Share

Tak Berdaya

Dari kejauhan, Vivian melihat kebun penduduk. Ia kembali mengingat masa kecil hingga dewasa. Harapan untuk mengubah hidup lebih bebas, kini semakin sirna. Ia mengerti apa yang akan dialaminya setelah menikah dengan Pangeran.

"Dimana binatangku?" tanya Vivian berulang kali pada Bobby. Ia tak sabar melihat keadaan Aglo.

"Bisakah kau diam? Sampai kita tiba di istana. Aku lelah," tegur Bobby dengan raut kesal. Perutnya mulai sangat terasa lapar usai perjalanan jauh. 

Vivian melihat sekeliling bergoyang, kakinya mulai tak terasa berpijak. Ia pun terhempas dengan mata terpejam. 

"Kau yang angkat gadis itu!" suruh Bobby pada Clara.

"Aku tak sudi menyentuhnya," bantah Clara memandangi Vivian tampak jijik.

"Kupastikan kau tak mendapat apapun jika tak mengurusi calon pengantin Pangeran." Bobby terdengar lantang di telinga Clara yang mengernyit melihat Bobby tiba-tiba berubah tegas seperti itu.

Clara berdecak. Ia terpaksa membawa Vivian usai meminta bantuan beberapa wanita muda di pemukiman tersebut.

***

Vivian terbaring belum sadarkan diri. Salah satu pelayan istana diperintahkan untuk merawat Vivian di rumah kecil khusus. Sementara Clara sibuk menebak-nebak upah yang akan diberi oleh Pangeran atas kerja sama mereka menemukan calon pengantin untuknya.

Pelayan dengan pakaian coklat dan kuning, pakaian menjulur hingga ke bawah lutut dengan rambut dikuncir. Ia menyuapi air berisi ramuan khusus agar Vivian cepat pulih.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Bobby mengejutkan wanita pelayan itu saat baru saja membuka pintu hendak ke istana.

"Gadis itu belum sadar, tetapi aku sudah memberikan semua ramuan khusus," jawab pelayan tersebut, lalu meninggalkan Bobby karena terburu-buru memberi tahu Pangeran tentang keadaan Vivian.  

Bobby masuk di ruangan Vivian dirawat. Ia memandangi Vivian yang terlihat payah. Matanya melirik ke wadah ramuan-ramuan di meja. Ia pun menghirup aroma khas obat tersebut.  

Vivian mengeluarkan suara lirih, kesakitan. Bobby mengamati wajahnya yang mengernyit. Ia duduk di sebelah pembaringan Vivian sejenak. Kemudian menoleh ke luar pintu. Ia beranjak dan meninggalkan Vivian semakin menjerit sakit.

Beberapa menit, Vivian membuka mata. Ia tak mengingat apa-apa. Lalu, pengawal yang menjaga pintu, telah memanggil perawat Vivian. Pengawal yang menenteng senjata berupa pedang sedikit pendek itu hanya berhenti di dekat bingkai pintu. Sementara perawat langsung memeriksa nadi dan mengamati wajah Vivian.

"Apa yang kau rasakan?" tanya perawat itu menatap mata Vivian yang sedang tak karuan seolah mencari sesuatu.

Vivian mulai mengingat dirinya, mengingat Aglo. "Dimana binatangku? Dimana mereka menangkapnya? Tolong katakan padaku!" desak Vivian mengibas kain penutup tubuhnya hendak memijaki lantai beralas ubin.

"Tenanglah! Mereka akan mengantarmu besok ke tempat hewan langka itu. Kau harus menyiapkan diri. Pulihlah dulu, Nak!" Jemari wanita perawat itu menahan pundak Vivian dan membaringkannya. "Bintang berbulu milikmu masih baik-baik saja. Percayalah," imbuhnya mengusap wajah dan rambut Vivian.

"Mengapa aku harus percaya padamu? Kau bagian dari istana ini, bukan?" Vivian yakin, ia berada di sekitar istana saat melihat pakaian pengawal dan perawat bermotif sama.

"Kalau begitu, kau tak perlu percaya. Tapi, kumohon, diamlah dan minum ramuan ini. Pangeran masih membiarkan hewan itu hidup agar kau menjadi pengantinnya." Perawat mengulurkan gelas seperti batok kelapa.

"Aku sudah tahu." Vivian terdiam sejenak. Mengatur napasnya. Lalu, Vivian meraih ramuan dan meminumnya. "Berapa lama aku dirawat di sini?" tanyanya penasaran. Ia mulai mengatur rencana.

"Kau akan keluar setelah luka-lukamu sembuh dan akan melangsungkan pernikahan," jawab perawat sembari menuangkan air putih.

Vivian meneguk air itu. Ia merasa sedikit lega usai merasakan kesejukan air. "Jika aku menikah, apakah Pangeran akan melepas Binatangku?" Melihat raut wajah perawat datar dan menunduk, Vivian langsung tersenyum tipis. "Kau tak perlu menjawabnya. Penghuni istana ini tak akan ada yang berbaik hati seperti  yang kupikirkan."

"Bagaimana dengan penduduk desa? Apakah mereka sebaik dirimu?" Perawat itu bertanya hanya untuk menyadarkan Vivian bahwa orang-orang hampir sama dengan penghuni istana.

Vivian tersenyum kesal. "Andai saja ada bagian dunia lain. Mungkin aku sudah tak ada di sini." Vivian menatap perawat lebih tajam. "Kau tahu, aku tak takut mati. Aku hanya ingin Aglo ... keluargaku, temanku satu-satunya selamat. Bebas dari kebusukan negeri ini," tegas Vivian.

"Bukan pertama kalinya aku mendengar orang yang menderita penuh ambisi sepertimu, Nak. Aku hanya berharap, tak ada kau di dekat makam orang-orang pemberontak yang malang." Perawat itu mengangguk kecil. Matanya terlihat memanas, tetapi tulus. Vivian dapat merasakan itu, seperti  saat Aglo menatapnya.

Perawat bergegas keluar untuk ke kamarnya. Ia berusaha tidur dengan nyenyak. "Masih ada waktu," gumamnya menengok langit malam di jendela.

Kamar perawat itu tak jauh dari ruang Vivian dirawat. "

***

"Darimana saja kau?" tanya Clara saat Bobby pulang di rumahnya.

"Melihat keadaan Vivian," jawab Bobby memijit kening. "Untuk apa kau kemari malam begini?"

"Aku hanya ingin memastikan upah ...."

Belum selesai Clara berbicara, Bobby sudah memotongnya. "Kau mendapatkan lebih banyak."

Mata Clara membulat dan disusul senyum lebar. "Sungguh?" Clara terus memastikan.

"Tentu. Pulanglah!" Bobby berlalu masuk ke biliknya dan menutup pintu. Sementara Clara dengan hati puas bergegas menuju rumahnya yang tak jauh dari rumah Bobby.

Bobby duduk di dekat jendela, ia menatap sekitar. Suara serigala berteriak, melengking tanda larut malam semakin menusuk. Ia meraih sebilah belati yang bergantung di dinding kayu. Belati itu berkilau. Kilaunya dari pantulan pelita kaca.

Badannya terasa sangat pegal. Ia memijit pundak dan lehernya sembari merebah di pembaringan. Kemudian, menghirup minyak wangi yang terbuat dari bahan alami menenangkan.

"Bobby!" Teriakan wanita dibalik pintu membuyarkan ketenangannya. Ia sontak terbangun dengan jantung berdebar tak beraturan. 

"Ada apa, Ibu? Aku sangat mengantuk," keluh Bobby mengusap mata.

"Untuk apa kau ikut campur mencari calon pengantin Pangeran?" tanya wanita itu dengan wajah berkaca-kaca. "Kau tahu, Pangeran akan membuatmu celaka jika keinginannya tak sesuai harapan."

"Tenanglah, Ibu ... tenang! Tugasku sudah selesai. Ibu tak perlu khawatir seperti ini," ujar Bobby sembari memeluk ibunya. Ia berusaha menenangkan wanita yang semakin menangis.

"Mengapa kau harus melibatkan diri, Nak. Kita tak butuh emas atau apapun dari orang itu. Sudah berapa banyak orang yang mati hanya karena kesalahan kecil. Bahkan, orang itu pernah membunuh anak laki-laki karena berkulit lebih putih dari dirinya ..." lirih ibu Bobby memaparkan.

"Cukup, Ibu. Berhenti mengingat kejadian buruk itu. Aku butuh emas dari Pangeran. Lalu semuanya selesai."

"Apa yang membuatmu yakin bahwa ia akan memberi hak itu? Ia licik!" Wanita itu terus menggeleng dalam dekapan putra sulungnya.

Bobby membawa ibunya ke kamar. "Tidurlah! Aku berjanji tak akan mendekati istana ataupun orang-orang di dalamnya. Sungguh ..." bujuk Bobby tak tega melihat ibunya mengingat peristiwa kelam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status