“K-kamu siapa?” tanya Sakha, nada bicaranya gemetar. Matanya menyapu pada penampilan sosok pria itu. Meski lusuh, wibawa dan aura tegasnya tak pudar dalam sekali pandang. “Ini urusan suami istri. Jangan ikut campur.”
“Ikut campur katamu?” Pria itu menimpali. Suaranya dingin, tapi mengintimidasi. Derap langkah sepatu boots militernya menghentak-hentak. “Kelihatannya aku perlu ikut campur sebab kulihat perilakumu terhadap istrimu bukan sesuatu yang baik.”
Sakha tergugu. Peluh kecil-kecil mulai membasahi dahi. gestur canggungnya tidak bisa menutupi fakta bahwa saat ini dia sedang menyimpan ketakutan yang begitu besar.
“Tadi dia terjatuh, aku hendak menolongnya. Tapi, dia tidak mau,” katanya, alibi.
Sepasang monolid milik pria itu memicing, seakan sedang menguliti Sakha demi mencari kebenaran. “Tidak seharusnya kamu membentak wanita. Terlebih istrimu.”
“Dia yang terlalu keras kepala. Aku sudah berniat baik, tapi dia malah menghinaku.”
“Menghina apa? Aku hanya mengatakan–” Calluna menyanggah. Namun, belum usai dia bicara, Sakha kembali menyela.
“Calluna, kumohon, berhenti berakting. Lebih baik sekarang kita pulang. Sikapmu hanya menimbulkan kesalahpahaman orang lain.”
“Tidak mau!” sanggah Calluna yakin dia beralih pada pria asing di sebelahnya. “Pak tentara, tolong suruh suamiku pergi. Aku tidak ingin pulang bersama dia,” pintanya pada sosok dingin di balik seragam loreng itu.
“Calluna! Apa yang kamu katakan? Kamu harus pulang bersamaku.”
“Tidak! Aku yakin kamu akan menyakitiku lagi jika kita pulang bersama.”
Ucapan Calluna lantas membuat sosok pria asing di sebelahnya menoleh.
Sakha sadar posisinya terhimpit di tengah ucapan istrinya yang terlalu jujur. Dia segera membungkam mulut Calluna dengan sisi manipulatifnya, membela diri. “Itu bohong, Pak! Mana mungkin aku melukai istriku sendiri?”
Pria asing itu menghembuskan napas berat, raut wajahnya yang datar dan sorot matanya yang dingin menyulitkan siapapun yang berusaha menyelami pikirannya.
“Begini saja,” ucapnya tegas. “Silahkan Anda pulang lebih dulu. Biarkan istri Anda menenangkan diri, saya akan mengantarnya pulang setelah dia benar-benar tenang.”
“Tapi, pak–”
“Saya harap Anda bisa lebih bijak, Pak. Ini demi kenyamanan bersama.” Pria itu menyela dan langsung menghempaskan nyali Sakha dalam sekali telak.
Meski terlihat ragu, pada akhirnya Sakha mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Aku pegang ucapanmu, Pak.”
Setelah pria asing itu memberikan anggukan sebagai jawaban, perlahan Sakha menjauh. Tatapannya seperti sepasang kamera CCTV yang memantau awas setiap pergerakan Calluna. Tepat disaat bayangan Sakha telah menghilang dari pandangan, pria itu beralih pada Calluna.
Kelopak mata Calluna mengerjap pelan, saat tangan kekar milik pria itu terjulur di depan wajahnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Tapi Calluna tak langsung bereaksi. Tatapannya terpaku pada iris oranye di depannya. Untuk sekian detik membiarkan dirinya tenggelam dalam oase tenang.
“Hei, kamu baik-baik saja?”
“Ah, ya! Aku baik-baik saja,” sahut Calluna sambil menerima uluran tangan itu lalu berpijak di kakinya sendiri. “Omong-omong, terima kasih sudah membantuku lepas dari dia tadi.”
“Lepas?” Pria itu mengulang. Kerutan di dahinya mengisyaratkan kebingungan sekaligus rasa penasaran.
Calluna tahu saat ini bukan momen yang tepat untuk mengumbar aib rumah tangga, tapi, dia benar-benar sudah muak.
Perlakuan kasar Sakha padanya tadi, meninggalkan lubang luka yang sangat dalam di hati Calluna. Rasa cinta yang semula menjadi bahan pertimbangan paling besar, runtuh seketika.
Langkah mereka pelan, tak tentu arah. Sambil menenggelamkan kepalanya rendah, Calluna menyiapkan mental untuk sekedar berbagi pada pria itu.
“Saya paham sekarang.” Pria di samping Calluna tiba-tiba bersuara. Diamnya tadi seakan sedang menyelami palung terdalam di dunia, demi menjawab rasa penasaran yang dia buat sendiri. “Dia masih berusaha membujukmu untuk tidak mengajukan cerai?”
Pertanyaan itu langsung membuat kepala Calluna mendongak. “Bagaimana kamu tahu?”
“Cukup jelas didengar dari balik rak tinggi di toko tembikar kalian tempo hari.”
Refleks membawa kedua tangan Calluna menutup mulutnya. Matanya menyapu pandang, meneliti penampilan pria itu dengan seksama. Bukan untuk menilai rendah, melainkan demi memastikan sekelebat ingatan yang tiba-tiba melintas di kepalanya sesuai dengan realita.
“Kamu …”
Pria itu mengangguk pelan, dengan ekspresi yang masih datar. “Ya, saya tidak sengaja mendengar semuanya. Dan saya rasa kamu kesulitan untuk berpisah.”
“Kamu benar, aku tidak menyangka ternyata berpisah dengannya tidak semudah itu. Baru saja dia merobek surat gugatan cerai yang sudah kami tandatangani.”
Calluna menceritakan separuh dari kegalauannya. Seolah tak takut hal itu akan menimbulkan masalah kemudian hari sebab sosok di depannya saat ini adalah orang asing.
Di saat yang bersamaan, rintik hujan turun semakin deras. Namun, tidak ada satupun diantara dua orang itu berniat untuk menghindar dari amukan langit.
Sejenak mereka menghentikan langkahnya. Berdiri di antara hujan. Membiarkan pakaian mereka basah di bawah hamparan langit yang menghitam.
“Aku sudah benar-benar muak dengan hubungan ini. Aku diperas, baik sebagai tulang punggung pun mesin penghasil anak. Aku muak dengan hidupku dan ingin bebas dari belenggu ini,” ujar Calluna dengan suara terisak.
Ratusan butiran bening jatuh dari langit. Menyamarkan tetes air mata yang perlahan jatuh ke pipi Calluna.
Sialnya, pria itu justru mengikis jarak diantara mereka. Sekali lagi mengulurkan telapak tangannya tapi kali ini, tangan kekar itu bertandang beberapa senti di atas kepala Calluna, menghalau hujan.
Tatapannya meneduh, ketegangan di wajahnya mengendur. Sorak ria rintik hujan tak menghalau suara bass pria itu saat berkata lembut, “Saya akan membantumu bercerai darinya, jika berhasil, menikahlah denganku.”
Angin berhembus tipis menerpa wajah Calluna yang ditekuk malas. Jalanan berbatu sepanjang perjalanan menuju sekolah, mengguncang tubuhnya berkali-kali mengundang mual bergejolak di perutnya. Dia tidak mungkin melompat dari motor yang kini dia tumpangi bersama Kaelen. Memutuskan berjalan kaki ke sekolah tempatnya mengajar pun dirasa tak cukup bijak lagi saat ini. Saat dia melirik jam tangan dengan bulat kecil di pergelangannya, dia hanya memiliki waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke sekolah. Semesta memang seolah tidak akan membiarkan Calluna bergerak sendiri. Apalagi setelah dia terikat dalam hubungan dingin bernama pernikahan. Beberapa kali Calluna memejamkan matanya, menghalau kejut yang kerap datang karena ban motor terpaksa menggerus kerikil-kerikil tumpul di bawahnya. “Saya mengizinkan kamu untuk mengeratkan pegangan pada seragam saya kalau kamu takut,” ucap Kaelen, sekilas melirik ekspresi aneh istrinya dari spion sebelah kiri. Sadar Kaelen sedang memperhatikannya
Jessie memutari seluruh gedung kantornya mencari keberadaan sang sahabat yang sejak tadi pagi tidak menampakkan batang hidungnya. Tidak ada satu informasi pun yang ia dapat sebagai petunjuk tentang wanita itu. Sekian kali Jessie mencoba menghubungi ponsel Lita, selalu berujung dengan suara Mbak-Mbak operator telepon. “Duh, Lita. Lo kemana, sih?” Jessie mulai frustasi mencari sahabatnya. Ia bahkan menghentakkan kukunya setiap kali ia menyentuh layar ponsel. Mengetikkan pesan yang selalu berakhir dengan centang satu warna hitam di aplikasi pesan singkat. Disaat bersamaan, seorang pria dengan tubuh gagah berjalan menghampiri Jessie yang terlihat kebingungan.“Ada apa, Jessie? Kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya pria itu. Jessie lekas mengangkat kepalanya melihat kehadiran seseorang yang belakangan membuat degup jantungnya meningkat tajam. “Um, anu Pak. Saya mencari Lita. Dari tadi pagi saya belum melihat dia di kantor. Saya coba hubungi juga susah sekali. Nomornya tidak aktif, dan p
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Berjalan mengendap-endap dengan sepasang sepatu hak tinggi dan gaun pengantin dengan ekor panjang adalah sesuatu yang menyiksa bagi Na Hye Jin. Langkahnya tergopoh, tetapi tekadnya sudah bulat keluar dari neraka yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. “Nona Hye Jin! Jangan lari kamu!” Suara tegas dan berat di belakang Hye Jin terus bergaung. Disusul dengan derap langkah cepat dua orang pria berbadan besar dan tinggi. Dia terus berlari, meski suara ribut itu semakin mendekat. “Aku tidak akan menikah dengan Min Jae! Aku tidak akan menggadaikan hidupku demi pria serakah itu!” gumam Hye Jin sambil terus memacu langkahnya. Area yang dia lewati saat ini adalah area khusus karyawan. Beberapa orang berseragam memandangnya bingung namun tidak satu pun yang berniat menolong. Kejam, memang! Bahkan meski Hye Jin disandera oleh keluarga Lee Min Jae–pria yang dijodohkan dengannya hari ini–sekalipun, uang yang akan bicara.Sepatu yang menghambat langkahnya, dilempar asal entah kemana. Pergerakan c
“Mau sampai kapan mama harus nunggu Jelita? Nathan? Kalian sudah menikah hampir tujuh tahun tapi belum juga memberi mama cucu. Mama juga mau, lho, kaya teman-teman mama setiap arisan pasti banggain cucu mereka.” Ucapan wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu kandung Nathan membuat hati Jelita terasa seperti dihujam ribuan jarum. Ini bukan pertama kalinya ia dan sang suami, Nathan, mendengar pertanyaan yang lebih terdengar sebagai cibiran di telinga keduanya.Sebagai kepala keluarga, Nathan menyadari ucapan mamanya telang menyinggung perasaan sang istri. Ia mengambil langkah untuk kembali memberikan pengertian pada ibunya tentang masalah cucu yang selalu menjadi perbincangan panas mereka.“Ma, kami sudah berusaha. Mungkin memang belum waktunya. Aku dan Jelita yakin, Tuhan pasti akan memberikan kami keturunan.” “Mama tahu, Nathan. Tapi kaku bayangin, dong. Tujuh tahun! Apa yang sudah kamu dapat dari pernikahan ini? Lihat sekarang, karena kecerobohan istrimu, kamu jadi lumpuh. Bag
Suasana rumah sakit hari ini lebih sepi dari biasanya, beberapa petugas mondar-mandir dengan langkah yang lebih santai. Kiev masih mengikuti langkah reza menuju ruangan lelaki itu.“Ruangan lo gak ada yang lebih jauh?” Tanya Kiev yang merasa sedikit lelah mengikuti Reza. Kiev memang selalu memanggil Reza dengan nama panggilan kesayangannya yakni, Phuphu, saat mereka hanya berdua atau berada di lingkungan yang orang-orangnya mengenal mereka dengan baik.“Bentar lagi sampai, kok. Itu sudah kelihatan.” Jari Reza menunjuk ke arah satu ruangan yang berada di paling ujung koridor. Ruangan itu sangat besar, terlihat dari jarak pintu ruangan itu dengan yang lain.Sesampainya mereka di ruangan Reza, Kiev dipersilakan duduk dan menunggu seraya Dokter itu mengambil sesuatu dari dalam lemari di belakang mejanya.“Apa ini?” Reza menyodorkan selembar hasil rontgen milik Wahyu.“Kiev..Kiev..lo selama kuliah ngapain aja? Masa ini aja gak tahu apaan.” Reza menggelengkan kepalanya menyayangkan sahabatn