Perdebatan dengan keluarga Dewandaru tadi cukup menguras energi Calluna yang sudah menipis. Dia melangkah lunglai menuju kamar, hanya tinggal selangkah lagi–mengemas barang-barangnya dan pisah ranjang dengan Sakha–niat berpisah dari sang suami akan terwujud.
Calluna tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Ada pula perasaan lega yang membuncah di dada kala membayangkan sebuah kebebasan akan menyapanya.
“Sebentar lagi, aku akan lepas dari tuntutan ini,” gumam Calluna, sekaligus menghibur diri.
Namun, nyatanya, kebahagiaan itu tidak bertahan lama sebab, belum sempat Calluma meraih gagang pintu kamarnya. Sebuah tangan kekar menarik tangannya hingga tubuh ramping setinggi 170 sentimeter itu hampir limbung.
Mata Calluna melotot, terkesiap. Umpatan kecil sudah bertengger di ujung lidah. Tetapi, yang dia dapatkan di depannya adalah sorot mata tajam yang membunuh.
“Sakha? Apa yang kamu lakukan?” katanya, setengah kesal.
Napas Sakga berderu cepat, hembusannya menerpa wajah Calluna lembut. Waktu seolah berhenti, sepintas membawa pikiran Calluna terbang pada memoriam masa lalu.
Masa dimana keduanya saling memadu kasih, meluapkan rasa sayang dengan cara yang mengagumkan.
Namun kini, itu semua hanya ada di kepala Calluna saja seperti tumpukan barang bekas yang telah usang. Menumpuk dan tak lagi bernilai.
Suara Sakha tajam berdesis di telinga Calluna. Menciptakan efek remang lembut di tengkuk. “Kamu pikir, kamu akan bebas begitu saja, Calluna?”
“Lepaskan aku, Sakh!”
“Aku tidak akan melepaskanmu. Ikut aku sekarang!”
“Kau mau membawaku kemana?”
“Diam! Ikuti saja perintahku!” bentak Sakha. Suaranya tak cukup tinggi untuk menimbulkan kegaduhan di rumah itu tapi cukup menusuk di hati Calluna.
Langkah kaki Calluna diseret paksa. Genggaman Sakha di pergelangan tangannya seperti ujung belati yang tumpul. Perlahan, setiap gesekan terasa semakin menyakitkan.
“Lepaskan aku, Sakh! Kamu menyakitiku.”
Tidak peduli seberapa keras Calluna memohon, setengah berteriak, Sakha menulikan pendengarannya. Mereka menyusuri ruang tengah, keluar melalui pintu belakang rumah mewah bergaya klasik itu dengan langkah terburu-buru.
Hingga kurang lebih berjarak seratus meter dari kediaman Keluarga Dewandaru, pegangan itu dihempas kasar.
Calluna hendakmemprotes, tapi Sakha jauh lebih dulu bersuara, penuh tekanan, penuh amarah menyala-nyala di matanya.
“Kamu pikir, kamu bisa lepas dariku begitu saja?” katanya dingin, mengintimidasi. Rahangnya mengeras, urat-urat di sekitar leher mencuat tipis.
“Kalau aku bisa, kenapa tidak?” Calluna membalas. Dagunya dinaikkan, membalas sisi intimidasi Sakha yang tidak seberapa itu.
“Kau tidak akan bisa lepas begitu saja dariku, Calluna. Meski ibu tidak peduli kamu pergi atau tetap tinggal, tapi tidak denganku.”
“Kenapa? Sebentar lagi kita resmi bercerai. Kamu tidak berhak mengatur apapun lagi!”
Sakha terkekeh. Amarah di wajahnya berubah menjadi senyum sinis yang misterius. “Kamu yakin? Bagaimana kalau rencanamu itu gagal?”
Sebelumnya, Calluna masih bisa mengendalikan sisi nangnya. Namun, tenangnya tapi, kesabarannya tergerus seketika saat melihat surat gugatan cerai yang sudah ditandatangani mereka berdua, berada dalam genggaman Sakha.
Surat itu dilayangkan di depan wajah Calluna dengan bangga. “Kau lihat ini? Ini tidak akan berguna lagi mulai sekarang!”
Sraak!
Sraak!
Sraak!
Suara robekan kertas, memenuhi telinga Calluna hingga terasa seperti tekanan dan beban tambahan. Dadanya bereaksi, sesak. Jantungnya bergemuruh hebat memicu nyeri di bagian kiri.
“Kalau kamu menganggap kertas ini sebagai pintu kebebasanmu, kamu salah besar Calluna. Justru dengan selembar kertas sialan ini pintu neraka terbuka untuk seorang istri pembangkang sepertimu!” ucap Sakha tegas, diselimuti rasa puas.
Dia puas mendeteksi setiap perubahan mimik wajah istrinya. Seakan dia sedang berhadapan dengan badut konyol.
“Beraninya kamu–”
“Ya! Aku berani mengambil keputusan gila sepertimu.”
Tangan Sakha bergerak cepat menarik ujung rambut Calluna hingga kepala wanita itu mendongak meras. Nyeri.menjalar dari ujung rambut hingga ke inti kepala.
“Awh!” Calluna memekik.
Dia kesakitan, puncak kepalanya berdenyut memberontak. Calluna ingin berteriak, tapi dia sadar jalanan sepi dan gelap ini harapan seseorang menolongnya sangat tipis.
Semakin Calluna mengerang kesakitan, semakin menciptakan ilusi puas bagi Sakha. Di balik sikap labil pria itu, Calluna tidak menyangka bahwa sang suami menyimpan sisi gelap yang menegangkan.
“Dengar, Calluna. Kamu istriku. Seharusnya kamu tunduk pada perintahku bukan malah menentang semua yang aku larang.”
Bola mata Calluna bergeser lirih, tersirat luka di sana. “Aku tidak sudi lagi, Sakha. Rumah tangga kita akan segera berakhir, dan kamu harus menerima kenyataan itu!”
“Tidak akan!” Sakha menyentak lagi. Deru napasnya pendek-pendek mengandung luapan emosi. “Kau milikku! Sampai kapanpun kau milikku! Kau tidak bisa lari kemanapun tanpa seizinku!”
Tarikan Sakha di rambut Calluna semakin kencang hingga dia bisa merasakan akar-akar di kepalanya mengendur, nyaris lepas.
“Terserah apa katamu, aku tidak peduli lagi. Sudah cukup kamu membuatku menderita. Menjadikanku tameng atas ketidakbecusanmu sebagai suami.”
Mendengar ungkapan terakhir Calluna, emosi Sakha semakin mendidih. Wajahnya merah padam, sulur-sulur halus di matanya kian jelas.
“Dasar wanita sialan!”
Brugh!
“Awh! Arrgh!”
Di tengah sepi yang menyelimuti area pemukiman itu, teriakan Calluna membelah sunyi. Cukup keras untuk didengar dalam jarak lima meter.
Kulit mulus Calluna bergesekan dengan hitam pekatnya aspal. Gurat-gurat panjang memenuhi sisi lengan kanannya yang dipakai sebagai tumpuan saat tubuh Calluna terhuyung.
Dia meringis, air mata tidak bisa dibendung lagi. Tumpah ruah bak air terjun yang jatuh ke pusara.
“Tega sekali kamu melakukan ini, kamu sudah gila, Sakha!” Calluna berteriak lagi. Gulungan emosi sudah bergumul di dada, dan pria itu hanya menunjukkan senyum sinis dibalik rasa bangga atas sikap arogannya.
“Aku gila karena kamu yang memulainya,” seloroh Sakha melempar kesalahan pada Calluna. “Kalau kamu menuruti perintahku, mana mungkin aku melakukan ini padamu.”
Calluna sampai kehabisan kata-kata. Kepalanya menggeleng lemah, tak percaya. “Kamu pria biadab!”
“Katakanlah apapun yang kamu mau, Calluna. Satu hal yang harus kamu tahu, hidupmu, ada di tanganku!”
“Apa yang kalian lakukan?”
Kalimat-kalimat bernada arogansi itu lenyap ditelan udara, bersamaan dengan canggung yang datang bersama sesosok pria dengan seragam tentara lusuh berdiri jarak tiga meter dari mereka.
Angin berhembus tipis menerpa wajah Calluna yang ditekuk malas. Jalanan berbatu sepanjang perjalanan menuju sekolah, mengguncang tubuhnya berkali-kali mengundang mual bergejolak di perutnya. Dia tidak mungkin melompat dari motor yang kini dia tumpangi bersama Kaelen. Memutuskan berjalan kaki ke sekolah tempatnya mengajar pun dirasa tak cukup bijak lagi saat ini. Saat dia melirik jam tangan dengan bulat kecil di pergelangannya, dia hanya memiliki waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke sekolah. Semesta memang seolah tidak akan membiarkan Calluna bergerak sendiri. Apalagi setelah dia terikat dalam hubungan dingin bernama pernikahan. Beberapa kali Calluna memejamkan matanya, menghalau kejut yang kerap datang karena ban motor terpaksa menggerus kerikil-kerikil tumpul di bawahnya. “Saya mengizinkan kamu untuk mengeratkan pegangan pada seragam saya kalau kamu takut,” ucap Kaelen, sekilas melirik ekspresi aneh istrinya dari spion sebelah kiri. Sadar Kaelen sedang memperhatikannya
Jessie memutari seluruh gedung kantornya mencari keberadaan sang sahabat yang sejak tadi pagi tidak menampakkan batang hidungnya. Tidak ada satu informasi pun yang ia dapat sebagai petunjuk tentang wanita itu. Sekian kali Jessie mencoba menghubungi ponsel Lita, selalu berujung dengan suara Mbak-Mbak operator telepon. “Duh, Lita. Lo kemana, sih?” Jessie mulai frustasi mencari sahabatnya. Ia bahkan menghentakkan kukunya setiap kali ia menyentuh layar ponsel. Mengetikkan pesan yang selalu berakhir dengan centang satu warna hitam di aplikasi pesan singkat. Disaat bersamaan, seorang pria dengan tubuh gagah berjalan menghampiri Jessie yang terlihat kebingungan.“Ada apa, Jessie? Kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya pria itu. Jessie lekas mengangkat kepalanya melihat kehadiran seseorang yang belakangan membuat degup jantungnya meningkat tajam. “Um, anu Pak. Saya mencari Lita. Dari tadi pagi saya belum melihat dia di kantor. Saya coba hubungi juga susah sekali. Nomornya tidak aktif, dan p
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Berjalan mengendap-endap dengan sepasang sepatu hak tinggi dan gaun pengantin dengan ekor panjang adalah sesuatu yang menyiksa bagi Na Hye Jin. Langkahnya tergopoh, tetapi tekadnya sudah bulat keluar dari neraka yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. “Nona Hye Jin! Jangan lari kamu!” Suara tegas dan berat di belakang Hye Jin terus bergaung. Disusul dengan derap langkah cepat dua orang pria berbadan besar dan tinggi. Dia terus berlari, meski suara ribut itu semakin mendekat. “Aku tidak akan menikah dengan Min Jae! Aku tidak akan menggadaikan hidupku demi pria serakah itu!” gumam Hye Jin sambil terus memacu langkahnya. Area yang dia lewati saat ini adalah area khusus karyawan. Beberapa orang berseragam memandangnya bingung namun tidak satu pun yang berniat menolong. Kejam, memang! Bahkan meski Hye Jin disandera oleh keluarga Lee Min Jae–pria yang dijodohkan dengannya hari ini–sekalipun, uang yang akan bicara.Sepatu yang menghambat langkahnya, dilempar asal entah kemana. Pergerakan c
“Mau sampai kapan mama harus nunggu Jelita? Nathan? Kalian sudah menikah hampir tujuh tahun tapi belum juga memberi mama cucu. Mama juga mau, lho, kaya teman-teman mama setiap arisan pasti banggain cucu mereka.” Ucapan wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu kandung Nathan membuat hati Jelita terasa seperti dihujam ribuan jarum. Ini bukan pertama kalinya ia dan sang suami, Nathan, mendengar pertanyaan yang lebih terdengar sebagai cibiran di telinga keduanya.Sebagai kepala keluarga, Nathan menyadari ucapan mamanya telang menyinggung perasaan sang istri. Ia mengambil langkah untuk kembali memberikan pengertian pada ibunya tentang masalah cucu yang selalu menjadi perbincangan panas mereka.“Ma, kami sudah berusaha. Mungkin memang belum waktunya. Aku dan Jelita yakin, Tuhan pasti akan memberikan kami keturunan.” “Mama tahu, Nathan. Tapi kaku bayangin, dong. Tujuh tahun! Apa yang sudah kamu dapat dari pernikahan ini? Lihat sekarang, karena kecerobohan istrimu, kamu jadi lumpuh. Bag
Suasana rumah sakit hari ini lebih sepi dari biasanya, beberapa petugas mondar-mandir dengan langkah yang lebih santai. Kiev masih mengikuti langkah reza menuju ruangan lelaki itu.“Ruangan lo gak ada yang lebih jauh?” Tanya Kiev yang merasa sedikit lelah mengikuti Reza. Kiev memang selalu memanggil Reza dengan nama panggilan kesayangannya yakni, Phuphu, saat mereka hanya berdua atau berada di lingkungan yang orang-orangnya mengenal mereka dengan baik.“Bentar lagi sampai, kok. Itu sudah kelihatan.” Jari Reza menunjuk ke arah satu ruangan yang berada di paling ujung koridor. Ruangan itu sangat besar, terlihat dari jarak pintu ruangan itu dengan yang lain.Sesampainya mereka di ruangan Reza, Kiev dipersilakan duduk dan menunggu seraya Dokter itu mengambil sesuatu dari dalam lemari di belakang mejanya.“Apa ini?” Reza menyodorkan selembar hasil rontgen milik Wahyu.“Kiev..Kiev..lo selama kuliah ngapain aja? Masa ini aja gak tahu apaan.” Reza menggelengkan kepalanya menyayangkan sahabatn