Share

Vonis Cinta Sang Hakim
Vonis Cinta Sang Hakim
Author: Cerita Tina

1. Pindah Tugas

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-06 16:37:16

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di perbukitan desa kecil di Jawa Barat. Viona berdiri di teras rumah dinas sederhana yang sudah tiga tahun ia tempati. Cat dindingnya mulai pudar, kayu jendela mengelupas, tapi di sanalah ia belajar banyak hal, melayani pasien dengan peralatan seadanya, menenangkan ibu-ibu muda yang panik, sampai menertawakan tingkah anak-anak yang sering bermain di halaman klinik kecil itu.

Di meja kayu, berkas-berkas perpindahan sudah tersusun rapi. Tangannya bergetar ringan saat menutup map cokelat terakhir. “Sudah selesai,” gumamnya, meski hatinya terasa berat.

“Bu Suster, masa beneran mau pergi?” suara seorang anak laki-laki memecah lamunannya. Rian, bocah kelas tiga SD yang sering membantunya mengantar obat, berdiri sambil menggaruk kepala.

Viona tersenyum lembut. “Iya. Kakak harus pindah ke Tangerang, dekat sama orang tua. Di sini sudah ada bidan baru yang akan gantikan tugas Kakak.”

Rian manyun. “Tapi Kakak beda… Kakak suka cerita sama kami, suka bawain permen dan roti juga.”

Tiba-tiba beberapa anak lain ikut mendekat. Lala, gadis kecil berambut kepang, memeluk kaki Viona. “Kakak jangan pergi. Kalau sakit, siapa yang kasih obat?”

Viona berjongkok, merangkul mereka. Matanya berkaca-kaca. “Tenang, ada Bu Rini nanti. Beliau baik, kan? Dan Kakak janji, kalau libur, Kakak akan mampir. Kalian harus tetap semangat sekolah, jangan malas belajar, ya?”

“Janji ya Kak? Jangan lupa!” seru anak-anak hampir bersamaan.

Viona mengangguk sambil tertawa kecil. “Janji.”

Tak lama, beberapa ibu datang, membawa nasi liwet, ikan asin, dan lalapan. Mereka ingin makan siang bersama sebelum Viona benar-benar berangkat. “Suster, maaf kalau selama ini suka cerewet ya,” kata Bu Wati sambil menyodorkan piring. “Tapi kami semua berterima kasih. Suster sabar banget ngadepin kami, walau kadang suka panik berlebihan.”

“Betul, Sus,” sambung yang lain. “Saya nggak akan lupa waktu anak saya demam tinggi tengah malam, Suster langsung datang tanpa mengeluh. Padahal hujan deras.”

Viona tersenyum, menahan haru. “Itu memang sudah tugas saya, Bu. Saya justru belajar banyak dari ibu-ibu semua. Kalian kuat, saling bantu, saling dukung. Saya kagum.”

Suasana makin hangat ketika kepala desa ikut hadir. Lelaki tua berpeci hitam itu berkata. “Kamu sudah jadi bagian dari desa ini, Nak. Jangan pernah merasa sendiri. Kalau kapan-kapan butuh tempat pulang, desa ini rumahmu juga.”

Viona menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Pak. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan bapak dan warga desa.”

Azan dzuhur berkumandang dari mushola kecil di ujung jalan. Semua orang terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Seolah suara itu menjadi tanda perpisahan.

Setelah shalat, saat mobil jemputan dari puskesmas kecamatan tiba, Viona berdiri di depan rumah dinas untuk terakhir kalinya. Anak-anak melambai, beberapa ibu menyeka air mata.

“Selamat jalan, Suster Viona! Jangan lupakan kami!” teriak mereka bersamaan.Viona membalas dengan senyum lebar dan mata yang berkaca-kaca. “Jaga diri kalian baik-baik, ya. Kakak sayang kalian semua.”

Mobil perlahan melaju meninggalkan desa menuju stasiun. Dari kaca belakang, Viona melihat wajah-wajah yang sudah menjadi keluarganya selama bertahun-tahun. Hatinya berdesir berat, tapi juga penuh syukur.

Di kepalanya, satu kalimat berulang-ulang, ini bukan akhir, hanya babak baru.

Dan babak itu akan dimulai di Tangerang, di rumah orang tuanya, tempat ia harus menata ulang hidupnya dari awal.

Kereta melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berguncang ringan di atas rel. Viona duduk dekat jendela, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya menatap keluar, mengikuti pemandangan yang terus berganti.

Ponsel Viona berdering pelan dan bergetar di genggamannya. Ia segera menggeser layar, terdengar suara ibunya dari seberang.

“Nak, sudah di kereta? Kami di rumah sudah menunggu. Ayahmu sebentar lagi berangkat ke stasiun.”

“Iya, Bu. Baru saja kereta berangkat. Mungkin satu jam lagi sampai. Rasanya aneh ya, akhirnya benar-benar pulang.”

“Pulang itu selalu baik, sayang. Rumah ini terasa sepi tanpamu.”

Viona (tersenyum) “Aku juga rindu sekali. Nanti kita makan malam bareng ya, Bu. Aku kangen masakan rumah.”

“Tentu. Semua sudah Ibu siapkan. Hati-hati di perjalanan, ya. Jangan tertidur sampai kelewatan stasiun.” sahut ibunya.

“Hehe, siap. Sampai ketemu sebentar lagi, Bu.”

Sambungan telepon terputus, menyisakan rasa hangat di dada Viona.

Kereta melewati jembatan, sungai di bawahnya berkilau terkena cahaya matahari. Viona tersenyum samar, hatinya menghangat. Perjalanan ini seperti garis penutup sebuah tugas, sekaligus pembuka kisah baru dalam hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   15. Kerinduan Theo

    Malam itu, rumah terasa sunyi. Setelah makan malam, Theo langsung masuk ke kamar. Varen memperhatikan ada yang aneh pada Theo malam ini. Dia hanya mau makan sedikit, dan tampak seperti tidak bersemangat. Varen kemudian mengikutinya ke kamar dan membawakan susu hangat. Namun Theo kelihatan gelisah di ranjang, tubuh kecilnya meringkuk, wajahnya memerah. Sesekali ia merengek, “Om… aku kangen mami,, hmm juga mami Viona” suaranya bergetar, membuat hati Varen ikut mencelos. Varen hanya bisa mengusap punggung kecil itu, mencoba menenangkan. “Iya, Nak. nanti kita ketemu lagi sama tante Viona, ya.” Tapi ia sendiri tak yakin kapan dan bagaimana harus mencari alasan. Dia tak berani mengajak Viona bertemu, apalagi dengan alasan Theo yang merindukannya. Biasanya mereka hanya bertemu kebetulan dirumah Niki, tapi sejak Niki menolaknya waktu itu, Varen jadi segan untuk mampir apalagi tanpa alasan jelas. Theo terus merajuk, suaranya makin lirih, hingga akhirnya ia menyerah dalam tangis kecilnya, ia

  • Vonis Cinta Sang Hakim   14. Salah Paham

    Keesokan harinya di kantor. Setelah sidang yang cukup melelahkan, Varen kembali ke ruangannya. Jasnya ia letakkan di sandaran kursi, lalu ia duduk, menghela napas panjang. Refleks, tangannya meraih ponsel di meja, membuka aplikasi sosmed kebiasaan barunya belakangan ini.Tak lama sebuah notifikasi kecil muncul, update story dari Viona. Tanpa pikir panjang, ia klik. Story itu sederhana saja foto ruang dinasnya dengan caption singkat. Tapi entah kenapa, hanya melihat itu saja dadanya terasa lebih ringan.Tak sadar, jarinya terpeleset, menekan emotikon love eyes. Seketika Varen kaget, wajahnya memucat. “Astagfirullah… gimana cara batalinnya?” Ia buru-buru mencari opsi undo, tapi terlambat. Ada tanda “Seen” di bawahnya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk Viona membalas dengan emotikon senyum.Varen mematung, jantungnya berdebar cepat. “Waduh….”Daripada berlarut dalam canggung, ia nekat membuka percakapan. "Eh maaf tadi gak sengaja, hehe. Gimana kabarnya, Viona?’Tak lama, balasan

  • Vonis Cinta Sang Hakim   13. Parfum Yang Sama

    Pagi itu langit cerah, udara Sabtu terasa lebih ringan. Varen membawa Theo menjenguk Kartika. Sudah lama ia ingin datang, apalagi Theo selalu senang kalau bertemu Omanya. Mereka sampai dengan membawa bungkusan dimsum kesukaan Kartika.Ibunya, seorang perempuan keturunan Tionghoa muslim, dia terlihat sedikit lebih segar hari itu. Keriput di wajahnya tampak lebih tenang, senyumnya tulus menyambut anak dan cucunya yang datang.Mereka duduk santai di ruang tamu.“Bagaimana kerjamu, Ren?” tanya ibunya sambil menata piring dimsum.“Alhamdulillah, lancar, Bu. Suasana kantor juga baik, rekan-rekan ramah semua.”“Syukurlah.” Sang ibu tersenyum, mendengar anaknya beradaptasi dengan bagus dilingkungan kerjanya.Mereka bersantai di ruang tamu sambil melanjutkan perbincangan ringan. Suasana hangat itu tiba-tiba terusik ketika ponsel Varen berbunyi. Ada pesan masuk dari Niki. Sebuah video pendek. Varen menonton sekilas, ternyata itu video saat makan malam dulu di foodcourt. Terlihat jelas, Viona se

  • Vonis Cinta Sang Hakim   12. Celah Tabir

    Hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasanya. Namun hari itu, dia baru sampai kerumah pada jam 10 malam. Lelah masih tersisa di wajahnya setelah seharian lembur. Ia membuka kemeja yang lengannya sudah kusut, meletakkan tas kerja di kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu.Theo sudah lebih dulu terlelap sejak perjalanan pulang. Tubuh mungilnya dibaringkan di kamar, masih memeluk boneka beruang hadiah terakhir dari Thania dulu. Varen sempat menatap lama anak itu sebelum keluar kamar. Ada sesuatu yang menusuk dadanya tiap kali melihat Theo tidur dengan damai. Seolah dunia ini tega merenggut kebahagiaan kecil anak itu dengan cara yang terlalu kejam.Pintu depan terbuka, Radit masuk dengan langkah berat, dasinya sudah dilonggarkan, wajahnya penat. Tanpa banyak bicara, ia melempar jas ke sandaran kursi lalu rebah di sofa seberang Varen. “Lembur juga?” tanyanya singkat. Varen hanya mengangguk, sama-sama tak punya energi untuk bicara panjang.Tak lama Lino keluar d

  • Vonis Cinta Sang Hakim   11. Mengapa Harus Dia

    Sudah hampir 20 menit, mereka masih bercengkerama riang di meja foodcourt. Anak-anak menikmati makanan dengan penuh tawa, sementara percakapan orang dewasa berjalan ringan, meski sesekali terasa canggung.Tak lama kemudian, Viona melihat jam tangannya. Ia menegakkan tubuh, lalu tersenyum tipis.“Maaf ya, aku harus berangkat dulu. Jam kerjaku sudah dekat.”Theo spontan menatapnya dengan wajah merajuk. “Mami, jangan pergi dulu.”Viona menunduk, mengusap lembut kepala bocah itu. “Theo kan anak baik. Besok-besok kita bisa ketemu lagi. Sekarang tante Vio harus kerja, supaya bisa bantu orang-orang sakit.”Sebelum benar-benar pergi, ia mengeluarkan kotak cupcake kecil yang tadi mereka “rebutkan” di rak kue dan menyodorkannya pada Theo.“Ini untukmu.”Mata Theo berbinar cerah. “Makasih, Mami!” Ia langsung memeluk Viona sebentar, hangat dan tulus, sebelum melambaikan tangan.“Dah, Mami…” suaranya menggema hingga Viona menghilang di keramaian.Lino terdiam, menatap adegan itu dengan bingung. “M

  • Vonis Cinta Sang Hakim   10. Keresahan Varen

    Dalam perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil semula hening. Theo menatap keluar jendela, lalu tiba-tiba bersuara riang,“Om… apa hari ini kita bertemu Mami lagi?”Varen refleks menoleh, kaget. “Mami?” alisnya berkerut. “Theo, kenapa kau terus memanggilnya begitu?”Theo tersenyum polos. “Waktu Om pergi dulu, Theo tinggal sama mami Viona.”“Dia panggil Theo sayang,” lanjut Theo sambil tertawa kecil, “Suapin makan, main sama Theo, bacain cerita. Tidur Theo peluk Mami Viona.”Suara imut bocah itu tampak semangat dalam bercerita.Varen terdiam mendengarkan. Dia tidak menyangka kalau Viona yang mengurusnya, Padahal ibunya Niki yang mau Theo tinggal bersamanya dan bermain Bersama Yumna saja.“Wanginya sama seperti mami. boleh kan Theo panggil dia Mami?”Varen terdiam lama. Ada sesuatu yang menusuk hatinya antara rasa kaget dan bingung yang bercampur jadi satu. Theo menoleh dengan mata berbinar, seolah menaruh harapan besar.“Nanti kita ketemu Mami Viona lagi kan, Om?”“Kita lihat n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status