Share

Part 4: Suara Fals

Penulis: Titi Chu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-07 14:23:03

Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang.

Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut.

Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja."

Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri?

Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan.

Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap.

"Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri menyodorkan sterofoam. Sudah langganan sebelum aku kuliah dan tinggal di asrama kampus.

"Tiga puluh ribu aja, Neng. Kamu si kembar yang rumahnya di ujung gang itu, ya? Apa kabar? Lama nggak kelihatan lagi?"

"Iya Bu, sibuk kuliah."

"Eh sebentar, ini Megumi atau Marsha?" tanyanya, matanya yang waspada menyipit memindai penampilanku.

Bagus, aku terkekeh kecil merasa puas karena penyamaranku sangat meyakinkan sampai beliau pun kegocek.

Aku ingin jujur, tapi teringat untuk mendalami peran jadi kupilih untuk menipunya. "Megumi, Bu."

"Wah, kalau gitu sekalian bayar tagihan makanan kamu selama sebulan kemarin ya. Ibu pikir kamu melarikan diri."

Tunggu...

"Gi-gimana Bu?"

"Setiap Ibu samperin ke rumah, selalu nggak ada orang. Kamu ke mana aja? Ibu udah suudzon kamu mau menipu Ibu."

Sial.

"Kapan hari Ibu ketemu Mama kamu, tapi dia buru-buru pergi sebelum ditagih. Nggak pa-pa terlambat dibayar, daripada nggak sama sekali." Belum sempat aku bertanya nominalnya, dengan gesit si Ibu menyambar kalkulator di meja.

"Yah, dihitung selama sebulan kecuali weekend berarti sekitar 660 ribu, tapi buat kamu Ibu diskon jadi 600 ribu aja."

Astaga, itu nominal yang lumayan untuk anak kuliahan bokek sepertiku!

"Bisa nggak kalau—"

"Bayar setengah dulu aja kalau memang kamu belum ada uangnya." Sadar aku pringas-pringis, dia bersikap murah hati.

"Maaf Bu saya sebenarnya—"

"Gimana Meg?" tanyanya di balik senyum lebar palsu. "Mohon maaf, ekonomi sekarang lagi lesu, lihat sendiri pelanggan Ibu udah mulai berkurang, uang segitu lumayan banget buat modal, Meg."

"Saya janji akan bayar, Bu."

"Tolong jangan janji-janji mulu, katanya kamu mau jadi artis, pasti punya duit kan? Ibu udah sabar mengizinkan kamu kasbon di sini, makanannya juga udah berakhir di toilet, jadi sekarang bayar!"

Astaga, kenapa dia harus frontal?

Pasangan yang sedang menyuap mendadak keselek. Karena berlokasi di pinggir jalan, tidak ada yang bisa dipandang saat makan selain memandangi keributan kami.

"Tapi Bu, saya bukan Megumi."

"Tolong jangan main-main ya, kamu sengaja mau berputar-putar. Terserah mau Marsha atau Megumi, siapa aja dari kalian lunasin—hei, mau ke mana kamu?"

Aku bergegas mundur lalu berputar sebelum suaminya ikut campur. "Nggak jadi makanannya Bu, makasih banyak." Aku melambai sambil berlari, membopong tas gitar, menyebrang di jalanan padat.

Sialan.

Kenapa hidup Gumi berantakan sekali? Ada saja gebrakannya yang bikin keki.

***

"Dari awal kita sudah sepakat album ini hanya berisi lagu-lagu rock. Kalau mengikuti standar netizen, berarti nggak ada bedanya kita dengan band lain." Suara Bas yang menggelegar mewarnai kehadiranku keesokan paginya.

Ada studio di lantai dua, tempat itu sangat luas dan menjadi satu-satunya yang kelihatan paling beradab.

"Pagi." Ketika aku masuk dan meletakkan tas gitar, empat pria yang sedang duduk di sofa menoleh. Auranya mencekam, hanya Bas yang tetap datar, aku meringis menyadari luka coreng kemarin kini sudah tertutup plester sehingga alih-alih musisi, dia lebih kelihatan seperti preman.

"Masalahnya zaman sekarang kita nggak bisa terus-terusan mengandalkan fans. Kita butuh menggaet general public, justru mereka yang bisa bantu lagu kita viral." Mas Pj manajer kami, melanjutkan obrolan yang sempat terpotong.

Aku nyempil, duduk di samping Rigen.

"Viral atau nggaknya itu nanti yang menentukan tetap lagu, kalau lagu cathcy, tanpa banyak gimick juga pasti meledak. Sudah banyak contohnya di pasaran."

"Nah, sekarang kamu simpulkan, menurut kamu lagunya cathcy atau nggak? Easy listening untuk dipotong-potong buat jadi short video atau nggak? Lagu kita kemarin aja tenggelam sama Tabolak Balik."

Bas seketika mingkem.

"Lagian bukan hanya kamu yang bisa menentukan daftar lagu apa saja yang akan masuk di album," lanjut Mas Pj rendah setelah jeda yang cukup panjang. "Rigen juga punya kuota di dalamnya, Ghozali berkontribusi, bahkan Gumi juga boleh memberikan pendapat. Bukan gitu, Gum? Gimana menurut kamu?"

Tiba-tiba ditodong begitu, aku gelagapan. "Yaa, menurut aku itu bagus."

"Gumi sudah mendengar demonya, dan dia setuju kalau lagu ini bisa membawa warna baru untuk The Blues."

Semua pasang mata langsung berpaling padaku. Rigen mengerutkan alis, Ghozali menguap bosan, sepertinya dia lebih ingin diskusi ini cepat berlalu dan pergi tidur, sementara Bas, bibirnya memberengut sinis seakan aku telah berkhianat.

Aku sontak mengkeret di kursi.

"Suara Gumi yang manja juga cocok untuk lagunya, kami sudah coba itu kemarin. Ini akan jadi duet fenomenal."

Tunggu...

"Bukannya saya cuma main gitar?"

"Hanya untuk lagu ini Gumi, kita udah diskusi minggu kemarin. Kamu bahkan sudah coba lagunya, loh."

Tapi aku tidak bisa bernyanyi, suaraku fals sedangkan Bas itu baritone rock, suaraku hanya akan terdengar seperti tikus kejepit kalau bersanding dengannya.

"Apa nggak bisa dicoba dulu pakai AI gitu, gimana hasilnya biar kelihatan suara kami cocok atau nggak?" pintaku cemas.

Bas mengernyit. "Jadi kamu setuju?"

Sial, sepertinya aku salah menjawab.

"Kamu mau kita tiba-tiba ganti genre?" cacarnya dengan mata menajam. "Kamu mau kita berubah jadi pasara—"

"Oke," putus Mas Pj menggunting intimidasi Bas. "Kita adakan voting aja, kita putar ulang lagunya di pertemuan makan malam dengan produser, kita pilih siapa yang setuju dan nggak. Tapi semua harus legowo apapun hasilnya nanti."

"Nggak perlu," sela Bas, nada suaranya tenang dan terkendali. Melipat kakinya, mengetukkan jemari di paha, seolah menunjukkan kalau di sini, di ruangan ini dialah yang paling berkuasa. "Pak Galih pasti setuju, Gumi setuju, lo setuju, Ghozali setuju. Cuma gue dan Rigen yang nggak suka, kami tetap akan kalah suara. Jadi kalau gitu..." Tanpa sadar aku bergidik ketika matanya berkilat-kilat licik. "Kita rekam saja lagunya sekalian."

Rigen menahan napas.

"Setelah gue pikir-pikir lagi, mungkin Mas Pj benar, kita harus mengapresiasi bakat terpendam Gumi dan memberikan dia ruang untuk berkarya, jadi, khusus untuk lagu ini, kami yang akan eksekusi." Lalu dengan tegas kakinya menjejak lantai, menatapku sambil membungkuk. "Gimana menurut kamu, Gumi?"

Aku rasa, aku sudah salah memilih penyamaran.

Begitu diskusi kami selesai, aku auto merosot di sofa, merasa lemas karena menjadi Gumi ternyata lebih sulit.

Ghozali menepuk bahuku memberi semangat. "Tenang aja, Bas nggak bakal gigit kok, lo pasti disayang-sayang."

Aku meringis, kalau disayang-sayangnya saja begini, lebih baik tidak usah sama sekali. Tengkukku meremang. Kenapa selera Gumi sangat di luar prediksi?

"Kamu udah sarapan Gum?" tanya Mas Pj ramah saat perlahan satu per satu anggota mulai bubar.

"Belum Mas, nggak sempat."

"Rumah kamu berapa jam dari sini?"

"Tiga jam kalau nggak macet."

Dia meringis, berpindah posisi menjadi di sampingku. "Lumayan itu, mau diantar?"

"Memangnya siapa yang mau antar? Pakai kendaraan lain juga sama aja Mas, naik kereta aku harus naik ojek lagi ke depan. Entah kenapa kalian pilih lokasi di sini?"

Aku benar-benar bingung, mana gedungnya pun tidak aestetik. Orang yang hilir mudik, mungkin berpikir kalau tempat ini semacam gedung terbengkalai.

"Aku bisa antar kalau kamu mau, atau kamu pindah aja ke apartemen."

Alisku mengerut, perkataan Mas Pj terdengar biasa saja tapi kenapa dia semakin merapat padaku?

"Apartemen? Siapa?"

Detak jantungku berdebar kencang saat Mas Pj menempel, berusaha mendesakku di sofa, napas hangatnya membelai wajahku lalu perlahan berbisik. "Kita."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 88: Husband Bastard

    "Langsung dibawa masuk semua Kak?" tanya Bianca saat di parkiran."Langsung ke lantai dua," sahut Gumi, matanya berbinar-binar, menatapku cerah. "Kalau nggak keberatan aku bisa sekamar sama Marsha.""Nggak usah sih, di sini banyak kamar, kenapa kita harus sekamar?" tanyaku agak sewot. Membiarkan para asistennya menggotong berkoper-koper pakaian untuk dipindahkan dari mobil ke dorm.Aku tidak tahu dari mana dia memiliki barang sebanyak itu. Karena rumah kami sudah dijual, dan saat di rumah sakit, tidak ada barangnya yang dibawa. Tapi kini, bahkan selain koper, Gumi memiliki banyak sekali gitar dan barang pribadi.Mungkin itu barang-barang yang dia simpan di apartemen pemberian Pj, kemudian dia pindahkan ke sini.Mama bilang kondisi kesehatannya memburuk tapi kembaranku bisa mengenakan heels tanpa goyah. Mereka selalu kompak dalam membohongi aku.Ghozali mengebul di sebelahku, entah sudah berapa banyak rokok yang dia hisap selagi m

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 87: Banyak Bacot

    "Banyak bacot. Ina-ini-ono. Intinya bilang aja dia mau Gumi kembali ke band, banyak alasan sampai nyalahin buzzer Pj segala. Padahal dia yang mau Gumi di sini."Rigen mendumel ketika kami keluar dari ruangan tersebut. Pintunya masih terbuka jadi kuyakin Pak Galih mendengar. Agak mengejutkan, kupikir di antara semua orang Rigen yang paling santai, tapi kali ini dia ikut menyembur."Kenapa nggak to the point dari awal. Gue bukan nggak suka sama Gumi, tapi capek kalau harus bongkar pasang terus." Rigen menyergah kasar kemudian melenggang pergi bersama Jefri dan Lio.Suara Bas dan Pak Galih yang masih cekcok di ruangan terdengar ke luar."Apa yang kamu lakukan ke Pj sebenarnya sampai dia dendam begini, Bas?""Saya hanya menunjukkan ke istrinya tentang perselingkuhan dia. Itu saja.""Ya pantas kalau Pj mengamuk, dia langsung diceraikan. Harusnya kamu lebih bijaksana menyikapi hal seperti ini, Pj juga berkontribusi besar buat

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 86: Lima Puluh Persen

    Aku tidak tahu berapa lama tidur, karena sejujurnya aku menolak untuk tidur.Namun suara hujan yang melambat perlahan terasa candu, membuai hingga mataku otomatis memberat. Atau karena malam sebelumnya aku insomnia, jadi kali ini badanku terasa lebih lelah.Anehnya begitu bangun, alih-alih Ghozali aku justru menemukan Bas di sampingku, masih dengan pakaian yang sama seperti kemarin. Wajahnya tampak kuyu."Morning." Dia menyapa.Aku segera duduk tegak, menyambutnya dalam pelukan, Bas mendekap lama, menyandarkan wajahnya di pundakku."Gumi nggak pa-pa?""Kamu tahu aku di sana?" Kepalaku mengangguk, pelukan Bas terasa mengetat. "Maaf ya, nunggu aku pulang semalam? Aku nggak bisa lewat."Ya ampun, aku menyayanginya. Aku harap Bas tidak akan mengecewakan."Iya. Goz mana?""Sudah pamit barusan, dia bikin sarapan buat kamu tapi sudah dingin. Kamu tidur di sini terlalu nyenyak," jelasnya. Mengurai pelukan kami.

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 85: Abu-Abu

    "Kondisi kesehatan Gumi memburuk karena konfrontasi kamu. Jadi bukan salah dia kalau dia minta Bas datang. Dan bukan salah Bas juga kalau lebih memilih menemani Gumi di sini. Kenapa sih, hal sepele kayak gini aja mesti diributin?""Aku nggak ribut Ma, aku cuma nanya apa Bas masih di sana? Di luar tuh hujan, daerah sekitar kami banjir. Jadi Bas nggak mungkin bisa pulang, makanya aku tanya dia di mana. Masih di rumah atau udah jalan ke sini? Kalaupun masih di sana juga aku malah akan bilang lebih baik dia menginap daripada maksa pulang.""Halah banyak alasan, daritadi kamu sibuk nelponin Mama cuma buat tanya ini? Nggak penting banget Sa. Udahlah, Mama banyak kerjaan, nggak bisa ngurusin drama-drama kamu terus. Kalau kamu cemburu, itu masalah kamu, resiko ngambil suami orang. Istigfar Sa.""Mending Mama ngomong gitu ke Gumi.""Gumi udah melewati banyak hal Marsha, dia hampir meninggal. Hidupnya hancur. Dia harus bolak-balik ke rumah sakit. Selama ber

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 84: MPASI

    Panggung hari ini benar-benar menggelegar. Telingaku sampai sakit mendengar dari balik earpiece setiap kali Bas berhasil mencapai nada tinggi.Pantas kalau dia memilih melupakan rokok, menjaga pola makan dan sering makan rebus-rebusan yang dianggap Rigen sebagai MPASI, alias makanan untuk bayi. Karena suaranya benar-benar anugerah sekaligus berbau-bau uang.Staminanya pun yang paling menakjubkan. Kalau soal jingkrak-jingkrak perlu kuakui semua personil kalau sudah naik ke panggung seperti orang kesurupan. Ghozali tidak bisa diam, Rigen menggila, dan Bas bikin penonton auto melotot. Tapi umur mereka beda-beda, jadi wajar kalau aku kagum dengan Bas sebab dia yang paling sesepuh di antara kami."Tolong selamatkan aku," kataku begitu kami berempat turun. Adrenalin melonjak, gigi kering karena teriak-teriak. Tapi saat turun kakiku rasanya gemetar.Jefri meringis, menyampirkan handuk ke pundakku dan melempar handuk ke yang lain. Aku menggumamkan terima

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 83: Basic Manner

    "You awake?"Justru sebaliknya, aku belum tidur sama sekali. Semalaman aku insomnia. Dan Bas, meskipun dia di sisiku, memelukku sepanjang malam, aku tetap tidak merasa tenang. Jantungku berdebar, tiap menarik napas rasanya sesak, panas, dan setiap akan memejamkan mata, aku langsung terbangun dengan perasaan siaga.Lalu yang bisa kulakukan adalah mendengarkan suara dengkuran Bas yang halus, melihat bagaimana otot perutnya bergerak dalam napas yang stabil.Dia kelihatan damai, seakan semua masalah telah selesai."Badan aku agak gatal-gatal, kayaknya kurang cocok sama air di pantai.""Gimana? Sini." Dia meraih lenganku yang terjulur, lalu memerhatikan bentol-bentol merah yang nampak di sana. "Kamu ada alergi juga? Panas nggak, Sa?""Nggak, cuma gatal. Setahu aku nggak ada, tapi kulit aku memang sensitif.""Sialan, aku nggak notice ini." Dia mengecupinya dengan implusif seakan dengan begitu akan sembuh. Aku menarik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status