"Ya sudah, Nduk. Ayo lebih baik kamu kekamar dulu. Cuci muka dan kita obati," ajak Bude menuntunku kembali keatas. Aku tak memperdulikan lagi para tamu yang hadir bahkan Fahri sekalipun."Bagaimana ini, Bude. Aku tak mau pertunangan ini batal!""Siapa bilang batal, Nduk, hanya karena kamu alergi begini." Bude mengambil tissu basah dan memberikannya padaku."Lebih baik cepat hilangkan make-upmu itu!" Aku hanya mengangguk, rasa gatal pada wajahku tak kunjung berkurang, Ibu masuk kekamar dengan wajah panik."Gimana, Nduk. Udah agak mendingan?" tanya Bude kembali. Aku masih terus menghapus make-upku dengan susu pembersih."Mending, Bude. Aku cuci muka dulu. Ibu?""Kamu kenapa, Nun?" tanya Ibu terlihat panik."Ngga tahu, Bu. Tiba-tiba wajahku gatal!" Aku melewati Ibu dan pergi kekamar mandi. Mencuci wajahku hingga rasa gatal sedikit berkurang. Setelahnya aku keluar dengan handuk di leher. Entah sudah seperti apa penampilanku bahkan khimar yang kukenakan saja sudah entah dimana."Bagaimana
PoV WisnuSemenjak perceraianku dengan Ainun selesai, hidupku kini seperti berbalik 180 derajat. Kukira setelah memiliki rumah makan yang di Parahyangan kembali dan mobil yang biasa aku gunakan juga jumplah uang yang Ainun kasih. Mampu membuatku sukses dan lebih sukses dari manta istriku. Nyatanya tidak!Berbagai musibah aku terima, apalagi setelah Lastri tau jika aku juga pernah tidur dengan adiknya satu-satunya--Ayu."Mas Wisnu? Kok pulang kesini ngga ngasih kabar!" Lastri protes saat aku berkunjung tanpa telfon terlebih dahulu. Itu semua kulakukan karena kepalaku pusing, Ainun mulai menaruh curiga padaku."Iya, Dek Lastri. Mas kan kangen sama Istri cantikku ini!" rayuku padanya. Aku paling mampu merayu wanita.Dia cemberut, tak seperti biasanya ia akan dengan senang menyambutku, bahkan tak jarang ia akan langsung mengajakku ke kamar."Aku lagi datang bulan, Mas." Dia berkata sambil memonyongkan bibirnya.Aduh! Aku menepuk keningku sendiri, bisa pusing tujuh keliling kalau begini."
Apa! Mas Wisnu mengidap penyakit kel@min? Gonore atau kencing nanah. Suster tadi mengatakan hal itu padaku. Aku masih tak percaya, apa ini yang di sebut karma?Kasian juga, tapi ... Masa bodoh! Bukankan semua itu karena ulah dia sendiri. Sering bergonta ganti pasangan. Aku cukup bersyukur, tahu kelakuan suamiku itu lebih cepat. Coba kalau sudah kena penyakit seperti itu aku baru tahu? Yang ada aku ketularan lagi! Nauzubillahmindalik."Ibu Ainun!" panggil suster di Apotek."Iya." aku segera berdiri dan mengambilkan obat. Setelah kudapatkan obat berniat memasukan kedalam tas hingga tak fokus pada sekitarnya."Ainun!" panggilan yang sangat kukenal suaranya."Fahmi!" pekikku, "kamu kesini menyusulku?"Ia mengangguk, bagaimana dia bisa tahu aku, padahal aku mengenakan cadar."Kamu tahu dari siapa aku di sini?" "Ibumu yang bilang dan aku bergegas kesini untuk menjemputmu. Takut calon istriku kenapa-kenapa di jalan!""Ah! Apaan si. Kan aku sama sopir.""Memang ngga boleh aku jemput calon is
Bang Ridho menjalani rumah tangga yang tak sehat, mungkin cinta Bang Ridho bertepuk sebelah tangan tapi, harusnya Bang Ridho sebagai laki-laki, pemimpin keluarga harus tegas. Bukan menuruti semua keinginan Ning Ria dengan merendahkan martabat sebagai seorang pemimpin. Sayang boleh, bodoh jangan. Besok aku akan ajak Bang Ridho untuk bertemu. Menasehatinya hingga dia tak terlalu di injak-injak.[Bang, besok bisa ketemu nggak?] Kukirim WA padanya. Masih centang dua berwarna abu-abu.Akhirnya aku putuskan saja untuk pulang, memberitahu ibu jika aku baik-baik saja tentang alergi yang aku derita. Juga sore ini aku mengantar beliau kerumah bekas mertuaku."Bu!" panggilku begitu tiba, ia yang tengah duduk dengan membaca al qur'an kecil menoleh."Sudah pulang, Nduk. Bagaimana?" tanya dia penasaran."Ngga papa, Bu. Ternyata salah satu make-up yang aku gunakan ternyata sudah kadaluarsa.""Kok bisa?"Aku ceritakan saja tentang foundation yang kutemukan dikolong ranjang. Ibu hanya mengangguk-angg
"AINUN!" Bang Ridho berkata membentak, baru kali ini aku melihat kemarahan Bang Ridho. Apa aku salah? Menasehatinya karena melihat rumah tangga mereka yang tak sehat."Lebih baik diam kalau tak tau apa-apa! Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku tanpa kuminta. Mengerti!" Bang Ridho menatapku nyalang."Tapi, Bang!""Cukup! Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku."Bang Ridho beranjak dari duduk, berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini."Bang!" aku masih berusaha memanggil."Urusi saja bakal rumah tanggamu! Jangan ikut campur rumah tanggaku. Percayalah, semua rumah tangga memiliki kadar cobaan sendiri-sendiri. Kamu juga nanti saat dengan Fahri memiliki masalah tersendiri. Semoga kamu kuat!"Deg! Apa maksud dari Bang Ridho, apa Bang Ridho tahu sesuatu dan tak mau mengatakannya padaku.'Ya Allah, aku sudah lelah mengalami cobaan rumah tangga dengan Mas Wisnu. Kuharap badai dalam rumah tanggaku dengan Fahri tak sekencang dulu.' Aku menatap kepergian Bang Ridho. Apa aku memang salah?
"I-itu kan wanita yang tadi kan, Pak?" aku meyakinkan diri bahwa wanita yang tengah berbincang dengan Fahri itu wanita yang pongah tadi."I-iya, Bu. Saya tak lupa wajah sombongnya." kali ini Pak Sopir berkata apa adanya. Memang terlihat jelas kesombongannya hanya dari wajahnya.Fahri mendekat kemobilku, aku segera membuka pintu. Tak enak jika harus Fahri yang membukakan, sangat terlihat jika aku begitu manja. Aku bukan Ning Ria."Ainun, ayo, Mbak Diva sudah menunggu!" aku melangkah ragu, menatap wanita yang tadi bertemu dijalan."Kamu kan wanita yang tadi!" tunjuk wanita sombong itu."Mbak Diva sudah bertemu dengan Ainun?" tanya Fahri heran.Aku melongo. Mbak Diva! Bagaimana mungkin wanita yang ugal-ugalan dan pongah itu ternyata Kakak Fahri? Duh ...."Iya, ini wanita yang tadi aku ceritakan sama kamu, Fah! Wanita yang jual mahal tapi nyatanya mau juga. Tak nyangka ternyata dia itu tunanganmu. Kamu nemu di mana?" Deg! Ada sebuah jarum menusuk hati ini, sakit walau sedikit.Fahri men
Hatiku masih deg-degan, takut ternyata orang jahat bagaimana?"Bang Ridho?" aku heran ketika yang datang ternyata Bang Ridho. Kuedarkan pandangan berharap ada sosok istrinya Ning Ria."Eee ... Ainun, a-apa istriku kesini?" terlihat raut wajah khawatir Bang Ridho.Ning Ria? Kesini? Apa mereka bertengkar hingga Ning Ria kabur dari rumah."Ning Ria? Tidak, Bang. Emang ada apa? Abang bertengkar dengannya."Expresi Bang Ridho aneh, dia terlihat enggan mengatakan. Mungkin takut aku akan kembali ikut campur."Jawab saja, Nun. Ria nggak kesini?" Aku mengeleng, "ngga ada yang kesini, Bang.""Ya sudah!" ia mengaruk kepalanya gusar. Ada masalah apa kiranya."Mungkin pulang kerumahnya kali, Bang!" akhirnya aku beranikan diri berkata."Ngga mungkin, dia ngga akan berani pulang kerumah sendiri, apalagi diantara kami tak ada pertengkaran."Aku makin heran, kalau tidak bertengkar bagaimana mungkin Ning Ria pergi dari rumah begitu saja."Ya sudah, Nun. Aku pulang dulu, siapa tahu kalau dia sudah pula
"Bude ...!" panggilku saat mengetahui Bude tengah melihat aksi konyolku. Aku menutup wajah karena malu."Masuk, Bude. Maaf, tadi ... tadi ...."Bude tersenyum, "Ngga papa, Nun. Bude ngertu kok perasaanmu.""Heee ... Iya, Bude.""Bude harap ini menjadi pernikahanmu yang terakhir. Belajarlah dari masa lalu ya, Nduk!"Aku mengangangguk, mengaminkan setiap do'a yang terucap dari mulut Bude."Bude sangat ingin melihat kamu bahagia, Kuharap Fahri bisa menjadi suami yang pengertian, perhatian, setia dan yang lebih penting mampu menerima Aira sebagai mana penganti ayahnya. Satu hal penting itu yang memang harus di pertimbangkan janda beranak ketika menikah lagi. Kamu bisa lihat sendiri diberita, bagaimana ayah tiri membunuh anak tiri atau bahkan menghamilinya. Maaf, bukan aku ragu pada Fahri, Nduk. Bude cuma sedang bercerita bahwa point penting janda ketika menikah itu sayang juga ke anak tiri, bukan hanya mencintai ibunya. Harus satu paket yang tak boleh terpisahkan."Setiap kata yang teruca