âIta! Eh ... eh, apaan ini! Main pakai barang orang sembarangan!â bentak Mbak Lili, seketika aku mengangkat bayi mungilku. Dia membuang air hangat yang ada di bak mandi.âMaaf Mbak, tadi Kia nangis terus gerah jadi aku mandikan, aku pinjam sebentar saja kok, Mbak,â jawabku terbata, Kia bayiku nangis lagi.âEnak, aja pinjam! Hidup itu modal, beli sana kalau mau pakai bak buat mandi! Rusak juga kamu enggak bisa ganti!â Mbak Lili membawa masuk bak mandinya ke dalam kamarnya.Kupakaikan Kia handuk lalu kugendong pakai kain jarik dan kususui. Aku mengambil lagi kayu bakar di belakang rumah untuk memanaskan air lagi. Bayiku harus mandi kalau tidak dia akan rewel sepanjang malam.Kuhidupkan tungku dengan susah payah karena harus menggendong bayiku. Setelah air hangat-hangat kuku baru kuberi air dingin. Akhirnya aku memandikan Kia dengan menggunakan priuk tempat penanak nasi. Kupangku Kia lalu kuambil airnya sedikit demi sedikit menggunakan cangkir plastik.Setelah mandi Kia, langsung tidur.
Kulihat paha Kia, benar saja ada bekas cubitan berwarna biru menghitam. Aku hanya beristighfar dalam hati, tega sekali Mbak Lili berperilaku seperti itu pada bayiku.Bayiku tidak salah kalau dia benci padaku boleh melakukan apa pun yang dia suka pada diriku tapi tidak pada Kia.âTuh, kan, biru gini, Nak. Nanti jangan lupa dibaluri minyak telon yang dicampur bawa merah ya?â saran ibu Mas Eko.âIyâa, Bu,â jawabku singkat. Jujur minyak telon Kia sudah habis aku mau minta uang pada ibu pun pasti tidak dikasih.âKo, bengong? Ngantuk ya?â tanya beliau lagi.âIya, Bu,â jawabku sungkan.âYa, sudah kamu istirahat, kamu pasti sangat lelah, Ibu tahu kamu yang masak tadi untuk makan malam kami, tunggu sebentar ya?â Ibu Mas Eko pergi begitu saja tak lama kembali dengan membawa sekantong plastik berlogo Indoapril itu.âIâini apa, Bu?â Meski aku tahu isinya, tapi aku harus bertanya karena tidak mau terjadi salah paham antara aku dan Mbak Lili.âIbu sengaja beli ini untuk kamu sama Kia, kan kemarin w
Brak!Aku terkejut saat pintu reot kamarku didobrak oleh Mbak Lili, pasalnya aku sedang menyusui Kia.Seperti orang kesetanan Mbak Lili menyerangku. Kubalikkan badan untuk melindungi Kia agar tidak terkena pukulan Mbak Lili. Jika tidak ada Kia sudah kupastikan akan terjadi duel antara aku dan Mbak Lili.âMampus kamu Ita! Mati aja kamu! Hah! Kurang ajar ya, kamu! Gara-gara kamu mertuaku jadi lebih membelamu!âBugh!Bugh!Kunikmati pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuhku Terpenting Kia tidak jadi sasarannya.âBagus, pukulin aja terus biar kapok! Dasar menantu tidak tahu diri, sudah bagus dikasih tumpangan tempat tinggal masih saja belagak nyoya! Pukul terus Li, bila perlu pakai pukulan kasur itu!â seru ibu mertuaku.âStop!â Suara bariton Mas Danu menggema. Benarkah itu suamiku?Mbak Lili yang tahu suamiku pulang sangat terkejut dan salah tingkah. Kulihat wajah Mas Danu merah menahan amarah. Dia langsung memelukku. Tangisku pecah.âMaafkan, aku ... maaf, Dik,â ucap Mas Danu, suara
Mbak Lili seperti kerasukan jin, dia menarik-narik bajuku dengan brutal karena tak terima kompor, magicom, dan wajan anti lengket kuambil paksa.Terjadi adegan tarik menarik antara aku dan Mbak Lili. Aku tidak tahu Mas Danu di mana tadi pamit sebentar ke rumah temannya Joko, sampai mau Maghrib belum pulang juga.âManusia tidak tahu diri, tidak bisa balas budi, barang jelek saja kamu ambil lagi, menjilat ludah sendiri kamu kan sudah memberikannya untuk Ibu!â teriak Mbak Lili.âAku tidak pernah memberikan barang jelek ini untuk kalian, toh selama ini kalian sudah puas memakainya. Aku kalian paksa masak pakai tungku padahal ini milikku sendiri. Kalian kan, orang kaya masa beli begini saja tidak mampu,â jawabku kesal.âSudah berani jawab ya, kamu! Mentang-mentang mau pindah!â Ibu menarik rambutku ke belakang, sakit sekali, tapi aku tahan, aku tidak mau kualat dan nambahin masalah dengan melawannya.Aku kualahan karena harus menghadapi Mbak Lili dan ibu sendirian. Beruntung Mas Eko suami
âSilakan duduk dulu, Mbak. Aku buatin minum,â kataku mempersilakan mereka untuk duduk barang sebentar.âEnggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,â jawab suami Mbak Asih.âIya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,â sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur. Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak i
Assalamualaikum selamat pagi semuanya cerbung baruku ini ikutin terus, ya? Follow juga akunku. Terima kasih đđ¸đ¸đ¸Belum juga aku menjawab Mbak Lili sudah menarik tangan ibu. Aku dipersilakan oleh panitia untuk langsung ke prasmanan. Meski terdengar bisik-bisik karena aku tidak memakai seragam sendiri, tapi aku tetap percaya diri saja tidak mengapa tidak dianggap keluarga.âKamu makin cantik aja, Ta,â ucap Bibi Warni, adik ibu.âAlhamdulillah, terima kasih, Bi,â jawabku.âMaaf ya, Bibi belum jenguk suamimu. Tahu sendiri Bibi lagi sibuk banyak kegiatan maklum pejabat,â katanya lagi sambil mengibaskan jilbabnya. Aku mengiyakan saja. Entah mungkin sudah keturunan dari nenek moyangnya ibu, ini keluarga kerjaannya tukang pamer.âKamu nyumbang berapa, Ta?â Seketika tenggorokanku tercekat susah menelan makanan.âKenapa kamu tanya begitu, Li? Sudah tahulah jawabannya,â sindir Bibi. Kemudian mereka terkekeh.Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak sesak dada ini. Kembali kunik
âAneh, orang tua kok begitu, seumur-umur aku baru tahu orang tua aneh ya, sekarang ini,â timpal Joko.âHeh, ambil itu bingkisan dari Asih. Bukannya diambil malah dibiarkan saja,â titah ibu.âIya, Bu, terima kasih â Kuambil bingkisan itu lalu kubawa masuk.âDik, kami langsung berangkat ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualaikum.â Pamit suamiku. Aku raih tangannya penuh takzim kudoakan keselamatan dan kesembuhan untuknya.Uang yang kumiliki sangat aku irit-irit makan seadanya jadilah yang penting tidak kelaparan. Sayur mayur di kebun ini sebenarnya cukup, tapi semua diakui milik ibu. Jadi mau tidak mau aku menanam sendiri di sekitar gubukku ini.Kubuka bingkisan dari ibu tadi. Hatiku mencelos ini memberi makan untuk hewan apa manusia kenapa isinya begini? Nasi yang tercampur urapan dan kering tempe sudah agak basi. Dari pada aku sakit lebih baik aku berikan saja pada ayam tetangga.Aku akan merebus daun singkong dan sambal orek saja untuk lauk malam ini.âIta ... sudah kaya kau rupan
âKamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?â tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.âEm ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,â jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.âOo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,â ucap ibu lagi.âEnggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,â tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta