Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Ita! Eh ... eh, apaan ini! Main pakai barang orang sembarangan!” bentak Mbak Lili, seketika aku mengangkat bayi mungilku. Dia membuang air hangat yang ada di bak mandi.“Maaf Mbak, tadi Kia nangis terus gerah jadi aku mandikan, aku pinjam sebentar saja kok, Mbak,” jawabku terbata, Kia bayiku nangis lagi.“Enak, aja pinjam! Hidup itu modal, beli sana kalau mau pakai bak buat mandi! Rusak juga kamu enggak bisa ganti!” Mbak Lili membawa masuk bak mandinya ke dalam kamarnya.Kupakaikan Kia handuk lalu kugendong pakai kain jarik dan kususui. Aku mengambil lagi kayu bakar di belakang rumah untuk memanaskan air lagi. Bayiku harus mandi kalau tidak dia akan rewel sepanjang malam.Kuhidupkan tungku dengan susah payah karena harus menggendong bayiku. Setelah air hangat-hangat kuku baru kuberi air dingin. Akhirnya aku memandikan Kia dengan menggunakan priuk tempat penanak nasi. Kupangku Kia lalu kuambil airnya sedikit demi sedikit menggunakan cangkir plastik.Setelah mandi Kia, langsung tidur.
Kulihat paha Kia, benar saja ada bekas cubitan berwarna biru menghitam. Aku hanya beristighfar dalam hati, tega sekali Mbak Lili berperilaku seperti itu pada bayiku.Bayiku tidak salah kalau dia benci padaku boleh melakukan apa pun yang dia suka pada diriku tapi tidak pada Kia.“Tuh, kan, biru gini, Nak. Nanti jangan lupa dibaluri minyak telon yang dicampur bawa merah ya?” saran ibu Mas Eko.“Iy—a, Bu,” jawabku singkat. Jujur minyak telon Kia sudah habis aku mau minta uang pada ibu pun pasti tidak dikasih.“Ko, bengong? Ngantuk ya?” tanya beliau lagi.“Iya, Bu,” jawabku sungkan.“Ya, sudah kamu istirahat, kamu pasti sangat lelah, Ibu tahu kamu yang masak tadi untuk makan malam kami, tunggu sebentar ya?” Ibu Mas Eko pergi begitu saja tak lama kembali dengan membawa sekantong plastik berlogo Indoapril itu.“I—ini apa, Bu?” Meski aku tahu isinya, tapi aku harus bertanya karena tidak mau terjadi salah paham antara aku dan Mbak Lili.“Ibu sengaja beli ini untuk kamu sama Kia, kan kemarin w
Brak!Aku terkejut saat pintu reot kamarku didobrak oleh Mbak Lili, pasalnya aku sedang menyusui Kia.Seperti orang kesetanan Mbak Lili menyerangku. Kubalikkan badan untuk melindungi Kia agar tidak terkena pukulan Mbak Lili. Jika tidak ada Kia sudah kupastikan akan terjadi duel antara aku dan Mbak Lili.“Mampus kamu Ita! Mati aja kamu! Hah! Kurang ajar ya, kamu! Gara-gara kamu mertuaku jadi lebih membelamu!”Bugh!Bugh!Kunikmati pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuhku Terpenting Kia tidak jadi sasarannya.“Bagus, pukulin aja terus biar kapok! Dasar menantu tidak tahu diri, sudah bagus dikasih tumpangan tempat tinggal masih saja belagak nyoya! Pukul terus Li, bila perlu pakai pukulan kasur itu!” seru ibu mertuaku.“Stop!” Suara bariton Mas Danu menggema. Benarkah itu suamiku?Mbak Lili yang tahu suamiku pulang sangat terkejut dan salah tingkah. Kulihat wajah Mas Danu merah menahan amarah. Dia langsung memelukku. Tangisku pecah.“Maafkan, aku ... maaf, Dik,” ucap Mas Danu, suara