Share

BAB 4. Mas Danu kecelakaan.

Mbak Lili seperti kerasukan jin, dia menarik-narik bajuku dengan brutal karena tak terima kompor, magicom, dan wajan anti lengket kuambil paksa.

Terjadi adegan tarik menarik antara aku dan Mbak Lili.

 Aku tidak tahu Mas Danu di mana tadi pamit sebentar ke rumah temannya Joko, sampai mau Maghrib belum pulang juga.

“Manusia tidak tahu diri, tidak bisa balas budi, barang jelek saja kamu ambil lagi, menjilat ludah sendiri kamu kan sudah memberikannya untuk Ibu!” teriak Mbak Lili.

“Aku tidak pernah memberikan barang jelek ini untuk kalian, toh selama ini kalian sudah puas memakainya. Aku kalian paksa masak pakai tungku padahal ini milikku sendiri. Kalian kan, orang kaya masa beli begini saja tidak mampu,” jawabku kesal.

“Sudah berani jawab ya, kamu! Mentang-mentang mau pindah!” Ibu menarik rambutku ke belakang, sakit sekali, tapi aku tahan, aku tidak mau kualat dan nambahin masalah dengan melawannya.

Aku kualahan karena harus menghadapi Mbak Lili dan ibu sendirian. Beruntung Mas Eko suami Mbak Lili pulang dari membeli lauk jadi Mbak Lili takut dan akhirnya dia menyerah.

Ibu menangis sesenggukan di kursi pojok dapur, heran apa yang beliau tangis? Benar-benar cari sensasi.

Hingga lepas Maghrib Mas Danu tak juga kembali, aku khawatir sekali apa lagi Kia menangis terus.

 Biasanya anak bayi punya firasat yang kuat pada orang-orang terdekat. Tadi saja aku memindahkan peralatan dapur sendiri, beruntung dipan reot dan lemariku sudah tadi dipindahkan.

Sebenarnya aku sangat lelah, tapi karena bahagia bisa pindah lelah itu sirna sudah.  Kini aku sudah di rumahku sendiri meski papan dan jelek hatiku tetap bahagia. Semoga nanti punya rezeki lagi bisa memperbaikinya pelan-pelan.

“Danu belum pulang, Ta?” tanya Mas Eko. Dia kemari membawakan gorengan.

“Belum, Mas. Tadi bilangnya mau ke rumah Joko.”

“Biar aku susul, kamu masuklah ke dalam.” Aku hanya mengangguk saja. Mas Eko mengendarai motornya mencari Mas Danu. Entah kenapa aku sangat gelisah, tidak seperti biasanya walaupun Mas Danu jauh di perantauan.

Kia sudah tidak menangis lagi, tapi tidak mau tidur. Hingga jam 10 malam baik Mas Danu maupun Mas Eko belum juga kembali.  Lelah seharian mendadak pindahan dan juga beres-beres rumah, aku tertidur di tikar yang kugelar di ruang tamu.

“Ta! Ita!”

Suara orang-orang memanggil namaku dan juga menggedor-gedor pintu membuatku kaget dan terbangun, karena rasa kantuk membuatku terhuyung jalan untuk membuka pintu.

Mas Eko dan beberapa warga menggotong Mas Danu menggunakan tandu. Aku limbung dan menangis sejadi-jadinya. Ujian apa lagi ini ya Allah.

“Sabar ya, ini suaminya kami temukan tergelincir di jurang dekat kebun kol milik Pak Yanto,” ucap seorang bapak aku tidak tahu dia siapa.

Mas Eko sudah kembali lagi dia membawa Bidan Tuti. Mas Danu berteriak kesakitan, kakinya bagian luar hanya lecet-lecet saja, tapi kata bidan lukanya ada di dalam dan cukup parah, besok harus segera dibawa ke rumah sakit. Sementara Mas Danu diberi obat pereda sakit dan diobati luka luarnya.

“Duh, kasihan ya, itulah akibatnya kalau durhaka sama orang tua, Tuhan langsung balas tunai tanpa dicicil,” ucap Mbak Lili terkekeh. Semua yang mendengar ucapan Mbak Lili geleng-geleng kepala.

“Pulang! Bikin malu saja!” Mas Eko menyeret Mbak Lili seperti anak kecil.

“Danu, kamu kini sudah cacat, coba kamu pikir salahmu apa terutama padaku sebagai Ibu yang sudah membesarkanmu, dan satu lagi jangan pernah minta tolong pada kami lagi,” ucap ibu pongah.

🌸🌸🌸🌸

Pagi ini aku masak tumis daun singkong dan goreng tempe, aku harus berhemat uang hasil jual cincin nikah kemarin tinggal sedikit karena sudah dipakai untuk keperluan rumah ini. Aku harus memutar otak agar bisa bertahan hidup agar tidak menyusahkan orang lain.

“Mas, ini uangnya untuk berobat nanti, semoga saja lukanya tidak terlalu parah, maaf aku tidak menemani Mas berobat,” kataku menahan sedih. Walau bagaimanapun aku harus tetap terlihat tegar di depan imamku.

“Maafkan Mas, ya, Dik.” Mas Danu menangis sambil memelukku.

“Untuk apa minta maaf, Sayang, ini kan, ujian kita. Sudah kehendak yang Maha Kuasa,” jawabku mencoba tegar menguatkan hatinya meski aku sendiri sebenarnya rapuh, tapi aku yakin Allah akan menolongku.

“Duh, pagi-pagi sudah peluk-pelukan sampai enggak dengar orang salam,” ujar Mas Eko. Aku dan Mas Danu tersenyum malu dan langsung mengurai pelukan.

“Wa’alaikumsalam, Mas, mari masuk, kita sarapan dulu,” ajak Mas Danu.

“Terima kasih, aku sudah sarapan, Dan. Lebih baik kita berangkat sekarang keburu siang nanti antreannya makin banyak,” jawab Mas Eko, beliau langsung memapah Mas Danu, ke motornya memakaikan helm dan juga jaket. Alhamdulillah masih ada Mas Eko yang sangat baik pada kami.

Baru saja mau jalan Mbak Lili sudah memanggil-manggil suaminya dan sedikit berlari menghampiri kami.

“Mas, jangan lupa nanti pintain ongkosnya bolak balik, ingat jangan mau kalau gratisan!” ucapnya terengah-engah mengatur nafas.

“Ngomong apa si, kamu itu Li, sudah pulang sana jangan buat masalah atau yang kuucapkan semalam akan menjadi kenyataan!” sahut Mas Eko nada bicaranya sedikit meninggi.

“Aku juga mau pulang kok, Mas. Enggak Sudi lama-lama di sini, takut ketularan miskin,” jawab Mbak Lili sambil melirikku sinis dan berlalu pulang lagi.

“Mas, berangkat dulu ya, Dik. Hati-hati di rumah, enggak usah kerjakan apa pun, istirahat dulu dari kemarin kamu belum istirahat,” ucap suamiku.

Kubersihkan bekas sarapan kami, lalu kududuk termenung menimang harus memberi kabar ke orang tua atau tidak.

“Woi, bangun! Kapan mau kaya kalau jam segini sudah molor, dasar pemalas!” teriak Ibu, beliau menendang-nendang kakiku. Mungkin karena terlalu lelah dari kemarin kurang istirahat aku terlelap. Kia menangis pasti dia kaget mendengar teriakan neneknya.

Kulihat ibu bersama Mbak Asih dan suaminya. Mbak Asih ini anak pertama ibu sifatnya tidak  jauh berbeda dengan Mbak Lili, parahnya suaminya pun sama saja. Setelah salaman denganku tangannya dikibaskan-kibaskan seolah tanganku ini kotor.

“Kamu lebih memilih pindah di kandang kambing seperti ini, Ta, dari pada tinggal gratis di rumah gedongan milik ibuku?” tanya Mbak Asih, lebih tepatnya mengejek.

“Kami ingin mandiri, Mbak,” jawabku jujur.

“Halah mandiri gimana? Bilang saja enggak mau ngasih duit lagi sama ibuku,” sahut Mbak Lili.

“Bukan begitu Mbak, beneran kami ingin mandiri.”

“Kalau mau mandiri itu enggak begini, Ta. Kamu pindah ke rumah yang lebih bagus dan juga tidak di sini,” ujar suaminya Mbak Asih. Aku melongo tidak menyangka Mas Roni mau ikut nimbrung dan menyindirku.

“Sudahlah, enggak usah dibahas dulu si Ita, buang-buang waktu saja. Begini Ita, aku datang kemari untuk memberi tahu besok ada acara syukuran rumah baruku jadi aku ngundang kamu dan Danu, datang ya, habis Zuhur, ingat harus datang,” ucap Mbak Asih dia memberiku selembar kertas undangan tasyakuran.

“Sudah kan, Mah, cepat ayo kita pergi dari sini! Papa gerah banget!” seloroh suami Mbak Asih. Dia nyelonong ke luar rumah lebih dahulu.

“I—ya, Mbak insya Allah kami datang,” jawabku.

“Bawa oleh-oleh plus sumbangan ya, Ta, kalau enggak lebih baik enggak usah datang,” sahut ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status