Mobil melaju membelah jalanan pusat kota yang kebetulan tidak terlalu ramai.
Mobil
Hening ... hanya musik klasik yang mengiringi perjalanan kami."Ke mana laki-laki ini akan membawaku?" gumamku. Memang aku sudah tidak sabaran, tapi bukan seperti apa yang ada dalam pikiran Bara. Yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya segera mendapatkan uang, supaya Langit bisa segera diberi tindakan.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, Bara menepikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Setelah membunyikan klakson, pagar terbuka, tampak seorang laki-laki berseragam safari mendorongnya, agar mobil Bara bisa masuk.
Mataku tak berkedip melihat hal menakjubkan yang berada di balik pagar tinggi itu. Sebuah bangunan dua tingkat yang berdiri kokoh dan sangat mewah sekali, sebelum sampai ke rumah tersebut, kami melewati sebuah taman dengan lampu kelap-kelip yang menghiasinya. Aku yakin jika melihatnya di siang hari pasti akan lebih indah. Beberapa mobil mewah dengan berbagai merk terparkir di halamannya yang cukup luas. Sepertinya sedang ada acara di dalam sana.
Laki-laki berseragam safari itu membungkukkan badan ketika kami melewatinya.
Bara mematikan mesin mobilnya, dia menatapku dengan sangat intens sekali.
"Kau butuh bantuanku dan aku butuh bantuanmu." Laki-laki itu mengambil sebuah map dari kursi belakang dan menyerahkan padaku.
"Tanda tangani ini!" titahnya.
Keningku berkerut, aku tak ingin sembarangan menandatangani sesuatu, bisa saja itu surat kesepakatan bahwa aku bersedia untuk memberikan organ dalam tubuhku pada laki-laki yang baru saja kukenal dalam hitungan jam ini. Atau mungkin surat jual beli yang menerangkan kalau aku akan diserahkan pada seseorang untuk dijadikan budak. Tanpa sadar aku menggelengkan kepala.
"Baca saja dulu! Aku rasa tak ada satu pun kesepakatan yang akan merugikanmu!"
Kubuka map yang diberikan Bara, kemudian membaca satu per satu poin yang tertera di sana.
Setelah selesai, aku mengalihkan pandangan pada Bara yang terlihat sedang menyandarkan tubuhnya ke jok dengan mata terpejam.
Ada perasaan aneh, intinya secara keseluruhan kesepakatan itu berisi kalau dalam waktu yang belum ditentukan aku harus bersedia untuk berpura-pura menjadi pasangannya Bara di hadapan keluarga besarnya, dan selama itu berlangsung.
Yang membuatku tak habis pikir adalah kenapa Bara lebih memilih mencari wanita sewaan? Sedangkan jika dia mau, dia bisa mendapatkan wanita yang seperti apa pun, selain parasnya yang bisa dibilang di atas rata-rata, dia juga berasal dari keluarga sultan.
Ya, sudahlah, bukan urusanku juga, yang penting bagiku adalah uang untuk biaya pengobatan Langit.
"Apa kau bersedia?" tanya Bara tanpa membuka matanya.
"Aku bersedia!" sahutku mantap.
Bara membuka matanya dan mengalihkan pandangan padaku, "Apa kamu yakin? Ini takkan semudah yang kau bayangkan!" sangsinya.
"Tak ada yang lebih penting dari pada ...."
"Uang?" potong Bara cepat.
Aku menghirup napas dalam-dalam, mungkin Zara belum menceritakan keadaanku pada Bara, mungkin Bara berpikir kalau aku melakukan hal ini hanya semata-mata karena uang, padahal ada yang lebih penting di balik itu semua. Nyawa seorang anak berusia tujuh tahun yang sedang berada di ujung tanduk.
"Ya, tak ada yang lebih penting dari pada uang," ucapku. Biarlah, memang lebih baik Bara tak tahu apa-apa tentang kehidupanku, karena setelah tugasku selesai, kami akan kembali menjadi orang asing, bahkan mungkin tak saling mengenal lagi.
"Tanda tanganilah jika memang kau menyetujuinya!"
Tanpa pikir panjang kubuka penutup bolpoin dan mengukirkan tanda tanganku di sana. Ada dua lembar, selembar diberikan Bara padaku dan yang satunya lagi disimpan olehnya.
"Nanti kau hanya perlu untuk mengiyakan semua ucapanku saja. Usahakan jangan banyak bicara dan satu lagi, tetap berada di sampingku,” ucapnya. Sepertinya laki-laki itu sudah terbiasa memerintah dan membuat aturan sendiri.
Aku menganggukkan kepala karena tak ingin memperpanjang waktu.
Semoga urusan ini cepat selesai dan aku mendapatkan imbalannya.
"Kita mulai?" tanya Bara.
Aku menganggukkan kepala.
"Tunggu di sini, biar kubukakan pintu."
Seketika aku terlena, berkhayal seperti seorang putri yang dilayani oleh pangerannya. Namun, segera kutepis, menekankan pada hati kalau aku ini tak lebih dari seorang wanita bayaran.
Saat turun dari mobil, tepat di samping kami juga berhenti sebuah mobil yang tak kalah mewahnya daripada mobil Bara. Warna merah terang terlihat sangat elegan ketika disinari cahaya lampu taman berwarna-warni yang berkelap-kelip.
Dari dalam mobil tersebut keluarlah seorang wanita dan seorang laki-laki. Wanita itu terlihat sangat cantik sekali dalam balutan gaun berwarna muda yang melekat sempurna di tubuhnya yang sintal. Pun dengan yang laki-laki, terlihat gagah menggunakan tuxedo berwarna hitam.
Aku jadi berpikir sendiri, "Bara mengajakku menghadiri acara apa?" Karena melihat dari dua orang yang berdiri di depanku sepertinya ini bukan acara biasa-biasa saja.
"Ternyata kamu datang," sapa laki-laki itu pada Bara, tetapi pandangannya tertuju padaku.
Bara mendekat padaku dan memeluk pinggangku. Sejenak aku tertegun mendapat perlakuan tak biasa darinya. Tetapi aku mencoba bersikap biasa setelah mengingat isi perjanjian yang kusepakati dan juga penjelasan Bara ketika di dalam mobil tadi. Aku hanya perlu berpura-pura.
Bara menatap padaku sembari tersenyum, kubalas senyumannya tak kalah hangat, meskipun sedikit risih karena tangannya yang masih melingkar di pinggangku.
"Ya, aku pasti datang.”
“Sayang, ayo kita masuk!”
“Kami duluan, ya."Aku mengikuti langkah bara, sekilas aku tersenyum pada dua orang yang belum kukenal itu. Sedangkan mereka hanya menatap tanpa ekspresi.
Tepat di depan pintu seorang wanita memakai seragam pelayan menyambut kedatangan kami dan mengucapkan selamat datang.
Baru saja melangkahkan kaki masuk ke rumah mewah itu, semua mata langsung tertuju pada kami. Tidak, lebih tepatnya padaku, karena memang akulah orang asing di antara mereka.
"Selamat malam semuanya," sapa Bara.
Hening ... tak ada satu orang pun yang menjawab. Hingga akhirnya seorang wanita di antara mereka berdiri, "Selamat malam dan selamat datang," ucapnya sembari berjalan menghampiri kami.
"Siapa dia?" tanyanya pada Bara.
"Dia kekasihku!" sahut bara semakin mengeratkan pelukannya.
"Di mana kau temukan wanita ini?" Wanita yang kutemui di halaman tadi menimpali dan berdiri di sampingku.
"Apa maksudmu? Apa perlu aku menceritakan di mana dan bagaimana pertemuan kami dari awal di sini?" sahut Bara dengan nada datar.
"Sekilas aku bisa melihat kalau wanita ini berasal dari kalangan bawah!" ucap wanita itu lagi.
Hatiku sedikit panas mendengarnya, ternyata bukan hanya di film-film saja kalau orang kaya itu memandang orang lain dengan sebelah mata.
"Yang jelas dia lebih terhormat dan tidak gila harta!" tegas Bara.
"Apa maksudmu?" tanya wanita itu lagi.
"Ya, setidaknya dia tak pernah mencintai karena harta dan pergi setelah menemukan seseorang yang lebih mapan!"
"Bara! Jaga bicaramu. Aku tahu kamu masih sakit hati karena Sesil lebih memilihku daripada kamu, tetapi tolong hargai dia sebagai kakak iparmu!" tegur laki-laki yang datang bersama wanita itu.
Aku hanya diam menyaksikan perdebatan yang terjadi, juga mereka yang sedang duduk di ruangan itu yang sepertinya juga sedang menikmati drama yang tersaji di depan mata mereka.
Mendengar perkataan laki-laki itu aku bisa menyimpulkan kalau wanita bernama Sesil itu dulunya adalah kekasih Bara yang lebih memilih menikah dengan kakaknya yang lebih kaya dari pada Bara.
Tiba-tiba aku merasa ada panggilan alam, sungguh dia datang di waktu yang tidak tepat, saat suasana tegang begini bisa-bisanya dia mendesak untuk segera dikeluarkan.
Aku berbisik pada Bara, Bara menatapku sengit, kemudian melayangkan pandangannya dan memberi isyarat pada pelayan yang baru saja menyajikan minuman.
"Tolong antar Nona Laras ke kamar kecil!" titahnya.
"Baik, Tuan." Pelayan itu menganggukkan kepala dan mengajakku untuk mengikutinya.
Sepeninggalku, masih terdengar perdebatan di ruang tamu. Sesekali juga mereka menyebut namaku.
***
Lega ... setelah merapikan pakaianku aku kembali keluar. Namun, aku terkejut karena wanita bernama Sesil itu sudah menungguku di depan pintu kamar mandi.
"Katakan siapa kamu dan apa hubunganmu dengan Bara?!" ucapnya dengan penuh penekanan.
"Bukannya Bara sudah menjelaskan dan memperkenalkan siapa aku?" sahutku.
"Dan aku tidak percaya itu. Aku yakin Bara masih mencintaiku dan dia takkan semudah itu untuk berpaling!"
"Terserah, kamu mau percaya atau tidak, itu urusanmu!" Tak ingin melayaninya aku melangkahkan kaki. Namun saat melewatinya, Sesil mencekal tanganku dan mendorongku hingga jatuh terjerembap. Ingin rasanya saat itu juga kubalas, namun aku sadar kalau aku hanya orang asing, selain itu aku juga tidak mau membuat keributan karena tak ingin melanggar perjanjianku dengan Bara. Aku harus sabar dan mengalah, demi untuk mendapatkan biaya pengobatan Langit. Biarlah harga diriku direndahkan.
Seperti seorang pahlawan, Bara datang disaat yang tepat.
"Apa-apaan kamu?!" hardiknya pada Sesil. Kemudian buru-buru menolongku untuk berdiri.
"Ada yang sakit?" Nada suara Bara seketika berubah lembut saat menanyaiku.
Aku menggelengkan kepala. Meski tangan dan bokongku memang terasa sakit.
"Kamu yang apa-apaan?! Bisa-bisanya kamu membawa wanita kampungan ini ke sini!" sergah Sesil
"Itu bukan urusanmu!"
Dan lagi, aku menyaksikan perdebatan mereka.
"Aku tidak yakin kau bisa semudah itu melupakanku," sinis Sesil.
"Siapa kamu? Apa alasannya sehingga aku terlalu berlarut-larut untuk mengenangmu?" Sepertinya Bara tak mau mengalah apalagi kalah.
"Apa tidak kebalikannya? Kamu tak bisa mencintai Fahri, kan? Jelas, karena kamu hanya mengharapkan hartanya saja. Kasihan kakakku."
Bara kembali menggandengku untuk meninggalkan Sesil.
"Tunggu! Apa buktinya kalau kalian memang sepasang kekasih?" tantang Sesil.
"Apa aku harus menunjukkan di depan matamu?"
"Ya, setidaknya agar aku yakin kalau kamu benar-benar sudah melupakanku."
Bara memutar bahuku agar aku menghadap padanya, satu tangannya dia letakkan di pinggangku dan satunya lagi di leherku.
Berlahan Bara mengikis jarak di antara kami, sebenarnya aku tak ingin di hadapkan dengan keadaan ini, tapi kembali lagi, aku melakukan semua ini demi Langit, keselamatannya jauh lebih berharga dari pada harga diriku. Tugasku hanya untuk mengikuti skenario yang sudah diatur oleh Bara.
Wajah Bara semakin dekat denganku, embusan napasnya terasa menerpa wajahku, detak jantungku mulai berpacu, tak sanggup untuk melihat kejadian berikutnya kupejamkan mata, hingga akhirnya aku merasakan sentuhan lembut di bibir.
Sedetik, dua detik, tiga detik ... dan entah sudah berapa detik benda kenyal itu menempel di bibirku. Napasku terasa sesak dibuatnya.Bara menarik dirinya dan mengusap lembut bibirku. Sedangkan aku masih belum berani membuka mata. Malu sekali rasanya. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah, seketika tubuhku juga terasa hangat."Cukup? Apa kamu melihat bukti yang lain?" tantang Bara.Perlahan aku membuka mata. Aku melihat ekspresi Sesil yang entahlah. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Mungkin dia tak kalah shock-nya denganku.Aku berusaha bersikap santai, menutupi kegugupan dan rasa tak menentu."Ayo, Sayang, kita ke depan." Bara kembali merangkulku. Kami meninggalkan Sesil yang masih mematung di tempatnya berdiri. Tak lama kemudian Fahri menyusul Sesil ke belakang. Seperti dua orang yang sedang bermusuhan, baik Bara maupun Fahri tak saling bertegur sapa saat berpapasan.&n
Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu.Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan Ibu, juga Langit.Bulan sabit di langit tampak tersenyum, seakan turut merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini.Kutepikan motor sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama Ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga.Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya.
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai."Aduh ...." Bara mengerang.Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri."Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan."Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik."Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. "Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya."Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya