Share

Binatang Pelacak

"Dari mana kau dapatkan anjing ini?" Clara terperangah melihat anjing pelacak yang hanya dimiliki orang-orang di istana. 

Pria bertubuh besar itu memperlihatkan jejeran gigi. "Aku sudah memberi tahu semuanya pada Pangeran. Sekarang, kita harus mengambil kain di lengan hewan payah itu."

"Untuk apa kita mengambilnya,?" tanya Clara mengikuti langkah Bobby menuju kandang Aglo.

Bobby tak menjawab, ia meraih kain di bahu Aglo hingga membuatnya meraung. Ada beberapa penjaga di sisi kandang hingga Aglo tak dapat berbuat apapun. 

"Siapa yang mau ikut bersama kami mencari Vivian!" Suara Bobby lantang menawarkan pada penduduk desa yang haus akan hadiah dari Pangeran.

"Aku!" ujar salah satu pria berkepala tiga segera berdiri.

"Aku juga akan ikut," imbuh pria di sisi kanan kandang Aglo.

"Cukup tiga orang saja," tegas Bobby agar penjagaan Aglo tetap ketat. 

Api di ujung tongkat dipegangi mereka masing-masing. Perasaan Clara amat senang membayangkan Vivian semakin menderita setelah menikah dengan Pangeran.

Bobby mengulurkan kain pada hidung anjing pelacak tadi. Tampak anjing itu menggonggong sembari mengendus mencari sumber bau yang sama.

Mereka hanya diam berjalan di belakang Bobby yang memegangi tali leher anjing.

"Ini hutan terlarang, kita tak boleh memasukinya," tegur salah satu pria di samping Clara.

"Anjing ini terus berjalan hendak ke sana. Lagi pula, kita tak akan mendapatkan masalah jika penjaga hutan tahu bahwa kita suruhan Pangeran." Bobby membalikkan tubuh, raut pria yang diterangi api di ujung tongkat tampak ketakutan.

Mereka hening, usai mengangguk. Suara hewan kecil yang beterbangan terdengar jelas. Clara mendongak melihat kegelapan langit. Ia menggosok bahu untuk mendapat sedikit kehangatan.

"Berhenti!" Bobby menyipitkan mata. "Ada jurang," keluhnya kemudian.

Clara maju beberapa langkah. Ia mengamati pemandangan di hadapannya. "Aku belum pernah ke sini."

"Apakah kita tersesat?" Salah satu pria bertanya pada Bobby dan Clara.

"Tidak mungkin. Anjing ini terus menggonggong dan tak sabar berlari," ujar Bobby menahan kuat ikatan anjing itu. Namun, ia tak mampu beradu pada kekuatan anjing yang semakin lincah. "Bantu aku!" 

Mereka memegangi tali bersamaan. "Bagaimana kita bisa mengendalikan anjing ini," pria kurus melepas pegangan dan membiarkan Bobby bersama satu pria lagi.

"Lepaskan saja, Bob. Anjing itu seperti akan menggigit kita," saran Clara sembari menjauhkan diri.

"Tapi ... ini miliki Pangeran, Clara." Tersisa Bobby yang masih menahan anjing pelacak hingga sedikit lagi jatuh ke jurang.

"Lepaskan saja, Bob! Atau kau ingin mati?" Clara memegangi tongkat api dengan kedua tangan.

Bobby melerai tangan dan anjing itu melompat. Beberapa saat hening. 

"Apakah anjing itu selamat?" Clara dan pria lainnya mendekat.

Suara anjing itu kembali bergema. Bobby terperangah.

"Sepertinya ia selamat," kata Bobby, sambil duduk di tepi jurang. Perlahan, ia menuruni sisi jurang dengan memegangi tiap pohon kecil yang tumbuh liar.

"Apa yang kau lakukan, Bob!" Teriakan Clara tak sengaja membuat Bobby mendongak hingga tangannya terlepas dari pohon kecil tadi. Kulitnya tergores bebatuan.

"Harusnya kau tak berteriak seperti itu. Kemarilah!" hardik Bobby geram. Menahan perih di siku.

Clara kembali mundur. "Aku tak bisa. Kalian saja menyusul Bobby."

Tiga pria tadi pun mencoba menuruni jurang yang cukup gelap. 

"Kita butuh tongkat api," kata salah satu pria di atas Bobby. 

"Tidak, kita tak bisa tanpa menggunakan kedua tangan," terang Bobby mulai menitikkan keringat akibat menahan beban tubuh. Menempelkan badan di sisi jurang. 

Clara berdecak. "Sebaiknya, aku tak ikut." Ia duduk di tepi jurang. 

Terdengar, anjing itu semakin jauh ke dalam pepohonan. Clara memilih menunggu mereka di atas sana.

***

Mata Vivian membulat saat mendengar anjing terus menggonggong menuju ke arah pohon yang dijadikan sarang. Ia memegangi dada yang sesak sembari mengintip ke bawah. 

"Apa yang harus aku lakukan," batin Vivian semakin cemas. Ia mulai merasakan kehadiran beberapa pria itu berdiri di bawah pohon.

Bobby menengadah, melekatkan pandangan dengan tongkat api.

"Apakah anak itu ada di atas sana?" tanya salah satu pria pada Bobby.

"Sepertinya begitu. Siapa yang ingin memeriksanya?" Pertanyaan Bobby membuat mereka saling menatap bergantian.

"Kita tak perlu ke atas," terang pria kurus berdiam sejenak. "Vivian, Keluarlah! Kau tak bisa lari dari kami. Pangeran menunggumu di istana atau binatang kesayanganmu akan kami bunuh," teriakan pria itu terdengar menggelegar. 

Vivian tak berdaya saat pria itu menyebut binatang. "Mereka menangkap Aglo ..." lirihnya dengan bibir bergetar. Ia membayangkan keadaan Aglo yang tertangkap. Tubuhnya sakit, ia tak dapat banyak berpikir atau melarikan diri lagi.

"Vivian, keluarlah!" Bobby tak sabar untuk memastikan di atas pohon adalah Vivian. Pergerakan Vivian menimbulkan suara gesekan ranting hingga mereka hampir yakin. 

Kaki Vivian menginjak dahang pohon dan mencengkram kuat bagian lain. Namun, ia tak sanggup berlama-lama hingga jatuh ke tanah dialasi rumput. Anjing pelacak itu menggonggong hendak mendekati Vivian, tetapi Bobby mengencangkan tali agar Vivian tak gigit.

Api di tongkat semakin menerangkan wajah Vivian yang menatap ke arah mereka. "Aku tak bisa berjalan," keluh Vivian merintih. 

"Kau tak perlu repot, kami akan menyeretmu," kata pria kurus mendekati Vivian menarik lengan.

"Sakit!" pekik Vivian menangis. "Lepaskan!" Vivian berusaha melepas tarikkan pria itu, lutut Vivian bergesek dengan ujungbaju menutup separuhnya.

"Berhenti, Lepaskan dia!" Bobby terdiam melihat Vivian berbaring dengan tangan masih diseret. "Pangeran tak akan rela calon pengantinnya ditemukan dalam keadaan penuh luka," ungkap Bobby menggarut dagu sekilas. 

Bobby membantu Vivian bangun. Ia berusaha memapahnya. Vivian ingin menolak, tetapi mengingat Aglo yang tertangkap.

"Jangan sakiti Aglo, Bob, aku mohon ..." lirih Vivian penuh harap. Ia mengenal Bobby sedari kecil. Namun mereka tak akrab seperti Clara. Vivian tak sempat bermain di masa kanak-kanaknya.

"Diamlah! Kuatkan kakimu saja," tegas Bobby hanya melirik kaki Vivian yang tengah bergetar melewati rerumputan.

Tiba di kaki jurang, mereka duduk melenturkan kaki. Vivian dilepaskan Bobby begitu saja. Vivian menatap sekeliling, udara fajar mulai dirasakan. Ia semakin menggigil.

"Aku tak bisa memanjatnya," ujar Vivian melirik ke arah Bobby, berganti pada sisi jurang di hadapan mereka.

"Tunggu sampai matahari terbit. Kita akan mencari jalan lain," jawab Bobby menaruh tongkat api ke dekat pria lain di sana.

"Pasti ada jalan lain, tetapi akan sangat jauh menempuhnya," sambung pria kurus.

"Mengapa kita tak meminjam tunggangan dari istana? Lagi pula, Pangeran tak keberatan jika untuk memenuhi keinginannya," kata pria berbadan besar pada Bobby.

"Kalian pikir, Pangeran sebaik itu?" Suara Bobby terdengar berat. Ia mulai mengantuk.

Mereka terdiam, duduk saling berhadapan menunggu mentari. Sementara Vivian, memikirkan nasib makin pahit ia terawang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status