Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Video Pernikahan Papa Bab 1 . “Tunggu ... ini mirip jam tangan papa.” Angga berbicara seorang diri. Matanya membulat sempurna saat melihat jam tangan yang mirip dengan milik papanya di sebuah video di I*******m. Saat berselancar di media sosial ia tak sengaja melihat sebuah video pernikahan dengan nuansa tak terlalu mewah, tapi cukup membuat dua mempelai merasa bahagia. Awalnya hanya karena iseng menonton dan mengabaikannya. Namun, tiba-tiba fokus Angga hanya terlihat pada jam tangan itu, juga jari-jari berwarna putih yang terdapat beberapa bulu halus di bagiannya. Video itu berasal dari tiktok, yang kemudian diunggah di I*******m oleh akun bernama Selly Anggraini. [Love you till the end.] Begitu caption yang ditulis oleh akun Selly yang dilihat oleh Angga. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu awalnya mengabaikan video itu, karena menurutnya sudah hal yang lumrah zaman sekarang semua hal diposting di sosial media. Namun, karena hatinya terlalu cemas untuk membiarkan pertanyaan-
Bab 2 * Angga turun dari tangga setelah siap memakai seragamnya. Sebuah rutinitas di keluarga itu untuk sarapan pagi bersama. Tak hanya sarapan, tapi makan siang, dan makan malam selalu bersama. Tak ada yang kurang di meja makan, kecuali Bima yang saat ini berada di luar kota. Angga memperhatikan mamanya menghidangkan makanan untuk mereka, anak-anaknya. Bahkan Inaya yang umurnya hampir genap delapan tahun, masih disuapi olehnya. Angga menatap wanita itu diam-diam. Memperhatikan bagaimana mamanya begitu lembut dengan anak-anaknya, dengan keluarganya. Tiba-tiba ada yang merasa teriris dalam hati Angga, membayangkan jika seandainya papanya benar berbuat curang. Jika itu terjadi, Angga tak akan bisa memaafkan papanya. “Dimakan, Ga. Jangan diliatin doang. Nggak enak ya?” tanya sang mama membuyarkan lamunan Angga. Ia sedikit terperanjat saat mendengar suara mamanya. “Iya, nih. Dari tadi Kak Angga melamun terus,” ucap Khanza, adik pertama Angga yang berumur tiga belas tahun. “Kapan sih
Bab 3*“Hore! Papa pulang!” teriak si bungsu dari arah depan pintu. Ia sedari tadi menunggu kepulangan Bima, karena mamanya bilang papa akan pulang sore ini. “Hai, putri kecil papa!” ucap Bima memberi sambutan untuk putri kecilnya. Ia mengangkat tubuh itu ke udara. “Udah berat, pasti makannya rutin ya?” tebak papanya menggoda Inaya sambil menurunkannya. Gadis kecil hampir berusia delapan tahun itu tertawa karena tebakan papanya benar. Pasalnya ia sering tak mau makan nasi, hanya bermodalkan jajanan di luar, atau paling mentok makan nasi cuma sedikit. Namun, akhir-akhir ini ia sudah rajin makan nasi. Nindita pun, tak kehabisan akal untuk mengolah makanan di dapur menjadi menu yang disukai suami dan anak-anaknya. “Kemarin Inaya malah minta nambah, Mas.” Nindita berkata. Itu artinya ada perkembangan pola makan Inaya. “Wah, hebat!” puji sang papa. Bima mencium pipi Inaya, setelah itu mencium kening Nindita sebagai kecupan rindu karena sudah seminggu tak bertemu.Angga dan Khanza turu