"Mbak, Mbak, kayaknya ada yang aneh dengan mas Agus," ucap seseorang si sampingku. "Dari tadi dia diam saja gak gerak sama sekali," imbuhnya. Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba jadi melek sempurna demi mendengar apa yang dikatakan Ratih. "Kok bisa? Jangan ngada-ngada kamu, bukankah dia tadi sudah baik-baik saja?!" sentakku karena kaget. **** Duka terlihat jelas di wajah suamiku, dia begitu terpukul, terus menerus menyalakan dirinya sendiri yang tidak langsung membawa Agus ke rumah sakit. Bukan hanya mas Aryo, semalam kami juga berfikir kalau Agus sudah baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu batas umur seseorang. Sering kali kita merasa tidak rela jika sesuatu yang kita sayang harus pergi untuk selamanya padahal kita tahu kalau jodoh, maut dan rezeki itu mutlak kehendak Allah SWT. **** Acara pemakaman sudah selesai, tak ada sanak saudara dari almarhum yang hadir. Sampai di sini aku masih belum bisa menemukan benang merah dari kejadian demi kejadian beberapa hari terakhir i
Setelah menyerahkan ponsel pada ibu, aku segera kembali ke kamar. Namun, aku tak menemukan mas Aryo di sana. Seolah ada yang menyuruh aku pun melangkah ke kamar belakang. "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar melihat lelakiku tengah memeluk Ratih. **** "Dek," ucap mas Aryo kaget. Bukannya melepaskan diri Ratih malah semakin mempererat pelukannya. "Sudah saatnya dia tahu, Mas." Ratih berbicara sambil menatapku. "Aku atau kamu yang mengatakan," imbuhnya. Nafasku mulai tak beraturan, sangat sulit untuk menahan emosi yang sudah hampir meledak. "Mbak, sekarang saatnya kamu tahu. Sebenarnya aku dan mas Aryo itu sudah menikah secara siri dan sudah berjalan selama 6 bulan," terang wanita itu sambil tersenyum penuh kemenangan. Pertahananku rubuh, hampir saja aku terjatuh kalau saja tak ada seseorang yang menahan tubuhku. "Mas .... katakan sesuatu," ratapku pilu. Mata ini tak berkedip menatapnya, lelakiku itu pun melakukan hal yang sama. Hingga tetes bening
"Tolong, Pak Aryo! Tolong!" Tangis pilu dari Bu Hana yang sedang memohon padaku. Sebagai seorang ibu dialah yang sangat bersedih ketika anak kesayangannya diminta untuk menikahi seorang yang masih berstatus suami orang. "Hanya kamu yang bisa menolong kami, Yo." Kini Pak Surya ikut bicara. Sementara di kursi lain, seseorang sedang meringkuk dalam pelukan saudaranya. Dia masih muda, trauma pasca kejadian itu masih membuatnya sering mengalami ketakutan. Ditambah lagi ada masalah baru dari korban yang memintanya untuk bertanggung jawab dengan menikahi istrinya. Sungguh permintaan yang tak masuk akal dan terkesan memaksa. "Baik, baiklah, Pak. Saya bersedia," kataku akhirnya. Entah apa yang kupikirkan saat itu hingga bersedia menikahi istri korban kecelakaan tersebut. Aku bahkan lupa jika nanti pasti akan ada hati yang terluka. Waktu itu yang ada di benakku, adalah ketika kami sudah menikahinya, aku bisa menceraikannya. Jadi keluarga Pak Surya tidak terbebani lagi. "Terima kasih, Yo. Te
Ini malam ketujuh tahlil untuk almarhum Agus. Maka besok Ratih harus pergi dari rumahku. Terserah bagaimana cara mas Aryo, yang jelas aku gak mau tinggal serumah dengannya. "Dek." Suamiku itu mendekat ketika aku sudah bersiap untuk kerja. "Oiya, nanti saat aku pulang kerja. Pastikan dia sudah tidak ada di sini." Keputusanku sudah bulat dan dia harus mematuhinya. "Dek, rumah ini kan cukup besar, biar Ratih tinggal di sini ya? Aku dan kamu pergi kerja, sampai rumah sudah ada yang masak untuk kita." Seperti anak kecil, dia membujukku hanya karena ada yang menyiapkan makanan. "Kenapa dia gak mau pergi dari sini? Apa karena dia gak mau pisah sama kamu? Kalau memang itu alasannya, kamu boleh kok pergi bersamanya," sahutku. Aku berani taruhan mas Aryo gak akan mau meninggalkanku. "Apa maksudmu, Dek. Kita akan selalu bersama, aku dan kamu," sahutnya cepat. Tuh kan. "Kamu pikir gampang? Enak di kamu, tapi gak di aku. Aku gak mau tahu, pokoknya ketika aku sampai rumah, wanita itu sudah tid
"Mau apa lagi kamu?" bentak mas Aryo. Aku saja sampai kaget dia bisa seperti itu karena selama tiga tahun bersama tak pernah sekalipun dia memperlakukan aku begitu. Perempuan itu berbalik, Ya Allah mukanya serem banget kalau lagi emosi seperti itu. "Mau kemana kamu?!" Kembali mas Aryo mencekal tangannya. "Lepas, Mas. Aku mau ambil barangku yang tertinggal di jemuran!" serunya sambil mengayunkan tangannya agar bisa terlepas dari cekalan mas Aryo. Setelah terlepas wanita itu segera berlari ke arahku, melihatnya seperti itu aku pun minggir dan di luar dugaan dia pun jatuh tersungkur karena hendak mendorong diri ini. "Auh! Sialan. Mas Aryooo! Tolong!" serunya sambil tangannya menggapai-gapai minta segera dibantu. Tubuhku beringsut mundur, agar tak sampai mengenainya. "Ayo, bangun. Mangkanya jangan ngeyel!" Mas Aryo nampak kesal saat membantu Ratih berdiri. "Kamu gak adil, Mas. Aku ini juga istrimu!" Ratih begitu murka, sampai-sampai dia menghentakkan kakinya saat bicara. "Jangan ba
"Mbak tolong dibantu temannya ya," pintanya pada Ari. Sahabatku itu mengangguk, dan bersiap memapah diri ini ke kamar mandi. Air mata masih terus saja menetes."Semoga tidak, semoga hasilnya negatif," doaku dalam hati."Ya Allah, aku belum siap. Ar ... Aku belum siap Ar," ratapku setelah hampir sampai di pintu kamar mandi."Sudah, sudah. Yakinlah apa yang terjadi itulah yang terbaik untukmu. Ok, semua akan baik-baik saja," hibur Ari.Dinginnya lantai kamar mandi serasa menusuk tulang, membuat tubuhku semakin menggigil. Setelah melakukan seperti yang diperintahkan Bu Bidan, tanganku bergetar saat mengangkat benda kecil agak panjang itu.Aku membekap mulutku dengan sebelah tanganku. Garis dua ... Itu artinya aku hamil. Aku semakin terisak sambil sesekali tersenyum. Rasanya seperti ada yang berbunga-bunga. Namun, perih pun ikut menyapa.Cukup lama aku berada dalam kamar mandi. Hening tak terdengar suara apapun. Namun, aku tahu di luar ruangan ini masih ada Ari yang setia menungguku.Tangi
Ada sebuah pesan masuk di aplikasi W******p. Tertera nama 'my hubby' di layar ponsel. Aku masih tertegun menatap pada ponsel setelah membaca pesan darinya, tanpa kuingin mata ini langsung memanas meloloskan butiran bening yang membasahi pipi. *** Tanpa bertanya, Ibu mengambil ponsel yang ada di tanganku. Sementara aku sudah tak bisa lagi menahan air mata yang seolah tak ada habisnya. Betapa diri ini sudah berusaha mengiklaskannya. Namun, tetap saja rasanya sakit. "Sudah, gak pa-pa. Mungkin, ini yang terbaik. Percayalah, kalau Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah tahu kamu kuat, kamu sanggup, jadi gak usah terlalu bersedih ya, Mil." Aku tahu ibu hanya ingin menghiburku, walau sebenarnya hati wanita itu juga terluka. Bahkan, mungkin saja lukanya lebih dalam dari pada yang kurasakan. "Menangis lah, menangis lah, Nak. Buang lah dukamu bersama air mata. Menangis lah, Nak. Menangis lah." Kembali ibu berucap sambil mendekap erat tubuhku.
"Assalamualaikum ...." Riuh suara salam dari luar membuat kami semua menoleh sambil serempak menjawab salam. Kedua Ibu terlihat berbinar, aku dan kedua mas masih bingung, sedangkan Ratih nampak pucat. **** Ibuku dan ibu mertua berdiri secara bersamaan, keduanya berjalan menghampiri tamu yang baru datang. "Alhamdulillah, sudah sampai, bagaimana perjalanannya, Bu, Pak?" tanya ibu, seperti biasa Ibuku itu memang pandai bergaul dan cepat akrab dengan siapa pun. "Alhamdulillah. Lancar, Bu," sahut keduanya. Mereka menjawab dengan sangat santun. "Alhamdulillah. Silahkan masuk," ucap ibu mertuaku ramah. "Mbak!" Ibu berseru, sekejap kemudian Mbak Rahma dan Mbak Sari keluar dari dapur sambil membawa nampan. Aku benar-benar tercengang melihat kedua kepoker tersebut. "Kapan mereka masuk?" tanya batinku. "Udah jangan bengong, Mil. Kayak lihat hantu aja, kamu itu," kata Mbak Rahma sambil mengedipkan sebelah matanya. "Silahkan diminum, Bu, Pak." Sekali lagi ibu menaw