Home / Romansa / Vonis Cinta Sang Hakim / 2. Kabar Tak Di Inginkan

Share

2. Kabar Tak Di Inginkan

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-06 17:09:30

Hujan turun ringan di luar jendela apartemen Varen. Langit kota Amsterdam yang kelabu tampak menggantung rendah, seolah tahu bahwa pagi ini bukan pagi yang biasa.

Ponselnya dari tadi bergetar beberapa kali namun ia tidak melihatnya segera. Tangannya masih sibuk merapikan dokumen dari kantornya yang sebentar lagi akan membuka pintu ke sebuah kontrak kerja permanen. Impian hidupnya perlahan hampir tergenggam.

Ponselnya bergetar lagi. Ia mengangkat kepala.

"Mama"

Ia mengernyit. Biasanya ibunya tidak pernah menelepon sepagi ini. Beliau tidak terlalu akrab dengan perbedaan waktu. Lima jam lebih cepat dari Indonesia ke Belanda, biasanya ibunya baru menelepon saat petang di sana.

Ia menjawab. “Ma...?”

Tidak ada suara. Hanya nafas tersendat. Seperti seseorang mencoba bicara, tapi ada sesuatu yang lebih berat dari kata-kata menahan di tenggorokan.

“Ma?” Varen Kembali memanggil.

“Thania...” suara itu akhirnya muncul. Parau. Rapuh.

“Thania dan suaminya udah nggak ada, Ren...”

Deg. Dunia di sekitar Varen seperti berputar saat mendengar itu. Dia masih tak percaya apa yang didengar dari ibunya itu.

“Thania kecelakaan waktu perjalanan pulang dengan suaminya.”

Ibunya menangis. Tidak teratur, seperti napasnya diikat dan ditarik paksa keluar dari tubuh.

“A..apa? bagaimana dengan Theo...?” Tanya Varen panik.

“Dia ditinggal dirumah, sekarang dia sendirian Ren...”Jawab ibunya dengan isaknya yang tersendat.

Pagi itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar duka.

Ia kehilangan kakaknya, satu-satunya orang yang selalu berkata bahwa Varen boleh memilih jalannya sendiri.

Dia langsung bergegas,

Kini, Theo tak punya siapa pun kecuali mereka.

Varen memandang ke luar jendela. Amsterdam terasa semakin dingin. Dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik,

“Apa yang kau kejar, Ren. Mereka membutuhkanmu sekarang.”

Varen langsung mengajukan cuti panjang. Ia tahu hidupnya sedang bergeser, namun ia belum tahu bahwa semua ini bukan sekadar musibah.

Langit Jakarta menyambutnya dengan kelembaban dan bau tanah yang baru diguyur hujan.

Langkah Varen pelan keluar dari pintu bandara dengan koper ditangannya. Pandangannya buram bukan karena cuaca, tapi karena tubuhnya belum sepenuhnya percaya bahwa kali ini dia kembali untuk sebuah kehilangan.

Begitu sampai didepan rumahnya, seorang kerabat menyambutnya di pintu. Varen masuk dan melihat ibunya duduk lemas disudut dinding rumah dengan tatapan kosong.

Melihat Varen datang, tangis ibunya kembali pecah. Mereka berpelukan seolah saling memberi kekuatan satu sama lain.

Salah seorang kerabat berkata pelan dan lirih,

"Sudah mulai Ren, kita langsung kesana ya."

Varen hanya menganguk.

Perjalanan ke pemakaman itu seperti mimpi buruk. Suasana hening, dari dalam mobil hanya terdengar suara ban di aspal dan sesekali hembusan nafas panjang dari sopir.

Varen tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap jendela, melihat wajah asing orang-orang dijalanan yang menjalani hidup seperti biasa. Sementara dunianya sedang remuk dalam diam.

Ketika mobil berhenti, langkahnya terasa berat. Tanah basah menyambutnya. Tercium bau bunga dengan penampakan payung-payung hitam yang berjejer pelan diantara pelayat.

Ia berjalan di tengah kerumunan yang tak ia kenal satu persatu, tapi semua orang memandang iba padanya.

Dan disanalah dia, Theo, keponakannya. Dia berdiri dekat liang lahat, mengenakan baju setelan abu dengan rambut yang sedikit basah. Bocah itu diam tanpa tangis. Hanya matanya yang bulat menatap ke arah tanah galian kuburan, seolah tak mengerti mengapa tubuh ibu dan ayahnya tak kunjung bangun.

Varen melangkah melambat kearahnya.

Dadanya terasa sesak. Ia ingin lari atau berteriak. Tapi tubuhnya hanya bisa berdiri diam.

Theo menoleh, mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Hanya sepasang mata anak kecil yang kehilangan segalanya dan sepasang mata lelaki muda yang baru sadar bahwa dirinya tak bisa lagi hidup hanya untuk dirinya sendiri.

Setelah pemakaman, ketika semua orang berangsur pergi, Varen tetap duduk dekat batu nisan. Theo duduk di sampingnya, memeluk lutut.

Sesaat hening, lalu suara kecil Theo akhirnya pecah,

“Mami tidur ya?”

Butuh waktu lama sebelum Varen bisa menjawab. Dan ketika ia bicara, suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang berusaha dirangkai ulang.

“Iya Theo, tapi dia masih di sini...”

Tangannya menunjuk dada Theo.

“Di sini tempat Mami tinggal sekarang.”

Theo tidak menjawab. Tapi pelan-pelan, ia menyandarkan kepalanya ke lengan Varen. Varen dengan satu tangannya yang lain mengelus rambut Theo untuk menenangkannya.

Langit sudah menunjukkan tanda-tanda senja, Varen menuntun Theo untuk pulang kerumah.

Varen membuka pintu pelan-pelan. Theo digendongnya, tertidur setelah menangis sepanjang jalan pulang.

Ibunya menunggu di ruang tamu. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali Varen pulang. Ia tidak banyak bicara, hanya menatap Theo yang dibaringkan di kamarnya, dia mengusap pipi cucunya dengan punggung tangan yang gemetar.

Theo tertidur dengan wajah penuh jejak air mata. Dalam tidurnya, ia sesekali bergumam memanggil “Mami…” dengan suara kecil.

Sang nenek mengusap lembut rambut cucunya, menatap wajah polos itu dengan hati yang berkecamuk. Ia berbisik pelan doa yang ditujukan untuk anak perempuannya yang telah tiada,

“Than… tenanglah di sana, ya. kami akan jaga anakmu dengan baik.”

Keesokan harinya, Theo duduk di lantai dengan mainannya, wajah polosnya kebingungan. Bocah itu baru tiga tahun, belum mengerti benar arti kematian. Yang ia tahu hanya satu, “Mami mana?” pertanyaan yang berulang-ulang menusuk dada siapa pun yang mendengarnya.

Varen berjongkok di hadapan Theo. Suaranya tercekat, tapi ia mencoba tegar.

“Theo sayang, Mami sekarang lagi tidur panjang. Mami dan sama Papi sekarang udah di surga…”

Theo mengernyit. “Tapi Theo mau Mami bangun."

Kalimat sederhana itu merobek hati Varen. Ia tak sanggup menahan, ia hanya memeluk Theo erat. Bahunya bergetar, meski ia berusaha keras agar bocah itu tidak melihat air matanya.

Di dapur, terdengar isak pelan ibunya, wanita yang sudah kehilangan seorang anak dan menantunya itu kini harus menatap cucunya yang tumbuh tanpa ibu dan ayahnya.

Varen tahu, ibunya rapuh, tapi tetap berusaha kuat di hadapan Theo. Ia sendiri juga begitu, ia berusaha tersenyum, membelai kepala keponakannya, padahal dadanya remuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   15. Kerinduan Theo

    Malam itu, rumah terasa sunyi. Setelah makan malam, Theo langsung masuk ke kamar. Varen memperhatikan ada yang aneh pada Theo malam ini. Dia hanya mau makan sedikit, dan tampak seperti tidak bersemangat. Varen kemudian mengikutinya ke kamar dan membawakan susu hangat. Namun Theo kelihatan gelisah di ranjang, tubuh kecilnya meringkuk, wajahnya memerah. Sesekali ia merengek, “Om… aku kangen mami,, hmm juga mami Viona” suaranya bergetar, membuat hati Varen ikut mencelos. Varen hanya bisa mengusap punggung kecil itu, mencoba menenangkan. “Iya, Nak. nanti kita ketemu lagi sama tante Viona, ya.” Tapi ia sendiri tak yakin kapan dan bagaimana harus mencari alasan. Dia tak berani mengajak Viona bertemu, apalagi dengan alasan Theo yang merindukannya. Biasanya mereka hanya bertemu kebetulan dirumah Niki, tapi sejak Niki menolaknya waktu itu, Varen jadi segan untuk mampir apalagi tanpa alasan jelas. Theo terus merajuk, suaranya makin lirih, hingga akhirnya ia menyerah dalam tangis kecilnya, ia

  • Vonis Cinta Sang Hakim   14. Salah Paham

    Keesokan harinya di kantor. Setelah sidang yang cukup melelahkan, Varen kembali ke ruangannya. Jasnya ia letakkan di sandaran kursi, lalu ia duduk, menghela napas panjang. Refleks, tangannya meraih ponsel di meja, membuka aplikasi sosmed kebiasaan barunya belakangan ini.Tak lama sebuah notifikasi kecil muncul, update story dari Viona. Tanpa pikir panjang, ia klik. Story itu sederhana saja foto ruang dinasnya dengan caption singkat. Tapi entah kenapa, hanya melihat itu saja dadanya terasa lebih ringan.Tak sadar, jarinya terpeleset, menekan emotikon love eyes. Seketika Varen kaget, wajahnya memucat. “Astagfirullah… gimana cara batalinnya?” Ia buru-buru mencari opsi undo, tapi terlambat. Ada tanda “Seen” di bawahnya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk Viona membalas dengan emotikon senyum.Varen mematung, jantungnya berdebar cepat. “Waduh….”Daripada berlarut dalam canggung, ia nekat membuka percakapan. "Eh maaf tadi gak sengaja, hehe. Gimana kabarnya, Viona?’Tak lama, balasan

  • Vonis Cinta Sang Hakim   13. Parfum Yang Sama

    Pagi itu langit cerah, udara Sabtu terasa lebih ringan. Varen membawa Theo menjenguk Kartika. Sudah lama ia ingin datang, apalagi Theo selalu senang kalau bertemu Omanya. Mereka sampai dengan membawa bungkusan dimsum kesukaan Kartika.Ibunya, seorang perempuan keturunan Tionghoa muslim, dia terlihat sedikit lebih segar hari itu. Keriput di wajahnya tampak lebih tenang, senyumnya tulus menyambut anak dan cucunya yang datang.Mereka duduk santai di ruang tamu.“Bagaimana kerjamu, Ren?” tanya ibunya sambil menata piring dimsum.“Alhamdulillah, lancar, Bu. Suasana kantor juga baik, rekan-rekan ramah semua.”“Syukurlah.” Sang ibu tersenyum, mendengar anaknya beradaptasi dengan bagus dilingkungan kerjanya.Mereka bersantai di ruang tamu sambil melanjutkan perbincangan ringan. Suasana hangat itu tiba-tiba terusik ketika ponsel Varen berbunyi. Ada pesan masuk dari Niki. Sebuah video pendek. Varen menonton sekilas, ternyata itu video saat makan malam dulu di foodcourt. Terlihat jelas, Viona se

  • Vonis Cinta Sang Hakim   12. Celah Tabir

    Hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasanya. Namun hari itu, dia baru sampai kerumah pada jam 10 malam. Lelah masih tersisa di wajahnya setelah seharian lembur. Ia membuka kemeja yang lengannya sudah kusut, meletakkan tas kerja di kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu.Theo sudah lebih dulu terlelap sejak perjalanan pulang. Tubuh mungilnya dibaringkan di kamar, masih memeluk boneka beruang hadiah terakhir dari Thania dulu. Varen sempat menatap lama anak itu sebelum keluar kamar. Ada sesuatu yang menusuk dadanya tiap kali melihat Theo tidur dengan damai. Seolah dunia ini tega merenggut kebahagiaan kecil anak itu dengan cara yang terlalu kejam.Pintu depan terbuka, Radit masuk dengan langkah berat, dasinya sudah dilonggarkan, wajahnya penat. Tanpa banyak bicara, ia melempar jas ke sandaran kursi lalu rebah di sofa seberang Varen. “Lembur juga?” tanyanya singkat. Varen hanya mengangguk, sama-sama tak punya energi untuk bicara panjang.Tak lama Lino keluar d

  • Vonis Cinta Sang Hakim   11. Mengapa Harus Dia

    Sudah hampir 20 menit, mereka masih bercengkerama riang di meja foodcourt. Anak-anak menikmati makanan dengan penuh tawa, sementara percakapan orang dewasa berjalan ringan, meski sesekali terasa canggung.Tak lama kemudian, Viona melihat jam tangannya. Ia menegakkan tubuh, lalu tersenyum tipis.“Maaf ya, aku harus berangkat dulu. Jam kerjaku sudah dekat.”Theo spontan menatapnya dengan wajah merajuk. “Mami, jangan pergi dulu.”Viona menunduk, mengusap lembut kepala bocah itu. “Theo kan anak baik. Besok-besok kita bisa ketemu lagi. Sekarang tante Vio harus kerja, supaya bisa bantu orang-orang sakit.”Sebelum benar-benar pergi, ia mengeluarkan kotak cupcake kecil yang tadi mereka “rebutkan” di rak kue dan menyodorkannya pada Theo.“Ini untukmu.”Mata Theo berbinar cerah. “Makasih, Mami!” Ia langsung memeluk Viona sebentar, hangat dan tulus, sebelum melambaikan tangan.“Dah, Mami…” suaranya menggema hingga Viona menghilang di keramaian.Lino terdiam, menatap adegan itu dengan bingung. “M

  • Vonis Cinta Sang Hakim   10. Keresahan Varen

    Dalam perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil semula hening. Theo menatap keluar jendela, lalu tiba-tiba bersuara riang,“Om… apa hari ini kita bertemu Mami lagi?”Varen refleks menoleh, kaget. “Mami?” alisnya berkerut. “Theo, kenapa kau terus memanggilnya begitu?”Theo tersenyum polos. “Waktu Om pergi dulu, Theo tinggal sama mami Viona.”“Dia panggil Theo sayang,” lanjut Theo sambil tertawa kecil, “Suapin makan, main sama Theo, bacain cerita. Tidur Theo peluk Mami Viona.”Suara imut bocah itu tampak semangat dalam bercerita.Varen terdiam mendengarkan. Dia tidak menyangka kalau Viona yang mengurusnya, Padahal ibunya Niki yang mau Theo tinggal bersamanya dan bermain Bersama Yumna saja.“Wanginya sama seperti mami. boleh kan Theo panggil dia Mami?”Varen terdiam lama. Ada sesuatu yang menusuk hatinya antara rasa kaget dan bingung yang bercampur jadi satu. Theo menoleh dengan mata berbinar, seolah menaruh harapan besar.“Nanti kita ketemu Mami Viona lagi kan, Om?”“Kita lihat n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status