Ivy tidak sempat lulus dari sekolah menengah atas, dan karena alasan itu hingga hari ini dia mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Sebagai penunjang hidupnya, dia hanya mengikuti pekerjaan sampingan yang ditawarkan oleh beberapa temannya.
Terkadang Ivy akan menjadi kurir makanan dan obat-obatan. Di lain waktu, dia juga bisa menjadi pelayan di tempat-tempat tertentu. Di usia muda, Ivy pun sudah menjadi pemburu uang. Demi tuntutan hidup, Ivy menjelma menjadi sosok yang materialistis, ke mana uang berhembus, dia akan mengikuti arahnya. Bersama sang ayah, Ivy berdiri di ruang tamu nan mewah itu. Ini pertama kalinya, dia memasuki villa megah bak istana itu. "Apapun yang mereka katakan, kamu tidak boleh membantah!" Zahir mengingatkan lebih dulu. Kali ini, dia harus memastikan jika kedatangan mereka pasti diterima. "Baiklah." Ivy mengangguk patuh. Di lantai 2. "Sepertinya kamu sangat mengenal baik keluarga si Pak tua itu," ucap Avyan sebelum turun ke lantai satu. "Aku sudah menolak dua anak perempuannya, tapi kamu malah menawarkan anaknya yang lain, apa tidak ada lagi wanita lain yang berpenampilan cantik di kampung asalmu itu?" "Kamu bisa lihat sendiri nanti," balas Gibran sedikit menundukkan kepala. Bukan dia yang mencari, melainkan Zahir yang kembali datang menyodorkan diri. "Aku tahu kedua putri pak Zahir sudah mengganggu pikiranmu dengan sifat konyol yang mereka tunjukkan di awal, tapi untuk putri ketiganya ini, aku yakin sangat berbeda dengan kedua kakaknya." "Apa bedanya? Mereka sama-sama anak kandung dari si pak tua itu," tukas Avyan, dia masih sedikit kesal dengan tingkah Nara dan Nina yang langsung datang menggodanya, itu sama saja mempertontonkan kebodohan mereka. "Tentu saja berbeda." Gibran mengangkat sedikit wajahnya untuk menjelaskan. "Kamu sendiri memiliki perbedaan karakter dengan saudara-saudaramu yang lain, itu artinya ...!" "Cukup ...!" Avyan segera menyanggah. Dia tidak ingin Gibran melanjutkan ucapannya. "Lebih baik kita turun sekarang juga, aku ingin melihat kandidat terakhir yang kamu tawarkan hari ini!" Gibran mengangguk patuh. "Aku harap memuaskan." Setelah beberapa menit, Gibran muncul bersama atasannya, tuan muda Avyan Pradipta. Dengan gagahnya, kedua pria itu menuruni anak tangga. Pandangan tuan muda Avyan lurus ke depan, tidak teralihkan oleh kehadiran Ivy dan Zahir. Ivy yang melihatnya terpana sejenak. Jarak mereka masih lumayan jauh, namun Ivy dapat merasakan betapa berkharismanya tuan muda Avyan. 'Oh my God, tuan muda ini ternyata sangat tampan, bahkan terlalu tampan jika disandingkan denganku,' Ivy tiba-tiba merasa rendah diri. Dia belum pernah melihat Avyan, hanya saja sering mendengar desas-desus warga yang mengatakan jika tuan muda terkaya di kota itu sangatlah sombong dan arogan. 'Pria setampan ini, kenapa kak Nara dan kak Nina menolaknya?' Ivy berpikir sambil mengagumi paras rupawan yang dimiliki Avyan. Pahatan di wajah pria itu mendekati sempurna, hingga Ivy tidak menyadari air liurnya hampir saja meleleh. Ivy tersadar tatkala mendapat peringatan dari ayahnya. "Jaga sikapmu, Ivy!" bisik Zahir pada putrinya. "Melihat tingkahmu yang seperti itu, tuan muda bisa saja kehilangan selera dan kita bisa kehilangan uang dalam sekejap." Zahir tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Dia tidak mau Ivy melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Nara dan Nina sebelumnya. Sebentar lagi, uang ratusan juta akan berada di depan mata dan bisa juga lenyap jika melakukan kesalahan. "Uang ...?" Ivy bergumam pelan. Setelah mengingat tujuan utama mereka, Ivy pun segera menundukkan kepala. Dia bertingkah seperti putri malu yang langsung menguncup ketika terkena sentuhan. Ya, saat ini uang di atas segalanya. Bahkan ketampanan Avyan yang seperti jelmaan dewa Yunani itu bisa terkalahkan dengan uang yang telah dijanjikan pada mereka. Bayangan uang pun seketika menggantikan sosok Avyan dalam benak Ivy. Tidak seperti pertemuan sebelumnya dengan Nara dan Nina, Gibran tampak lebih tertarik pada pertemuan pertama dengan Ivy. Penampilan sederhana dari gadis itu menjadi daya tarik utama bagi Gibran yang mana dia tidak menyukai wanita berpakaian mencolok. Gibran pun berbisik pada atasannya itu. "Lihat, anak si pak tua ini memang cantik-cantik, menurutku si bungsu ini bahkan lebih mempesona, mereka tidak begitu mirip dengan ayah tua yang terlihat tidak terurus ini." "Diamlah ...!" Avyan tersenyum sinis. Dia belum melihat wajah Ivy dengan jelas, maka langkahnya yang panjang segera mendekati gadis muda itu. Melihat kedatangan kedua pria itu, Zahir segera menarik lengan Ivy dan membawa putrinya untuk segera diperkenalkan. Jangan sampai Avyan kecewa karena mereka hanya berdiam diri saja. "Selamat sore, Tuan Avyan, Tuan Gibran!" Zahir menyapa lebih dulu. "Seperti yang kalian inginkan, saya sudah membawa putri ketiga saya. Dia juga bersedia untuk dijadikan sebagai wanita penghibur untuk tuan muda Avyan," jelasnya dengan antusias. "Bagaimana pendapatmu, Tuan?" tanya Gibran pada Avyan setelah jarak di antara mereka hanya hitungan langkah saja. Dalam pertemuan itu, Ivy terlihat polos. Di hadapan Avyan dan Gibran, gadis yang hanya menggunakan hoodie dan celana jeans panjang itu terlihat sederhana dan juga penurut. "Angkat wajahmu!" suruh Avyan pada Ivy. Dia belum tertarik karena penampilan wanita itu saja terlihat kampungan. Akan tetapi, setelah Ivy mendongak dan membalas tatapan matanya, pada pandangan pertama, terlihat jelas perubahan dalam raut wajah Avyan. Bahkan wajah ayu gadis bernama lengkap Ivy hailana itu seperti menghipnotisnya sesaat, senyum Ivy mengingatkan Avy pada seseorang yang dia rindukan kehadirannya. 'Tatapannya seperti tidak asing.' Lamunan Avy buyar tatkala Gibran menyenggol tangannya. "Bagaimana, Tuan, apa kamu tertarik?" bisik Gibran dengan suara yang pelan. Sementara itu, Ivy juga tidak mau menyia-nyiakan waktu. Dengan ramah dia menyapa pria tampan di depannya. "Selamat sore, Tuan Avyan," ucap Ivy dengan sopan, lalu menganggukkan kepalanya pada kedua pria itu secara bergantian. "Nama saya Ivy, dan saya bersedia melakukan apa pun yang diinginkan Tuan muda." Ketika Ivy berbicara, Avyan merasakan gejolak dalam hatinya. Pada pertemuan pertama, dia cukup terpukau oleh kecantikan alami yang dimiliki Ivy, juga tutur kata gadis itu yang terlihat sopan dan sederhana. Sungguh, semua yang Avyan lihat dalam diri Ivy tidak pernah dia temukan dalam kehidupan istri pilihan ibunya. Namun sebagai tuan muda yang tidak tersentuh, Avyan tidak mudah percaya pada pandangan pertamanya. Dia tidak langsung setuju untuk menjadikan Ivy sebagai wanita penghibur yang akan mengisi kekosongan hatinya. Penting baginya untuk menjaga image yang telah dibangun selama ini.[Kata ayahku, takdirku sangat buruk, aku hanya anak pembawa sial baginya dan ucapan itu adalah doa, sepertinya kata-kata itu juga menjadi sebuah kutukan, makanya aku dan ibuku selalu ditimpa nasib sial.] 15 tahun lalu, kata-kata itu keluar dari mulut bocah berusia 5 tahun dan Avy masih mengingatnya dengan baik. Kala itu, Avy sudah berusia 10 tahun. Dia yang lebih tua akan memberi penghiburan setiap bertemu dengan si gadis kecil yang sering ditemuinya di tempat pembuangan sampah. {Dedek, bolehkah aku menghancurkan kutukan itu?}[Bagaimana caranya? Apa Kak Yan akan menjadi pangeran dan menciumku seperti dalam film?]{Ya, aku akan menciummu seperti adegan dalam film, tapi tidak sekarang. Suatu hari nanti, saat kamu sudah berusia 20 tahun. Saat itu, kita sudah sama-sama dewasa. Ketika aku memciummu, duniamu akan seketika berubah, kamu tidak perlu bersusah payah lagi untuk mendapatkan uang. Aku yang akan memenuhi semua keinginanmu.}[Kalau begitu, aku akan menunggumu.]Avyan membuka
Bab 6. tidak boleh jatuh cinta Sebagai wanita penghibur untuk tuan muda, Ivy hanya bisa menurut saja. Pakaian luar yang dikenakannya dilepas begitu saja. Tersisa lingerie berwarna peach yang mempertontonkan lekuk tubuhnya yang indah. "Telanj4ng ...,!" Avyan berseru lagi. Dia tidak peduli dicap mesum karena hubungan mereka telah resmi sebagai suami istri dan tujuan utamanya untuk menikmati tubuh wanita itu. "Apa ...?" Ivy merasa malu untuk melakukannya. Ini pengalaman pertama baginya. Untuk mengurangi rasa malu, dia pun hendak bergerak ke depan dan akan melepas gaun mininya setelah berada di ranjang yang sama. Akan tetapi suara Avy sudah terdengar melengking, membuat Ivy berhenti bergerak. "Apa kamu tuli?" Melihat Ivy masih mematung, Avyan tidak segan untuk menggertak. "Apa kamu tidak paham dengan kata yang baru saja aku sebutkan, atau kamu ingin membangkang di malam pertama ini?" Tubuh Ivy mulai bergetar. Dia kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri. 'Apa dia selalu bersik
Masih ada kekhawatiran dalam dirinya, tapi Ivy tidak berani menanyakan langsung pada Avyan. Siapa dia yang berani bertanya tentang kehidupan pribadi tuan muda? Sebelum menjawab, Bibi Mary juga melirik sopir di depan sana. Dia mengenal keluarga Avyan dengan baik, tentu saja dia mengetahui banyak tentang kehidupan pribadi tuan mudanya itu. "Ehmm ...!" Sopir bernama Randiman itu berdehem dengan kuat seakan dia tidak setuju majikan mereka dibicarakan. "Sebentar lagi kamu akan menjadi istrinya, coba saja tanyakan nanti," bibi Mary memberi alasan. Ivy berdecak kesal mendengarnya. Dia juga memalingkan wajah. 'Apa mungkin si tuan muda tampan itu mau berbagi cerita padaku tentang istrinya? Rasanya sangat mustahil, kan dia hanya ingin menjadikan aku sebagai pemuas nafsunya bukan untuk tempat bercerita,' pikirnya. Setelah perjalanan selama lima belas menit, mobil itu berhenti di sebuah klinik kecantikan. Seketika Ivy tercengang melihat bangunan di depan mereka. Dia pernah beberapa ka
"Apa ...? Pernikahan?" Ivy tersentak dengan penuturan Avyan. "Tuan ingin menikahi saya? Bukankah Tuan sudah memiliki istri?" Dari ayahnya, Ivy sudah mengetahui status Avyan yang merupakan pria beristri. Meski belum terdengar memiliki keturunan dari istrinya, tapi di hadapan publik, pernikahan Avyan tergolong langgeng dan romantis. Ivy juga penasaran kenapa Avyan masih mencari wanita penghibur padahal pria itu sudah memiliki istri yang cantik jelita? Sudah menginjak tahun ke dua, tidak pernah terdengar berita miring dari pernikahan Avyan. Dengan terjadinya pernikahan kedua, tentu saja Ivy semakin takut dicap sebagai perusak rumah tangga orang. Avyan tersenyum kecut. "Jadi kamu tidak ingin memiliki status yang jelas? Kamu hanya ingin melayaniku dan dicap sebagai wanita penghibur saja tanpa ada pernikahan?" "Bu ... bukan begitu maksud saya, Tuan." Ivy menjadi gugup. Tentu saja dia lebih memilih dinikahi daripada dijadikan pemuas nafsu saja. Akan tetapi, bagaimana jika istri
"Bawa dia ke ruanganku!" Avyan memberi perintah pada Gibran. Setelah itu, dia pun berbalik, berjalan lebih dulu menuju ruangan yang dimaksud. Kedua bola mata Zahir sontak terbelalak . 'Yes, berhasil,' ucapnya dalam hati. "Ayo ikuti aku, Nona!" Gibran langsung memberikan hormat pada Ivy. Sebentar lagi, gadis itu pasti akan menjadi pilihan majikannya, tentu saja dia harus bersikap sopan. Sebelum Ivy dibawa ke ruangan Avyan, Zahir tidak lupa mengutarakan niatnya. "Tuan, bagaimana dengan saya? Tolong jangan abaikan janji kita, sementara kalian sudah membawa putri kesayanganku ini!" Gibran menghembuskan napas kasar. Dia sedikit kesal melihat Zahir yang bersikap tamak. Namun demi untuk kelancaran semuanya, dia pun mengeluarkan sejumlah uang cash untuk pria tua itu. "Aku tidak sering membawa banyak uang cash." Gibran menyerahkan beberapa lembar uang kertas untuk Zahir. "Terima ini dan tidak perlu khawatir dengan perjanjian kita, semua pasti akan diberikan tepat waktu." Zahir seg
Ivy tidak sempat lulus dari sekolah menengah atas, dan karena alasan itu hingga hari ini dia mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Sebagai penunjang hidupnya, dia hanya mengikuti pekerjaan sampingan yang ditawarkan oleh beberapa temannya. Terkadang Ivy akan menjadi kurir makanan dan obat-obatan. Di lain waktu, dia juga bisa menjadi pelayan di tempat-tempat tertentu. Di usia muda, Ivy pun sudah menjadi pemburu uang. Demi tuntutan hidup, Ivy menjelma menjadi sosok yang materialistis, ke mana uang berhembus, dia akan mengikuti arahnya. Bersama sang ayah, Ivy berdiri di ruang tamu nan mewah itu. Ini pertama kalinya, dia memasuki villa megah bak istana itu. "Apapun yang mereka katakan, kamu tidak boleh membantah!" Zahir mengingatkan lebih dulu. Kali ini, dia harus memastikan jika kedatangan mereka pasti diterima. "Baiklah." Ivy mengangguk patuh. Di lantai 2. "Sepertinya kamu sangat mengenal baik keluarga si Pak tua itu," ucap Avyan sebelum turun ke lantai s