Share

Rahasia

       "Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.

Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar.

"Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.

Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku.

"Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan.

                                                                        ***

"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.

Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini karena hati, bukan semata untuk pelengkap sempurnanya sandiwara yang sedang dia mainkan.

Gawai dalam tasku bergetar, kulepaskan tanganku dari genggaman Bara dan meraih benda pipih itu. Sebuah pesan masuk dengan nama Ibu. Pikiranku kembali kalut, takut pesan yang dikirim Ibu adalah kabar buruk. Entah kenapa semenjak Langit di-opname, aku sering parno sendiri, mungkin itu terjadi karena kecemasanku yang berlebihan.

Setelah menghirup napas panjang, kubuka pesan itu dengan dada yang berdebar.

“Rencananya Langit akan dioperasi nanti malam!”

Deg ... ada rasa bahagia membaca pesan dari Ibu, namun di balik semua itu aku juga khawatir, mengingat tubuh mungil anakku akan dibedah dengan alat-alat operasi.

"Tuhan ... lancarkan semuanya, kuatkan anakku dan berilah dia kesembuhan," lirih kuberdoa dalam hati.

Aku termenung, hingga Bara mengambil gawai dalam genggamanku, ingin rasanya aku merebutnya kembali, namun tidak mungkin, bisa-bisa kami jadi bahan tontonan dan Bara akan malu karena tingkahku.

Bara langsung menyimpan gawaiku dalam kantong jas yang dia kenakan. Kemudian mengambil tanganku lagi dan kembali menggenggamnya.

Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menyerah.

Seperti sebelumnya, aku tak pernah menyimak pembicaraan Bara dengan teman-temannya, aku lebih memilih menyibukkan pikiranku sendiri.

"Ya sudah, kami pamit dulu. Sampai jumpa lain waktu," ucap Bara mengakhiri pertemuan mereka. 

"Ayo, Sayang." Bara memberi isyarat padaku untuk segera berdiri.

"Terima kasih atas waktunya," ucap laki-laki berambut ikal yang pada awal pertemuan kami membahas tentang Sesil. Wanita yang katanya lebih memilih kakak Bara karena lebih mapan.

"Terima kasih juga untuk jamuannya," sahut bara.

                                                                       ***

Bara melepaskan rangkulannya dan membukakan pintu mobil untukku.

"Lain kali, jangan sibukkan dirimu saat bersamaku!" tegur Bara padaku saat dia sudah duduk di bangku kemudi.

"Tapi aku juga punya urusan!" tegasku.

"Sepenting apa?"

"Lebih penting dari semuanya!"

"Oh, ya? Apa lebih penting dari seratus lima puluh juta yang kuberikan?"

Aku tak bisa bicara apa-apa lagi, karena memang Langit jauh lebih berarti jika dibandingkan dengan apa pun. Walau bantuan Bara juga sangat berarti, karena berkat bantuannyalah aku bisa membayar biaya operasi Langit.

"Tak bisa menjawab?" tanya Bara.

Bara merogoh kantongnya dan mengeluarkan gawaiku dari sana, tanpa diduga dia menyalakannya. Bergegas aku berusaha untuk merampasnya, tapi sayang, gerakan Bara lebih cepat. Dia mengangkat gawai itu tinggi-tinggi sehingga aku kesulitan untuk menjangkaunya.

"Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang lebih penting melebihi uang yang kuberikan."

"Bara! Kembalikan! Itu privasiku!"

"Tidak sebelum aku melihatnya."

Gawaiku kembali berbunyi, menandakan ada pesan baru masuk lagi.

"Bara!" Karena kesal setengah berdiri aku mencoba merebut gawaiku. Sempitnya mobil membatasi ruang gerak, hingga tak sengaja tubuhku ambruk menimpa Bara. 

Kami sama-sama terdiam entah dalam waktu berapa detik saat bibir kami saling bersentuhan. Mataku melotot, pun dengan Bara.

"Maaf, aku tak sengaja!" Kumenarik diri dan memperbaiki posisi duduk.

"Kamu mencurinya," ucap Bara sambil mengusap bibirnya.

"Aku sudah bilang kalau aku tak sengaja!"

"Sengaja pun juga tak apa," timpal Bara.

Sungguh, malu sekali rasanya.

"Anakmu sakit?" tanya Bara. Akhirnya dia tahu juga.

"Kamu sudah punya anak?" tanyanya lagi.

Akhirnya Bara mengetahui semuanya.

"Lalu, apa nanti kata suamimu kalau kamu terikat kontrak dan kerja sama denganku? Kamu tahu, kan, dalam perjanjian tak ada batasan jamnya? Kau harus siap bekerja kapan pun aku membutuhkanmu!"

Sepertinya, inilah saat yang tepat untukku mengatakan pada Bara, mungkin sudah waktunya dia mengetahui semuanya.

"Ya, aku memang sudah punya anak.  Dia sedang sakit dan nanti malam akan dioperasi." terangku.

"Lalu? Ayahnya? Apa dia tidak keberatan dengan ...."

"Kami sudah bercerai empat tahun yang lalu. Laki-laki yang di toilet tadi adalah ayahnya. Ini adalah kali pertama kami bertemu lagi setelah sekian tahun,"  jelasku tanpa ada yang aku tutup-tutupi.

"Jadi?"

"Ya, aku adalah orang tua tunggal."

Sejenak Bara menatapku, "Jadi uang itu untuk biaya operasi anakmu?"

Aku mengangguk, tanpa aba-aba mataku mengembun dan diselimuti kabut pekat.

Bara memberikan gawaiku kembali, kemudian melajukan mobilnya.

"Jangan menangis. Aku tak suka wanita yang lemah!" Selembar tisu dia berikan padaku.

"Maaf," lirihku dan langsung menghapus bulir bening yang jatuh. 

                                                                           ***

"Kita mau ke mana? Aku harus kembali ke hotel untuk berganti pakaian, karena aku harus bekerja," protesku ketika mobil melaju bukan ke arah hotel.

"Berhentilah bekerja. Apa uang yang kuberi masih kurang? Kalau iya, nanti aku akan menambahkannya," ucap Bara tanpa menoleh.

"Mungkin kau punya banyak uang, dan uangmu takkan pernah habisnya. Tetapi aku punya tanggung jawab yang harus kukerjakan."

"Aku tidak suka dibantah! Apa kau lupa, kau juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibanmu terhadapku?"

"Tapi ini tidak termasuk ke dalam perjanjian!"

"Nanti akan kutambahkan."

Benar-benar dia. Ternyata selain suka memerintah, laki-laki ini juga memiliki sifat suka berdebat, semena-mena dan berprinsip kalau dia selalu benar.

Hening ... aku lebih memilih diam karena yakin takkan menang melawannya. Terserah dia saja, daripada nanti dia membatalkan kesepakatan kami dan meminta uangnya untuk dikembalikan.

Bara menepikan mobilnya di sebuah toko mainan. Meski hati bertanya-tanya, tetapi aku enggan untuk menanyakannya.

"Tunggu di sini! Jangan berpikir untuk kabur!" ucapnya sebelum keluar dari mobil. Kemudian berjalan menuju toko itu dan masuk ke dalamnya.

Tak lama kemudian Bara keluar dari toko mainan dengan menenteng sebuah kantong, lalu dia beranjak menuju kios buah yang kebetulan letaknya berdampingan dengan toko mainan tersebut. Kemudian kembali lagi ke mobil, satu tangannya menenteng kantong dan satunya lagi memegang parsel buah.

"Katakan di rumah sakit mana anakmu dirawat?” tanya Bara setelah meletakkan parsel buah dan kantong yang dibawanya di kursi belakang.

Aku ternganga mendengar pertanyaannya, jangan-jangan dia membeli semua ini karena dia ingin mengunjungi Langit.

"Katakan di rumah sakit mana anakmu di rawat?" Dia mengulanginya lagi.

Tanpa sadar mulutku menyebutkan alamatnya begitu saja. 

       "Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.

Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar.

"Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.

Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku.

"Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan.

                                                                        ***

"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.

Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini karena hati, bukan semata untuk pelengkap sempurnanya sandiwara yang sedang dia mainkan.

Gawai dalam tasku bergetar, kulepaskan tanganku dari genggaman Bara dan meraih benda pipih itu. Sebuah pesan masuk dengan nama Ibu. Pikiranku kembali kalut, takut pesan yang dikirim Ibu adalah kabar buruk. Entah kenapa semenjak Langit di-opname, aku sering parno sendiri, mungkin itu terjadi karena kecemasanku yang berlebihan.

Setelah menghirup napas panjang, kubuka pesan itu dengan dada yang berdebar.

“Rencananya Langit akan dioperasi nanti malam!”

Deg ... ada rasa bahagia membaca pesan dari Ibu, namun di balik semua itu aku juga khawatir, mengingat tubuh mungil anakku akan dibedah dengan alat-alat operasi.

"Tuhan ... lancarkan semuanya, kuatkan anakku dan berilah dia kesembuhan," lirih kuberdoa dalam hati.

Aku termenung, hingga Bara mengambil gawai dalam genggamanku, ingin rasanya aku merebutnya kembali, namun tidak mungkin, bisa-bisa kami jadi bahan tontonan dan Bara akan malu karena tingkahku.

Bara langsung menyimpan gawaiku dalam kantong jas yang dia kenakan. Kemudian mengambil tanganku lagi dan kembali menggenggamnya.

Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menyerah.

Seperti sebelumnya, aku tak pernah menyimak pembicaraan Bara dengan teman-temannya, aku lebih memilih menyibukkan pikiranku sendiri.

"Ya sudah, kami pamit dulu. Sampai jumpa lain waktu," ucap Bara mengakhiri pertemuan mereka. 

"Ayo, Sayang." Bara memberi isyarat padaku untuk segera berdiri.

"Terima kasih atas waktunya," ucap laki-laki berambut ikal yang pada awal pertemuan kami membahas tentang Sesil. Wanita yang katanya lebih memilih kakak Bara karena lebih mapan.

"Terima kasih juga untuk jamuannya," sahut bara.

                                                                       ***

Bara melepaskan rangkulannya dan membukakan pintu mobil untukku.

"Lain kali, jangan sibukkan dirimu saat bersamaku!" tegur Bara padaku saat dia sudah duduk di bangku kemudi.

"Tapi aku juga punya urusan!" tegasku.

"Sepenting apa?"

"Lebih penting dari semuanya!"

"Oh, ya? Apa lebih penting dari seratus lima puluh juta yang kuberikan?"

Aku tak bisa bicara apa-apa lagi, karena memang Langit jauh lebih berarti jika dibandingkan dengan apa pun. Walau bantuan Bara juga sangat berarti, karena berkat bantuannyalah aku bisa membayar biaya operasi Langit.

"Tak bisa menjawab?" tanya Bara.

Bara merogoh kantongnya dan mengeluarkan gawaiku dari sana, tanpa diduga dia menyalakannya. Bergegas aku berusaha untuk merampasnya, tapi sayang, gerakan Bara lebih cepat. Dia mengangkat gawai itu tinggi-tinggi sehingga aku kesulitan untuk menjangkaunya.

"Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang lebih penting melebihi uang yang kuberikan."

"Bara! Kembalikan! Itu privasiku!"

"Tidak sebelum aku melihatnya."

Gawaiku kembali berbunyi, menandakan ada pesan baru masuk lagi.

"Bara!" Karena kesal setengah berdiri aku mencoba merebut gawaiku. Sempitnya mobil membatasi ruang gerak, hingga tak sengaja tubuhku ambruk menimpa Bara. 

Kami sama-sama terdiam entah dalam waktu berapa detik saat bibir kami saling bersentuhan. Mataku melotot, pun dengan Bara.

"Maaf, aku tak sengaja!" Kumenarik diri dan memperbaiki posisi duduk.

"Kamu mencurinya," ucap Bara sambil mengusap bibirnya.

"Aku sudah bilang kalau aku tak sengaja!"

"Sengaja pun juga tak apa," timpal Bara.

Sungguh, malu sekali rasanya.

"Anakmu sakit?" tanya Bara. Akhirnya dia tahu juga.

"Kamu sudah punya anak?" tanyanya lagi.

Akhirnya Bara mengetahui semuanya.

"Lalu, apa nanti kata suamimu kalau kamu terikat kontrak dan kerja sama denganku? Kamu tahu, kan, dalam perjanjian tak ada batasan jamnya? Kau harus siap bekerja kapan pun aku membutuhkanmu!"

Sepertinya, inilah saat yang tepat untukku mengatakan pada Bara, mungkin sudah waktunya dia mengetahui semuanya.

"Ya, aku memang sudah punya anak.  Dia sedang sakit dan nanti malam akan dioperasi." terangku.

"Lalu? Ayahnya? Apa dia tidak keberatan dengan ...."

"Kami sudah bercerai empat tahun yang lalu. Laki-laki yang di toilet tadi adalah ayahnya. Ini adalah kali pertama kami bertemu lagi setelah sekian tahun,"  jelasku tanpa ada yang aku tutup-tutupi.

"Jadi?"

"Ya, aku adalah orang tua tunggal."

Sejenak Bara menatapku, "Jadi uang itu untuk biaya operasi anakmu?"

Aku mengangguk, tanpa aba-aba mataku mengembun dan diselimuti kabut pekat.

Bara memberikan gawaiku kembali, kemudian melajukan mobilnya.

"Jangan menangis. Aku tak suka wanita yang lemah!" Selembar tisu dia berikan padaku.

"Maaf," lirihku dan langsung menghapus bulir bening yang jatuh. 

                                                                           ***

"Kita mau ke mana? Aku harus kembali ke hotel untuk berganti pakaian, karena aku harus bekerja," protesku ketika mobil melaju bukan ke arah hotel.

"Berhentilah bekerja. Apa uang yang kuberi masih kurang? Kalau iya, nanti aku akan menambahkannya," ucap Bara tanpa menoleh.

"Mungkin kau punya banyak uang, dan uangmu takkan pernah habisnya. Tetapi aku punya tanggung jawab yang harus kukerjakan."

"Aku tidak suka dibantah! Apa kau lupa, kau juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibanmu terhadapku?"

"Tapi ini tidak termasuk ke dalam perjanjian!"

"Nanti akan kutambahkan."

Benar-benar dia. Ternyata selain suka memerintah, laki-laki ini juga memiliki sifat suka berdebat, semena-mena dan berprinsip kalau dia selalu benar.

Hening ... aku lebih memilih diam karena yakin takkan menang melawannya. Terserah dia saja, daripada nanti dia membatalkan kesepakatan kami dan meminta uangnya untuk dikembalikan.

Bara menepikan mobilnya di sebuah toko mainan. Meski hati bertanya-tanya, tetapi aku enggan untuk menanyakannya.

"Tunggu di sini! Jangan berpikir untuk kabur!" ucapnya sebelum keluar dari mobil. Kemudian berjalan menuju toko itu dan masuk ke dalamnya.

Tak lama kemudian Bara keluar dari toko mainan dengan menenteng sebuah kantong, lalu dia beranjak menuju kios buah yang kebetulan letaknya berdampingan dengan toko mainan tersebut. Kemudian kembali lagi ke mobil, satu tangannya menenteng kantong dan satunya lagi memegang parsel buah.

"Katakan di rumah sakit mana anakmu dirawat?” tanya Bara setelah meletakkan parsel buah dan kantong yang dibawanya di kursi belakang.

Aku ternganga mendengar pertanyaannya, jangan-jangan dia membeli semua ini karena dia ingin mengunjungi Langit.

"Katakan di rumah sakit mana anakmu di rawat?" Dia mengulanginya lagi.

Tanpa sadar mulutku menyebutkan alamatnya begitu saja. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status