5
Setelah melewati gerbang utama, kami memasuki kawasan taman nan hijau. Barisan bonsai tumbuh subur serta dipangkas rapi. Yang membuat kaget, kudapati dukun kondang di kompleks rumahku menjadi tukang kebun di sini. Dia meninggal setahun lalu dan semasa hidup dikenal sakti mengobati berbagai penyakit.
"Kamu kenal tukang kebun ini?" Sang wanita berbisik lembut. Aku lalu mengangguk pasrah, tak lagi berusaha melepaskan diri. "Ia membaktikan diri sebagai imbalan atas kesaktian yang kuberi semasa hidupnya," paparnya kemudian.
Aku belum merespon ucapannya. Masih terkagum pada semua yang kusaksikan.
Kami lalu memasuki gapura yang lebih kecil dari gerbang utama. Halamannya amat luas dan dipakai berlatih perang. Ribuan pasukan berkuda tengah berlatih tombak juga memanah. Menyadari keberadaan wanita ini, sejenak mereka berhenti lalu memberi hormat. Ah, siapa dia hingga dihormati di sini?
"Kamu bisa berkuda?" tanyanya ketika kami terbang melewati armada perang itu.
"Tidak bisa," jawabku seadanya. Ia kembali tersenyum manis. Di titik ini, baru kusadari bahwa dialah pemilik senyum mistis dari balik raga Ndoro Putri.
Entah apa, aku seperti diberi pemahaman. Bahwa Ndoro Putri merupakan pengikutnya, sama hal dengan dukun sakti barusan. Jika meninggal nanti, jiwa Ndoro Putri harus berbakti di tempat ini.
"Tahukah kamu, untuk apa ribuan armada terus berlatih?" Dia masih saja bertanya, walau diriku tak tahu apa-apa.
"Mereka akan bertempur di akhir zaman."
"Apa?!" pekikku kaget.
"Ya, Arini. Di akhir zaman nanti, aku salah satu pemimpin perang," ucapnya berkharisma.
Aku tak bereaksi lagi, semua yang dipaparkannya kusimpan rapi dalam hati.
Beberapa saat kemudian, kami tiba di gapura kedua. Terdapat banyak pendopo yang tiang-tiangnya terbuat dari emas tulen dan atapnya merupakan nyala kobaran api.
Aku tak mampu berkata. Seumur hidup, ini pengalaman pertama mengunjungi istana dengan gerbang tak ada habisnya. Sulit dipercaya tapi nyata.
Akhirnya, tiba juga di pusat istana. Bagian paling megah di mana terdapat jalan lebar di tengahnya. Jalan itu terbuat dari emas murni dan para dayang berbaris rapi di kedua sisi. Mereka siap menyambut kami.
Mereka mengenakan kebaya serba putih. Wajah berseri, cantik rupawan dan perhiasan emas memenuhi sekujur tubuh. Oleh mereka, kami dipersilahkan masuk. Ya, memasuki wilayah istana utama.
***
"Tunggu!!" teriakku sebelum kaki menapak jalanan emas menuju pusat istana.
"Ada apa, Arini?" Sang wanita misterius menghentikan langkah. Mencermatiku dengan alisnya tertaut.
Aku menatap serius. "Kau pernah bilang bahwa dengan sendirinya aku akan paham. Tapi sampai detik ini, tak banyak kupahami."
"Bahkan siapa dirimu, aku tak tahu." Aku berucap polos. "Kau ini Nyi Roro Kidul atau siapa?" tanyaku kemudian.
Ia kembali tersenyum. Menatap sekilas ke jalanan emas, lantas berfokus padaku. Untuk beberapa saat, kami hanya saling bertatapan.
"Banyak orang berjuang demi bisa menjumpaiku. Diantaranya para raja, pejabat, pebisnis dan indigo. Mereka rela bersemedi bertahun-tahun. Namun jika aku tak berkenan, maka sia-sialah usaha mereka," tuturnya dengan tatapan menerawang.
"Kamu beruntung, Arini. Sangatlah beruntung. Kau tak mencariku, malah aku yang mendatangimu."
Aku menunduk mendengar pengakuannya. Ada sedih yang merayapi syaraf. Bagaimana bisa mengatakan aku beruntung? Kedua orang tuaku baru saja meninggal dunia. Tak ada warisan berharga, hanyalah sebuah rumah sederhana tanpa halaman yang kiri kanan sisinya dihalangi tembok tinggi pertokoan.
Ketika bahan makanan habis, aku berusaha mencari pekerjaan tapi tak kunjung berhasil. Bayangkan bagaimana rasanya seminggu berjalan kaki memeluk map tanpa sepeser uang? Teremas hati ini bila mengingat semuanya.
"Jadi, siapa gerangan dirimu?" tanyaku, berusaha meredam sedih yang sempat mencuat.
"Baiklah, akan kujelasi." Tatapan teduhnya menjalari sukmaku, membuat kesedihan ini menguap.
"Orang menyebutku Nyi Roro Kidul. Penguasa pantai selatan. Namun, aku bukanlah penguasa tunggal. Aku adalah adipati kerajaan laut selatan. Tugasku menjaga keseimbangan dan kesucian wilayah."
"Dulunya, aku juga manusia sepertimu. Bernasip malang dan terbuang."
"Lalu?" tanyaku penasaran.
"Aku meninggalkan istana tempat aku dilahirkan. Mendatangi laut selatan, diriku bertapa dalam keputusasaan."
"Hanya orang-orang polos dan tulus hati yang mampu bersekutu dengan penguasa utama laut selatan," ucapnya tegas.
"Aku berhasil melakukannya. Pertapaanku telah menggoncang kerajaan laut. Kekuatan supranaturalku mampu memporak-porandakan dimensi lelembut ini."
"Kanjeng Ratu Kidul pun bersimpati padaku. Keluar dari tahta, ia berdiri di atas gelombang lautan. Mengakibatkan laut bergemuruh dan ombak memecah pantai. Sejak saat itu, ia menerima serta memberiku gelar Nyi Roro Kidul."
"Maaf, siapa gerangan si Kanjeng Ratu Kidul?" Aku bertanya polos.
"Dialah penguasa utama laut selatan. Sementara aku adalah adipati yang selalu membantunya. Perlu kamu ketahui, semua lelembut di tanah jawa tunduk pada Kanjeng Ratu Kidul."
"Luar biasa. Lalu, di manakah Kanjeng Ratu Kidul bersemayam?"
"Pusat istana!"
"Yang akan kita masuki ini?" Aku menunjuk pada jalanan emas menuju pusat istana.
"Ya," jawabnya sabar. "Ayo, Arini. Jangan membuang waktu lagi, setelah ini kamu harus kembali ke vila."
Aku mengangguk pelan. Membiarkan Nyi Roro Kidul berjalan lebih dahulu. Sementara di belakangnya, aku melangkah hati-hati. Lumayan gugup menapaki jalanan emas. Belum lagi, diawasi barisan dayang cantik.
Yang pertama terlihat adalah ruangan mewah nan luas. Berbentuk persegi panjang dan berbahan emas. Mutiara bertaburan di sisi atasnya.
Pada ruangan itu, terdapat ribuan kursi podium yang diduduki para petinggi istana. Di hadapan kursi podium, terdapat sebuah singgasana megah.
Semacam tahta kebesaran yang amat silau, hingga sulit dilihat oleh mata ragawi. Aku penasaran akan wujud Kanjeng Ratu Kidul yang menduduki tahta kebesaran itu.
Aku lalu menarik napas dalam-dalam. Kucoba memusatkan mata batin dan menjernihkan pikiran. Hanya berfokus pada apa yang ingin kulihat.
Membuang napas perlahan, kuarahkan pandang ke atas singgasana megah itu. Nampak seorang wanita paruh baya, duduk di tahtanya.
Berbeda dengan Nyi Roro Kidul. Kanjeng Ratu Kidul berbusana tradisional Jawa kuno yang semuanya serba putih. Mutiara menempel di tiap detil kebayanya. Perhiasan emas putih pun memenuhi tubuh sintalnya.
Di kepalanya, tampak kupluk kencana emas, khas mahkota seorang ratu. Pada tangan kanan, ia menggenggam sebuah tongkat. Konon, jika tongkat itu diangkat maka terjadilah bencana di darat atau laut.
Wajah Sang Kanjeng Ratu Kidul bercahaya terang. Membuatku sulit melihat jelas seperti apa paras ayunya.
"Kamu belum bisa melihat wajah Kanjeng Ratu. Dikarenakan dirimu belum mampu menyeimbangkan diri," bisik Nyi Roro Kidul saat aku sibuk mengucak mata dengan punggung tangan.
"Apa maksudnya itu?" Selalu kubertanya polos.
Ia tersenyum bijak. Menyentuh bahuku, ia lantas memberi pengertian melalui bahasa batin. Seperti transfer pengetahuan, diriku dibuat mengerti. Bahwa hanya manusia sabar, suci hati dan bijaksana yang mampu melihat wajah Kanjeng Ratu Kidul.
Ada baiknya sebelum bertapa di pantai selatan, seseorang sudah melewati masa puasa. Teruji lahir dan batin. Mampu mengontrol emosi serta beretiket baik.
Di titik ini, aku sadar diri.
Bahwa aku masih sulit mengendalikan emosi. Sering mengeluh, cepat bersedih, bahkan gampang menyerah. Jika bertapa ... jangankan sebulan, sehari saja sudah pasti gagal.Bab 32Berdasarkan struktur sosial masyarakat Jawa, keluargaku tergolong ningrat. Sudah menjadi tradisi turun temurun bagi kami untuk menyembah Nyi Roro Kidul. Kami memanggilnya dengan sebutan 'Ibu Ratu'.Beberapa ritual sering dilakukan seperti upacara sedekah laut, tarian Bedaya ketawang, ritual Satu Suro dan penyembahan Jumat Kliwon.Tari Bedaya Ketawang adalah favoritku. Di situ aku menjadi penari yang diberkahi. Saat tarian berlangsung, aku dirasuki ruh Nyi Roro Kidul. Lewat ragaku ia menyampaikan berbagai pesan pada masyarakat.Terobsesi pada sosok Nyi Roro Kidul, kuputuskan melakukan ritual khusus yaitu berpuasa dan bersemedi agar bisa berjumpa langsung dengannya. Senang sekali, dia akhirnya berkenan muncul. Orang lain tentu akan meminta keberhasilan karir, tapi aku beda. Aku bertanya, dengan cara apa aku bisa mengabdi padanya. Ia lalu menyuruhku membangun sebuah vila dengan ketentuan yang ditetapkannya. Bahwa vila itu haruslah berada di puncak, bergaya keraton dan menjadi te
Bab 31Nyi Roro Kidul duduk santai di kursi kebesaran. Aku dan seorang dayang mengipasi tubuhnya menggunakan kipas berukuran besar. Dua dayang lainnya sibuk memijat kaki si wanita iblis. Walau telah menjadi dayang dalam istana gaib ini, hati mengkhawatirkan tubuhku yang tergeletak di loteng rumah. Bagaimana jika Hektor tidak menemukanku? Terbengkalai sudah jasadku itu.Nyi Roro Kidul menyuruh kami berganti tugas. Dari mengipasi beralih memijati, begitu sebaliknya. Aku bersujud lalu memijati betis Nyi Roro Kidul, tapi jiwaku sungguh tak tenang. Dalam dilema jiwa ini, kumendengar suatu lantunan lagu rohani. Semacam puji-pujian kepada Tuhan. Kemudian terdengar suara laki-laki memanjatkan doa.Aku seperti terhisap, lalu hilang dari hadapan Nyi Roro Kidul. Sempat kudengar bagaimana Nyi Roro Kidul memekik keras. Memintaku agar kembali, sayangnya kekuatan yang menarikku jauh lebih kuat.Aku muncul di halaman rumahku. Banyak orang sedang berkumpul termasuk tetangga dan keluarga besarku. Apa
Bab 30Dua jam kemudian, aku kembali ke rumah Arini bersama Pastor pembimbing rohaniku. Dibantu oleh para tetangga, Ayah telah menurunkan Arini dari loteng. Ia dipindahkan ke sofa ruang tamu. Lukisan, peti perhiasan dan keris perjanjian juga diturunkan. Bahkan semua benda yang berkaitan dengan penyembahan, telah dikumpulkan. Pastor mendoakan Arini untuk membersihkan kutuk iblis yang mengikatnya. Setelah itu menumpangkan tangan ke seluruh benda yang sebentar akan dikembalikan ke laut selatan. Bertujuan mematahkan kuasa kegelapan yang bersemayam di dalam benda itu."Pastor, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya salah satu tetangga usai berdoa. "Kami sudah curiga kalau Pak Karman dulunya menyembah Nyi Roro Kidul," terangnya sembari bergidik menatap lukisan-lukisan Nyi Roro Kidul yang nampak seram. "Arini ini melanjutkan penyembahan yang dulu dilakukan Bapaknya. Namun bukan atas kemauannya. Dia bertindak dibawah kendali perempuan iblis Nyi Roro Kidul. Tuhan mengasihi Arini dan ingin meny
Bab 29Pernah dengar istilah 'dosa keturunan'? Terkadang kesalahan yang kita lakukan, bukan sepenuhnya milik kita tapi melanjutkan apa yang sudah ada.Aku, Hektor Aleksander. Dengan terpaksa, pernah melanjutkan asmara gaib yang sebelumnya terjalin antara Ayahku dan Nyi Roro Kidul. Tumbuh menjadi pemuda tampan tidak selalu menyenangkan. Ketampananku membuat Nyi Roro Kidul dimabuk kepayang. Ia melepaskan Ayahku, lalu berganti menginginkan diriku. Menentang pun sama saja! Toh aku seperti terhipnotis dan berada di bawah kendali wanita iblis itu. Dia kerap muncul di saat tak terduga. Mengintipku layaknya wanita sedang jatuh cinta. Aktivitas mandi, mengenakan pakaian dan tidur merupakan hal yang disukai Nyi Roro Kidul dari diriku. Menurutku dia tak bisa memilah, yang mana cinta dan yang mana nafsu. Hari paling nahas sekaligus titik balik, terjadi di suatu malam keramat yang sering disebut Malam Satu Suro. Di bawah kendali mistisnya, aku dituntun menuju sebuah vila di daerah Pasuruan. A
Bab 28Aku melangkah menyusuri lorong kecil yang diapit tembok tinggi pertokoan. Lumut hijau tumbuh subur di beberapa bagian dinding. Lorong ini cukup panjang hingga tersambung ke sebuah area sempit di mana terdapat tiga buah rumah. Termasuk rumahku. Rumahku terbilang sederhana, padahal Ayah menyembah Nyi Roro Kidul semasa hidup. Seharusnya kami sukses dan kaya raya seperti para pengikut lain. Mungkin Ayah kurang bijak atau aku salah menilai.Dengan rasa yang sulit dijelaskan, aku memutar gagang pintu. Mendorongnya pelan, hingga nampak jelas isi dalam rumah. Tak ada yang berubah, tetap rapi kecuali debu menempel di sana sini. Melangkah masuk, pertama kuletakkan tas di atas meja kemudian mencolek debuh oleh telunjuk. Sangat tebal, jadi kuputuskan untuk langsung mengepel tanpa menyapu agar debu tak beterbangan. ***Asyik mengepel, hal yang kutakutkan muncul. Terdengar suara tangis yang menyayat hati. Amat pilu bahkan cenderung seram. Aku berusaha bangkit, lalu bersandar pada dinding
Bab 27Sabtu.Matahari belum terbit saat Ndoro Putri mendatangi mess karyawan. Kicauan burung-burung di ranting pepohonan menyamarkan bunyi langkahnya.Wajah muram. Bola matanya berkeliaran tak tentu arah. Seperti ada yang tak beres. Kututup kembali gorden jendela yang kusibak saat mengamati kedatangannya. "Sugeng enjing, tulung kumpul. Ono sing pengin tak omongno." Suaranya menggema sempurna di beranda mess.Terdengar pintu-pintu kamar berdecit dibuka. Kami keluar dengan ekspresi entah. Antara masih mengantuk dan rasa takut menghantui. Dalam hati bertanya, apa perhiasannya dicuri lagi atau bagaimana? Seharusnya Ndoro tak boleh mengganggu kami hingga besok. Ia sendiri yang mengatakan bahwa tubuh kami perlu dipulihkan selama beberapa hari, usai ritual meraga sukma kemarin."Maaf, mengganggu istirahat kalian. Apa kalian mendengar tangisan Nyi Roro Kidul?" tanyanya getir.Kami melongo keheranan lalu saling melempar tatapan. Satu per satu mengangkat bahu, kecuali Bang Kutut. "Beneran k