Aku minta Esti pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Setelah ia pergi, aku masuk ke kamarnya untuk mencari obat kuat itu.
Part5"Sayang, kamu kenapa, sih? Kamu sakit?" aku menepis punggung tangan suamiku dengan kasar."Jangan sentuh! Kamu melakukan ini dengan siapa? Jawab dulu! Jangan mengalihkan pembicaraan!" Bukannya terkejut, suamiku malah tertawa pendek."Sayang, kita bukannya baru satu bulan ini berhenti pakai kontr4sepsi? Itu punya kita. Aku baru beresin lemari, mau nyari kunci lemari tempat simpan berkas kartu keluarga. Kamu gak percaya? Sana lihat di tempat sampah! Jangan suka suuzon sama suami. Apalagi sama Esti." Aku bergegas pergi untuk melihat tempat sampah yang ada di depan pintu kamar mandi. Ada empat bungkus alat kontr4sepsi yang kosong dan juga satu box kecil warna biru."Maaf, Mas, aku lupa dan aku selalu kepikiran hal ini sejak lihat ada obat kuat pria di laci lemari Esti," kataku dengan wajah tegang yang mulai mengendur."Obat kuat? Untuk apa Esti punya obat kuat?" tanya suamiku heran. Aku menggeleng kepala."Aku juga gak tahu. Apa Esti pacaran sama sopir atau pembantu tetangga ya, Mas?""Gak mungkin.""Loh, kenapa gak mungkin?" kali ini aku kembali terheran melihat ekspresi Mas Galih yang seperti tidak terima."Esti itu irit bicara. Emang ada pembantu di lingkungan sini yang jadi teman Esti? Kayaknya nggak ada kan? Udahlah, lagian kalau dia simpan obat itu, itu urusan dia, Sayang. Kita gak boleh ikut campur. Itu hak asasi Esti. Mau dipake sama sama siapa, kita gak boleh kepo karena selagi kerjaan Esti di rumah ini baik-baik saja." Aku menghela napas. Rasanya sangat janggal dan komentar suamiku sama sekali tidak menenangkan kegundahan hati ini. Aku harus mencari tahu sendiri.Selesai aku mandi, kulihat suamiku sudah mendengkur. Aku bergegas keluar dari kamar sambil membawa ponsel."Esti," panggilku di depan pintu kamarnya."Ya, Bu." Pintu kamar terbuka."Ada apa, Bu?" tanyanya sambil menguap. Aku melirik jam dinding yang masih berada di jam delapan lebih tiga puluh menit."Belikan aku koyo cabe. Aku masuk angin." Aku memberikan uang lima puluh ribu pada Esti."Oh, baik, Bu. Di warung depan apa harus ke apotek, Bu?""Ke warung depan aja." Esti mengangguk paham. Ia menutup pintu kamarnya setelah menerima uang dari tanganku. Suara motor matic keluar dari pagar. Aku mengintip dari jendela ruang tamu untuk memastikan bahwa Esti sudah benar-benar pergi ke warung. Gegas aku masuk ke kamarnya, lalu membuka laci lemari yang kemarin, tetapi yang membuatku tercengang adalah obat yang kemarin aku temukan, sudah tidak ada.Aku mencari ke seluruh ruangan, tetapi tetap tidak aku temukan. Esti pasti membuangnya atau mungkin sudah menyembunyikannya di lain tempat."Bu, ini koyoknya." Esti meletakkan koyo cabe pesananku dan uang kembalian di atas meja ruang makan karena aku sudah duduk di sana menunggunya."Makasih, Esti. Oh, iya, ini aku kayaknya lagi sakit pundak. Tanda-tanda kolesterol kayaknya. Aku minta obat kolesterol kamu yang kemarin, masih ada gak?" wajah Esti mendadak pias."Obat kolesterol ya, Bu? Oh, i-itu saya salah beli obat, Bu. Dosisnya terlalu tinggi, jadi sudah saya buang. Saya belum beli yang baru lagi. Maaf ya, Bu. Coba tadi Ibu bilang, saya jadi bisa sekalian belikan." Aku menggeram dalam hati. Kenapa selalu saja ia menemukan alasan masuk akal yang membuatku kesal?"Obat itu bukannya ada beberapa jenis, kamu buang semua?" Esti mengangguk kaku. Ia terus memilin jarinya karena gugup. Aku sangat hapal reaksi orang gugup karena telah berbuat salah."Baik kalau begitu. Aku harap tidak ada hal lain yang kamu sembunyikan dariku ya, Es. Aku sudah percaya sama kamu dan aku harap, kamu menjaga kepercayaanku ini." Esti mengangguk. Aku kembali ke kamar dengan perasaan gondok. Aku masih belum bisa menemukan rahasia apa yang disembunyikan Esti. Haruskah aku pasang CCTV di rumah tanpa sepengetahuan Mas Galih?"Kamu dari mana?" Mas Galih rupanya terbangun saat aku kembali ke kamar."Aku ke bawah pengan makan, tapi gak jadi. Tiba-tiba gak berselera.""Jangan suka makan malam hari. Lemak di badan kamu semakin menumpuk nanti." Setelah mengatakan hal itu, suamiku kembali memejamkan mata. Aku pun menyusulnya. Aku berharap sakit kepala ini segera reda jika aku tidur dengan lelap.Keesokan paginya, Esti pamit pergi ke pasar. Seperti biasa, hari Minggu ia memang ke pasar untuk berbelanja kebutuhan dapur selama satu Minggu. Aku dan suamiku jalan pagi di tamat komplek, lalu sarapan bubur ayam di sana."Halo, Mbak Kikan." Aku menoleh dan langsung tersenyum saat tahu siapa yang menegurku."Bu Citra, apa kabar?" kami bersalaman dan juga cipika-cipiki. Suamiku melanjutkan berlari-lari kecil mengelilingi taman komplek."Sehat, Mbak Kikan sehat?" aku mengangguk sambil tersenyum."Tumben kemarin laundry setrika pakai yang ekspres tiga jam rapi. Emangnya mau pergi ke mana, Mbak, bawa pakaian banyak? Keluar kota?" aku sontak mengerutkan kening."Laundry setrika?" Bu Citra mengangguk sambil tersenyum."Saya ada pembantu Bu, jadi dia yang setrika, mungkin Bu Citra salah orang.""Nggak mungkin toh! Orang Pak Galih yang antar pakai mobil sama pembantunya sampean. Siapa namanya, Esti ya?""Apa, Bu? Suami saya yang antar laundry?"Bukannya Esti bilang dia yang setrika, kenapa malah sekarang jadi begini? Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku?BersambungPart 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa