Tak lama berselang, Retno kembali membawa kotak kado. Dia tersenyum lebar, mungkin membayangkan reaksi sang suami saat mengetahui kado tersebut. Sementara itu, Mayang dan Mawar yang sejak awal telah merendahkan Retno, terlihat tersenyum mengejek. Keduanya telah merencanakan, bahwa setelah Retno menunjukkan kado ‘murahannya’, mereka akan mengajak Aji pergi ke garasi demi melihat mobil mewah yang telah terbungkus indah. “Apa aku membuatmu menunggu lama?” Aji mengelap mulutnya dengan tisu. “Jangankan hanya sesaat, sepanjang hidup pun aku rela menunggumu.” “Mas Aji! Malu sama Mama dan Mawar!” tegur Retno dengan suara rendah, membuat mertua dan iparnya tersenyum paksa. Dia pun duduk di samping suaminya. Sambil menyerahkan kotak kado pada Aji dia berkata, “Bukalah, Mas.” Aji menyempatkan untuk meneguk air setelah menerima kado dari istri tercinta. Dia menatap Retno dengan binar di matanya. “Sayang, kamu tahu ini tidak perlu karena kamulah kado terindah untukku. Tapi tak apa, aku terima
Meski ragu apakah ucapan sang istri memang apa yang diharapkan untuk dilakukan, sebab telah menjadi rahasia umum bahwa terkadang perempuan justru mengatakan apa yang tidak diinginkan, Aji tetap mengiyakan. “Baiklah, aku akan mengambilnya.”“Ye! Cepet ya Mas!” sahut Mawar penuh semangat, membuat dirinya mendapat tatapan tajam dari sang kakak.Aji pun beranjak dari meja makan. Selama dia pergi, tidak ada obrolan antara Retno dengan mertua dan iparnya. Dia lebih memilih untuk menghabiskan makanan di piringnya, sedangkan Mayang dan Mawar terlihat sedang berbisik-bisik, meski itu terlalu keras untuk disebut ‘berbisik’.“Tidak tahu malu ya, Ma. Masa hadiah dari orang lain diakui sebagai hadiah darinya! Kalau aku, ya sudah pasti malulah. Emang nggak punya harga diri apa, sampai segitunya pengen dipuji.”“Hush! Sudah jangan ngomong terus, habiskan makananmu. Kalau ada yang dengar bisa panjang nanti urusannya. Mama nggak mau kakakmu minggat dari rumah.”Sudah barang tentu Retno bisa mendengarn
"Ini, arloji."Mawar menatap ibunya. Dia jelas berpikir bukan itu yang ada di dalam kotak kado. Semestinya ada replika kunci mobil beserta sebuah pesan yang menerangkan hadiah besar yang telah diberikan. Walau demikian, dia tetap teguh pada pemikirannya, bahwa Siska-lah yang membelikan mobil mewah untuk Aji."Oh, ya ampun, Mbak Siska! Dia kasih double gift untuk Mas Aji, Ma. Duh enak banget jadi Mas Aji, Mama.""Double gift?" Aji semakin tidak mengerti."Iya, Nak. Maksudnya, Siska 'kan sudah ngasih kamu hadiah super yang telah diantar ke rumah tadi pagi. Nah, ditambah lagi dengan arloji mewah itu. Begitu."Aji menarik napas panjang. "Mama, aku benar-benar tidak mengerti." "Oke-oke tidak masalah. Sebentar lagu kamu akan segera tahu. Tapi Aji, apa itu hanya ... arloji? Maksud Mama, arloji saja atau ada yang lain. Sebuah catatan mungkin.""Ini hanya, arloji." Aji mengangkat arloji itu supaya ibu dan adiknya yang sejak tadi berbicara sangat aneh bisa melihat lebih jelas.Seketika itu pul
Mawar terkekeh, menertawakan pengakuan dari kakak iparnya. Dia lantas menatap tajam Retno. “Mas Aji tidak ada di sini. Jadi, aku akan berkata jujur.” Dia memegang pundak kakak iparnya. “Sebenarnya aku dan Mama itu sudah menduga sejak awal kalau Mbak akan mimpi. Bisa membeli mobil? Ahahaha bahkan gaji Mas Aji selama satu tahun saja masih belum cukup untuk membelinya. Lalu Mbak? Mbak itu tidak bekerja lho, lalu dapat uang sebanyak itu dari mana? Jadi, mendengar ucapanmu tadi, bagiku sama halnya dengan mendengar orang yang mengatakan melihat semut mengangkat gajah.”“Mustahil?”“Pinter.”“Baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi.”“Nah, begitukan enak. Ya udah, aku mau lihat mobil kakakku. Hm, kapan-kapan aku bisa meminjamnya untuk ngampus. Wih, pasti keren banget.” Mawar pun berlalu setelah menepuk-nepuk pundak Retno. Saking senangnya, dia sampai bersenandung.Retno hanya tersenyum miring melihat punggung iparnya menjauh. “Dan berbicara padamu, juga ibumu, itu seperti berbicara pada
Hening. Aji bergeming karena dia memang tidak bisa memberikan alasan pada ibunya. Dia memercayai istrinya semata-mata hanya karena ... percaya, tidak perlu sebab, tidak butuh alasan. “Nah, kamu tidak bisa jawab ‘kan! Itulah yang namanya percaya buta. Kepercayaanmu membuat kamu tidak bisa berpikir jernih. Tidak mempertimbangkan kelogisan. Bahkan sekarang istrimu juga hanya diam ‘kan? Dia tidak berusaha membela diri atau membuktikan kalau ucapannya benar. Kenapa? Ya karena dia memang berbohong. Lihat itu, dia malah asyik makan apel saat kamu dan Mama berdebat.”Sepanjang perrselisihan ibu dan anak itu, Retno memang hanya diam. Antara tidak ingin lelah terlibat pembicaraan yang sampai kapan pun tidak akan pernah memihak padanya, atau karena saat ini hatinya terasa sangat hangat, mengetahui sang suami mempercayainya tanpa syarat.“Mama mau? Ini sangat enak.” Retno sengaja berlagak bodoh mengulurkan potongan apel pada mertuanya.“Kan! Apa berlebihan kalau Mama menyebutnya kurang ajar?” s
“Setelah ini kamu akan tahu Aji, kepada siapa semestinya kamu percaya.”“Mama ...” ucap Aji setelah mengembuskan napas panjang.Tak lama setelah itu, Mawar kembali ke ruang makan. “Sini, Mas. Ayo cepet!”Melihat putrinya datang bersama seorang lelaki dengan senyum lebar, kening Mayang pun langsung berkerut. Dia berdiri dan bertanya, “Lho, mana Siska, Mawar? Lalu, ini .. kamu orang yang tadi nganterin mobil anakku ‘kan? Karyawan showroom itu?”“Benar, Bu. Saya ke mari untuk-““Tunggu-tunggu, Mawar kenapa kamu ajak Mas ini ke ruang makan? Memangnya tidak bisa menunggu di ruang tamu saja? Terus Siska mana? Jangan bilang kamu malah nyuruh dia nunggu di ruang tamu.” Mayang yang tidak melihat sosok calon menantu idamannya langsung memotong ucapan si karyawan.“Mama, yang datang bukan Mbak Siska, tapi Mas ini. Tapi tak apa, Ma. Tidak ada Mbak Siska, Mas ini pun nggak masalah. Dia bisa bantu kita buat jelasin ke Mas Aji, siapa sebenarnya yang membeli mobil mewah itu. Jadi kita tidak perlu rep
Mayang yang hatinya seperti ditumbuk palu besi, menyerahkan slip pembayaran itu pada Mawar. “Coba kamu baca. Sepertinya mata tua Mama mulai kabur.” Mayang mengucek-ucek matanya. Dia masih mengingkari fakta gamblang di depannya.Mawar pun membaca slip itu. Dan, dia memberikan reaksi yang sama dengan ibunya. Matanya membesar selagi mulutnya ternganga. “Mama, ini tidak mungkin.”“Makanya, sangat aneh ‘kan? Ini nggak bener. Pasti-”Merasa lelah dengan sikap ibu dan adiknya, Aji pun memotong ucapan dengan berkata, “Kenapa Ma, di situ benar tertera nama istriku ya? Jadi jelas ‘kan, yang membeli mobil memang Retno, bukan Siska atau orang lain?”Mayang menggeleng berulangkali. “Ini pasti istrimu sudah kongkalikong sama mas-mas tadi.”“Mama, jangan keterlaluan ngomongnya. Semua bukti sudah jelas, kenapa masih mengelak? Lagipula, kenapa Mama seperti nggak suka kalau Retno yang membeli mobil itu? Malah bagus kan, berarti selama ini Retno tidak seperti yang Mama dan Mawar tuduhkan.” Aji menoleh h
Pelipis Mawar dan Mayang berkedut. Mereka memang biasa berbincang dengan Siska untuk menggunjingkan Retno bersama-sama. Namun, kini Retno dan Aji juga mendengar apa yang dikatakan Siska. Jika dibiarkan, ini benar-benar akan menjadi senjata makan tuan. Akan tetapi, tidak mungkin juga kalau speaker itu dimatikan sekarang. Oleh sebab itu, sebelum Siska mengucapkan kata-kata yang semakin tidak pantas tentang Retno, Mawar langsung mengalihkan pembicaraan.“Mbak, ini ada masalah penting yang mau aku tanyakan. Masih soal kado.”“Oh, ya, ya, katakan Mawar. Ada apa?”“Selain arloji, Mbak ngado Mas Aji mobil mewah juga ‘kan?” Pertanyaan retoris Mawar sudah menjelaskan betapa yakin dia pada apa yang dianggap benar sejak tadi.Tawa Siska terdengar. “Mawar, iya sih uang aku memang cukup kalau buat beli mobil mewah.” Sontak saja senyum kemenangan yang sempat rendup kembali terpancar dari wajah Mayang dan Mawar. Namun, sepertinya itu pun tidak akan bertahan lama sebab Siska kemudian melanjutkan.“