LOGINSecara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad.
Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi," sebutnya merana. "Seminggu ini kamu sulit sekali dihubungi, chat nggak dibalas, ditelepon hape kamu selalu nggak aktif. Kamu juga nggak datang ke rumah. Sebenarnya ada masalah apa?" Masalahnya adalah dia, bagaimana mungkin dia berusaha memangkas jarak di antara kami sementara di luar, Bas dan anggota yang lain sedang bekerja! "Malam ini pulang ya? Aku punya hadiah buat kamu. Kenapa kamu kelihatan takut? Bas nggak akan peduli, bukannya kamu juga yang bilang kalau hubungan kalian sudah kandas? Kita sudah melakukannya berulang kali, nggak akan ada bedanya kalau kita melakukannya lagi, Gumi." Aku menatapnya sinis. "Jadi Gumi yang ini selalu bikin Mas puas?" "Kamu juga suka, kan?" Dia mengedipkan sebelah mata, lalu menunduk untuk menempelkan bibirnya di leherku. Tapi aku menggunakan kesempatan itu untuk menendang selangkangannya. Sebenarnya ini hanya refleks, aku sampai gemetar deg-degkan ketika Mas Pj sontak memekik kesakitan. Dia membungkuk sambil menangkup bagian itu. "Sialan," makinya berang. "Apa yang kamu lakukan?!" "Maaf, sakit banget ya?" "Masih ditanya?" "Itu untuk apa yang sudah Mas lakukan ke Gumi dan Bas. Dan tolong jangan sentuh-sentuh aku lagi tanpa izin." "Apa?" "Kurang jelas?" Kedua rahangnya mengatup rapat. "Terus gimana sama kamu?" sambarnya mencengkram ketat lenganku saat akan membuka pintu. "Kamu sendiri yang menjual diri dan mohon-mohon supaya bisa jadi anggota The Blues. Kamu juga yang minta lagu bagus supaya band kalian bisa hits. Kamu lupa kalau kamu-lah yang selama ini nggak ada harga diri?" Aku meradang. "Mas juga lupa aku bisa bongkar perselingkuhan kita sama istri Mas? Jangan ngancem aku, Pj. Kamu bukan siapa-siapa di industri ini." Tanpa menunggu responnya, aku menyentak cengkeraman hingga terlepas. Sialan Gumi. Kami berbagi kantung plasenta bersama, tapi aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Maksudku, ini Bas Sangkara. Pria yang bugar, prima dan waras. Terlepas dia menyebalkan, tapi kenapa harus menjalin hubungan panas dengan Mas Pj yang secara fisik mirip tanaman rambat, dekil, kusam dan lengket. Rasanya seperti penghinaan. Aku terburu-buru menuruni tangga, napas tidak beraturan. Ketika sampai di bawah sebuah kaki jenjang memblok langkahku, praktis membuatku membatu. "Bas?" Kepalanya meneleng, sudut bibirnya naik membentuk senyum mengejek saat aku bergerak-gerak gelisah, sadar betul dengan penampilanku yang amburadul. "Kamu sudah selesai?" Aku mengangguk sambil membuang muka, mengerjap cepat, menghalau semua air mata yang ingin keluar. "Kita ada jadwal live music di Legolas kafe sampai malam. Bawa semua keperluan kamu, dan sekalian bawa tripod untuk kebutuhan merekam video." Benar, Rigen sudah mengirimkan semua jadwal The Blues seminggu ke depan. Aku di sini untuk mendapatkan uang, jadi tidak seharusnya aku merasa bersalah, karena toh, bukan aku yang mengkhianatinya. "Nunggu apalagi?" "Tas aku di atas." "Terus?" "Gimana kalau tunggu yang lain turun dulu sebelum nanti aku ambil gitarnya?" Walaupun sebenarnya hanya tinggal Mas Pj di lantai dua, tapi aku tidak sudi berpapasan dengannya lagi. Alis Bas mencuat naik. "Terserah," katanya. Dia memungut jaket kulit di sandaran sofa dan mengenakannya. "Kalau kita terlambat sampai di tempat, berarti itu salah kamu yang membuang-buang waktu." "Bukan gitu, Kak!" "Atau kamu bisa tetap di sini dan bersih-bersih lobi." "Oke, oke, aku ambil sekarang." "Kamu tahu apa yang saya nggak suka dari kamu Gumi?" tanyanya. Sukses membuat tubuhku yang akan berputar membeku. Langkah Bas perlahan maju. "Kamu selalu berdedikasi tinggi terhadap apa yang sedang kamu lakukan, dan kamu selalu berambisi untuk mencapai tujuan kamu, nggak peduli gimana pun caranya." Dia berhenti tepat di depanku. "Itu memang bagus, tapi kamu lupa kalau nggak semua hal bisa kamu dapatkan secara instan." Jemarinya yang dingin menyentuh bibirku, kepalaku tersentak, sementara dia mengusap lembut bibir itu. "Sorry, lipstik kamu berantakan. Tolong lebih hati-hati lagi saat kalian sedang berdua," sindirnya pedas. Matanya yang tajam menatap ke belakang kepalaku, di mana Mas Pj baru saja turun. Kemudian senyum sinisnya terbentang lebar. "Kalian pasangan yang serasi." ***Secara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad. Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi,
Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang. Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri m
"Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?""Mama juga nggak diundang.""Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?""Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu.""Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?""Bukan gitu, Sasa."Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit?"Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?""Nggak banyak.""Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga.""Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak berm
Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—""Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.Wajahku memucat. "Itu—""Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"Kutatap Bas dengan mata membol
"Mama yakin ini tempatnya?"Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik."Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa.""Gimana kalau mereka sadar?""Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."Masalahnya,







