INICIAR SESIÓN"Kamu di belakang."
Daripada semakin julid, aku nurut saja dan pindah posisi, Ghozali yang juga adalah gitaris pindah ke samping Bas. Sepanjang perjalanan posisi kami tidak pernah berubah, di mobil pun begitu, seakan aku memiliki penyakit menular jika dekat-dekat dengan Bas. Tapi wajar mungkin dia memang berpikir demikian setelah mengetahui Gumi selingkuh. Sementara Mas Pj adalah tipikal muka tembok yang tidak ada segan-segannya, wajahnya tetap santai seolah tidak terjadi apa-apa bahkan kendarannya mengikuti kami di belakang selama ke Legolas. "Tolong nadanya jangan lari-larian." Kini selagi sibuk menghibur di atas panggung, Mas Pj duduk di salah satu sudut kafe mengawasi kami dengan beberapa orang yang kukenal sebagai pencipta lagu. Matanya tidak lepas menatapku, membuat jengkel. Seandainya saja ada yang bisa kulakukan untuk mencolok mata itu, maka— "Sialan," bisik Bas disela-sela jeda, dia melirikku sadis. "Ketinggian, kamu sengaja mau bikin saya kehabisan napas?" Astaga. Saking murkanya aku sampai tidak sadar telah salah memainkan kunci. Aku baru paham saat suara Bas melengking, urat-urat di lehernya tampak kebetot. "Maaf, Kak." "Gue pikir memang dirubah." Rigen yang menandaskan air minum, menimpali. Aku meringis. "Tadi—" "Inilah efek sampingnya kalau kamu absen latihan. Nggak ada yang bisa kamu lakukan selain main asal-asalan." "Nadanya udah aku turunin, Kak." "Sekarang apa gunanya lagi? Kenapa kamu selalu bikin saya darah tinggi?" Bas dongkol dan menaruh mikrofonnya, kuembuskan napas berat saat menyaksikan dia turun dari panggung. "Istirahat dulu aja, lo pasti capek karena ini baru pertama kali," hibur Rigen seraya menyela dirinya bangkit dari drum. Lalu merangkul leherku untuk menyusul Bas turun. "Wajar kalau masih berantakan, namanya juga pemula. Gue aja kadang masih berantakan karena ada beberapa lagu yang nggak hafal, manusiawi." Mohon maaf, aku senang dengan afirmasi positifnya tapi lengannya yang berada di leherku terasa mencekik. Kuhela lemak itu untuk menjauh. "Makasih, tapi kamu bisa dengan cepat menyesuikan diri. Kalau aku, berkali-kali cuma kena bentak." "Pakai gue-lo aja, Gum. Geli gue dengernya lo sok manis gini, bukan Gumi banget." Bibirku mengatup rapat. "Gimana sebat dulu, makan dulu?" "Cuci muka dulu." Kubiarkan dia melenggang ke arah belakang kafe bersama Ghozali, sedangkan aku melipir ke backstage, ruangan yang disediakan pemilik kafe untuk personil The Blues istirahat. Bertepatan dengan asisten Bas, Jefri yang keluar dari tempat itu, meninggalkan Bas sendirian. Dia sedang rebahan di sofa, tangannya terlipat dan bertumpu di atas kening menutupi sebagian wajahnya. Melihatnya begini, entah kenapa aku merasa bersalah. "Maaf Kak, aku nggak bermaksud mengacau, seharian kemarin aku udah latihan sendiri di rumah, yah walaupun itu nggak bisa dianggap sebagai latihan, tapi aku udah berusaha lebih baik, Kakak nggak akan mendepak aku, kan?" Aku agak ngeri kalau tiba-tiba mereka menggantikan posisiku dengan personil lain. Meskipun Rigen berkata kalau mengganti anggota itu membutuhkan banyak tahapan dan repot. Tapi siapa yang bisa menjamin Bas tidak akan menendangku dari The Blues? Terlebih aku pun telah menghina Mas Pj. "Aku yakin Kakak orang yang murah hati, selama ini aku memang banyak salah. Tapi bukannya hubungan profesional nggak seharusnya dicampur-adukkan dengan masalah pribadi?" Bas belum merespon. "Aku janji nggak akan mengecewakan, Gumi..." Aku berdeham untuk membersihkan tenggorokan. "Maksudnya Kakak pasti paham kalau ini impian aku. Aku akan berusaha, bukan dengan cara instan seperti yang Kakak tuduhkan." Bas tidak bergerak. "Gimana kalau Kakak bantu ajarin aku supaya kita bisa jadi tim yang solid?" Sama sekali tidak ada tanggapan. Keningku berkerut, lalu perlahan mendekatinya, membungkuk sedikit untuk munusuk lembut lengannya. "Kak?" Astaga, apakah dia tidur? Cepat sekali dia terlelap? Sia-sia semua kata-kata manisku, kalau begini lebih baik aku mengikuti Rigen ke smoking area. Alur hidup Gumi memang penuh plot twist. Kutusuk lengannya sekali lagi karena gemas. "Kenapa harus Gumi?" bisikku rendah. "Harusnya kamu menikah sama perempuan waras. Gumi memang nggak ada tandingnnya soal nyakitin perasaan orang lain. Nanti kalau Gumi udah sadar kamu boleh ngamuk sama dia tapi untuk sekarang aku bukan—" Aku berjengit ketika tiba-tiba pergelangan tanganku dicengkeram kuat, lalu tanpa aba-aba tubuhku ditarik, jatuh di atas perutnya. Detak jantungku langsung berpacu cepat sedangkan kelopak matanya perlahan terbuka, menatapku fokus dan tajam. "Apa yang kamu lakukan?" geramnya. Aku segera melompat bangkit, menyelipkan anak rambut yang berantakan ke daun telinga. "Itu, Rigen, Ghozali udah selesai, maksdunya kita sebentar lagi balik ke panggung." Sialan, mulutku selalu belepotan kalau merasa terancam. Alis Bas mengerut suram, dia beringsut bangkit dan perlahan menjatuhkan tungkainya ke lantai. "Did I sleep?" Kepalaku mengangguk. "Jam berapa sekarang?" "Setengah dua siang." "Baru lima belas menit kamu sudah membangunkan saya?" "Yahh, tapi Kakak belum makan." Dengan salah tingkah, kutarik semua makanan yang tersedia di atas meja. "Kopi? Chips? Kentang goreng? Nasi goreng? Sate? Ini semua riders yang Kakak minta. Jefri yang mengantarnya ke sini tadi." Aku tertawa canggung, tapi karena dia diam saja, tawaku langsung menguap. "Silakan." Dia mendengkus, tampak tidak terkesan. "Bukan saya yang request, semua itu makanan kesukaan Rigen." Oh? "Saya nggak bisa makan makanan yang berminyak untuk menjaga kualitas suara." Benar, kenapa aku tidak bisa berpikir ke sana? "Mau aku ambilin air putih Kak?" Lirikannya yang keji lagi-lagi membuatku ingin nyemplung ke palung Mariana. "Atau Kakak butuh yang lain?" "Nggak sekalian kamu tawarkan untuk memijat kepala saya? Itu yang lebih saya butuhkan sekarang." Aku mingkem, setengah mati berusaha untuk tidak mencuit saat Bas melewati tubuhku begitu saja. Aroma parfumnya yang maskulin, khas mint langsung menusuk indera penciumanku. "Kalau kamu berusaha bersikap baik hanya karena merasa bersalah atas apa yang terjadi di atas panggung, lupakan, sudah terlambat untuk melakukan itu Gumi," katanya rendah dan santai. Dia menarik mug di salah satu sudut ruangan dan mengambil air dari dispenser sebelum berputar dan menatapku, setengah berdiri setengah bersandar di meja. "Kecuali kalau kamu punya solusi permanen." "Kakak beneran mau mecat aku?" "Saya lebih ingin kita cepat bercerai." Ya ampun, mulutnya memang tidak ada filter sama sekali. "Kenapa? Kamu keberatan?" Aku menggeleng, bagaimana akan membantah kalau posisiku terjepit? "Kalau gitu berhenti mengulur-ulur waktu dengan keributan harta gono-gini. Nggak ada yang bisa dibagi Gumi, kamu selalu hidup sendiri, saya pun demikian. Saya bisa bayar nominal yang kamu mau, tapi setelah itu apa kamu bisa menjamin nggak akan memeras keluarga saya lagi?" Gumi melakukan semua itu? "Saya paham kamu tulang punggung keluarga, ada orang tua dan adik yang menjadi tanggung jawab kamu, tapi kalau kamu memanfaatkan orang lain hanya untuk keuntungan pribadi, saat kamu melakukan kesalahan sedikit saja, orang yang nggak menyukai kamu bisa mengambil kesempatan untuk melawan." "Kakak juga begitu?" todongku, jantung berdebar tidak keruan. Bagiku meski Gumi bajingan, tapi dari kecil aku selalu mengagumi kepribadiannya yang mandiri. Dan kalau Bas benar, maka selama ini, kemandirian itu hanya mitos. Seringai Bas terbit, dia berjalan mendekat hanya untuk memastikan bisa menatap tajam mataku. "Apa yang kamu harapkan? Saya melupakan semua yang terjadi? Atau membakar semua bukti-bukti? Kamu terlalu naif kalau berpikir saya akan melepaskan kamu begitu saja—" "Kalau gitu paparkan bukti-bukitnya di persidangan." "Apa?" Dia bisa memotong kata-kataku maka aku pun bisa melakukan hal yang sama. "Kakak tadi bilang soal bukti-bukti, kalau memang Gumi..." Aku berdeham sebelum melanjutkan lebih pelan. "Selingkuh, tolong jelaskan ke hakim, aku yakin beliau pasti langsung menerima gugatan Kakak." Alis Bas mengernyit. "Kenapa kamu berkata seolah kamu bukan Gumi?" "Apa?" Kini gantian aku yang mendelik. "Atau kamu memang bukan Gumi?" ***Tidak, tidak, tidak.Aku melotot ketika satu per satu kru nurut, menjauh dari kolam renang. Ini sama sekali tidak adil. Kenapa mudah bagi Bas untuk memberi perintah? Dan anehnya semua langsung patuh. Bahkan Mas Danu menyunggingkan senyum keji dari bean bag di pinggir kolam. Dia bangkit, mengambil gelas berisi winenya lalu dengan tenang berkata."Selamat bersenang-senang, kids."Kamera yang super besar dan berkilo-kilo itu ditarik mundur. Kabel-kabel digulung dengan hati-hati, lighting dipindahkan.Jantungku berdegup kencang saat merasakan Bas menarikku ke sisinya. Ya ampun, dia mau apa?"CCTV hidup," peringatku."Kamu belum pernah melakukan hal yang tidak senonoh dan direkam, kan?"Mataku melotot. Kalau kalian ingat Jason Mamoa ketika menjadi Aquaman. Begitulah Bas di mataku sekarang, bedanya dia lebih kelihatan muda. Bagaimana aku tidak terintimidasi?"Kak, aku minta maaf." Akhirnya kupilih
"Kopi?""Aku nggak minum kopi, Kak.""Panggil Noah aja, aku ngerasa tua.""Bukan karena aku istri palsu Bas?"Dia tergelak tanpa suara. "Walaupun kamu bukan istri Bas, tapi kamu adik Gumi, jadi sama aja kita tetap saudara." Akhirnya Noah mengulurkan air mineral botol.Di sini, di tempat pasien berlalu lalang, di bawah pohon rindang, kami duduk bersama. Tadinya aku ingin langsung pulang, tapi Noah mengajak melipir sebentar, aku nurut saja, merasa butuh tempat untuk menarik napas sejenak."Waktu kamu sakit, aku sempat datang ke studio kalian. Saat itu kita belum kenalan, tapi aku agak kaget karena kamu mau tidur sama Bas, padahal kalian dalam proses cerai." Noah memulai. Aku suka dengan caranya yang tanpa basa-basi. "Terus aku mikir, yah, mungkin kalian sudah baikan. Bas kelihatan berharap. Waktu dia nikah, aku cuma datang sebentar saat akad karena ada operasi, kesan aku buat Gumi, she's so adorable. Tipikal perempuan yang disukai
Karena harapan itu jatuh dalam sekejap."Kembali ke kontrak awal, enam bulan, sekarang sudah berjalan tiga bulan. Menurut dokter Gumi butuh therapy. Dia belum bisa menggunakan anggota tubuhnya. Jalan masih susah, pegang pena aja harus diajarin ulang. Butuh waktu lama bagi Gumi untuk pulih. Perkiraan kami bisa memakan waktu berbulan-bulan, jadi Marsha Sadipta," tekan Bas dalam-dalam. "Bisa tetap di sini melanjutkan karir Gumi.""Gue setuju." Ghozali menyahut cepat. "Marsha yang berjuang sama kita dari awal. Jadi nggak ada yang perlu dirubah karena toh, secara teknis dialah gitaris The Blues yang asli. Salahnya dia hanya, Marsha memakai identitas orang lain. Kalau soal kualitas, dia nggak kalah kok. Lihat sendiri gimana hasilnya, kan?""Tapi di sana juga masalahnya loh." Rigen menyahut. Dia meliriku sangsi. "Ini bukan gue benci sama lo Gum, eh, Sa. Tapi pemalsuan identitas itu lumayan fatal, karena Gumi udah diterima jadi anggota, kalau Marsha yang datang, b
"Keadaan Gumi nggak bisa langsung membaik dalam satu, dua hari. Dia belum stabil, jadi kamu tetap harus tanggung jawab dengan kontrak kerja kamu." Bas melirik ke arah koperku. "Simpan itu. Setelah semua yang terjadi, nggak mungkin kamu kabur gitu aja."Hidungku kembang kempis, namun aku nurut. Ghozali tampak puas melihat benda itu kumasukkan kembali dalam lemari."Kita diskusi di bawah," katanya.Alis Bas mengerut, dia menyentuh lengan Ghozali yang akan keluar. "Lo udah tau?"Bisa kulihat wajah pria itu berubah keras ketika Ghozali mengangguk. Bibirnya tersenyum sinis sebelum semburan sumpah serapah keluar. Aku sampai memejamkan mata. "Brengsek, jadi di antara kita cuma gue yang nggak tau?""Ini cuma kebetulan, Bas. Marsha nggak pernah cerita apa-apa," tegas Ghozali. "Mending kita bahas di bawah."Sebagai permulaan, Ghozali berjalan lebih dulu di depan. Bas menggeleng samar. Dia memandangku dengan berang, tatapannya persis sepert
"Kamu bodoh, benar-benar bodoh, dari dulu kamu nggak bisa apa-apa sih, harusnya kamu diam aja dan nggak usah ngomong atau cari alasan. Ini kenapa kamu malah pasrah, Sa?"Aku memejamkan mata dengan bentakan Mama. Beliau sepertinya baru dikabari pihak rumah sakit mengenai keadaan Gumi yang terbangun. Bukannya bersyukur beliau malah menyempatkan untuk memarahi aku perkara Bas."Kalau begini tamatlah riwayat kita berdua. Kamu nggak paham siapa yang lagi dihadapi? Bas. Bas Sangkara. Astaga Marsha, dia bisa nyeret kita ke penjara." Mama kembali misuh-misuh.Aku menghela napas sabar. "Ma, aku juga udah capek cari-cari alasan terus. Lagian Bas bukan orang tolol. Dia udah sadar aku bukan Gumi dari pertama lihat aku. Kalau terus-terusan nyamar, itu malah bikin kita ngebodohin diri sendiri, Ma.""Itulah kenapa Mama bilang, kamu sabar sedikit. Kamu pikir cuma kamu yang capek? Kamu pikir Mama selama ini liburan? Mama pontang panting cari pinjaman ke sana ke si
Kamu tahu adegan film di saat dunia terasa melambat. Seperti tiba-tiba jarum jam berhenti berdetak, suasana hening, pandangan menyempit dan hanya dia.Itulah yang kurasakan.Bas menoleh, dia langsung menyadari kehadiranku. Selama mengenalnya ada banyak ekspresi Bas yang sudah kusaksikan. Mulai dari mengamuk, bahkan sampai dia malu-malu di kamar. Tapi tidak pernah kulihat wajahnya dalam kombinasi rasa marah dan kecewa seperti ini. Dan itu membuatku seketika gemetar.Kutelan ludah susah payah selama berjalan mendekat, aku ingin bertanya apa yang dia lakukan di sini? Tapi sudah jelas, Bas telah mengetahui semuanya."Kamu udah lama?" tanyaku pelan."Dua hari."Jadi selama ini dia tidak di Bandung melainkan menemani Gumi?Aku sudah kalah."Nggak ada yang mau kamu katakan? Kamu bilang bisa menjelaskan."Mataku sudah panas, dan ingin bersimpuh di kakinya memohon pengampunan. "Bas, Gumi udah koma dari tiga bula







