"Uhuk! Uhuk!" Mawar pelaku pengunggahan video tersedak atas pertanyaan suamiku, membuat mertuaku menoleh padanya dengan tatapan curiga.
Tampaknya, mertuaku tidak tahu jika aksi penggosipan yang dia lakukan di depan keluarga besarnya direkam dan disebarkan Mawar di grup WA keluarga."Minum dulu," kataku dengan wajah dan suara dingin saat mengulurkan segelas air putih pada adik iparku.Mawar tampak terkejut sebelum meraih air dariku, lantas meneguknya TANPA berterima kasih. Bukan hal aneh, orang yang mudah mencela rata-rata diikuti dengan kebiasaan alergi untuk mengucapkan maaf dan terima kasih."Kamu sampai tersedak. Apa memang ada sesuatu yang terjadi di rumah Tante Santi? Ada masalah dengan acaranya?"Buru-buru mertuaku menyahut, "Tidak, tidak, semuanya berjalan lancar. Rasanya Mama sampai iri pada Santi.""Kenapa, Ma?""Kau tahu Aji, si Windi, calon istri Rico itu sangat luar biasa. Dia wanita karier yang sukses, berasal dari keluarga terhormat, sangat cantik, modis, pinter, dan GADIS. Mertuaku tersenyum sesaat sebelum mencebik dan melirik sinis padaku. "Tidak seperti istrimu."Aku tahu, maksud mertuaku menekankan kata 'gadis' itu. Memang, sejak pertama, Mama tidak setuju Mas Aji memilihku sebagai istrinya. Alasan utamanya ya, karena statusku sebagai seorang janda. Padahal, Mas Aji pun duda. Jadi, mengapa Mama masih saja mempersoalkan hal itu? Lagipula bukan mauku menjadi janda karena suami pertamaku meninggal dalam kecelakaan sebelum genap sebulan kami menikah."Mama jangan iri, menantu Mama ini juga nggak kalah hebat." Mas Aji merangkulku dengan senyum bangga."Hebat dari mana?! Kerjaannya molor dan males-malesan di kamar. Cantik tidak, pelit iya. Diajak ke acara tunangan Rico saja nggak mau!""Ma ... 'kan Mama yang melarangku untuk ikut.""Nah ini, bantahnya nomor satu. Apa-apa nggak dipikir dulu, langsung ngeyel saja. Lha kamu kira kenapa Mama larang kamu ikut?""Ya Mama nggak maulah di-bully semua orang karena bawa menantu seperti Mbak Retno.""Nah, ini adikmu jauh lebih pinter! Heran Mama, sudah lama jadi menantu di rumah ini nggak pinter-pinter juga. Bikin Mama dongkol saja setiap hari."Aku hanya mengatakan satu kalimat, mertuaku membalasnya dengan omelan. Ditambah dengan ucapan Mawar yang tidak ada hormat sama sekali pada kakak iparnya."Mama, jangan berbicara seperti itu. Tidak perlu membandingkan Retno dengan siapa pun. Aku cinta pada Retno yang seperti ini. Dan kamu Mawar, jaga ucapanmu! Ingat, Retno ini kakak iparmu. Menghinanya sama seperti menghina kakakmu sendiri.""Aji, kamu tuh kebiasaan belain Retno terus. Jadi ngelunjak dia di rumah ini. Kamu 'kan seharian di kantor. Kamu nggak tahu bagaimana sikap istrimu pada Mama dan Mawar selama kamu nggak ada di rumah. Kadang-kadang Mama tuh berpikir, rasa cintamu pada istrimu itu sudah menghapus rasa sayangmu pada Mama. Sakit rasanya, Aji."Mulailah mertuaku dengan dramanya, berpura-pura menangis sebagai 'korban' paling menderita. Jelas-jelas ucapannya lebih pantas jika aku yang mengatakannya.Di depan Mas Aji saja dia memakiku seperti itu, apalagi di belakang suamiku, di belakangku?Dadaku terasa sesak teringat video itu. Kupejamkan mata sesaat sembari mengatur napas agar lebih tenang."Maafkan aku, Ma. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama."Aku menggertakkan gigi mendengar suamiku meminta maaf. Dia tidak bersalah! Memang seorang anak harus hormat dan berbakti kepada orang tuanya, terutama pada ibu, tetapi bukan berarti membenarkan dan memakluminya saat melakukan kesalahan.Ketika aku membuka mata, terlihat Mas Aji memeluk ibunya dengan wajah penuh penyesalan, sedangkan mertuaku tersenyum miring menatapku.Hatiku sudah tidak kuat menahan diri untuk menyembunyikan video keji itu. Aku pun berdiri dan meninggalkan meja makan."Retno! Retno! Sayang!" Mas Aji memanggilku. Sepertinya dia khawatir aku tersinggung atau sakit hati.Sementara itu, Mawar memulai peran yang selama ini dilakoni, menjadi KOMPOR. "Lihatlah Mas, nggak sopan banget. Mbak Retno pergi begitu saja tanpa pamit atau minta maaf. Itu dilakukan di depan Mas lho! Padahal Mama 'kan nangis gara-gara dia."Biarkan saja dia memanas-manasi Mas Aji untuk membenciku. Kita lihat, setelah aku kembali ke ruang makan membawa video itu, apa yang akan dikatakan Mawar? Juga mertuaku tersayang!Apa mereka masih bisa menjadikanku sebagai 'pendosa' di depan Mas Aji?Setelah sampai di kamar, aku langsung mengambil ponselku yang ada di atas nakas. Kulihat grup WA keluarga suamiku. Dan persis seperti dugaanku, video itu telah dihapus.Aku tertawa kecut. Mawar memang telah menghapusnya dari grup, tetapi tidak menghapusnya dari memori ponselku. Dengan video di tanganku didukung komentar-komentar jahat para anggota grup yang tidak dihapus, pembelaan macam apa yang akan dikatakan mertua dan iparku?Aku bergegas turun ke lantai satu, berjalan cepat menuju ruang makan. Terlihat, suamiku masih berdiri memeluk ibunya selagi Mawar terus mengoceh mengatakan entah."Retno ..." panggil Mas Aji tersenyum lega melihatku menuruni tangga.Aku tersenyum miris menapaki setiap anak tangga. Betapa kasihan suamiku memiliki ibu dan adik yang sangat ....Sebuah napas kabur dari mulutku. Tampaknya tidak ada lagi kata dalam kamus yang bisa mewakili kelakuan Mama dan Mawar."Aku senang kamu kembali, Sayang." Mas Aji memegang tanganku lembut. "Sekarang kamu minta maaf dulu ya pada Mama.""Padaku juga!" sambar Mawar sambil melipat kedua tangannya di depan dada."Tunggu dulu, Mas. Tadi kamu tanya, apa ada sesuatu yang terjadi dalam acara pertunangan Rico dan Windi.""Ya.""Sebelum aku meminta maaf pada Mama dan Mawar, sebaiknya kamu lihat dulu video dokumentasi acara itu yang diunggah MAWAR di grup WA keluargamu.""Jangan!" Wajah Mawar pucat ketika Mas Aji meraih ponselku. "Ma-maksudku, Mas Aji nggak usah lihat video itu. Nggak penting juga, itu hanya ....""Nggak papa, Mawar. Aku juga ingin lihat kehebohan yang terjadi di rumah Tante Santi. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di acara itu tadi. Terima kasih ya kamu sudah merekam dan membagikannya di grup."Rasakan! Petiklah buah dari apa yang kau tanam. Kugeser pandanganku ke Mama. Wajahnya tidak kalah pucat dari Mawar. Meski mungkin dia tidak tahu video apa yang hendak disaksikan putranya, kecemasan di wajah Mawar sudah cukup membuatnya turut was-was juga."Lihat baik-baik Mas. Jangan lewatkan satu detik pun." Aku tersenyum sebelum duduk dan menyesap air putih. Entah sejak kapan air jernih menjadi semanis ini.Mas Aji menekan layar ponselku. Seketika itu pula kedua alisnya bertaut hingga hampir menyatu melihat dan mendengar sang ibu mengolok-olok istrinya seperti ... sampah di hadapan banyak orang, di depan keluarga besarnya.Sementara itu, M
Aku benar-benar seperti melihat sisi lain suamiku. Di balik sikapnya yang selalu ramah, lembut, dan penyayang, ternyata Mas Aji bisa menjadi sesangar ini. Dan semuanya demi ... aku."Aku minta maaf Mbak Retno.""Uhuk! Uhuk!" Aku sampai tersedak ludahku sendiri melihat Mawar mengulurkan tangannya padaku. Dia benar-benar menuruti perintah Mas Aji.Tentu saja Mawar takut suamiku tidak memberikan uang padanya. Secara, selama ini dia selalu meminta ini dan itu pada Mas Aji. Dan, nyaris selalu dituruti.Aku menyambut tangan adik iparku sambil mengingatkan, "Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan burukmu itu. Selain merugikan aku secara pribadi, tindakanmu itu juga mencoreng nama keluarga kita."Hening.Mungkin di balik bungkamnya Mawar dan Mama saat ini, mereka tengah menghujatku dalam hati. Terserah! Aku tidak peduli. Yang jelas, mereka harus diberi pelajaran berharga agar tidak seenaknya sendiri."Mawar, dengar apa yang dikatakan kakak iparmu?""Aku mengerti.""Bagus. Sekarang c
Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian."Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku. Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya."Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno.""Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseora
Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat."Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku. Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu
Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. "Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas.""Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum."Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti j
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju