LOGINTentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang.
Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri menyodorkan sterofoam. Sudah langganan sebelum aku kuliah dan tinggal di asrama kampus. "Tiga puluh ribu aja, Neng. Kamu si kembar yang rumahnya di ujung gang itu, ya? Apa kabar? Lama nggak kelihatan lagi?" "Iya Bu, sibuk kuliah." "Eh sebentar, ini Megumi atau Marsha?" tanyanya, matanya yang waspada menyipit memindai penampilanku. Bagus, aku terkekeh kecil merasa puas karena penyamaranku sangat meyakinkan sampai beliau pun kegocek. Aku ingin jujur, tapi teringat untuk mendalami peran jadi kupilih untuk menipunya. "Megumi, Bu." "Wah, kalau gitu sekalian bayar tagihan makanan kamu selama sebulan kemarin ya. Ibu pikir kamu melarikan diri." Tunggu... "Gi-gimana Bu?" "Setiap Ibu samperin ke rumah, selalu nggak ada orang. Kamu ke mana aja? Ibu udah suudzon kamu mau menipu Ibu." Sial. "Kapan hari Ibu ketemu Mama kamu, tapi dia buru-buru pergi sebelum ditagih. Nggak pa-pa terlambat dibayar, daripada nggak sama sekali." Belum sempat aku bertanya nominalnya, dengan gesit si Ibu menyambar kalkulator di meja. "Yah, dihitung selama sebulan kecuali weekend berarti sekitar 660 ribu, tapi buat kamu Ibu diskon jadi 600 ribu aja." Astaga, itu nominal yang lumayan untuk anak kuliahan bokek sepertiku! "Bisa nggak kalau—" "Bayar setengah dulu aja kalau memang kamu belum ada uangnya." Sadar aku pringas-pringis, dia bersikap murah hati. "Maaf Bu saya sebenarnya—" "Gimana Meg?" tanyanya di balik senyum lebar palsu. "Mohon maaf, ekonomi sekarang lagi lesu, lihat sendiri pelanggan Ibu udah mulai berkurang, uang segitu lumayan banget buat modal, Meg." "Saya janji akan bayar, Bu." "Tolong jangan janji-janji mulu, katanya kamu mau jadi artis, pasti punya duit kan? Ibu udah sabar mengizinkan kamu kasbon di sini, makanannya juga udah berakhir di toilet, jadi sekarang bayar!" Astaga, kenapa dia harus frontal? Pasangan yang sedang menyuap mendadak keselek. Karena berlokasi di pinggir jalan, tidak ada yang bisa dipandang saat makan selain memandangi keributan kami. "Tapi Bu, saya bukan Megumi." "Tolong jangan main-main ya, kamu sengaja mau berputar-putar. Terserah mau Marsha atau Megumi, siapa aja dari kalian lunasin—hei, mau ke mana kamu?" Aku bergegas mundur lalu berputar sebelum suaminya ikut campur. "Nggak jadi makanannya Bu, makasih banyak." Aku melambai sambil berlari, membopong tas gitar, menyebrang di jalanan padat. Sialan. Kenapa hidup Gumi berantakan sekali? Ada saja gebrakannya yang bikin keki. *** "Dari awal kita sudah sepakat album ini hanya berisi lagu-lagu rock. Kalau mengikuti standar netizen, berarti nggak ada bedanya kita dengan band lain." Suara Bas yang menggelegar mewarnai kehadiranku keesokan paginya. Ada studio di lantai dua, tempat itu sangat luas dan menjadi satu-satunya yang kelihatan paling beradab. "Pagi." Ketika aku masuk dan meletakkan tas gitar, empat pria yang sedang duduk di sofa menoleh. Auranya mencekam, hanya Bas yang tetap datar, aku meringis menyadari luka coreng kemarin kini sudah tertutup plester sehingga alih-alih musisi, dia lebih kelihatan seperti preman. "Masalahnya zaman sekarang kita nggak bisa terus-terusan mengandalkan fans. Kita butuh menggaet general public, justru mereka yang bisa bantu lagu kita viral." Mas Pj manajer kami, melanjutkan obrolan yang sempat terpotong. Aku nyempil, duduk di samping Rigen. "Viral atau nggaknya itu nanti yang menentukan tetap lagu, kalau lagu cathcy, tanpa banyak gimick juga pasti meledak. Sudah banyak contohnya di pasaran." "Nah, sekarang kamu simpulkan, menurut kamu lagunya cathcy atau nggak? Easy listening untuk dipotong-potong buat jadi short video atau nggak? Lagu kita kemarin aja tenggelam sama Tabolak Balik." Bas seketika mingkem. "Lagian bukan hanya kamu yang bisa menentukan daftar lagu apa saja yang akan masuk di album," lanjut Mas Pj rendah setelah jeda yang cukup panjang. "Rigen juga punya kuota di dalamnya, Ghozali berkontribusi, bahkan Gumi juga boleh memberikan pendapat. Bukan gitu, Gum? Gimana menurut kamu?" Tiba-tiba ditodong begitu, aku gelagapan. "Yaa, menurut aku itu bagus." "Gumi sudah mendengar demonya, dan dia setuju kalau lagu ini bisa membawa warna baru untuk The Blues." Semua pasang mata langsung berpaling padaku. Rigen mengerutkan alis, Ghozali menguap bosan, sepertinya dia lebih ingin diskusi ini cepat berlalu dan pergi tidur, sementara Bas, bibirnya memberengut sinis seakan aku telah berkhianat. Aku sontak mengkeret di kursi. "Suara Gumi yang manja juga cocok untuk lagunya, kami sudah coba itu kemarin. Ini akan jadi duet fenomenal." Tunggu... "Bukannya saya cuma main gitar?" "Hanya untuk lagu ini Gumi, kita udah diskusi minggu kemarin. Kamu bahkan sudah coba lagunya, loh." Tapi aku tidak bisa bernyanyi, suaraku fals sedangkan Bas itu baritone rock, suaraku hanya akan terdengar seperti tikus kejepit kalau bersanding dengannya. "Apa nggak bisa dicoba dulu pakai AI gitu, gimana hasilnya biar kelihatan suara kami cocok atau nggak?" pintaku cemas. Bas mengernyit. "Jadi kamu setuju?" Sial, sepertinya aku salah menjawab. "Kamu mau kita tiba-tiba ganti genre?" cacarnya dengan mata menajam. "Kamu mau kita berubah jadi pasara—" "Oke," putus Mas Pj menggunting intimidasi Bas. "Kita adakan voting aja, kita putar ulang lagunya di pertemuan makan malam dengan produser, kita pilih siapa yang setuju dan nggak. Tapi semua harus legowo apapun hasilnya nanti." "Nggak perlu," sela Bas, nada suaranya tenang dan terkendali. Melipat kakinya, mengetukkan jemari di paha, seolah menunjukkan kalau di sini, di ruangan ini dialah yang paling berkuasa. "Pak Galih pasti setuju, Gumi setuju, lo setuju, Ghozali setuju. Cuma gue dan Rigen yang nggak suka, kami tetap akan kalah suara. Jadi kalau gitu..." Tanpa sadar aku bergidik ketika matanya berkilat-kilat licik. "Kita rekam saja lagunya sekalian." Rigen menahan napas. "Setelah gue pikir-pikir lagi, mungkin Mas Pj benar, kita harus mengapresiasi bakat terpendam Gumi dan memberikan dia ruang untuk berkarya, jadi, khusus untuk lagu ini, kami yang akan eksekusi." Lalu dengan tegas kakinya menjejak lantai, menatapku sambil membungkuk. "Gimana menurut kamu, Gumi?" Aku rasa, aku sudah salah memilih penyamaran. Begitu diskusi kami selesai, aku auto merosot di sofa, merasa lemas karena menjadi Gumi ternyata lebih sulit. Ghozali menepuk bahuku memberi semangat. "Tenang aja, Bas nggak bakal gigit kok, lo pasti disayang-sayang." Aku meringis, kalau disayang-sayangnya saja begini, lebih baik tidak usah sama sekali. Tengkukku meremang. Kenapa selera Gumi sangat di luar prediksi? "Kamu udah sarapan Gum?" tanya Mas Pj ramah saat perlahan satu per satu anggota mulai bubar. "Belum Mas, nggak sempat." "Rumah kamu berapa jam dari sini?" "Tiga jam kalau nggak macet." Dia meringis, berpindah posisi menjadi di sampingku. "Lumayan itu, mau diantar?" "Memangnya siapa yang mau antar? Pakai kendaraan lain juga sama aja Mas, naik kereta aku harus naik ojek lagi ke depan. Entah kenapa kalian pilih lokasi di sini?" Aku benar-benar bingung, mana gedungnya pun tidak aestetik. Orang yang hilir mudik, mungkin berpikir kalau tempat ini semacam gedung terbengkalai. "Aku bisa antar kalau kamu mau, atau kamu pindah aja ke apartemen." Alisku mengerut, perkataan Mas Pj terdengar biasa saja tapi kenapa dia semakin merapat padaku? "Apartemen? Siapa?" Detak jantungku berdebar kencang saat Mas Pj menempel, berusaha mendesakku di sofa, napas hangatnya membelai wajahku lalu perlahan berbisik. "Kita." ***Secara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad. Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi,
Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang. Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri m
"Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?""Mama juga nggak diundang.""Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?""Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu.""Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?""Bukan gitu, Sasa."Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit?"Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?""Nggak banyak.""Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga.""Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak berm
Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—""Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.Wajahku memucat. "Itu—""Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"Kutatap Bas dengan mata membol
"Mama yakin ini tempatnya?"Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik."Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa.""Gimana kalau mereka sadar?""Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."Masalahnya,







