Waktu terus bergulir dengan cepat, hari pun telah berganti petang karena mentari yang bertugas menyinari telah kembali ke peraduan.
Aku masih duduk di balkon apartemen, memandangi bintang nan berpendar temaram, juga bulan sabit yang melengkung di langit seolah tengah tersenyum mengejek ke arahku.Bayang wajah Devi terus menari-nari dalam ingatan, juga senyuman yang selalu terkembang terus saja menghantui pikiran.Aku merindu, ingin segera bertemu dan kembali hidup bersama.Ah, mengapa mendadak perasaan benci melebur begitu saja, seolah sirna hanya karena mengingat senyumannya?Aku tidak boleh terus memikirkan dia. Harus bisa kembali bangkit, menata hidup yang sudah hancur berantakan, bila perlu mengajak Ambar kembali sebelum talak tiga kulayangkan.Iya. Ambar. Dia pasti masih mau menerima diriku kembali. Aku harus kembali mendekati dia, berpura-pura baik juga berubah untuk meyakinkan perempuan itu agar bisa mengambil kembali hatiMenutup pintu, mengganti kata sandinya kemudian segera pergi menemui Devi di rumah yang aku belikan sebagai hadiah ulang tahunnya dulu. Semoga saja dia berada di sana dan bisa diajak bicara baik-baik. Aku tidak mau kehilangan uang dalam tabungan juga apartemen, sebab tinggal itu harta yang kumiliki.Rumah Devi terlihat sepi ketika mobil milikku menepi. Pintu pagarnya masih digembok, sementara daun-daun kering berserakan di halaman. Sepertinya rumah itu sudah lama tidak dihuni. Kemana perempuan itu dan keluarganya? Nggak mungkin kan dia pulang ke kampung halamannya, karena dia itu tidak pernah betah berlama-lama tinggal di daerah. Pasti sekarang dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya.Breng-sek! Hancur semuanya kalau sudah seperti ini. Ternyata rasanya sakit banget dikhianati orang yang begitu dicintai, yang selalu diprioritaskan juga dinomor satukan. Perih hingga hampir menghentakkan denyut nadi.Duduk bersandar di body mobi
Tanpa berkata apa-apa lagi lekas berlari masuk ke dalam mobil, kembali melajukannya meninggalkan kediaman Roy karena ingin segera sampai ke bank dan memblokir tabungan milikku.Dada ini terasa sesak bagai sedang tertimpa batu besar saat mencetak rekening koran dan ternyata Devi sudah melakukan transaksi dua kali di jam 23.34 dan 08.12, dengan total dua ratus juta. Sepertinya dia memang sudah merencanakan pencurian itu, sebab semalam aku keluar dari apartemen di jam setengah dua belas malam. Apes. Ini yang namanya sudah jatuh, ketimpa tangga, kejatuhan genteng pula. Sial bertubi-tubi.Setelah mengamankan rekening walaupun tidak semuanya selamat, sekarang tinggal memikirkan nasib sertifikat apartemen. Aku takut Devi menyalahgunakan sertifikat tersebut, dan yang lebih fatal jika dia secara diam-diam malah menjualnya. Bisa tambah jadi gembel aku nanti.Arghh!!!Semua masalah ini bagai gulungan ombak maha dahsyat yang tiba-tiba datang da
"Saya tunggu secepatnya. Kalau Bapak tidak segera membayarnya, saya akan datang kembali dan menghancurkan semua yang Bapak miliki!" ancamnya sambil mengayunkan kaki keluar dari ruangan, membanting pintu dengan begitu keras hingga fotoku bersama Devi yang masih menggantung di bilik dinding jatuh dan pecah terbelah.Aku berusaha bangkit, merapikan kemeja yang sudah berantakan lalu duduk memaku di kursi singgasana yang mendadak terasa begitu tidak nyaman di duduki.Bagaimana ini. Uang tabungan tinggal sedikit, hutang bertumpuk, sementara sertifikat apartemen sekarang berada di tangan Devi.Sial banget hidupku. Aku pikir Devi benar-benar tulus mencintai aku seperti yang selama ini dia ucapkan, ternyata semua kata yang keluar dari mulutnya hanya dusta belaka. Dia tidak ubahnya seperti lintah penghisap darah.Menjambaki rambut sendiri, benar-benar pusing dengan semua problema yang tengah kujalani. Sekarang, kepada siapa aku harus meminta pertolongan jug
Aku terus mengamati sepeda motor berwarna hitam yang masih terparkir di halaman sekolah. Terlihat masih baru dan bagus. Jika dijual sepertinya masih bisa menghasilkan uang yang lumayan.Namun, jika aku kembali melakukan itu, pasti Azriel akan semakin benci, karena dulu saja ketika Devi menyuruhku mengambil motor sport yang aku hadiahkan untuknya dia terlihat begitu marah. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama lagi."Faza, sini, Nak!" teriakku memanggil teman sekelas Azriel, dan remaja seusia anakku itu segera berjalan menghampiri."Ada apa, Om?" tanyanya kemudian dengan nada sopan."Titip kunci motornya Azriel." Memberikan kunci motor yang sempat aku ambil dari si sulung kepada bocah berusia tujuh belas tahun itu."Iya, Om." Dia melekuk senyum sambil menatapku."Oh, iya. Kamu kan dekat dengan anak saya, tolong bujuk dia untuk mau menghormati saya sebagai ayahnya. Jangan jadi anak durhaka, karena biar bagaimanapun dalam dara
"Aku masih mencintai dia, Roy!" Lelaki yang usianya terpaut lebih muda dua tahun dariku itu tertawa renyah, seolah ada yang lucu dengan ucapan yang terlontar dari mulutku."Cinta? Cinta apa, Ris? Kalau cinta tidak akan pernah menyakiti. Kamu sudah menggores luka begitu dalam di dinding hatinya. Kamu sudah meluluhkan lantakkan perasaan dia, membuat perempuan itu menitikkan air mata karena pengkhianatan yang kamu lakukan. Sekarang, setelah kamu dicampakkan oleh Devi, kamu masih berani bilang soal cinta?"Aku menunduk diam mendengar ceramahnya. Dia memang lebih muda, akan tetapi entah mengapa aku tidak pernah berani mendebat dia. Hatiku selalu merasa luluh jika bersitatap dengan Roy."Kamu itu ibarat membuang berlian hanya demi sebongkah batu, Ris. Sekarang menyesal pun sudah tidak ada artinya," nasihatnya lagi, seperti belum puas menelanjangi diriku."Terus aku harus bagaimana, Roy?" Menatap mata sendu itu."Taubat, kamu juga
POV Devi.Memantas diri di depan cermin, menatap wajahku yang semakin cantik memesona juga tanpa cela. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menolak pesona Devi, termasuk si Haris, laki-laki yang sudah lama aku incar, tetapi selalu saja cuek dan terlalu bucin kepada Ambar.Bukannya tidak tahu berterima kasih karena dulu perempuan itu pernah menyelamatkan hidupku, ah, mungkin kata-kata menyelamatkan hidup itu terlalu berlebihan. Dia hanya memberikan setetes darah saja, masa iya aku harus bertekuk lutut dan selalu merasa berhutang budi kepadanya? Lagian, siapa suruh dia sok baik dan mendonorkan darah untuk aku. Kalaupun dia tidak mendonorkannya, sudah pasti pihak rumah sakit akan mencarikannya di PMI, walaupun golongan darahku itu tergolong langka dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mendonorkannya. Tetapi kan tidak harus Ambar, supaya dia tidak besar kepala dan merasa kalau aku berhutang nyawa kepadanya.Entahlah. Sejak dulu hingga saat ini, menga
Wangi aroma maskulin tiba-tiba menguar di udara. Haris keluar dengan pakaian santai serta rambut basah juga harum, disusul oleh Azriel dan Syaqila yang terus saja memuji harumnya masakan Ambar yang sebenarnya menurutku biasa-biasa saja. Hanya saja mereka terlalu berlebihan dan takut ibunya marah jadi sok memuji seperti itu."Mas Haris apa kabar? Semakin tua semakin tampan saja?" sapaku kepada laki-laki yang tengah duduk di kursi paling ujung, membuat Ambar seketika langsung menatap ke arahku, sementara Mas Haris hanya menoleh beberapa detik kemudian kembali fokus kepada makanan yang mulai dituangkan di atas piring.Sok cool, sok tampan. Awas saja kamu nanti. Aku pastikan kamu akan bertekuk lutut kepadaku dan mencampakkan keluarga kecil kamu seperti sampah, dan setelah semuanya hancur aku akan pergi meninggalkan kamu.Seusai santap malam, aku lihat Haris membantu istrinya membawa perkakas kotor ke wastafel, sementara Syaqila mencuci piring dan Azriel m
"Ambar, aku permisi pulang dulu, suami aku nelepon dan nyuruh aku buru-buru pulang," pamitku kepada Ambar yang sedang duduk di ruang tamu bersama keluarga besarnya."Oh, ya sudah, Dev. Kamu hati-hati ya?" Dia melekuk senyum sok polos dan sok tulus.Aku segera keluar dari rumah tersebut, tersenyum miring sambil menatap perhiasan yang berhasil aku ambil dari kamar si tukang pamer. Biar tahu rasa. Lagian hanya satu buah kalung dan satu buah cincin mah nggak akan membuat dia mendadak menjadi miskin.Setelah dari rumah Ambar aku segera pergi ke pasar, menawarkan perhiasan tersebut ke toko emas dan ternyata penawaran dari si empunya toko benar-benar membuat aku syok luar biasa. Satu buah kalung ditawar dua puluh lima juta, dan cincin milik Ambar dihargai enam juta. Padahal sepertinya gramnya tidak terlalu besar, tetapi harganya luar biasa mahalnya.Ya, walaupun pada awalnya banyak toko yang menolak dengan alasan takut barang curian, tetapi akh