Share

pindah ke kontrakan kecil

WAJAH ASLI KELUARGA SUAMIKU

(Ketika aku pura-pura bangkrut)

BAB 2

Dapat kulihat mas Andra mengerjapkan matanya berkali-kali. Mungkin dia masih belum percaya dengan apa yang aku sampaikan barusan.

"A-apa, Dek? Kamu pasti lagi bercanda kan? Oh atau ini prank? Mana? Mana kameranya? Ayo katakan kalau ini prank?" Kepala mas Andra celingak-celinguk berusaha mencari barang yang ia sebutkan tadi.

"Mas ini bukan prank. Dengarkan aku! Aku sama sekali tidak bercanda. Aku sedang serius, dua rius malahan." Aku menatapnya tajam. Tidak ada senyuman atau apa pun di garis bibirku. Benar-benar datar aku menunjukkan wajah ini padanya.

"Kamu serius? Kok bisa? Bukankah selama ini baik-baik saja? Kulihat juga usaha kamu makin ramai?"

"Ya semua karena uang hasil jualan kamu mintain setiap bulannya dengan jumlah yang tidak sedikit. Mas, bahan-bahan sedang merangkak naik sedangkan pembeli tentu akan protes kalau aku menaikkan harga alhasil aku tetap dengan harga lama. Aku kira tidak masalah untung sedikit asalkan pembeli tidak kabur tapi nyatanya? Keuntungan sedikit itu tidak mampu menutupi semua kebutuhan kita. Apalagi keluargamu selalu merongrong keuangan keluarga kita."

"Jadi kamu menyalahkan keluargaku? Begitu maksudmu?"

"Lalu siapa lagi yang patut aku salahkan? Memang itu faktanya. Keluargamu selalu meminta uang padamu padahal mereka tahu kalau kamu sendiri tidak bekerja. Kamu hanya mengandalkan uang dari usahaku saja."

"Tutup mulutmu Kinan! Aku ini suamimu! Aku juga berhak atas uang-uangmu. Lagian kenapa kamu baru protes sekarang? Dari kemarin kamu diam saja."

"Karena baru sekarang aku sadar kalau keluargamu selalu merongrong kita."

"Kinan, tolong mengerti. Ibuku itu tanggung jawabku sebagai anak laki-laki."

"Lalu kakakmu? Dia juga laki-laki. Apakah dia juga tanggung jawab berikut istri dan anak-anaknya? Lagian kalau sudah tahu punya tanggung jawab ya kerja! Selama ini kamu hanya ongkang-honvkonv kaki di rumah. Sedangkan untuk membantu usahaku saja kamu selalu banyak alasan!"

"Kinan, apa salahnya kita membantu mereka? Mereka sedang kesusahan. Mas Fatih tidak bekerja dan mereka punya anak. Apa kamu tega membiarkan mereka kelaparan sementara kita di sini hidup bergelimang harta?"

"Tidak ada yang salah jika kita mau membantu orang apalagi orang itu masih keluarga. Tapi membantu itu sesuai kemampuan kita bukan memaksakan dengan menuruti segala keinginan mereka."

"Apa maksudmu?"

"Masih belum jelas juga dengan ucapanku? Berhenti mengabulkan segala permintaan konyol keluargamu karena itu bukan bagian dari tanggung jawab kita."

"Kalau bukan kita siapa lagi?"

"Ya suruh Masmu itu bekerja bukan hanya sekedar menadahkan tangan dan meminta adiknya yang sudah beristri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya! Apalagi uang yang adiknya punya adalah uang milik istrinya." Aku berdiri dengan napas yang tersengal. Sungguh ingin sekali aku getok kepala mas Andra dengan tutup panci biar sedikit terbuka pikirannya.

"Ya itu mah terserah dia. Kalau memang belum ada kerjaan yang cocok masa mau maksa kerja?"

Huft.

'Sabar Kinan, sabar, orang sabar bodynya lebar. Hah, maafkan aku Tuhan jika aku nantinya udah gak sabar dan aku bener-bener guyur manusia langka yang ada di depanku ini.'

"Yasudah kalau begitu nikmati saja masa menunggu itu. Aku sudah tidak bisa lagi memenuhi segala keinginan keluargamu itu karena itu bukan tanggung jawabku! Kalau kamu mau memenuhinya silahkan cari pekerjaan."

Aku pun berbalik badan menuju lemari, aku menurunkan dua buah koper milikku dari atas lemari. Segera kumasukkan baju-baju di dalam lemari ke dalam koper karena aku juga harus pindah dari rumah ini. Bukankah sandiwara itu harus totalitas agar si target percaya kalau ini bukan hanya bualan semata?

"Ya kamu kan tahu kalau gak ada kerjaan yang cocok sama aku? Aku mau kerja apa coba?"

"Ya itu urusanmu, Mas, bukan urusanku. Kamu pikir hidupku hanya untuk membuat senang keluargamu apa? Sudah cukup ya selama setahun ini aku mengabulkan segala permintaan konyol keluargamu dan sekarang aku sudah bangkrut aku tidak bisa lagi memberi seperti dulu." Aku menghentikan pergerakan tanganku menyusun baju-baju ke dalam koper.

Dapat kulihat wajah mas Andra yang semakin tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan kali ini.

"Lho kamu mau ke mana? Kok masuk-masukin baju ke koper?"

"Kamu enggak pikun kan? Aku barusan bilang kalau aku banhkrut ya tentu kita harus pindah dari sini karena rumah ini juga disita untuk bayar hutangku di bank."

"Tidak-tidak. Kalau rumah ini disita kita harus kemana?"

"Ya cari kontrakan lah. Memangnya kamu punya rumah apa?" Aku sedikit menyunggingkan senyumanku samar. Aku sangat tahu dia sedang kalit kali ini.

Ya jelas, tidak ada yang bisa dia mintai tolong karena keluarganya juga hanya memiliki kontrakan saja. Maksudnya tinggal di kontrakan sebab rumah ibunya juga sudah dijual untuk modal usaha mas Fatih buka cafe waktu itu tapi nyatanya zonk. Cafe tidak jalan mereka sudah bergaya. Alhasil pendapatan cafe tidak bisa menutup uang modal yang sudah dikeluarkan karena pengeluaran mereka lebih besar daripada pemasukan.

Huh, padahal baru saja mereka merintis usaha tapi lagaknya udah kayak yang paling berjaya. Namun, pada kenyataannya mereka harus gigit jari ketika usaha itu tidak berjalan mulus sesuai dengan rencana mereka.

Salahku juga sih menikah dengan mas Andra tidak mencari tahu terlebih dahulu perihal keluarganya. Pikiranku kala itu saat dia tidak bekerja aku bisa memintanya untuk membantu membesarkan usahaku yang sebenarnya memang sudah besar. Namun, faktanya zonk. Dia sama sekali tidak mau membantuku. Hanya saat awal menikah saja mas Andra mau membantuku itu pun berlangsung hanya sebulan saja. Selebihnya dia lebih memilih di rumah dengan alasan mau cari kerja yang lain karena malu bekerja nebeng istri. Awalnya aku percaya tapi lagi-lagi itu hanyalah alasanya saja agar dia bisa bermalas-malasan di rumah.

"Maksudmu kita harus tinggal di rumah kontrakan?"

"Ya lalu mau kemana lagi? Memangnya kamu mau jadi gembel di jalan?"

"Oke gak masalah kalau kita pindah ke kontrakan tapi cari yang rumahnya seluas rumah ini juga ya."

"Lihat nanti saja. Cepat bersin juga pakaianmu karena aku sibuk tidak bisa merapihkannya ke dalam koper. Itu juga kalau kamu masih mau ikut sama aku kalau enggak yaudah aku pergi sendiri aja."

"Eh tunggu-tunggu. Ck! Iya deh aku beresin. Tapi janji ya cari kontrakan yang besar.

Tidak kujawab ucapan mas Andra karena percuma juga aku meladeninya. Dia kira dia siapa meminta-minta seperti itu. Seharusnya kan dia yang berkewajiban mencukupi segala kebutuhanku kenapa malah aku yang dipaksa menjadi tulang punggungnya? Huh sebal! Aku pun segera membereskan kembali pakaian ke dalam koper.

***

Taksi online yang aku dan mas Andra naiki akhirnya sampai di depan sebuah rumah minimalis yang tidak terlalu besar dan berwarna biru ini. Kuhembuskan napas berdoa semoga aku betah berada di sini. Sudah cukup lama aku merasa nyaman dengan kehidupanku sebelumnya. Gara-gara ingin melihat seperti apa wajah asli dan perlakuan mereka terhadapku jika aku miskin aku harus rela tinggal di tempat kecil seperti ini.

Hah, ya sudahlah gak masalah toh ini hanya sementara. Semoga kalau kamu masih berjodoh dia segera sadar dan kalau tidak berjodoh semoga aku dikuatkan.

"Ini Pak uangnya." Aku memberikan selembar uang berwarna biru pada pak supir karena jarak kontrakan dari rumahku tidak terlalu jauh.

Setelah mengucapkan terima kasih taksi online yang kami naiki pun pergi dari sini.

Aku kembali menyeret dua koper milikku sedangkan mas Andra mengekor di belakangnya dengan membawa barang-barangnya sendiri.

"Kinan tunggu! Apa yang kamu maksud kontrakannya adalah ini?"

"Menurutmu? Kenapa? Enggak suka? Yaudah sana pergi, aku bisa kok tinggal di sini sendiri."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Utarie Elbieansyah
mantaaap .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status