WANITA YANG KALIAN HINA MISKIN ITU MERTUAKU.
BAB 1 "Eh kamu kan istrinya Farhan ya? Anaknya si Marini?" tanya seorang wanita paruh baya padaku. Kutaksir usia wanita itu sekitar 48 tahunan. "Iya, Bu. Ibu mau belanja juga?" Aku menjawabnya dengan sopan sembari tersenyum manis ke arahnya. Namun, bukannya balasan senyum yang kudapatkan melainkan tatapan sinisnya padaku. "Ya Iyalah mau belanja. Memangnya kalau ke tukang sayur mau ngapain kalau gak belanja? Masa iya mau ngemis?" Jawaban seseibu itu membuat beberapa wanita yang juga tengah berbelanja mendadak tertawa. Memangnya apa yang salah dari pertanyaanku? Kan aku juga nanyanya baik-baik. Tapi, kenapa dia ketus begitu? Hah, terserah lah emangnya aku pikirin. Aku pun kembali melanjutkan aktivitas belanjaku. "E e e e yang itu jangan diambil. Taro lagi!" Aku menghentikan pergerakan tangan ketika suara si Ibu tadi kembali terdengar di telinga. Apa sih maksud dan maunya dia? "Kenapa, Bu? Ada yang salah?" "Jelas salah! Ayam itu mau aku ambil. Lagian kamu ngapain ngambil-ngambil ayam itu? Kayak yang mampu beli aja." Aku kembali mengerutkan dahi. Sungguh, apa sih maksud perkataan wanita tua itu? "Ya biarin aja sih Bu Maemunah. Siapa tahu dia beneran mau beli," timpal seseibu yang lainnya. "Halah, duit dari mana coba. Gegayaan pengen belanja ayam segala. Noh biasanya si Ibu mertuanya mah hobi belanja tempe, tahu, sama kangkung doang. Mentok juga belinya ikan cue yang harga empat ribu satu keranjang kecilnya." "Maksudnya Ibu apa? Siapa yang gak mampu beli?" "Ya kamu lah. Siapa lagi? Suami kamu kan kerjaannya cuma tukang parkir paling juga ngasih kamu nafkah berapa sih? Noh tahu sama tempe saja kamu belanjanya. Itu sangat pantas buat kamu sekeluarga makan." Tanganku mengepal erta. Kalau sudah begini jiwa barbarku seakan meronta-ronta minta untuk diluapkan. Tahan Sofia, tahan … jangan sampai kamu malu-maluin keluarga Mas Farhan kalau sampe ngereog di sini. Kuhembuskan napas lalu membuangnya, hembuskan lagi, napas lagi. Oke, cukup! Kalau keterusan takut ada yang keluar lewat jalur belakang. Takut juga nantinya aroma kandang sapi akan keluar. Kan tidak lucu kalau ada gosip menantu barunya Bu Marini tukang ngereog sama tukang ngeluarin aroma kandang sapi. Iyuuuhhh. "Heh! Kok malah bengong! Lepas! Ayamnya mau aku bayar!" Si Ibu yang aku baru tau namanya Maemunah itu menyentak tanganku hingga terlepas dari kantong kresek yang berisikan satu kilo ayam mentah. Aku pun akhirnya melepaskan plastik ayam tersebut dan langsung saja ditarik oleh Bu Maemunah. "Nih! Kamu mah pantesnya masak ini saja!" Bu Maemunah menyodorkan sebungkus oncom sama leunca padaku. Hemm, bukannya aku tidak suka sama oncom sih. Tapi kan aku mau masak menu spesial buat suamiku. Asem bener nih orang tua satu. Kalau saja dia bukan orang tua pasti sudah aku jadikan dia karag lalu aku kasih makan ayam biar ayamnya gemuk-gemuk dan bisa aku sembeleh buat kusajikan jadi opor. Huh, pagi-pagi udah dibikin kesal begini. Sabar, Sofiya sabar. Kalau sabar nanti dikiss Mas Farhan, eh …. Akhirnya aku mengalah, aku memutuskan mengambil bungkusan daging yang ada di depanku. "Mang, kalau ini berapa?" "Oh, dagingnya sisa sekilo itu. Harganya 130 ribu." "Yaudah Mang, aku mau yang ini saja. Sama wortel juga kentangnya sekilo yah." "Eh gak bisa juga! Daging itu juga mau aku beli!" Tiba-tiba Bu Maemunah kembali merebut sekantong daging sapi dari tanganku. Dasar tokek belang, beraninya dia cari gara-gara sama aku. Kesabaranku habis sudah. Aku pun merebut kembali plastik daging dari tangan Bu Maemunah. Srett. "Lho, kenapa diambil! Kembalikan! Itu mau aku beli! Orang miskin kayak kamu dan keluarga suamimu gak cocok makan yang begituan! Buruan kembalikan!" "Heh! Kamu pikir kamu siapa! Seenaknya saja ngerebut belanjaanku! Ayam tadi aku diam ya tapi yang ini gak akan! Memangnya aku masak harus minta persetujuan darimu apa!" "Halah, orang miskin kayak kalian gak akan mampu beli beginian! Sini kembaliin!" "Gak akan! Ini sudah aku cup duluan! Siapa cepat dia dapat! Lagian perasaan nih daging nganggur dari tadi tapi Ibu diam aja. Kenapa pas saya yang ambil tiba-tiba Ibu bilang mau beli?" "Ya karena aku sedang menyelamatkan Mang sayur aja." "Menyelamatkan? Menyelamatkan apa maksudnya?" "Ya menyelamatkan biar gak kamu hutangi! Kan kasian kalau kamu hutangi Mang sayurnya!" "Lah … sok tau bener, emangnya situ manajemen keuanganku apa? Nih, Mang! Aku bayar! Sekalian sama kentang juga wortelnya! Tuh kembaliannya ambil saja!" Aku menyerahkan uang dua ratus ribu pada Mang sayur. Lantas, aku gegas meninggalkan sekumpulan ibu-ibu tersebut sembari mendengkus kesal. "Astaghfirullah … baru juga sehari diboyong Mas Farhan tinggal di sini tapi udah bikin naik darah. Kalau kayak begini terus bisa-bisa darah tinggi beneran nih aku, huft." *** Tok Tok Tok "Bu Marini! Bu!" "Duh, siapa sih bertamu siang-siang gini teriak-teriak." Aku menggerutu karena suara ketukan pintu itu sangat mengganggu aku yang sedang fokus membaca novel online dari author kesayanganku. "Bu, siapa sih yang ketuk pintu sampe segitunya? Kayak orang mau nagih hutang saja?" "Ibu juga gak tau, Nak. Tapi dari suaranya sih itu kayak Bu Salamah." "Mau ngapain dia?" "Biasanya sih narikin duit kebersihan sama keamanan. Terus juga sumbangan." "Sumbangan? Sumbangan buat apa?" "Sumbangan rutin buat warga sini yang kurang mampu. Misalnya ada warga yang kesusahan atau terkena musibah ya nanti akan dibantu pake uang sumbangan itu." Hemm, bagus sih sebenernya tapi kok ya cara datang dan nagihnya kayak orang mau nagih hutang saja. "Oh ada ya yang begitu." "Ya ada, nih nyatanya dia nagih. Ya sudah biar Ibu saja yang buka." Ibu mertuaku pun berjalan menuju ke depan dan membukakan pintu rumah. Namun, karena aku yang penasaran seperti apa sosok Bu Salamah yang sudah berani mengganggu ketenangan seorang Sofia. "Heh Bu Marini! Buruan bayar ini, kamu sudah nunggak empat bulan tau gak! Jangan sumbangannya aja mau giliran bayar susah!" Tiba-tiba saja telingaku mendengar suara Bu Salamah memarahi Ibu. Aku tidak terima jika Ibu mertuaku diperlakukan seperti itu. "Eh kenapa ini? Kok marah-marah sama Ibu mertua saya?" "Oh ini menantumu yang gak punya adab itu ya. Nih Ibu mertua kamu udah nunggak bayar uang keamanan, kebersihan, sama sumbangan rutin!" "Apa maksudnya saya gak punya adab?" "Ya kamu udah ngerebut belanjaan Bu Maemunah! Pake segala ngatain dan hina dia. Dasar orang baru saja belagu!" Huft, sabar, Sofia sabar. Ada Ibu mertua jadi jangan bikin pertunjukan di sini. "Memangnya Ibu mertua saya kurang berapa?" Kuabaikan ucapan dia perihal fitnah Bu Maemunah. "Nih nunggak empat bulan. Uang keamanan tiga puluh ribu sebulan, uang kebersihan dua puluh ribu sebulan, sama uang sumbangan rutin minimal tiga puluh ribu sebulan. Jadi total 320 ribu kurangnya. Kenapa? Kamu mau bayarin?" "Kalau iya memang kenapa?" "Halah, benar kata Bu Maemunah. Selain gak punya adab ternyata kamu juga sombong. Istri tukang parkir aja belagunya bukan main." Tak kuhiraukan ucapan menyakitkan dari Bu Salamah. Aku pun bergegas masuk lagi ke dalam kamar dan mengambil dompet. Aku pun kembali lagi sembari membawa dompet tersebut. "Nih 320 ribu buat tunggakan Ibu mertuaku dan ini 480 ribu buat enam bulan kedepan untuk uang keamanan, kebersihan, sama sumbangan rutin. Nih aku tambah lagi 200 ribu buat nambahin uang sumbangan rutinnya. Jadi, genep satu juta Ibu mertua aku bayar sama Bu Salamah."Sofia melajukan mobilnya menuju rumah Pak RT. Meski begitu Sofia tetap memerintahkan bawahannya untuk bersiap di kantor polisi dan menunggu telepon darinya. Dia akan memberikan salah satu kesempatan untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja Bu Saras tetap tidak mengaku maka dengan sangat terpaksa Sofia akan memenjarakannya."Ingat, kamu harus bersiap di sana. Begitu aku telepon kamu ke sini sama polisi," titah Sofia penuh ketegasan.Tanpa menunggu jawaban, Sofia langsung memutuskan sambungan telepon dan fokus menyetir.BrakBrakTerdengar suara langkah berderap yang kian mendekat saat Sofia memukul pintu dengan keras. "Siapa, sih gak sabaran ...." Mata Bu Saras membelalak dan terdiam saat melihat Sofia yang datang. "Pantesan gak sabaran."Sofia menyunggingkan senyum seringai. "Justru karena aku terlalu sabar makanya baru ke sini. Ayo, ikut!"Bu Saras menahan tangannya yang ditarik oleh Sofia. "Heh, dasar gak sopan! Datang-datang malah tarik orang.""Masih mending Bu Saras aku tarik.
"Halah gak usah pura-pura, Bu Saras. Aku tahu kalau Bu Saras yang bikin mertuaku pingsan."Antara terkejut, tetapi senang Bu Saras berkata, "Jadi si Marini cuma pingsan?"Tentu saja Bu Saras senang mengetahui kenyataan kalau Bu Marini hanya pingsan dan bukannya meninggal. Artinya dia bukanlah seorang pembunuh dan tidak akan dipenjara. "Maksud perkataan Bu Saras apa?"Sofia tersenyum samar, dia berhasil menjebak Bu Saras. Memancingnya untuk mengaku kalau yang membuat Bu Marini pingsan adalah dirinya. Sofia tidak punya bukti, karena itu dia harus membuat bukti.Degh"Ya ... ya maksudnya ke-kenapa kamu sampai besar-besarkan masalah ini kalau mertuamu itu cuma pingsan? Emang apa lagi?" jawab Bu Saras terbata-bata. Bahkan keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi dahinya. Mulutnya mungkin bisa berbohong, tetapi tidak dengan gerak-geriknya yang jelas menunjukkan kecemasan."Beneran?" Mata Sofia memicing, tetapi Bu Saras tetap bungkam. "Padahal aku punya bukti CCTV loh.""Mana mungkin! Ta
"Ibu kenapa–""Aku gak bisa cerita, Mas. Pokoknya kamu nyusul ke rumah sakit sekarang," potong Sofia sebelum suaminya selesai bicara. Setelah itu langsung mematikan sambungan telepon. Tanpa berpikir, Farhan langsung izin untuk pulang cepat dan menuju rumah sakit. Meski tidak bisa berpikir jernih, Farhan berusaha fokus berkendara. Salah-salah dia justru ikut dirawat di rumah sakit. Setelah sampai, Farhan menghampiri gegas Sofia yang sedang duduk dengan raut cemas di depan ruang UGD. "Mas!" Sofia bangkit dan memeluk sang suami saat melihatnya. "Bagaimana keadaan ibu? Kenapa dia bisa pingsan?" cecar Farhan yang langsung memberondong Sofia dengan pertanyaan begitu mereka bertemu. Sofia menggeleng. "Aku juga nggak tahu Mas. Sebab waktu aku pulang Ibu udah pingsan."Mendengar hal itu, Farhan makin khawatir dengan kondisi sang ibu. Pasalnya selama ini, Bu Marini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penyakit kronis. Bahkan Beliau juga tidak pernah mengeluh sakit. "Mau ke mana?" tanya
"Lho Mama mau ke mana?" tanya Lusi saat melihat mamanya sudah seperti bersiap untuk pergi. "Mau ke rumah si Marini. Mau buat perhitungan sama tuh menantunya, enak saja main pecat anak orang tanpa alasan yang jelas.""Tapi, Ma ...." Lusi mencoba mencekal lengan mamanya. Meski detik berikutnya sang mama menghentakkan tangannya dan cekalan Lusi langsung terlepas. "Sudah, jangan halangi Mama, Lusi! Kamu terlalu baik, makanya si Sofia seenaknya sama kamu. Udah, biar mama aja yang urus," ujar Bu Saras dengan mata memerah dan rahang mengeras. Perempuan paruh baya itu sangat marah. "Aku ikut, Ma.""kamu di sini aja. Tunggu beres. Kalau mama yang turun tangan dijamin masalah beres."Meski Bu Laras melarang Lusi, nyatanya sang anak tetap membuntutinya secara diam-diam. Lusi mau melihat secara langsung bagaimana Sofia diberi pelajaran oleh mamanya. Pokoknya Lusi mau mensyukuri setiap kejatuhan Sofia. Sesampainya di tujuan, rupanya Sofia dan Farhan masih belum pulang. Mereka masih di kantor
"Tutup mulutmu!" "Ups maaf aku sengaja, hahaha!" Sofia tergelak sembari memegang perutnya karena tidak tahan sebab menahan kegelian melihat wajah shock di depannya. Namun, menurut Lusi tawa Sofia seperti ejekan baginya. "Katakan apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lusi sembari menatap Sinis Sofia. "Lho kan aku sudah bilang barusan kalau aku ke sini karena menggantikan suamiku bertemu dengan mantan pacarnya yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri ini." Sofia memandang remeh pada Lusi. "Tutup mulutmu Sofia! Aku ke sini tidak untuk bertemu denganmu tapi dengan Farhan. Katakan di mana dia!""Ups, sabar dulu dong nafsu amat sih sama laki orang." Sofia sengaja mengeraskan suaranya sehingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya menoleh ke arah mereka. "Pelankan suaramu, Sofia!" Lusi menatap Sofia penuh amarah bahkan wajahnya saja sudah memerah. "Lho, kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan? Mana Lusi yang pandai merayu suami orang saat di chat? Kenapa tiba-tiba sekarang melempe
BAB 36[Baiklah, kalau kamu serius dengan ucapanmu silahkan temui aku di cafe wash-wush besok pas jam makan siang.][Baiklah, aku udah gak sabar buat ketemuan sama kamu deh. Sampai jumpa besok ya, Sayangku]Sofia sampai menggelengkan kepalanya membaca isi pesan dari Lusi. Ia tidak habis pikir kenapa bisa ada manusia tidak tahu diri dan tidak tahu malu seperti Lusi. Dulu saja dihina, dicaci, bahkan, dicampakkan. Lantas? Kenapa sekarang dia seolah-olah mau membahas masa lalu seakan masih peduli? Cih! "Yasudah lebih baik kita tidur sekarang. Gak usah kamu pikirkan si Lusi karena sampai kapan pun aku gak kan pernah mau lagi berpaling padanya. Ya kali aku katarak secara kamu dan dia saja cantikan kamu ke mana-mana. Kamu juga bisa menerimaku dan Ibuku apa adanya. Masa iya mau aku tukar sama koreng cicak begitu." Sofia tergelak mendengar Farhan mengatakan koreng cicak untuk Lusi. "Kok ketawa sih, Sayang." Farhan menjawil hidung istrinya. "Habis kamu lucu masa iya dikata koreng cicak.""Lh
BAB 35[Sekarang kenapa kamu terlihat sangat tampan? Kenapa gak dari dulu saja kamu tampak tampan, Mas? Kamu pasti masih mencintaiku kan, Mas? Secara kita dulu berhubungan lumayan lama. Dua tahun berpacaran itu bukan waktu yang sebentar kan, Mas? Bukan mudah juga kan kamu melupakanku? Karena sekarang kamu sudah mapan maka aku mau untuk kamu jadikan pasangan. Gimana? Bahkan jadi yang kedua pun aku gak masalah asalkan cinta dan kasihmu lebih utama untukku]Mata Sofia tidak bisa menutup karena saking terkejutnya. Apakah suaminya menyimpan rahasia darinya? Ah, sepertinya tidak. Sofia tidak percaya jika suaminya seperti itu. Sofia melihat foto profil yang ada di nomor tersebut dan matanya kembali membulat saat tahu kalau yang mengiriminya pesan barusan di nomor sang suami ternyata Lusi. "Dasar upil ayam betina, seenaknya saja dia dulu mencampakkan Mas Farhan dan sekarang dia ingin minta kembali setelah tahu suamiku sudah mapan. Cuih, definisi ulat gak tau diri.""Kamu kenapa, Dek? Kok ng
BAB 34"Maksud kamu korupsi?" Farhan mengangguk. Sedangkan mata Sofia membeliak. "Siapa?" tanya Sofia yang penasaran karena ia sendiri belum pernah sidak dadakan. "Dia …." Farhan menjeda ucapannya. Ia menatap Sofia lekat. Seperti ada kekhawatiran dari sorot matanya. "Mas, kenapa? Kok diam? Siapa yang sudah ambil uang perusahaan? Dan berapa total kerugian kita?""Pak Lek Wiro, Sof, dia kerjasama dengan Pak Aldi.""Pak Aldi kepala HRD?" Farhan mengangguk. "Keduanya kerjasama untuk meminta bayaran pada calon karyawan yang mau masuk ke perusahaan kamu.""Kita, Mas, itu perusahaan kita karena kita yang akan membesarkannya lagi nanti." Farhan tersenyum sekilas lalu ia mengelus kepala Sofia. "Makasih ya sudah mempercayaiku. Oh iya balik lagi soal Pak Lek Wiro. Ternyata dia dan Pak Aldi juga memotong gaji karyawan yang masuk sebesar tiga ratus ribu setiap bulannya. Jika satu orang tiga ratus maka kamu bisa membayangkannya sendiri bukan berapa yang akan mereka terima setiap bulannya kare
BAB 33"Lho, aku salah ya? Yaudah deh kalau begitu aku minta maaf ya, Bulek. Gimana? Boleh kan? Aku sudah minta maaf lho, persis seperti apa yang Bulek katakan barusan atas hinaan Bulek terhadapku dan juga Ibu mertuaku." Sofia tersenyum manis. Namun, bagi Bulek Lilis dan juga Pakle Wiro hal itu adalah penghinaan bagi mereka. "Kurang ajar kamu ya Sofia! Seumur hidup gak pernah ada yang berani kurang ajar padaku seperti itu!" "Oups, kalau begitu aku berarti pemecah rekor dong ya. Rekor karena bisa berlaku kurang ajar padamu, Bulek.""Mbak Marini! Ajarkan menantumu ini sikap sopan santun! Percuna pendidikan tinggi dan katanya pemilik perusahaan tapi tata krama dan adab saja dia tidak punya!""Hei!" tunjuk Sofia pada wajah sang Bulek. "Jangan pernah mengacungkan jarimu di depan wajah Ibu mertuaku! Beliau sudah sangat-sangat baik dalam mengajariku! Tapi aku begini karena ingin memberimu pelajaran. Bulek pikir aku akan diam saja dan memaafkan begitu saja perbuatan Bulek yang kurang ajar p