Bab 8
*
Siang hari Angga pulang ke rumah. Ia memperkirakan pulang saat jam pulang sekolah agar mamanya tak curiga. Ia sengaja menunduk saat berjalan masuk ke rumah, agar Nindita tak melihatnya. Sedikit lega hati Angga saat ia menginjakkan kaki di dalam rumah, sepi. Mungkin mamanya sedang membereskan dapur setelah tadi memasak. Aman. Angga menghela napas lega. Namun, harapan Angga sia-sia, karena saat ia baru saja menapaki tangga pertama, ia dipanggil oleh Nindita.
“Ga, makan dulu ya.” Nindita berkata.
“Iya, Ma.” Angga menoleh ke kanan di mana mamanya berada, ia masih sedikit bisa menyembunyikan wajah lebamnya karena mama berdiri menyamping.
Angga lekas naik ke kamar ingin mandi, karena terlalu gerah. Bukan hanya tubuhnya yang gerah, tapi juga hatinya masih terasa sangat panas.
Angga melempar tas di atas kasur, kamarnya terlihat sangat rapi, karena Nindita selalu mengajarkan anak-anaknya untuk membersihkan kamar sendiri, tak peduli cewek ataupun cowok, katanya kebersihan tidak hanya diwajibkan untuk cewek, jadi tidak ada kata malas untuk anak cowoknya, Angga.
Lelaki bertubuh tegap itu masuk ke kamar mandi, berdiri di bawah shower dan merasakan sensasi dinginnya air. Sedikit lega, tapi sama sekali tak bisa lupa. Sedikit lega, tapi tetesan air dari shower itu tak mampu menghilangkan lukanya.
Selesai mandi, Angga menatap wajahnya di cermin. Ia melihat pipi kirinya masih sedikit lebam, padahal di rumah Sam ia sudah mengompresnya dengan air dingin. Tamparan Bima begitu keras hingga memberi bekas tangan di pipi berkulit putih itu. Ini untuk pertama kalinya Bima memukul anaknya yang menurutnya sudah kelewatan.
Angga menyeringai di depan cermin, mengepalkan tangan dengan kuat. Entah harus dengan cara apa ia akan meredam amarahnya. Ia mendekat ke meja belajarnya, di mana tertata beberapa foto keluarga yang begitu harmonis. Angga dan Papa berdiri di samping kiri dan kanan, sementara Nindita dan dua adiknya duduk di tengah keduanya. Foto itu diambil setahun yang lalu, saat Angga masih kelas satu SMA. Angga dan Bima dalam keluarga itu sebagai tameng untuk mama dan adik-adiknya. Mereka tersenyum tulus begitu bahagia.
Angga tersenyum miris melihat foto itu, Bima sama sekali sudah berubah. Ia tak lagi seperti dulu yang mencintai dan melindungi keluarganya. Angga menutup bingkai foto itu, menelungkupkan di meja. Melihat wajah Bima membuat amarahnya meluap-luap dalam dada. Ia bahkan tak tahu harus memanggil lelaki itu siapa, karena seorang papa tugasnya adalah melindungi, bukan menghancurkan.
Angga turun dari kamar dan menuju meja makan. Saat ia berjalan di dapur, ia melihat mamanya sedang menyendok nasi ke dalam piring. Nindita sengaja tak makan bersama Inaya dan Khanza beberapa saat lalu, karena ia memang menunggu putra sulungnya. Ia ingin menanyakan sesuatu pada Angga, tapi tidak di depan dua adiknya, karena Nindita takut mereka kecewa pada kakaknya.
Angga menarik salah satu kursi di meja makan, dan duduk makan berdua dengan mamanya.
“Ayam?” tanya Nindita pada Angga.
Sejenak Angga melirik semua menu yang tersedia di meja makan. Ayam kecap adalah kesukaan keluarganya, termasuk papa. Namun, ia sama sekali tak berselera saat ini.
“Udang aja, Ma.” Angga mengambil dua udang besar yang dimasak santan oleh Nindita.
Keduanya makan dengan lahap, sesekali Angga menatap wajah mamanya. Ia tak bisa membiarkan raut wajah itu bersedih atau terluka. Angga sangat mencintai mamanya, wanita yang paling ia sayangi di dunia ini.
Tak terbayang olehnya orang lembut seperti Nindita tersakiti oleh seorang lelaki seperti papa. Angga sungguh tak bisa menerima.
“Ga!” panggil Nindita saat Angga menyudahi makan siangnya.
“Ya, Ma?” sahut Angga.
“Kamu bolos sekolah ya?” tanya Nindita langsung ke inti. Ia menatap mata Angga dengan lembut dan mengharapkan kejujuran di mata itu.
Angga pun sama, ia menatap mamanya dengan tatapan bersalah juga iba.
“Iya, Ma.” Angga menjawab jujur. Percuma ia berbohong tentang itu, karena dari raut wajah mamanya ia tampak sudah lebih dulu tahu, makanya bertanya secara langsung dari mata ke mata.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi saat wali kelas Angga menghubungi Nindita. Saat itu ia sedang berberes rumah dan begitu terkejut dengan pemberitahuan yang disampaikan oleh wali kelas anaknya.
Nindita merasa kecewa pada Angga, karena anak itu tak pernah bolos sekolah sebelumnya. Bahkan wali kelasnya pun terheran-heran dengan tingkah Angga hari ini.
“Kenapa, Sayang?” tanya Nindita menelusuri dengan baik apa yang mungkin sedang dirasakan anaknya. Nindita harus menjadi teman yang baik untuk anak remajanya. Sebagai seorang ibu, ya harus bisa memahami karakter anak-anaknya.
Angga masih diam. Di dalam kepalanya sibuk mencari jawaban dan kebohongan.
“Kalau ada masalah, cerita sama mama. Kamu nggak pernah bolos sebelumnya. Coba cerita, Ga!” Nindita ingin tahu.
“Tadi pas mau nyampe sekolah, Angga diserempet mobil, Ma. Aku jatuh dan pipiku sedikit kebentur aspal.”
Angga berbohong.
“Yang nyerempet malah lari nggak tanggung jawab. Syukur cuma kena pipi, Ma.”
“Astaghfirullah, Ga. Kamu harusnya telepon mama atau papa, biar bisa ke rumah sakit,” ucap Nindita khawatir. Ia mendekat pada Angga dan melihat wajahnya yang membiru akibat terbentur jalanan katanya.
“Tadi Angga mikirnya gitu, Ma. Tapi takutnya malah bikin papa sama mama khawatir. Jadi, Angga telepon Sam dan datang ke rumah bokapnya.”
Angga sejenak diam. Ia merasa salah karena sudah terlalu pintar berbohong. Beberapa kali melakukan kebohongan membuat ia terbiasa dan tak takut. Lagi pun, Angga berbohong demi kebaikan.
Ck! Angga berdecak dalam hati, meragukan bahwa ada di dunia ini yang namanya bohong demi kebaikan. Yang ada itu, berbohong demi kebaikan diri sendiri, dan kekecewaan bagi orang lain.
Satu sisi Angga merasa bersalah. Namun, di sisi lainnya ia merasa paling benar karena menjaga hati mamanya agar tak terluka.
Nindita jarang sekali main di sosial media, bahkan ia tak punya akun tiktok dan I*******m. Itu yang membuat Angga sedikit lega, karena kemungkinan video itu terlihat oleh mama sangat kecil. Jika mamanya melihat, ia pasti akan berpikiran sama seperti Angga sebelumnya. Ia pasti jadi curiga.
Kalau Nindita sedang bosan, ia bisa menonton film di rumahnya. Atau di aplikasi N*****x di ponselnya.
“Mama panik banget tau, pas wali kelas kamu nelpon. Kamu nggak bohongi mama, kan?” Nindita ingin memastikan. Ia menatap dua bola mata hitam milik Angga yang penuh keyakinan.
“Tadi mama hubungi papa, katanya ia juga nggak tau kamu bolos.”
Angga ingin tertawa sinis mendengar penuturan mamanya. Sepertinya mama memang masih begitu mencintai papa, dan menganggapnya masih seperti dulu. Tanpa ia tahu, bahwa ia telah kecolongan. Papa melakukan kecurangan, dan mama masih setia. Sementara Angga yang mengetahui itu semua serupa teriris hatinya.
“Mama jangan khawatir ya. Tadi Angga mau lanjut ke sekolah, gerbangnya pasti udah ditutup. Mau balik ke rumah, takut bikin mama panik, jadinya aku balik ke rumah Sam.” Angga menjelaskan.
“Harusnya ke rumah sakit, bukan ke rumah Sam, Ga!” ucap Nindita seolah tak setuju dengan apa yang telah dilakukan Angga.
“Kita ke rumah sakit ya,” pinta Nindita dengan lembut.
Angga menggeleng. Ia tak ingin ke rumah sakit. Memangnya apa yang sakit? Tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain dari rasa kecewa. Jika dokter dan para medis bisa menyembuh sakit itu, Angga bersedia datang dan membayar berapa pun.
“Nggak usah, Ma. Palingan besok lusa udah normal lagi. Angga nggak apa-apa, kok. Serius!”
Tanpa berkata lagi, Nindita langsung menuju dapur. Ia mengambil satu baskom air dingin dan handuk kecil. Perlahan ia mengompres wajah memar Angga dengan lembut.
“Besok kamu pergi sekolah sama papa aja ya! Jangan bawa motor, bahaya! Syukur tadi nggak ada polisi, kan? Kalau ada polisi malah berurusan lagi sama mereka.”
Mendengar nama papanya disebut membuat Angga seolah sedang dibakar hatinya. Namun, di depan mama ia tetap harus bersikap normal.
“Nggak usah, Ma. Angga tetap bawa motor ya. Besok ada latihan basket. Latihannya nggak di sekolah, tapi di GOR.”
Nindita menghela napas panjang. “Tapi, janji hati-hati! Mama mau kamu selalu pulang dengan selamat.”
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya