Share

Perjuangan Aglo Demi Vivian

Mentari menyentuh pelupuk mata Vivian hingga terbangun. Ia bersandar di batang pohon, melihat sekelilingnya tampak seperti sarang. 

"Aglo memang pandai membuat tempat nyaman," gumam Vivian.

Ia menoleh ke kiri dan kanan. Mengintip dari atas, tak ada Aglo di bawah pohon itu. Vivian hendak turun dari puncak pohon, tetapi ia mengingat ancaman akan Clara.

Vivian menelan saliva, ia menyambar akar ranting pohon untuk mendapatkan sedikit cairan. 

"Harusnya kau tak pergi, Aglo," lirih Vivian melempar akar yang dihisap tadi. Ia khawatir jika Aglo ceroboh hingga manusia melihatnya lalu-lalang. Pohon tempat tinggal Aglo sangatlah jauh dari tempat Vivian berada.

Vivian memejamkan mata sejenak. Ia mengolah perasaan agar lebih tenang. Luka di sekujur tubuhnya masih sangat terasa. 

Tak lama, pohon itu bergerak. Vivian melirik ke bawah, Aglo tampak menaiki pohon tergesa-gesa.

Vivian lega melihat Aglo. Namun, melihat bercak merah pekat di bahu Aglo dan bulu yang rontok, Vivian sontak melebarkan mata.

"Aglo! Apa yang terjadi?"  Vivian menyentuh bagian bahu Aglo, di dekat lukanya. "Dari mana kau dapatkan luka ini?" cecar Vivian dengan mata memerah.

Aglo terus menggeleng dan menutupi luka bahu kanannya dengan tangan. Ia menjauh dari Vivian.

"Kemarilah! Aku akan membalutnya," pinta Vivian memohon, mengulurkan tangan.

Aglo tak bergeming. Vivian menarik dengan keras bahu Aglo hingga meraung kecil. "Apakah kau tahu perasaanku? Kau satu-satunya teman yang kumiliki. Bahkan, aku menganggap kau sebagai keluarga. Sebagai anak sendiri. Aku menemukanmu sejak bayi Aglo!" gerutu Vivian dengan air mata mengalir.

Vivian merobek ujung baju yang menutupi betis. Ia menarik benda berbentu pisau kecil, sepanjang ibu jarinya. Kemudian melilitkan kain itu ke luka Aglo dengan pelan.

"Kuharap darahnya tak menetes lagi." Vivian masih memandangi luka bahu yang telah dibalut. Sementara Aglo mengusap cairan bening di pipi Vivian. "Jangan pergi lagi ..." imbuh Vivian lirih memegangi jemari Aglo. 

Vivian rebah di pangkuan Aglo. Ia masih terisak. "Bagaimana jika manusia lain telah mengincarmu, Aglo," ujar Vivian masih dilanda ketakutan akan kehilangan binatang kesayangannya itu.

Aglo melepas Vivian dan menyandarkan di dahang pohon. Mata Vivian melebar, melihat Aglo turun dari pohon.

"Aglo ... jangan pergi lagi. Tetaplah di sini! Kumohon!" seru Vivian tak sengaja meninggikan suara. 

Aglo berlari tanpa memedulikan panggilan Vivian. Ia menghampiri semak-semak dan mencari sesuatu. Sesekali ia menoleh ke sekeliling untuk memastikan tak ada manusia lain yang melihatnya.

Tangan Aglo mengenggenggam bungkusan daun dengan erat dan kembali ke pohon menemui Vivian. Ia memeluk bungkusan daun itu sembari memanjat pohon. Sementara Vivian rebah dan menangis menutupi wajah dengan lengan.

Aglo menggoyang tubuh Vivian agar bangkit dari rebah. Ia memberi isyarat dan mengulurkan bungkusan daun tadi.

"Apa ini?" tanya Vivian mengusap wajah. Ia segera membuka bungkusan itu. "Dari mana kau mendapat buah dan sayuran ini, Aglo? Kau mencuri?" Vivian menaruh bungkusan tadi di hadapan Aglo. "Aku tak pernah menyuruhmu mencuri," imbuh Vivian kecewa pada tindakan Aglo.

Aglo menggeleng, ia terus memberi isyarat bahwa ia tak mencurinya. Ia memperlihatkan buah itu dan juga kain di gubuk kebun milik Vivian.

"Kain itu ...." Mata Vivian mengamati kain yang diperlihatkan Aglo. Kain yang biasa Vivian kenakan di kepalanya. "Kau mengambil ini dari kebunku? Tapi, Aglo, aku hanya menanam di sana. Kebun itu milik Paman dan Bibi. Bagaimana jika salah satu dari mereka melihatmu? Terlebih dengan Clara." Vivian memijit dahi, menggeleng. Ia tak sanggup memikirkan nasib Aglo jika mereka melihat Aglo.

Sayur berwarna kuning berjenis umbi, disodorkan Aglo ke mulut Vivian. Pikiran Vivian seketika berantakan. 

"Jangan pergi lagi, kau mengerti?" tanya Vivian memastikan. 

Aglo mengangguk, tangannya masih mengulurkan sayur ke wajah Vivian. 

"Kita makan bersama dan istirahat," ujar Vivian meraih sayur itu. "Andai saja kita mendapatkan tempat untuk membangun rumah kecil, Aglo. Aku pasti akan membuat kebun dan memasak untuk kita berdua," lirih Vivian dengan mulut tengah mengunyah.

***

Tubuh Vivian meringkuk, menahan dingin. Bibirnya terus bergetar. Ia merasa tulang-tulangnya retak. Matanya pun berat untuk dibuka.

Aglo gelisah dan hanya bisa menyelimuti Vivian dengan dedaunan. Namun, suara Vivian semakin terdengar jelas. Vivian tak sanggup menahan nyeri. 

Aglo pun rebah di atas sarang, dekat Vivian. Ia menempelkan tubuh Vivian ke dadanya hingga aliran panas dihantarkan. 

"Haus ..." racau Vivian setengah menangis. Ia tak dapat melihat apapun.

Aglo masih belum mengerti. Ia terdiam, mengamati wajah Vivian. Tak mampu menahan, Vivian melebarkan mata dengan paksa dan meraih akar kering. Kemudian ia menghisap. Tak ada air didalamnya.

Aglo mulai memahami bahwa Vivian ingin minum. Ia beranjak dari sarang. Lalu, berlari menuju telaga kecil dekat pohon besar yang rimbung. Ia berlari kencang tanpa peduli bagian tubuhnya tergores semak berduri.

Tiba di sarang, Aglo menyandarkan Vivian di tubuhnya dan menyodorkan daun berisi air itu di bibir Vivian. Suara tegukkan terdengar jelas hingga Vivian menghabiskan air tadi.

Kembali Aglo membaringkan Vivian. Sembari memegangi perut, Vivian meringis. Aglo mengamati sejenak wajah dan tangan Vivian yang mencengkram. Vivian tampak tak kuasa menahan lapar melilit.

***

Aglo terpaksa meninggalkan Vivian yang kedua kalinya. Saat itu, mentari masih berada di tengah kepala, tertutupi kabut dingin hingga tak menembus. Aglo mengendap-endap di gubuk perkebunan ketika ia merasa manusia lain sedang beristirahat atau makan siang. 

Buru-buru Aglo meraih kain yang tergantung di dinding gubuk untuk membungkus buah dan sayur. Namun, ada dua pria yang mengintip.

Pria itu saling menatap. Memberi isyarat agar terdiam. Tak lama, beberapa pria lain datang dan langsung diberitahu.

"Kami melihat binatang langka seperti yang diceritakan orang-orang," bisik salah pria dengan hati.

"Kita bisa dibayar mahal jika berhasil menangkapnya," sahut pria lain dengan raut tak sabar.

Mereka pun mengepung gubuk. Aglo merasakan aroma tubuh mereka. Ia langsung keluar dari gubuk membawa bungkusan. Namun, pria itu telah menggunakan alat kebun memukuli Aglo dan melemparkan tali hingga terjerat.

Aglo tak dapat bergerak leluasa dengan kumpulan tali yang berbentuk jala. Mereka melempari Aglo hingga meraung kesakitan. 

Orang-orang di sana mulai berdatangan mendengar suara Aglo. Mereka menyeret Aglo tanpa belas kasih.

Clara turut menyaksikan hewan langka itu diikat paksa dan dipertontonkan. Ia mengamati kain di bahu Aglo.

"Tunggu ..." kata Clara mendekati Aglo. Ia berbalik ke pria yang menambah ikatan di tiang. "Siapa yang mengikat bahunya menggunakan kain itu?" tanya Clara menyipitkan mata.

Pria itu memandangi bahu Aglo. "Sepertinya, itu sudah ada sebelum kami menangkapnya."

"Aku mengenali kain itu ... persis dengan kain baju Vivian," imbuh Clara semakin mendekat. Sementara Aglo tak berdaya penuh luka.

"Vivian? Gadis yang ingin dinikahi oleh Pangeran?" Salah satu pria lain terperangah. 

Clara mengangguk. "Vivian kabur karna tak ingin dinikahkan oleh Pangeran."

Pria bertubuh besar mendekati Clara. "Apakah kau menyadari keuntungan besar di hadapan kita?" Pria itu adalah teman Clara yang selalu menemaninya. Ia pandai dalam hal mendapatkan cara untuk koin emas atau makan gratis.

"Hewan langka dan istri Pangeran, bukan?" Clara tersenyum tipis. Mereka tampak kompak dan mulai membuat strategi untuk tujuannya.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status