MasukLangit Jakarta menyambutnya dengan kelembaban dan bau tanah yang baru diguyur hujan.
Langkah Varen pelan keluar dari pintu bandara dengan koper ditangannya. Pandangannya buram bukan karena cuaca, tapi karena tubuhnya belum sepenuhnya percaya bahwa kali ini dia kembali untuk sebuah kehilangan. Begitu sampai didepan rumahnya, seorang kerabat menyambutnya di pintu. Varen masuk dan melihat ibunya duduk lemas disudut dinding rumah dengan tatapan kosong. Melihat Varen datang, tangis ibunya kembali pecah. Mereka berpelukan seolah saling memberi kekuatan satu sama lain. Salah seorang kerabat berkata pelan dan lirih, "Sudah mulai Ren, kita langsung kesana ya." Varen hanya menganguk. Perjalanan ke pemakaman itu seperti mimpi buruk. Suasana hening, dari dalam mobil hanya terdengar suara ban di aspal dan sesekali hembusan nafas panjang dari sopir. Varen tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap jendela, melihat wajah asing orang-orang dijalanan yang menjalani hidup seperti biasa. Sementara dunianya sedang remuk dalam diam. Ketika mobil berhenti, langkahnya terasa berat. Tanah basah menyambutnya. Tercium bau bunga dengan penampakan payung-payung hitam yang berjejer pelan diantara pelayat. Ia berjalan di tengah kerumunan yang tak ia kenal satu persatu, tapi semua orang memandang iba padanya. Dan disanalah dia, Theo, keponakannya. Dia berdiri dekat liang lahat, mengenakan baju setelan abu dengan rambut yang sedikit basah. Bocah itu diam tanpa tangis. Hanya matanya yang bulat menatap ke arah tanah galian kuburan, seolah tak mengerti mengapa tubuh ibu dan ayahnya tak kunjung bangun. Varen melangkah melambat kearahnya. Dadanya terasa sesak. Ia ingin lari atau berteriak. Tapi tubuhnya hanya bisa berdiri diam. Theo menoleh, mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Hanya sepasang mata anak kecil yang kehilangan segalanya dan sepasang mata lelaki muda yang baru sadar bahwa dirinya tak bisa lagi hidup hanya untuk dirinya sendiri. Setelah pemakaman, ketika semua orang berangsur pergi, Varen tetap duduk dekat batu nisan. Theo duduk di sampingnya, memeluk lutut. Sesaat hening, lalu suara kecil Theo akhirnya pecah, “Mami tidur ya?” Butuh waktu lama sebelum Varen bisa menjawab. Dan ketika ia bicara, suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang berusaha dirangkai ulang. “Iya Theo, tapi mami masih di sini...” Tangannya menunjuk dada Theo. “Di sini tempat Mami tinggal sekarang.” Theo tidak menjawab. Tapi pelan-pelan, ia menyandarkan kepalanya ke lengan Varen. Varen dengan satu tangannya yang lain mengelus rambut Theo untuk menenangkannya. Langit sudah menunjukkan tanda-tanda senja, Varen menuntun Theo untuk pulang kerumah. Varen membuka pintu pelan-pelan. Theo digendongnya, tertidur setelah menangis sepanjang jalan pulang. Ibunya menunggu di ruang tamu. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali Varen pulang. Ia tidak banyak bicara, hanya menatap Theo yang dibaringkan di kamarnya, dia mengusap pipi cucunya dengan punggung tangan yang gemetar. Theo tertidur dengan wajah penuh jejak air mata. Dalam tidurnya, ia sesekali bergumam memanggil “Mami…” dengan suara kecil. Sang nenek mengusap lembut rambut cucunya, menatap wajah polos itu dengan hati yang berkecamuk. Ia berbisik pelan doa yang ditujukan untuk anak perempuannya yang telah tiada, “Than… tenanglah di sana, ya. kami akan jaga anakmu dengan baik.” *** Keesokan harinya, Theo duduk di lantai dengan mainannya, wajah polosnya kebingungan. Bocah itu baru tiga tahun, belum mengerti benar arti kematian. Yang ia tahu hanya satu, “Mami mana?” pertanyaan yang berulang-ulang menusuk dada siapa pun yang mendengarnya. Varen berjongkok di hadapan Theo. Suaranya tercekat, tapi ia mencoba tegar. “Theo sayang, Mami sekarang lagi tidur panjang. Mami dan sama Papi sekarang udah di surga.” Theo mengernyit. “Tapi Theo mau Mami bangun." Kalimat sederhana itu merobek hati Varen. Ia tak sanggup menahan, ia hanya memeluk Theo erat. Bahunya bergetar, meski ia berusaha keras agar bocah itu tidak melihat air matanya. Di dapur, terdengar isak pelan ibunya, wanita yang sudah kehilangan seorang anak dan menantunya itu kini harus menatap cucunya yang tumbuh tanpa ibu dan ayahnya. Varen tahu, ibunya rapuh, tapi tetap berusaha kuat di hadapan Theo. Ia sendiri juga begitu, ia berusaha tersenyum, membelai kepala keponakannya, padahal dadanya remuk. Varen menarik napas panjang. Dia benar-benar merasa semua ini seperti mimpi buruk. Ia tak menyangka, dalam sekejap keadaan bisa berubah begitu saja. "Ya Tuhan.. hambamu ini harus bagaimana sekarang?" lirihnya dengan mata basah.Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme
Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m
Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men
Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum
Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa
Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,







