku. Aku akan kembali setengah jam lagi.'

Pesan itu terkirim pada Chloe dan Dave. Garvin menghela, menjadi mahasiswa di hari pertamanya mungkin saja tidak membuat Chloe pulang cepat. Jadi, tidak masalah jika ditinggal sebentar. Garvin akan segera kembali ketika urusannya telah selesai.

Memutar stir mobil dan Garvin langsung menancap gas meninggalkan area universitas. 

***

Dave yang sedang makan siang disebuah restoran sushi ketika pesan dari Garvin masuk di ponselnya. Ia hanya membacanya sekilas dan bergidik acuh, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku jas yang ia pakai.

Menopang dagu seraya mengunyah makanan, Dave melihat ke arah kaca jendela yang menampilkan aktivitas kota Surabaya sekarang ini. 

Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Beberapa memegang ponsel atau menerima panggilan seraya berjalan. Anak-anak kecil terlihat asik bermain di taman seberang restoran. Banyak pasangan yang duduk di sisi taman seraya bergurau.

Endusan napas Dave terdengar kala melihat satu pasangan yang tengah saling menyuapi makan siang mereka di bawah pohon teduh. Sangat menggelikan, cibirnya.

Sumpit yang ia pegang terjulur, mengambil potongan sushi dan memakannya. Tempat yang asri dan rindang ini sedikit menghilangkan penatnya dari pekerjaan.

Hingga detik berikutnya, bola mata hazel milik Dave menangkap sebuah televisi yang tengah menyiarkan sebuah infotainment dengan berita seorang model cantik yang berhasil memenangkan ajang fashion week di London. 

Rahang Dave mengeras ketika layar segi empat itu dipenuhi dengan sosok gadis cantik yang tengah berlenggak-lenggok di atas panggung. 

Dave berdecih dan tak lama ia merasa detakan familiar di dadanya. Detakan yang masih sama seperti dua belas tahun silam. Tidak ada yang berubah, hanya kondisi dan situasi yang sangat bertolak belakang.

Celine Stewart. Gadis berwajah oriental dengan mata sipit dan kulit putih mulus. Tinggi proporsional dengan bentuk tubuh yang bagus. Memiliki otak cerdas dan ramah pada siapapun. Hampir mendekati kata sempurna yang diidamkan para gadis di luaran sana. 

Tak hanya mengenal nama, Dave sudah mengetahui seluk beluk gadis itu sedari kecil. Bagaimana raut wajah takutnya ketika hendak berenang. Bagaimana bahagianya gadis itu mengayuh sepeda selepas ia ajari setiap pulang sekolah. Sosok gadis yang sempat mengucap kata bersama selamanya di antara mereka. Tentu saja, mereka sahabat. 

Semua yang ada di diri Celine dapat Dave ingat dengan apik. Terlebih lagi, ketika Celine menolak pengakuan cintanya dan terang-terangan mengakui jika ia menyukai Garvin. Dave yang baru pertama kali merasakan jatuh hati harus merasakan pedihnya ditolak oleh orang terkasih. 

Pada mulanya, hanya ada Dave dan Celine, sampai dipertengahan tahun semester dua Garvin hadir diantara mereka. Hingga persahabatan yang sudah terjalin sedari orok itu harus berubah, senyuman hangat Celine terbagi dua oleh Garvin. Dave tidak suka. Dan, mulai saat itu kepribadian Dave berubah menjadi dingin dan arogan.

Tepukan di bahunya membuat Dave terkesiap. Lalu, mencibir sosok pria tinggi yang baru saja tiba di sampingnya seraya memegang iPad mini.

"Kau! Dasar bedebah! Mengangetkan ku saja!"

"Maaf, Pak. Jam makan siang sudah habis, saatnya meeting."

Dave mendengus seraya bangkit dan merapihkan setelan jasnya. "Baiklah."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status