Share

Vonis Cinta Sang Hakim
Vonis Cinta Sang Hakim
Author: Cerita Tina

1. Pindah Tugas

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-06 16:37:16

Hujan turun ringan di luar jendela apartemen Varen. Langit kota Amsterdam yang kelabu tampak menggantung rendah, seolah tahu bahwa pagi ini bukan pagi yang biasa.

Ponselnya dari tadi bergetar beberapa kali namun ia tidak melihatnya segera. Tangannya masih sibuk merapikan dokumen dari kantornya yang sebentar lagi akan membuka pintu ke sebuah kontrak kerja permanen. Impian hidupnya perlahan hampir tergenggam.

Ponselnya bergetar lagi. Ia mengangkat kepala.

"Mama"

Ia mengernyit. Ibunya tidak pernah menelepon sepagi ini. Beliau tidak terlalu akrab dengan perbedaan waktu.

Lima jam lebih cepat dari Indonesia ke Belanda, biasanya ibunya baru menelepon saat petang di sana.

Ia menjawab. “Halo Ma...?”

Tidak ada suara. Hanya nafas tersendat. Seperti seseorang mencoba bicara, tapi ada sesuatu yang lebih berat dari kata-kata menahan di tenggorokan.

“Ma?” Varen Kembali memanggil.

“Ren, Thania...” suara itu akhirnya muncul. Parau. Rapuh.

“Thania dan suaminya sudah nggak ada, Ren...”

Deg. Dunia di sekitar Varen seperti berputar saat mendengar itu. Dia masih tak percaya apa yang didengar dari ibunya itu.

“Thania kecelakaan waktu perjalanan pulang dengan suaminya.”

Ibunya menangis. Tidak teratur, seperti napasnya diikat dan ditarik paksa keluar dari tubuh.

“A..apa? bagaimana dengan Theo?” Tanya Varen panik.

“Dia ditinggal dirumah, sekarang dia sendirian.” Jawab ibunya dengan isaknya yang tersendat.

Pagi itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar duka. Ia kehilangan kakaknya, satu-satunya orang yang selalu berkata bahwa Varen boleh memilih jalannya sendiri.

Dia langsung bergegas, Kini, Theo tak punya siapa pun kecuali mereka.

Varen memandang ke luar jendela. Amsterdam terasa semakin dingin. Dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik,

“Apa yang kau kejar, Ren. Mereka membutuhkanmu sekarang.”

Varen langsung mengajukan cuti panjang. Ia tahu hidupnya sedang bergeser, namun ia belum tahu bahwa semua ini bukan sekadar musibah.

***

Disisi lain. Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di perbukitan desa kecil di Jawa Barat. Viona berdiri di teras rumah dinas sederhana yang sudah tiga tahun ia tempati.

Di sanalah ia belajar banyak hal, melayani pasien dengan peralatan seadanya, menenangkan ibu-ibu muda yang panik, sampai menertawakan tingkah anak-anak yang sering bermain di halaman klinik kecil itu.

Di mejanya berkas-berkas perpindahan sudah tersusun rapi. Tangannya menutup map cokelat terakhir.

“Sudah selesai,” gumamnya, meski hatinya terasa berat.

“Bu Suster, beneran mau pergi?” suara seorang anak laki-laki memecah lamunannya.

Rian, bocah kelas tiga SD yang sering membantunya mengantar obat, berdiri sambil menggaruk kepala.

Viona tersenyum lembut. “Iya. Kakak harus pindah dekat sama orang tua. Di sini sudah ada bidan baru yang akan gantikan tugas Kakak.”

Rian manyun. “Tapi Kakak beda. Kakak suka cerita sama kami, suka bawain permen dan roti juga.”

Tiba-tiba beberapa anak lain ikut mendekat. Lala, gadis kecil berambut kepang, memeluk kaki Viona. “Kakak jangan pergi. Kalau sakit, siapa yang kasih obat?”

Viona berjongkok, merangkul mereka. Matanya berkaca-kaca. “Tenang, ada Bu Rini nanti. Beliau baik, kan? Dan Kakak janji, kalau libur, Kakak akan mampir. Kalian harus tetap semangat sekolah, jangan malas belajar, ya?”

“Janji ya Kak? Jangan lupa!” seru anak-anak hampir bersamaan.

Viona mengangguk sambil tertawa kecil. “Janji.”

Tak lama, beberapa ibu datang.Mereka ingin makan siang bersama sebelum Viona benar-benar berangkat.

“Suster, maaf kalau selama ini suka cerewet ya,” kata Bu Wati sambil menyodorkan piring.

“Tapi kami semua berterima kasih. Suster sabar banget menghadapi kami, walau kadang suka panik berlebihan.”

“Betul, Sus,” sambung yang lain. “Saya tidak akan lupa waktu anak saya demam tinggi tengah malam, Suster langsung datang tanpa mengeluh. Padahal hujan deras.”

Viona tersenyum, menahan haru. “Itu memang sudah tugas saya, Bu. Saya justru belajar banyak dari ibu-ibu semua. Kalian kuat, saling bantu, saling dukung. Saya kagum.”

Suasana makin hangat ketika kepala desa ikut hadir. Lelaki tua berpeci hitam itu berkata. “Kamu sudah jadi bagian dari desa ini, Nak. Jangan pernah merasa sendiri. Kalau kapan-kapan butuh tempat pulang, desa ini rumahmu juga.”

Viona menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Pak. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan bapak dan warga desa.”

Azan dzuhur berkumandang dari mushola kecil di ujung jalan. Semua orang terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Seolah suara itu menjadi tanda perpisahan.

Setelah shalat, saat mobil jemputan dari puskesmas kecamatan tiba, Viona berdiri di depan rumah dinas untuk terakhir kalinya. Anak-anak melambai, beberapa ibu menyeka air mata.

“Selamat jalan, Suster Viona! Jangan lupakan kami!” teriak mereka bersamaan.Viona membalas dengan senyum lebar dan mata yang berkaca-kaca.

“Jaga diri kalian baik-baik, ya. Kakak sayang kalian semua.”

Mobil perlahan melaju meninggalkan desa menuju stasiun. Dari kaca belakang, Viona melihat wajah-wajah yang sudah menjadi keluarganya selama bertahun-tahun.

Hatinya berdesir berat, tapi juga penuh syukur. Di kepalanya, satu kalimat berulang-ulang, ini bukan akhir, hanya babak baru.

Dan babak itu akan dimulai. Berkumpul dengan orang tuanya, tempat ia menata ulang hidupnya dari awal.

Kereta melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berguncang ringan di atas rel. Viona duduk dekat jendela, dagunya bertumpu pada telapak tangan.

Matanya menatap keluar, mengikuti pemandangan yang terus berganti. Ponsel Viona berdering pelan dan bergetar di genggamannya.

Ia segera menggeser layar, terdengar suara ibunya dari seberang.

“Nak, sudah di kereta? Kami di rumah sudah menunggu. Ayahmu sebentar lagi berangkat ke stasiun.”

“Iya, Ma. Baru saja kereta berangkat. Mungkin satu jam lagi sampai. Rasanya aneh ya, akhirnya benar-benar pulang.”

“Pulanglah. Rumah ini terasa sepi tanpamu.”

Viona tersenyum, “Aku juga rindu sekali. Nanti kita makan malam bersama ya. Aku rindu masakan rumah.”

“Tentu. Semua sudah Mam siapkan. Hati-hati di perjalanan, ya. Jangan tertidur sampai kelewatan stasiun.” sahut ibunya.

“Hehe, siap. Sampai ketemu sebentar lagi, Ma.”

Sambungan telepon terputus, menyisakan rasa hangat di dada Viona.

Kereta melewati jembatan, sungai di bawahnya berkilau terkena cahaya matahari. Perjalanan ini seperti garis penutup sebuah tugas, sekaligus pembuka kisah baru dalam hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Vanilla Ice Creamm
seruuuu sih.. wajib dilanjut bacanya sampai tuntas
goodnovel comment avatar
Sekarani
viona semangat membuka lembaran baru!
goodnovel comment avatar
Cerita Tina
Apakah itu di aceh? ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   148. Akhir

    Beberapa waktu kemudian, Lino naik jabatan sebagai jaksa senior. Jabatan itu datang bersama tanggung jawab yang lebih besar. Tak lama setelah itu, Lino mendatangi Bahri sebagai pengganti ayahnya Tari yang sudah tiada. Ia melamar Tari secara langsung, dengan cara sederhana dan tegas. “Saya serius. Saya ingin menikahinya dan menjaganya,” ucap Lino. Bahri menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah, Aku percayakan Tari padamu.” Pernikahan mereka dilaksanakan segera. Keluarga dan sahabat hadir. Bahkan Rio juga datang memberi selamat. Setelah prosesi, Rio menghampiri Lino lebih dulu. Ia menjabat tangannya. “Selamat,” ucapnya singkat. Lino merangkul pundaknya. “Terimakasih, bro.” Rio lalu berdiri di depan Tari. “Aku tunggu jandamu.” Pasangan itu terkejut sejenak. Rio langsung terkekeh. “Tenang. Aku tidak akan bilang begitu. Buatku kata-kata itu tidak keren sama sekali." Ia menatap mereka bergantian. “Aku di sini buat mendukung kalian. Berbahagialah.” Tari mengangguk. “T

  • Vonis Cinta Sang Hakim   147. Kita Berhasil

    Dua hari kemudian, Viona dan kedua bayinya dinyatakan stabil dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit. "Selamat datang di rumah kita, anakku sayang,” ucap Varen pada kedua bayinya. Rumah kembali terasa hidup. Masing-masing nenek mengurus satu bayi. Theo tetap menempel pada maminya. Viona sengaja membiarkannya, ia tak ingin Theo merasa tersisih sedikit pun. Rio sudah pulang ke rumah, ia ingin melepas beban sejenak. Sudah lama ia tak berkumpul dengan teman-teman dan geng motornya. Namun sebelum itu, ia merasa bangga karena sudah ikut andil dalam memperjuangkan hukum yang adil. Tari pun pulang ke kosannya. Lino yang mengantarnya langsung. Ia juga membantu Tari membersihkan kos Tari yang sudah kacau balau sejak ditinggalkan beberapa waktu lalu. Mayang yang sudah mendarat dari tugasnya, langsung mampir kerumah Viona. Mayang sudah tak sabar ingin melihat keponakan kembarnya itu. "Hai, sayang, Auntie datang." ujarnya begitu datang dengan penuh percaya diri. Viona menepis tangan

  • Vonis Cinta Sang Hakim   146. Janji Telah Usai

    “Bajingan,” desis Rukmana saat melewati Bahri. Dadanya meradang saat mengetahui orang yang paling ia percaya justru yang menusuknya paling dalam. Ia bisa memahami Varen. Dendam karena kematian kakaknya adalah sesuatu yang masuk akal. Tapi tidak pada Bahri. Rukmana membuka rahasia, menitipkan jaringan, bahkan mempercayakan aliran kekayaan dan jalur gelap yang selama ini tak tersentuh hukum kepadanya. Semua diserahkan, namun bukan menolong, ia malah menyerahkan semuanya menjadi bukti yang memperberat dan menghancurkannya di akhir sidang. Kini tak ada lagi senyum tenang atau tatapan meremehkan. Tangan Rukmana terborgol, tubuhnya ditarik kasar oleh petugas. Tidak ada negosiasi yang bisa menawar keputusan yang diberikan oleh hukum. Ia digiring menuju penjara khusus untuk penjahat kelas kakap, tempat kekuasaan tak lagi berarti apa pun. Di sana, bukan soal melarikan diri. Untuk bertahan hidup saja, seseorang harus memiliki mental kuat. Dan untuk pertama kalinya, Rukmana sadar, p

  • Vonis Cinta Sang Hakim   145. Berbelok

    Majelis hakim masih berunding Semua orang menunggu termasuk Varen. Ia duduk tegak, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana.Sejak ancaman itu terucap pagi tadi, separuh jiwanya tertinggal di ruang bersalin bersama Viona. Di setiap detik yang berlalu, dadanya seperti diperas oleh kemungkinan terburuk.Ia membuka ponselnya. Pesan dari Radit tertera,“Ren, Viona aman.”Jantungnya berhenti sesaat. Pesan kedua menyusul. Varen menunduk, jari-jarinya gemetar saat menyentuh layar ponselnya."Kedua bayimu telah lahir, mereka baik-baik saja."Dunia seperti berhenti bergerak. Varen menarik napas dalam, seolah baru sekarang paru-parunya benar-benar terisi udara. Bahunya yang sejak pagi menegang, perlahan turun. Ia memejamkan mata, dan merasa sangat bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberinya istri yang kuat.Nafasnya keluar panjang, seolah beban yang menindih dada sejak subuh akhirnya diangkat perlahan.Sidang sempat diskors singkat. Para hakim berdiskusi dengan wajah tegang. Seorang

  • Vonis Cinta Sang Hakim   144. Di Ujung Nafas

    Rumah sakit itu telah berubah menjadi kacau. Tari melangkah cepat memasuki gedung, wajahnya tegang. Di belakangnya, beberapa prajurit berseragam bergerak sigap, menyebar sesuai aba-aba singkat. Mereka berada di bawah komando pamannya “Titik sasaran lantai empat rawat bersalin,” ujar salah satu prajurit singkat. Tari mengangguk dan mempercepat langkah. Begitu keluar dari pintu lift darurat, matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Radit sudah setengah terdorong keluar balkon lantai empat. Seorang pria berusaha menjatuhkannya. Radit meronta dengan napasnya tersengal dan wajahnya pucat. Tangannya mengenggam baju pria itu untuk bertahan supaya tidak terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Tari menyambar kursi kayu di dekat ruang tunggu. Buk! Kursi itu menghantam punggung pria penyerang dengan keras. Pria itu terhuyung, cengkeramannya terlepas. Tari menghantam sekali lagi hingga pria itu tersungkur tak bergerak. “Kau apakan adik iparku?!” b

  • Vonis Cinta Sang Hakim   143. Ancaman.

    Radit berlari masuk kerumah sakit, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di hadapannya ada Rio yang sedang dihadang oleh empat pria berbadan besar. Tak ada satu pun sekuriti yang terlihat disana. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Rio pun sudah paham situasinya. Tanpa banyak pikir, ia melayangkan pukulan pertama. Rahang salah satu pria itu menghantam dinding. Tiga lainnya menyusul. Di sela perkelahian, Rio menoleh cepat ke arah Radit dan memberi isyarat tegas dengan dagunya untuk menyuruh Radit pergi. Radit tak membantah. Ia berlari ke dalam, menyusuri lorong menuju kamar Viona. Namun mereka sudah menyebar. Tiga orang muncul dari tikungan. Radit menghajar satu dengan siku, satu lagi tersungkur setelah tinju mendarat tepat di hidung dan satu lagi dengan tendangan ke arah ke arah selangkangan, titik lemah utama. Nafasnya terengah, langkahnya tak melambat. Ini bukan soal berani lagi, ini soal waktu. Rio yang sudah menyelesaikan di luar langsung men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status