Kenapa kamu tidak menyusul suami kamu?
Part9Gara-gara obat tadi, aku tidak bersemangat mau nonton. Sudah berdiri lama di depan loket sambil melihat layar iklan film yang ditayangkan hari ini, tetapi aku belum juga menentukan pilihan. Malas dan rasanya ingin pulang saja."Kikan." Aku berbalik ke belakang saat suara berat itu memanggil namaku."Pak Batara, b-bapak di sini?" tanyaku sambil celingak-celinguk memperhatikan sekililing, tetapi sepertinya bosku memang datang sendiri."Iya, saya di sini, di depan kamu. Kamu sendiri?" aku mengangguk sambil tersenyum."Suami gak ikut?""Lagi ada kerjaan di luar kota, Pak," jawabku."Bapak sendiri?" pria tiga puluh delapan tahun mengangguk sambil tersenyum."Anak-anak lagi di rumah neneknya. Saya bosan di rumah, dari pada bengong nanti kesambet laporan keuangan, mending saya cari angin. Kamu mau nonton film apa?""Eh, s-saya bingung mau nonton apa, Pak." Aku mendadak tidak enak hati dan ingin segera keluar dari bioskop."Mungkin tidak jadi saja." Pak Batara menahan lenganku saat aku lewat di depannya."Temani saya. Saya traktir nonton dan makan juga." Pria dewasa itu tersenyum amat ramah."Saya gak jadi nonton deh, Pak. Saya mau keliling aja.""Ayolah, traktir nonton saja gak papa. Say agak traktir makan kalau kamu merasa sungkan." Jika aku kembali menolak, pasti bosku ini kecewa.Beliau adalah direktur keuangan yang baru di perusahaan tempat aku bekerja. Dari yang aku dengar, statusnya dua anak dua. Entah sudah ditinggal meninggal atau duda cerai, aku tidak terlalu kepo, karena jika sudah berada di depan laptop kantor, maka aku akan fokus di sana. Kabar burung yang beredar aku ketahui saat aku makan sore di kantin. Anak-anak membicarakan Pak Batara yang tampan serta status dudanya."Ini, jangan kebanyakan bengong! Film mau dimulai!" Pak Batara memberikan satu cup pop corn di tanganku."Biar saya bawa airnya. Tolong ambilkan tiket kita di saku baju saya!" Aku mengangguk dan melakukan semua yang ia perintahkan. Sungguh amat disayangkan karena aku malah memilih film romantis yang seharusnya aku tonton bersama pasangan."Saya lompat satu kursi, biar kamu gak canggung." Katanya sambil menunjuk kursi yang harus aku duduki, sedangkan dirinya duduk di sebelah kursi yang kosong di sampingku. Bos pengertian, mungkin karena memang ia lebih dewasa dan ia adalah bos di tempatku bekerja. Tentu saja ia harus menjaga image sebagai atasan yang baik, apalagi ia baru tiga Minggu ini menjabat. Lagian, jika aku baca raut wajahnya, ia bukan tipe lelaki tebar pesona.Film dimulai, ia menikmati adegan setiap adegan, sedangkan aku tidak. Kepalaku penuh dengan kecurigaan yang dilakukan Mas Galih di luaran sana. Aku mengeluarkan ponsel dan iseng mengecek kapan terakhir kali WA Mas Galih aktif. Ternyata tiga jam lalu. Tepat setelah Mas Galih meneleponku. Aku pun melihat kontak Esti. Wanita itu terakhir kali aktif WA tiga jam setengah yang lalu.Mas, lagi apa?SendEsti, bagaimana kabar ayah kamu?SendDua orang itu aku kirimi pesan. Namun, keduanya hanya ceklis satu saja. Aku harus berhuznuzon. Tidak mungkin Esti bermain-main dengan kesehatan bapaknya di kampung.Lampu bioskop menyala. Aku pun baru tersadar bahwa film sudah habis. Aku benar-benar salah pilih film. Seharusnya aku nonton film action, bukan film romantis seperti ini."Kamu sibuk sekali saya perhatikan," kata bosku."Ya, suami kerja di luar kota, saya tentu deg-degan, Pak," kataku sambil tersenyum."Kenapa tidak menyusul saja. Besok masih Minggu. Emangnya dinas ke mana?" aku benar-benar tidak memikirkan hal itu. Ya, bukankah seharusnya aku ikut saja dengan Mas Galih. Besok masih ada hari Minggu, tetapi aku tidak ingat akan hal itu."Ke Yogyakarta, Pak.""Yogyakarta dekat. Kamu masih punya jatah cuti? Cuti sehari tidak apa-apa. Kita harus dekat dengan pasangan. Jangan sampai nanti, setelah ia tidak ada, kita baru sadar bahwa kita kesepian tanpanya." Mata berbingkai kaca mata itu menerawang hampa. Apakah ia memikirkan mantan istrinya?"Apa boleh, Pak?" tanyaku ragu. Paka Batara tertawa pelan. Kedua kaki kami terus melangkah keluar dari koridor luar bioskop."Boleh saja. Berikan kejutan untuk suami kamu. Biarkan ia terkejut saat kamu tiba di sana. Saya pernah begitu dan saya sangat senang diberi kejutan oleh istri saya. Oke, saya pamit ya, Kikan. Makasih udah nemenin saya nonton sambil main HP ha ha ha ....""Iya, Pak, maaf ya. Saya yang terima kasih sudah ditraktir." Pak Batara pun pergi, sedangkan aku masuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Langit sudah semakin gelap dan aku memutuskan langsung pulang saja. Masih ada lauk yang dimasak Esti, sehingga aku tidak perlu makan diluar.Setelah tiba di rumah, aku pun mandi, kemudian makan. Tentu saja aku sangat setuju dengan ide pak Batara untuk menyusul suamiku. Tiket langsung aku pesan online. Tiket pagi, jam delapan. Aku akan memberikan kejutan untuk suamiku. Jika benar dia sedang bersama Esti, maka aku sudah melakukan hal yang tepat.**Aku sudah tiba di bandara Adisucipto pukul sepuluh pagi. Langit begitu terang, seterang hatiku yang mendapatkan ijin cuti di hari Senin. Mas Galih belum aku beritahu bahwa aku sudah di Yogyakarta untuk menyusulnya. WA-nya aktif kemarin dan belum online lagi hingga saat ini.Ting!EstiKontak Esti muncul di layar.Maaf baru balas, Bu. Saya baru sempat pegang HP. Bapak saya sudah baikan dan sudah sadar. Masih diobservasi dua sampai tiga hari. Saya ijin ya, Bu. Begitu bapak boleh pulang dari rumah sakit, saya kembali ke Jakarta.Oke, semoga lekas sembuh untuk bapak kamu.SendTidak mungkin mas Galih dan Esti memiliki hubungan. Aku saja yang berlebihan menebak-nebak. Aku yang parnoan karena bukan hal aneh lagi bahwa di luaran sana banyak terjadi kasus pers3lingkuhan. Paling banyak pasangan selingkuh dengan pembantu rumah tangga, mantan, dan juga teman kerja. Baru memikirkannya saja, kepalaku rasanya berkunang-kunang.Untunglah aku ingat alamat hotel tempat Mas Galih akan menginap, saat ia bercakap-cakap di telepon dan aku mendengarnya.Aku memesan taksi dan langsung meluncur ke sana. Begitu tiba di lobi, aku mengonfirmasi nama Mas Galih."Maaf, Mbak, tidak ada tamu hotel kami bernama Galih Prasetya," kata resepsionis berwajah manis itu. Aku sontak terkejut. Tidak mungkin. Jelas aku mendengar nama hotel ini."Mungkin Mbak keliru. Coba dicek sekali lagi, Mbak," kataku penasaran."Baik, Mbak, mohon ditunggu ya." Aku mengangguk. Ia dan teman di sampingnya sibuk mengecek nama tamu dari layar komputer, sedangkan aku tengah berusaha menelepon Mas Galih. Namun, lagi-lagi aku dapati nomor ponsel Mas Galih tidak aktif."Maaf, Mbak, kami sudah mengecek sampai tiga kali. Tidak ada tamu bernama Galih Prasetya." Aku menunjukkan wallpaper ponsel yang belum sempat aku ganti. Wallpaper itu adalah fotoku dan mas Galih."Ini orangnya, Mbak." Aku memperlihatkan ponselku pada wanita itu. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum."Mohon maaf, tidak ada tamu ini di hotel kami." Aku menahan sesak di d4da. Mas Galih berb0hong. Tidak mungkin ia menginap di hotel lain.Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kakiku yang sudah berada di depan pintu lobi otomatis, kini berjalan balik lagi ke depan meja resepsionis."Mbak, kalau tamu yang namanya Esti Purwaningsih ada gak?" tanyaku lagi. Bisa saja'kan, mas Galih bukan menggunakan namanya, tetapi nama Esti, untuk mengelabui keberadaannya. Tidak lupa aku menunjukkan foto Esti pada petugas itu. Sekali lagi wanita bersanggul cepol itu menggelengkan kepala."Tidak ada, Mbak." Aku mengangguk, lalu pamit undur diri. Bukan aku pulang atau mencari ke hotel yang lainnya, tetapi aku memilih duduk di sofa khusus tamu sambil menunggu, siapa tahu Tuhan berpihak padaku kali ini.Satu jam terlewati. Lanjut dua jam, kemudian tiga jam. Sudah jam setengah dua siang dan suamiku belum terlihat bat4ng hidungnya. Perutku mulai berbunyi, minta diisi. Aku hanya membeli roti di bandara tadi dan juga air mineral dalam tumbler-ku. Makanan dan minumanku sudah habis, tetapi Mas Galih tidak ada. Esti pun tidak ada.Kamu ke mana sih, Mas? Ponsel kamu gak aktif. Angkat telepon aku!SendAku menunggu dengan tak sabar, ceklis abu garis satu itu, berubah menjadi garis dua biru, tetapi sepuluh menit menunggu, semua sia-sia. Aku menghela napas lelah. Notifikasi medsos milikku sejak tadi berbunyi. Aku akhirnya membuka isi notif itu tanpa semangat. Tiba-tiba aku kepikiran akun media sosial Esti. Wanita itu pernah bilang punya akun fezbuq, tetapi tidak begitu aktif. Aku mencari akun dengan nama Esti dan juga memeriksa fotonya.Ketemu!Aku mendelik senang saat aku menemukan akun milik Esti.Huachi!Belum sempat aku membukanya, suara bersin seorang pria, begitu membuatku terkejut. Dengan hati-hati aku mengintip dari balik sandaran sofa dan benar saja, Mas Galih baru tiba di lobi dan berjalan santai menuju lift, tetapi Mas Galih tidak sendiri, melainkan di belakangnya ada Esti yang mengikuti. Si44lan, mereka berdua ternyata berbuat k0tor di belakangku! Aku segera bangun dari duduk. Emo5i sudah berada di atas kepala dan siap aku tumpahkan pada dua anak manusia penghianat ini.BersambungPart 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa