Share

WANITA KEDUA SUAMIKU
WANITA KEDUA SUAMIKU
Penulis: zainababdullah

BAB 1

Pov Nayra

Setelah seminggu perawatan, akhirnya aku kembali pulih dan diizinkan pulang meskipun hati dan jiwa ini belum sepenuhnya pulih. Luka itu masih menganga lebar meneteskan darah, setelah mengetahui bahwa belahan jiwaku yang bersemayam didalam rahim ini telah pergi selamanya. Bahkan dia pun enggan bertahan, tak ingin melihat dunia yang penuh konspirasi ini. 

"Nay, mau makan apa?" Tanya Bang Heru seraya ikut duduk di sampingku. 

Aku menggeleng. "Masih kenyang," jawabku singkat. 

Bang Heru mengangguk, lalu kembali fokus dengan gawainya. Aku hanya diam menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah, kami berada ditepi danau didekat rumah mendiang nenek kami. Aku memilih pulang kekampung halaman nenek untuk menenangkan jiwa yang tengah terguncang. 

Dua minggu lagi, aku sudah resmi berstatus janda. Aku akan terbebas dari ikatan pernikahan, kututup cerita pahit bersama bang Azlan. Akan kubuka lembaran baru yang insyaallah lebih indah. 

Bang Heru mengelus rambutku. "Jangan terlalu banyak melamun, gak baik, kita ke panti asuhan yang ada di dekat kelurahan yuk!" Ucapnya seraya menggenggam tanganku. 

Aku mengangguk pasrah beranjak dari dudukku mengikuti langkah Bang Heru, kami seperti sepasang kekasih. Jika orang tak tahu, mungkin saja mereka menyangkanya kami pacaran. 

Setelah hampir sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai didepan rumah yang lumayan besar dengan halaman yang asri dipenuhi dengan bunga-bunga dan pohon mangga cangkok yang terawat. Ada lima orang anak kecil yang tengah bermain petak umpet di garasi, dan perempuan berhijab syar'i yang tengah menggendong bayi sambil bersenandung lirih di teras. 

"Assalamualaikum," ucap bang Heru seraya membuka pagar. 

"Ayaaaah!" Teriak anak-anak yang tadi bermain petak umpet saat bang Heru masuk. 

Sepertinya bang Heru sudah sering kesini, sehingga anak-anak begitu akrab dengannya. 

"Dia siapa, Ayah?" Tanya anak perempuan berambut keriting. 

"Ini adiknya Ayah, yuk kenalan, namanya tante Nayra, Ica boleh panggil Bunda Nay," ucap bang Heru seraya berjongkor mensejajarkan tingginya dengan anak kecil bernama Ica itu. 

Aku mengulurkan tanganku lalu disambutnya dengan ramah. "Halisa, Bunda, panggil saja Ica!" Jawabnya diiringi senyum lebar memamerkan gigi putihnya yang rapi. 

"Cantik," gumamku. 

Halisa tersipu mendengar pujianku, setelah berkenalan dengan anak-anak tadi kulihat bang Heru menghampiri perempuan berhijab syar'i itu, mereka tampak seperti suami istri yang sedang menemani anaknya bermain. Serasi sekali, perempuan itu menatap bang Heru dengan penuh kekaguman, sesekali dia melirikku dengan tatapan cemburu mungkin dia tak tahu aku adiknya bang Heru.

"Bunda Nay, beneran adiknya Ayah 'kan?" Tanya anak lelaki bernama Umar. 

Aku mengangguk. "Jangan rebut Ayah dari Umma ya, Bunda!" Ucapnya lagi membuatku terkejut. 

Ada hubungan apa bang Heru dengan perempuan itu? Apa mereka menikah diam-diam? Atau ada yang kulewatkan selama aku koma kemarin? 

"Tante kesana dulu ya," ucapku, sengaja aku tak menyebut diriku 'bunda' karena masih canggung. 

Saat aku tepat dibelakang bang Heru, tak sengaja aku mendengar percakapan mereka. 

"Beneran itu adiknya kakak? Bukan selingkuhan 'kan?" Tanya perempuan itu menyelidik.

Aku berdehem membuat mereka terkejut, kuulas senyum tipis.

 "Hai, kenalin, aku Nayra calon istrinya bang Heru!" ucapku santai seraya mengulurkan tangan. Sengaja ingin melihat respon perempuan cantik didepabku ini. 

Bang Heru tampak terkejut tapi tak lama dia tersenyum, sepertinya dia mengerti maksudku. 

"Ca-calon i-istri?" Tanyanya tergagap. 

Seketika aku tertawa. "Bukanlah, aku adik kandungnya, memang baru pertama kali kesini, makanya banyak yang gak tahu," ucapku. 

Perempuan itu bernafas lega. "Ah, iya, namaku Syifa," ucapnya seraya menerima uluran tanganku. 

Aku mengalihkan pandanganku pada bayi merah yang digendong bang Heru. "Anak siapa?" Tanyaku. 

Syifa menghela nafas pelan. "Dia bayi yang dibuang seminggu yang lalu, ditepi danau belakang," jawabnya dengan wajah sedih. 

"Ya ampun, kasihan, tega banget orangtuanya," gumamku seraya mengusap pipi bayi itu membuatnya menggeliat. 

"Mau gendong?" Tanya bang Heru. 

Aku menggeleng. "Takut ah, masih lemah banget itu," jawabku.

"Namanya siapa?" Tanyaku. 

"Kami kasih nama Humairah," jawab Syifa. 

Aku mengangguk mengerti, aku kembali menatap bayi mungil itu, wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Sangat mirip sekali. 

"Mirip almarhum bang Hilman," gumamku. 

Bang Heru menatapku lalu menatap bayi itu lagi. "Iya ya, abang juga baru 'ngeh'," ucapnya. 

"Mungkin cuma mirip aja," ucapku lagi berusaha menghalau rasa sakit hati ketika mengingat bang Hilman. 

______

Akhirnya aku berbaur dengan anak-anak panti asuhan, mereka begitu menggemaskan. Tergambar jelas rona bahagia diwajah mereka saat aku membelikan mereka permen. Bermain dengan mereka mengobati rasa sakit dihatiku, melihat wajah polos mereka membuat hatiku damai. 

Adzan maghrib berkumandang, aku dan Syifa masih duduk di ruang tamu. Sedangkan bang Heru sudah pergi ke masjid bersama anak-anak panti. Karena kami berdua sedang datang bulan, jadi kami tak melaksanakan ibadah dulu. 

"Syifa ada hubungan apa sama bang Heru?" Tanyaku. 

Wajah Syifa bersemu merah ketika kutanyakan hubungannya dengan bang Heru.

"Em, sudah hampir setahun kami pacaran, mbak, bang Heru janji menikahiku bulan depan," jawabnya. 

Aku tak menyangka jika diam-diam bang Heru sudah memiliki kekasih. Aku kembali diam tak lagi menanyakan privasinya, tak lama gawaiku bergetar tertera nama Ageng disana. 

"Assalamualaikum," sapanya setelah aku mengangkat panggilan. 

"Wa'alaikumussalam, ada apa nelfon?" tanyaku. 

"Masih di kampung?" Tanyanya. 

"Iya." 

"Jangan pergi kekota dulu, Azlan kabur dari rumah sakit bersama orangtuanya, adiknya juga sudah ditebus oleh seseorang, kamu hati-hati, aku takut mereka balas dendam dan mencelakakanmu," jelas Ageng panjang lebar. 

Aku terkejut mendengarnya, bagaimana bisa Azlan kabur sementara penjagaan begitu ketat di rumah sakit. Mereka begitu licik ternyata, entah siapa juga yang sudah menebus adiknya. Aku harus waspada, mereka bisa saja datang menyerangku kembali. 

"Iya," jawabku lagi seraya memutuskan sambung telepon. 

Padahal penyakit bang Azlan semakin parah, bagaimana bisa dia kabur. Apa orang yang menebus Hania juga pelakunya? Aku memijit pelipisku yang terasa berdenyut. 

"Ada apa?" Tanya Syifa. 

Aku menggeleng. "Gak ada, cuma urusan kerjaan di kota," alibiku. 

______

Pov Adelia 

Tubuhku semakin kurus, bahkan untuk berjalan pun begitu sulit. Aku tak tahu sampai kapan mendekam didalam penjara ini, aku takut mati konyol didalam sini. Terlebih kondisiku sekarang semakin menjijikan, borok dikakiku semakin melebar, membuatku enggan untuk terkena air karena terasa perih. Bahkan kulit kepalaku dipenuhi dengan ketombe karena jarang keramas ataupun creambath seperti dulu, wajahku sudah dipenuhi jerawat. Aku sudah seperti nenek-nenek ringkih, tak ada lagi yang bisa kubanggakan dari tubuhku. 

Badan kurus, kumal, dekil, penyakitan. Bahkan para sipir yang menolongku kemarin seperti terpaksa membersihkan ruangan kotor ini, mereka memakai masker dua lapis, sarung tangan dua lapis seperti takut bersentuhan kulit denganku. Mereka membopongku kekamar mandi, lalu membersihkan tubuhku dan menggantikan bajuku. Untung yang menolongku para sipir wanita, sehingga aku tak begitu malu saat bajuku terbuka. 

Punggungku terasa perih karena ada luka yang melebar disana. 

"Ah, ini semua karena Nayra!" 

Aku tak terima terus seperti ini, sementara Nayra di luar sana hidup bahagia. Bisa jadi bang Azlan kembali bersama Nayra, dan sekarang mereka hidup bahagia sementara hidupku disini menderita. 

Lima menit kemudian, datang orang mengantar makanan beserta obatku. Aku menatap sepiring nasi beserta sayur bening dan tempe goreng, makanan yang dulu sering kuremehkan. Seandainya, aku tak masuk penjara, mungkin sekarang aku makan enak dan tubuhku terawat. 

"Huf!" Dengan terpaksa aku memakan makanan murahan ini karena perutku sudah lapar, aku juga ingin segera sehat. Siapa tahu dengan sembuhnya penyakitku, tubuhku kembali segar dan wajahku kembali bersih. Aku bisa menggoda para sipir agar bisa membebaskanku dari sini. Aku juga sudah rindu dijamah lelaki. 

Cairan berbau busuk masih keluar dari jalan lahirku, tapi tak sebanyak kemarin. Kata dokter, aku positif HIV dan raja singa atau sifilis karena terlalu sering berganti pasangan. Ah, tapi aku yakin bisa sembuh dan bisa keluar dari sini lalu membalaskan dendamku pada Nayra, karena telah membuatku mendekam di penjara.

Walaupun aku sudah tahu, Ibunya Nayra bukanlah perebut papaku, tapi tetap saja dia yang membuatku mendekam di penjara sehingga membuatku sengsara seperti ini. Seharusnya dia yang di penjara karena telah menyiksaku kemarin. 

Aku menelan makananku dengan susah payah, rasanya hambar membuatku tak berselara makan. Ditambah bayang-bayang wajah Nayra yang tengah berbahagia di luar sana membuatku semakin sakit hati dan malas untuk makan. 

______

"Adelia, ayo keluar ada yang mau bertemu denganmu," ucap sipir bernama Marwa kini berdiri didepan sel tahananku. 

Aku berdiri dengan susah payah. "Siapa?" Tanyaku lirih. 

Marwa menggeleng. "Gak tahu siapa, tapi yang pasti dia bilang keluargamu," jawab Marwa. 

Aku keluar dari sel dengan tangan diborgol, mungkin takut aku kabur. 

"Tak perlu di borgol juga saya tak akan kabur!" Ketusku membuat Marwa mendelik tak suka.

"Saya hanya menjalankan tugas!" Tegasnya. 

Aku mengikuti langkahnya menuju keruang besuk. Mataku mendelik melihat siapa yang datang, ternyata kakak dari Ibuku, Om Farhan. 

Beliau menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan kasihan. 

"Om kesini mau nolong aku 'kan?!" Tanyaku dengan wajah sumringah. 

Beliau menggeleng. "Bukan, om kesini menyerahkan bukti-bukti kejahatanmu," jawab beliau membuatku terkejut. 

"Kejahatan apa?!" Tanyaku sinis. 

Dia menyeringai. "Masih tak juga menyadari kesalahanmu? Tak ada jeranya memang kamu, mungkin hanya Allah yang akan membuatmu jera!" 

"Apa perlu saya jabarkan kesalahanmu? Membunuh darah dagingmu sendiri, membuang janin-janin yang tak berdosa," ucapnya dengan wajah mengejek. 

"Polisi sudah menerima bukti-bukti kuat untuk membuatmu mendekam cukup lama disini, terlebih rekaman CCTV saat kau menyiksa ibuku," 

Aku meneguk ludahku susah payah. "Kejadian itu 'kan sudah lama, ngapain baru dilaporkan sekarang?!" Ketusku. 

Om Farhan tersenyum sinis. "Karena baru sekarang terkumpul semua buktinya, dan pasti setelah ini kamu akan mati membusuk di penjara," jawab beliau seraya beranjak meninggalkanku yang mematung. 

"Aku gak mau disini! Aku pasti akan keluar dan membalaskan dendamku pada mereka semua yang dzolim padaku!" Gumamku seraya menatap tajam punggung Om Farhan yang semakin menjauh. 

Aku tersenyum getir menyaksikan sepasang pengantin yang terus memamerkan senyum bahagia diatas pelaminan. Sekuat tenaga kutahan hati yang terus berdarah menyaksikan imamku mempersunting wanita lain. Masih teringat jelas, ucapannya saat meminta izin menikah lagi. Baginya lelaki berharta dan memiliki tahta wajar beristri dua, dia merasa mampu bersikap adil. Membawa dalil agama, tapi tak paham apa itu arti 'adil'. Apa semua lelaki yang bertahta dan berharta wajib memiliki istri lebih dari satu?  

"Ikhlaskan abang menikah lagi, maka pintu surga akan terbuka lebar untukmu, Dik Nay," ucapnya kala itu. Aku tersenyum miris, bagaimana bisa dia menjanjikanku surga sementara kewajibannya sebagai suami pun tak terpenuhi.  

Kini aku menyesal menemaninya dari nol,saat sukses dia memilih wanita muda untuk menemaninya kemanapun ia pergi. Alasannya karena penyakit vertigoku yang selalu kambuh jika di ajak perjalanan bisnis. Begitu banyak alasan dan dusta yang terlontar dari bibirnya semenjak mengenal wanita itu.  

"Nayra, sabar ya, Umi selalu ada disisimu! Umi tak pernah merestui hubungan mereka,bagi Umi hanya kamu menantu terbaik Umi!" Aku bergeming mendengar ucapan Ibu mertuaku yang seolah mendukungku, bagiku ucapan beliau hanya bualan semata. Beliau ikut juga menyiapkan acara resepsi mewah ini dan mengundang seluruh keluarga besar suamiku. 

Seharusnya jika memang beliau tak merestui,sedari awal beliau menolak mentah-mentah permintaan anaknya untuk menikah lagi. Aku berharap anak-anak perempuannya juga merasakan sakit yang kurasakan. 

Dulu saat menikahiku, tak ada resepsi mewah seperti ini. Kuterima dia apa adanya, dengan uang jujuran sebesar lima juta hanya mampu menggelar acara sederhana. Setelah menikah pun hanya mampu tinggal di rumah petakan yang kumuh dan murah. Inikah yang disebut adil? Sementara perempuan itu tiba-tiba masuk kedalam rumah tangga kami,disaat kami sudah memiliki segalanya.  

Bahkan lusa mereka akan berangkat bulan madu ke Negara impianku, Perancis. Ngilu rasanya hati ini, membayangkan mereka liburan berdua sedangkan diriku tak pernah sekalipun diajak liburan bersama. 

Aku memutuskan keluar dari gedung pernikahan, bertahan disana sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Aku memilih pulang ke apartemen, enggan pulang kerumah. 

Sungguh tak ikhlas rasanya membiarkan wanita itu menikmati harta milikku. Ya, perusahaan serta beberapa hektar kebun sawit adalah milikku, aku juga menanam saham di perusahaan batu bara. Bang Azlan, suamiku, hanya menjalankan perusahaan,tapi tak ada hak untuk menguasai. Kami memang berjuang bersama, tapi modal awal saat membuka usaha adalah uangku tak sepeserpun memakai uang Bang Azlan. 

"Sepertinya aku harus menyelamatkan semua asetku dari wanita tamak itu, aku yakin dia menikah dengan Bang Azlan hanya demi harta," gumamku seraya mengambil berkas-berkas yang ada di brankas. Sengaja aku menyimpannya di apartemen, takut Bang Azlan mengambilnya dan membalik nama semua aset menjadi miliknya.  

Aku mengatur rencana untuk membuat suami dan gundiknya itu jera. Kuhubungi pengacara kepercayaanku untuk membekukan semua rekening Bang Azlan. 

Aku menyeringai membayangkan bagaimana ekspresi Bang Azlan nanti saat membayar wedding organizer dan catering. Untuk acara semewah itu mereka mengeluarkan DP hampir seratus juta, dan sisanya dibayar saat acara sudah selesai.Sisa pembayaran masih ada sekitar tujuhratus juta. Pasti Bang Azlan akan pusing memikirkan biayanya nanti.  

___

Aku kembali pulang kerumah setelah tiga hari berada di apartemen. Semua keluarga suamiku sepertinya sedang berkumpul di rumah mewahku. Apa mereka sedang berunding, memikirkan bagaimana caranya melunasi hutang tujuhratus juta dalam waktu dua hari.  

Kemarin, aku juga sudah menelfon tim HRD untuk menurunkan jabatan suamiku. Dia tak lagi menjadi direktur, tetapi menjadi karyawan biasa. Semua fasilitas yang kuberikan kutarik kembali. Dan lusa aku juga sudah kembali bekerja di perusahaanku sendiri, menjabat sebagai atasan suamiku.

"Ada apa ini kumpul-kumpul?" Tanyaku saat masuk rumah. Semua pasang mata menatapku dengan sorot penuh amarah.  

Aku berusaha bersikap santai,kali ini aku harus tegas menghadapi keluarga suamiku yang selalu jadi benalu dalam hidupku.  

"Apa?" Tanyaku santai seraya melenggang dengan anggun. Tubuhku terasa fresh dan ringan setelah perawatan.  

"Nayra!" Bentak Bang Azlan.  

Aku menghentikan langkahku. "Urus masalahmu sendiri,jangan pernah libatkan aku. Berjuang dari nol ya sayang, seperti aku menemanimu dulu," ucapku seraya kembali masuk kedalam kamar.  

Terdengar jeritan histeris, Adelia, istri kedua suamiku. Sepertinya dia tak terima, kalau suaminya mendadak jatuh miskin. 

"Mas kamu harus tegas dong! Kamu itu suaminya!" Bentaknya pada Bang Azlan.  

Kurebahkan tubuhku di ranjang, setelah ini tak ada lagi hubungan penuh cinta dan gairah di ranjang ini, tak ada lagi pillow talk sebelum tidur. Aku terlanjur jijik, membayangkan berbagi tubuh bersama wanita murahan itu. 

Saat asyik memejamkan mata, terdengar gedoran keras dari arah pintu.Teriakan Bang Azlan dan gundiknya saling bersahutan, bahkan kata-kata tak pantas terlontar dari mulut mereka, seperti orang yang tak pernah duduk di bangku  sekolah. 

"Hei, perempuan serakah! Buka pintunya!" teriak Adelia. 

"Nayra, tolong buka pintunya!" Kali ini suara Bang Azlan melemah. 

Aku bergeming, enggan membuka kan pintu untuk mereka.

"Nayra, tolong jangan seperti anak kecil!" Teriak Bang Azlan lagi.  

Aku memilih menonton drama korea daripada mendengar teriakan mereka. Nanti juga kalau sudah lelah berhenti sendiri. Yang pasti aku tak akan luluh dan membiarkan mereka menikmati harta yang seharusnya aku nikmati. Aku selama ini berhemat untuk masa depan anak dan cucuku agar nantinya hidup mereka terjamin tujuh turunan, eh seenaknya gundik itu ingin menguasai. Aku bukan perempuan bodoh yang pasrah di poligami dan membiarkan hakku dimakan orang lain. Akan kubalas perbuatan mereka!Pov Nayra



Setelah seminggu perawatan, akhirnya aku kembali pulih dan diizinkan pulang meskipun hati dan jiwa ini belum sepenuhnya pulih. Luka itu masih menganga lebar meneteskan darah, setelah mengetahui bahwa belahan jiwaku yang bersemayam didalam rahim ini telah pergi selamanya. Bahkan dia pun enggan bertahan, tak ingin melihat dunia yang penuh konspirasi ini. 

"Nay, mau makan apa?" Tanya Bang Heru seraya ikut duduk di sampingku. 

Aku menggeleng. "Masih kenyang," jawabku singkat. 

Bang Heru mengangguk, lalu kembali fokus dengan gawainya. Aku hanya diam menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah, kami berada ditepi danau didekat rumah mendiang nenek kami. Aku memilih pulang kekampung halaman nenek untuk menenangkan jiwa yang tengah terguncang. 

Dua minggu lagi, aku sudah resmi berstatus janda. Aku akan terbebas dari ikatan pernikahan, kututup cerita pahit bersama bang Azlan. Akan kubuka lembaran baru yang insyaallah lebih indah. 

Bang Heru mengelus rambutku. "Jangan terlalu banyak melamun, gak baik, kita ke panti asuhan yang ada di dekat kelurahan yuk!" Ucapnya seraya menggenggam tanganku. 

Aku mengangguk pasrah beranjak dari dudukku mengikuti langkah Bang Heru, kami seperti sepasang kekasih. Jika orang tak tahu, mungkin saja mereka menyangkanya kami pacaran. 

Setelah hampir sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai didepan rumah yang lumayan besar dengan halaman yang asri dipenuhi dengan bunga-bunga dan pohon mangga cangkok yang terawat. Ada lima orang anak kecil yang tengah bermain petak umpet di garasi, dan perempuan berhijab syar'i yang tengah menggendong bayi sambil bersenandung lirih di teras. 

"Assalamualaikum," ucap bang Heru seraya membuka pagar. 

"Ayaaaah!" Teriak anak-anak yang tadi bermain petak umpet saat bang Heru masuk. 

Sepertinya bang Heru sudah sering kesini, sehingga anak-anak begitu akrab dengannya. 

"Dia siapa, Ayah?" Tanya anak perempuan berambut keriting. 

"Ini adiknya Ayah, yuk kenalan, namanya tante Nayra, Ica boleh panggil Bunda Nay," ucap bang Heru seraya berjongkor mensejajarkan tingginya dengan anak kecil bernama Ica itu. 

Aku mengulurkan tanganku lalu disambutnya dengan ramah. "Halisa, Bunda, panggil saja Ica!" Jawabnya diiringi senyum lebar memamerkan gigi putihnya yang rapi. 

"Cantik," gumamku. 

Halisa tersipu mendengar pujianku, setelah berkenalan dengan anak-anak tadi kulihat bang Heru menghampiri perempuan berhijab syar'i itu, mereka tampak seperti suami istri yang sedang menemani anaknya bermain. Serasi sekali, perempuan itu menatap bang Heru dengan penuh kekaguman, sesekali dia melirikku dengan tatapan cemburu mungkin dia tak tahu aku adiknya bang Heru.

"Bunda Nay, beneran adiknya Ayah 'kan?" Tanya anak lelaki bernama Umar. 

Aku mengangguk. "Jangan rebut Ayah dari Umma ya, Bunda!" Ucapnya lagi membuatku terkejut. 

Ada hubungan apa bang Heru dengan perempuan itu? Apa mereka menikah diam-diam? Atau ada yang kulewatkan selama aku koma kemarin? 

"Tante kesana dulu ya," ucapku, sengaja aku tak menyebut diriku 'bunda' karena masih canggung. 

Saat aku tepat dibelakang bang Heru, tak sengaja aku mendengar percakapan mereka. 

"Beneran itu adiknya kakak? Bukan selingkuhan 'kan?" Tanya perempuan itu menyelidik.

Aku berdehem membuat mereka terkejut, kuulas senyum tipis.

 "Hai, kenalin, aku Nayra calon istrinya bang Heru!" ucapku santai seraya mengulurkan tangan. Sengaja ingin melihat respon perempuan cantik didepabku ini. 

Bang Heru tampak terkejut tapi tak lama dia tersenyum, sepertinya dia mengerti maksudku. 

"Ca-calon i-istri?" Tanyanya tergagap. 

Seketika aku tertawa. "Bukanlah, aku adik kandungnya, memang baru pertama kali kesini, makanya banyak yang gak tahu," ucapku. 

Perempuan itu bernafas lega. "Ah, iya, namaku Syifa," ucapnya seraya menerima uluran tanganku. 

Aku mengalihkan pandanganku pada bayi merah yang digendong bang Heru. "Anak siapa?" Tanyaku. 

Syifa menghela nafas pelan. "Dia bayi yang dibuang seminggu yang lalu, ditepi danau belakang," jawabnya dengan wajah sedih. 

"Ya ampun, kasihan, tega banget orangtuanya," gumamku seraya mengusap pipi bayi itu membuatnya menggeliat. 

"Mau gendong?" Tanya bang Heru. 

Aku menggeleng. "Takut ah, masih lemah banget itu," jawabku.

"Namanya siapa?" Tanyaku. 

"Kami kasih nama Humairah," jawab Syifa. 

Aku mengangguk mengerti, aku kembali menatap bayi mungil itu, wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Sangat mirip sekali. 

"Mirip almarhum bang Hilman," gumamku. 

Bang Heru menatapku lalu menatap bayi itu lagi. "Iya ya, abang juga baru 'ngeh'," ucapnya. 

"Mungkin cuma mirip aja," ucapku lagi berusaha menghalau rasa sakit hati ketika mengingat bang Hilman. 

______


Akhirnya aku berbaur dengan anak-anak panti asuhan, mereka begitu menggemaskan. Tergambar jelas rona bahagia diwajah mereka saat aku membelikan mereka permen. Bermain dengan mereka mengobati rasa sakit dihatiku, melihat wajah polos mereka membuat hatiku damai. 

Adzan maghrib berkumandang, aku dan Syifa masih duduk di ruang tamu. Sedangkan bang Heru sudah pergi ke masjid bersama anak-anak panti. Karena kami berdua sedang datang bulan, jadi kami tak melaksanakan ibadah dulu. 

"Syifa ada hubungan apa sama bang Heru?" Tanyaku. 

Wajah Syifa bersemu merah ketika kutanyakan hubungannya dengan bang Heru.

"Em, sudah hampir setahun kami pacaran, mbak, bang Heru janji menikahiku bulan depan," jawabnya. 

Aku tak menyangka jika diam-diam bang Heru sudah memiliki kekasih. Aku kembali diam tak lagi menanyakan privasinya, tak lama gawaiku bergetar tertera nama Ageng disana. 

"Assalamualaikum," sapanya setelah aku mengangkat panggilan. 

"Wa'alaikumussalam, ada apa nelfon?" tanyaku. 

"Masih di kampung?" Tanyanya. 

"Iya." 

"Jangan pergi kekota dulu, Azlan kabur dari rumah sakit bersama orangtuanya, adiknya juga sudah ditebus oleh seseorang, kamu hati-hati, aku takut mereka balas dendam dan mencelakakanmu," jelas Ageng panjang lebar. 

Aku terkejut mendengarnya, bagaimana bisa Azlan kabur sementara penjagaan begitu ketat di rumah sakit. Mereka begitu licik ternyata, entah siapa juga yang sudah menebus adiknya. Aku harus waspada, mereka bisa saja datang menyerangku kembali. 

"Iya," jawabku lagi seraya memutuskan sambung telepon. 

Padahal penyakit bang Azlan semakin parah, bagaimana bisa dia kabur. Apa orang yang menebus Hania juga pelakunya? Aku memijit pelipisku yang terasa berdenyut. 

"Ada apa?" Tanya Syifa. 

Aku menggeleng. "Gak ada, cuma urusan kerjaan di kota," alibiku. 

______

Pov Adelia 


Tubuhku semakin kurus, bahkan untuk berjalan pun begitu sulit. Aku tak tahu sampai kapan mendekam didalam penjara ini, aku takut mati konyol didalam sini. Terlebih kondisiku sekarang semakin menjijikan, borok dikakiku semakin melebar, membuatku enggan untuk terkena air karena terasa perih. Bahkan kulit kepalaku dipenuhi dengan ketombe karena jarang keramas ataupun creambath seperti dulu, wajahku sudah dipenuhi jerawat. Aku sudah seperti nenek-nenek ringkih, tak ada lagi yang bisa kubanggakan dari tubuhku. 

Badan kurus, kumal, dekil, penyakitan. Bahkan para sipir yang menolongku kemarin seperti terpaksa membersihkan ruangan kotor ini, mereka memakai masker dua lapis, sarung tangan dua lapis seperti takut bersentuhan kulit denganku. Mereka membopongku kekamar mandi, lalu membersihkan tubuhku dan menggantikan bajuku. Untung yang menolongku para sipir wanita, sehingga aku tak begitu malu saat bajuku terbuka. 

Punggungku terasa perih karena ada luka yang melebar disana. 

"Ah, ini semua karena Nayra!" 

Aku tak terima terus seperti ini, sementara Nayra di luar sana hidup bahagia. Bisa jadi bang Azlan kembali bersama Nayra, dan sekarang mereka hidup bahagia sementara hidupku disini menderita. 

Lima menit kemudian, datang orang mengantar makanan beserta obatku. Aku menatap sepiring nasi beserta sayur bening dan tempe goreng, makanan yang dulu sering kuremehkan. Seandainya, aku tak masuk penjara, mungkin sekarang aku makan enak dan tubuhku terawat. 

"Huf!" Dengan terpaksa aku memakan makanan murahan ini karena perutku sudah lapar, aku juga ingin segera sehat. Siapa tahu dengan sembuhnya penyakitku, tubuhku kembali segar dan wajahku kembali bersih. Aku bisa menggoda para sipir agar bisa membebaskanku dari sini. Aku juga sudah rindu dijamah lelaki. 

Cairan berbau busuk masih keluar dari jalan lahirku, tapi tak sebanyak kemarin. Kata dokter, aku positif HIV dan raja singa atau sifilis karena terlalu sering berganti pasangan. Ah, tapi aku yakin bisa sembuh dan bisa keluar dari sini lalu membalaskan dendamku pada Nayra, karena telah membuatku mendekam di penjara.

Walaupun aku sudah tahu, Ibunya Nayra bukanlah perebut papaku, tapi tetap saja dia yang membuatku mendekam di penjara sehingga membuatku sengsara seperti ini. Seharusnya dia yang di penjara karena telah menyiksaku kemarin. 

Aku menelan makananku dengan susah payah, rasanya hambar membuatku tak berselara makan. Ditambah bayang-bayang wajah Nayra yang tengah berbahagia di luar sana membuatku semakin sakit hati dan malas untuk makan. 

______

"Adelia, ayo keluar ada yang mau bertemu denganmu," ucap sipir bernama Marwa kini berdiri didepan sel tahananku. 

Aku berdiri dengan susah payah. "Siapa?" Tanyaku lirih. 

Marwa menggeleng. "Gak tahu siapa, tapi yang pasti dia bilang keluargamu," jawab Marwa. 

Aku keluar dari sel dengan tangan diborgol, mungkin takut aku kabur. 

"Tak perlu di borgol juga saya tak akan kabur!" Ketusku membuat Marwa mendelik tak suka.

"Saya hanya menjalankan tugas!" Tegasnya. 

Aku mengikuti langkahnya menuju keruang besuk. Mataku mendelik melihat siapa yang datang, ternyata kakak dari Ibuku, Om Farhan. 

Beliau menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan kasihan. 

"Om kesini mau nolong aku 'kan?!" Tanyaku dengan wajah sumringah. 

Beliau menggeleng. "Bukan, om kesini menyerahkan bukti-bukti kejahatanmu," jawab beliau membuatku terkejut. 

"Kejahatan apa?!" Tanyaku sinis. 

Dia menyeringai. "Masih tak juga menyadari kesalahanmu? Tak ada jeranya memang kamu, mungkin hanya Allah yang akan membuatmu jera!" 

"Apa perlu saya jabarkan kesalahanmu? Membunuh darah dagingmu sendiri, membuang janin-janin yang tak berdosa," ucapnya dengan wajah mengejek. 

"Polisi sudah menerima bukti-bukti kuat untuk membuatmu mendekam cukup lama disini, terlebih rekaman CCTV saat kau menyiksa ibuku," 

Aku meneguk ludahku susah payah. "Kejadian itu 'kan sudah lama, ngapain baru dilaporkan sekarang?!" Ketusku. 

Om Farhan tersenyum sinis. "Karena baru sekarang terkumpul semua buktinya, dan pasti setelah ini kamu akan mati membusuk di penjara," jawab beliau seraya beranjak meninggalkanku yang mematung. 

"Aku gak mau disini! Aku pasti akan keluar dan membalaskan dendamku pada mereka semua yang dzolim padaku!" Gumamku seraya menatap tajam punggung Om Farhan yang semakin menjauh. 
Aku tersenyum getir menyaksikan sepasang pengantin yang terus memamerkan senyum bahagia diatas pelaminan. Sekuat tenaga kutahan hati yang terus berdarah menyaksikan imamku mempersunting wanita lain. Masih teringat jelas, ucapannya saat meminta izin menikah lagi. Baginya lelaki berharta dan memiliki tahta wajar beristri dua, dia merasa mampu bersikap adil. Membawa dalil agama, tapi tak paham apa itu arti 'adil'. Apa semua lelaki yang bertahta dan berharta wajib memiliki istri lebih dari satu?  

"Ikhlaskan abang menikah lagi, maka pintu surga akan terbuka lebar untukmu, Dik Nay," ucapnya kala itu. Aku tersenyum miris, bagaimana bisa dia menjanjikanku surga sementara kewajibannya sebagai suami pun tak terpenuhi.  

Kini aku menyesal menemaninya dari nol,saat sukses dia memilih wanita muda untuk menemaninya kemanapun ia pergi. Alasannya karena penyakit vertigoku yang selalu kambuh jika di ajak perjalanan bisnis. Begitu banyak alasan dan dusta yang terlontar dari bibirnya semenjak mengenal wanita itu.  

"Nayra, sabar ya, Umi selalu ada disisimu! Umi tak pernah merestui hubungan mereka,bagi Umi hanya kamu menantu terbaik Umi!" Aku bergeming mendengar ucapan Ibu mertuaku yang seolah mendukungku, bagiku ucapan beliau hanya bualan semata. Beliau ikut juga menyiapkan acara resepsi mewah ini dan mengundang seluruh keluarga besar suamiku. 

Seharusnya jika memang beliau tak merestui,sedari awal beliau menolak mentah-mentah permintaan anaknya untuk menikah lagi. Aku berharap anak-anak perempuannya juga merasakan sakit yang kurasakan. 

Dulu saat menikahiku, tak ada resepsi mewah seperti ini. Kuterima dia apa adanya, dengan uang jujuran sebesar lima juta hanya mampu menggelar acara sederhana. Setelah menikah pun hanya mampu tinggal di rumah petakan yang kumuh dan murah. Inikah yang disebut adil? Sementara perempuan itu tiba-tiba masuk kedalam rumah tangga kami,disaat kami sudah memiliki segalanya.  

Bahkan lusa mereka akan berangkat bulan madu ke Negara impianku, Perancis. Ngilu rasanya hati ini, membayangkan mereka liburan berdua sedangkan diriku tak pernah sekalipun diajak liburan bersama. 

Aku memutuskan keluar dari gedung pernikahan, bertahan disana sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Aku memilih pulang ke apartemen, enggan pulang kerumah. 

Sungguh tak ikhlas rasanya membiarkan wanita itu menikmati harta milikku. Ya, perusahaan serta beberapa hektar kebun sawit adalah milikku, aku juga menanam saham di perusahaan batu bara. Bang Azlan, suamiku, hanya menjalankan perusahaan,tapi tak ada hak untuk menguasai. Kami memang berjuang bersama, tapi modal awal saat membuka usaha adalah uangku tak sepeserpun memakai uang Bang Azlan. 

"Sepertinya aku harus menyelamatkan semua asetku dari wanita tamak itu, aku yakin dia menikah dengan Bang Azlan hanya demi harta," gumamku seraya mengambil berkas-berkas yang ada di brankas. Sengaja aku menyimpannya di apartemen, takut Bang Azlan mengambilnya dan membalik nama semua aset menjadi miliknya.  

Aku mengatur rencana untuk membuat suami dan gundiknya itu jera. Kuhubungi pengacara kepercayaanku untuk membekukan semua rekening Bang Azlan. 

Aku menyeringai membayangkan bagaimana ekspresi Bang Azlan nanti saat membayar wedding organizer dan catering. Untuk acara semewah itu mereka mengeluarkan DP hampir seratus juta, dan sisanya dibayar saat acara sudah selesai.Sisa pembayaran masih ada sekitar tujuhratus juta. Pasti Bang Azlan akan pusing memikirkan biayanya nanti.  

___

Aku kembali pulang kerumah setelah tiga hari berada di apartemen. Semua keluarga suamiku sepertinya sedang berkumpul di rumah mewahku. Apa mereka sedang berunding, memikirkan bagaimana caranya melunasi hutang tujuhratus juta dalam waktu dua hari.  

Kemarin, aku juga sudah menelfon tim HRD untuk menurunkan jabatan suamiku. Dia tak lagi menjadi direktur, tetapi menjadi karyawan biasa. Semua fasilitas yang kuberikan kutarik kembali. Dan lusa aku juga sudah kembali bekerja di perusahaanku sendiri, menjabat sebagai atasan suamiku.

"Ada apa ini kumpul-kumpul?" Tanyaku saat masuk rumah. Semua pasang mata menatapku dengan sorot penuh amarah.  

Aku berusaha bersikap santai,kali ini aku harus tegas menghadapi keluarga suamiku yang selalu jadi benalu dalam hidupku.  

"Apa?" Tanyaku santai seraya melenggang dengan anggun. Tubuhku terasa fresh dan ringan setelah perawatan.  

"Nayra!" Bentak Bang Azlan.  

Aku menghentikan langkahku. "Urus masalahmu sendiri,jangan pernah libatkan aku. Berjuang dari nol ya sayang, seperti aku menemanimu dulu," ucapku seraya kembali masuk kedalam kamar.  

Terdengar jeritan histeris, Adelia, istri kedua suamiku. Sepertinya dia tak terima, kalau suaminya mendadak jatuh miskin. 

"Mas kamu harus tegas dong! Kamu itu suaminya!" Bentaknya pada Bang Azlan.  

Kurebahkan tubuhku di ranjang, setelah ini tak ada lagi hubungan penuh cinta dan gairah di ranjang ini, tak ada lagi pillow talk sebelum tidur. Aku terlanjur jijik, membayangkan berbagi tubuh bersama wanita murahan itu. 

Saat asyik memejamkan mata, terdengar gedoran keras dari arah pintu.Teriakan Bang Azlan dan gundiknya saling bersahutan, bahkan kata-kata tak pantas terlontar dari mulut mereka, seperti orang yang tak pernah duduk di bangku  sekolah. 

"Hei, perempuan serakah! Buka pintunya!" teriak Adelia. 

"Nayra, tolong buka pintunya!" Kali ini suara Bang Azlan melemah. 

Aku bergeming, enggan membuka kan pintu untuk mereka.

"Nayra, tolong jangan seperti anak kecil!" Teriak Bang Azlan lagi.  

Aku memilih menonton drama korea daripada mendengar teriakan mereka. Nanti juga kalau sudah lelah berhenti sendiri. Yang pasti aku tak akan luluh dan membiarkan mereka menikmati harta yang seharusnya aku nikmati. Aku selama ini berhemat untuk masa depan anak dan cucuku agar nantinya hidup mereka terjamin tujuh turunan, eh seenaknya gundik itu ingin menguasai. Aku bukan perempuan bodoh yang pasrah di poligami dan membiarkan hakku dimakan orang lain. Akan kubalas perbuatan mereka!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
ini kenapa di ulang" aku sampai ...
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
apaan ini ceritanya diulang²
goodnovel comment avatar
Eka Sari
Diulang ulang huh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status