Share

Persiapan Pernikahan

Kala mentari telah terbit, Vivian masih terbaring mengamati sekeliling ruangan. Ia memasang pendengaran lebih tajam. Suara-suara di sekitar istana cukup riuh. 

Pintu terbuka, tempak Pangeran menyeringai sembari mendekati Vivian dengan melebarkan mata. Sontak Vivian bangkit dan berusaha berdiri, tetapi ia tak kuat.

"Tetaplah berbaring di tempatmu!" Pangeran memegangi kedua pundak Vivian.

Vivian terus menunduk. Ia tak sudi menatap mata pria tua itu. Sementara perawat di dekat pintu hanya berdiam menunggu perintah.

"Bagaimana keadaan calon pengantinku?" tanya Pangeran tersenyum ke arah perawat. 

"Sudah membaik, Yang Mulia," jawab perawat menunduk. Ia tahu, pertanyaan pangeran hanyalah sekedar basa-basi. 

Tangan pangeran mengelus rambut Vivian tanpa kain penutup. Vivian menggeliat, ia menggeser tubuh cukup jauh dari pangeran.

Pangeran tertawa. "Ini yang kusuka darimu!" Ia menarik lengan Vivian sangat kuat. "Kau masih ingat Binatangmu? Ada di kandang. Kau tak ingin mengucapkan selamat pagi?"

Vivian menoleh ke arah pintu. Ia hendak berlari, tetapi melihat pangeran di hadapan membuatnya tak berdaya.

"Beri calon Pengantinku makan! Lalu bawa ia ke ruanganku setelah bertemu Binatangnya," perintah Pangeran pada sang perawat. Sesaat memandangi Vivian, lalu membelakanginya keluar ruangan.

Perawat menghampiri Vivian. Setelah mengambil makanan dari salah satu pelayan yang sedari tadi menunggu di depan pintu.

"Duduklah, Nak!" Perawat mengusap punggung tangan Vivian terasa dingin. "Ikuti perintah Pangeran. Semua akan baik-baik saja," bujuknya kemudian.

Vivian menyipitkan mata. "Apakah kau tahu rasanya menjadi calon Pengantin pria tua licik? Yang mampu membunuh siapa saja?"

"Aku memang tak pernah berada di posisi itu, tetapi aku mengerti perasaan wanita-wanita ...."

Perkataan perawat terpotong saat Vivian melerai tangannya dengan kasar.

"Omong kosong!" Vivian membelakangi perawat. Ia duduk di tepi pembaringan. Berpikir, bagaimana caranya dapat kabur membawa Aglo. Ia melirik makanan di meja. Lalu, meraih dan mulai mencicipi. "Kuharap tak ada obat bius di dalam makanan ini," imbuh Vivian tanpa menatap perawat yang masih berdiri mengamatinya.

Perawat menarik sudut bibir dan menggeleng pelan. "Tampaknya kau sangat marah, Nak," ujarnya duduk di dekat Vivian. "Simpan amarahmu! Tenangkan dirimu! Tak baik untuk pemulihan dan keadaan seperti ini akan berdampak semkin buruk. Kau tak bisa berpikir jernih," imbuh perawat menasehati. 

Vivian berpura-pura tak mendengar. Ia melanjutkan makannya hingga hampir habis. 

"Antarkan aku sekarang menemui Binatangku!" Vivian menaruh wadah air usai meneguk. 

Perawat mengangguk. "Baiklah. Ikuti aku, Nak!" 

Mereka berjalan keluar ruangan. Vivian sesekali mengamati sudut halaman istana. Dipenuhi pengawal dan beberapa pelayan tampak lalu-lalang membawa beberapa kain. Ia merasa, pelayan-pelayan itu sedang sibuk menyiapkan pernikahan pangeran.

"Mengapa para pelayan tampak begitu sibuk?" Vivian menoleh ke arah perawat di sebelah kanan.

"Menyiapkan pernikahan," jawab perawat berhenti sejenak. Ia memerhatikan dari kejauhan beberapa pengawal sedang keluar istana. 

Vivian mengikuti arah netra perawat. "Ada apa?"

Perawat tak menjawab. Ia melanjutkan langkah menuju kandang Aglo.

Mereka menuruni tangga. Mulai gelap di lorong bawah tanah. 

"Bagaimana caranya aku bisa membawa Aglo kabur jika tempatnya tertutup seperti ini," batin Vivian mulai resah.

Tiba di sebuah pintu berbahan kayu tebal. Perawat membuka kunci yang terbentang di tengah pintu tersebut. Seperti tongkat, perawat menggeser ke arah kanan.

"Masuklah!" Perawat memasuki ruang itu. 

Vivian menyusul. Ia melihat Aglo terbaring beralas tanah saja. Dada Vivian terasa sesak, ia duduk perlahan. Tangannya menyentuh kepala Aglo hingga membuka mata. Sontak Aglo memeluk Vivian setelah menatapnya sesaat. Aglo terus mengeluarkan suara seperti anak anjing kesakitan.

"Maafkan aku, Aglo!" Vivian mengeratkan pelukan. Matanya basah, tak sanggup lagi ia tahan. 

Vivian menoleh ke perawat yang turut duduk di sebelahnya. Mereka saling menatap.

"Apakah mereka sering menganiaya Aglo? Mengapa Aglo terus bersuara seperti ini?" tanya Vivian dengan suara keras.

"Aku sungguh tak tahu apa-apa, Nak. Tugasku bukan menjaga kandang ...."

"Kalian semua penjahat!" hardik Vivian memotong ucapan perawat.

Perawat terdiam. Ia hanya menyaksikan Vivian dan Aglo yang masih menangis. Tak sengaja, perawat menjatuhkan air mata. Ia mulai merasakan kesedihan mereka yang terpisah dan menderita sejak lama. Bukan perpisahan mereka yang membuat menderita. Namun, perawat tahu, binatang langka tak akan hidup lama tanpa perjuangan manusia seperti Vivian sebagai pelindung.

"Kita tak bisa berlama-lama di sini, Nak. Pangeran pasti sudah menunggu." Perawat itu berdiri, setelah merasakan ada getaran dari ruang atas tanah. Pengawal sudah berdatangan. "Lepaskan, Nak! Biarkan Binatangmu beristirahat!" bujuknya.

"Tidak! Aku masih ingin menemaninya." Vivian terus menggeleng tanpa melerai pelukan. Aglo memegangi tubuh Vivian sangat keras. "Lihatlah! Agloku sangat ketakutan."

"Aku ... Bibi akan membantumu. Tolong percaya pada Bibi. Kita harus keluar sekarang!" Perawat memegangi kedua pipi Vivian dan menatapnya lebih dalam agar luluh.

"Jika terjadi sesuatu pada Aglo. Kau dan keluargamu juga akan mati. Apapun caranya ..." ucap Vivian sungguh-sungguh.

Perawat melerai mereka dengan lembut. Aglo mengeluarkan suara tangis. Namun, Aglo juga tak dapat berdiri karena kakinya dirantai. 

Vivian dibawa keluar. Ia menyeka air mata. Mengatur napas. Beberapa pengawal mendekati kandang. Ia menghujani tatapan pengawal itu penuh amarah karena mereka merantai Aglo. Walau atas suruhan pangeran.

Tangan Vivian mengepal. Mengikuti perawat menuju ruangan pangeran. Ia terus berpikir bagaimana lari dari sana tanpa terluka. Ia membayangkan, jika menerobos kandang, tak akan dapat membuka rantai. Ia tahu, akan terluka dan mati sebelum melewati gerbang istana.

Perawat melirik Vivian dan memegangi tangannya. "Simpan tenagamu, Nak! Rehatkan pikiranmu. Masih ada waktu satu malam untuk membicarakannya," bisiknya mencoba menenangkan Vivian.

Vivian hanya terdiam. Ia tak bisa mengatakan apapun saat amarah mendekam dalam diri.  

Perawat melepas jemarinya saat berada di depan pintu kamar pangeran. "Kita sudah sampai."

Pangeran tersenyum lepas seperti sedang merayakan kemenangan. Vivian hanya memasang wajah datar melihatnya. 

"Jaga sikapmu!" pinta perawat mendorong Vivian pelan mengarah ke tempat pangeran duduk.

Vivian mengangkat kepala sejenak. Mengatur napasnya untuk mengurangi sesak.

"Kemarilah!" Pangeran menepuk bagian dipang-dipang di sebelahnya. "Kau bisa meninggalkan kami!" titahnya pada perawat. 

Vivian membalikkan tubuh saat perawat berjalan ke belakang. Ia hendak menahan wanita itu, tetapi sadar bahwa tak mungkin melakukannya di depan pangeran.

Pasrah, Vivian duduk di dekat pangeran. Namun, ia menggeser tubuh sedikit lebih jauh. Ia merasa sangat jijik dengan pria tua tanpa belas kasih itu.

"Malam ini, kita akan menjadi sepasang pengantin," ungkap pangeran membuat Vivian terperangah. "Kau terkejut?" Telunjuk pangeran menyentuh dagu Vivian.

Vivian berdiri, ia tak bisa berlama-lama di dekat pangeran yang semakin berani memegangi wajahnya.

"Rasanya aku ingin memukul muka pria tua ini sampai mati," batin Vivian muak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status