Mbak Lili seperti kerasukan jin, dia menarik-narik bajuku dengan brutal karena tak terima kompor, magicom, dan wajan anti lengket kuambil paksa.
Terjadi adegan tarik menarik antara aku dan Mbak Lili.
Aku tidak tahu Mas Danu di mana tadi pamit sebentar ke rumah temannya Joko, sampai mau Maghrib belum pulang juga.
“Manusia tidak tahu diri, tidak bisa balas budi, barang jelek saja kamu ambil lagi, menjilat ludah sendiri kamu kan sudah memberikannya untuk Ibu!” teriak Mbak Lili.
“Aku tidak pernah memberikan barang jelek ini untuk kalian, toh selama ini kalian sudah puas memakainya. Aku kalian paksa masak pakai tungku padahal ini milikku sendiri. Kalian kan, orang kaya masa beli begini saja tidak mampu,” jawabku kesal.
“Sudah berani jawab ya, kamu! Mentang-mentang mau pindah!” Ibu menarik rambutku ke belakang, sakit sekali, tapi aku tahan, aku tidak mau kualat dan nambahin masalah dengan melawannya.
Aku kualahan karena harus menghadapi Mbak Lili dan ibu sendirian. Beruntung Mas Eko suami Mbak Lili pulang dari membeli lauk jadi Mbak Lili takut dan akhirnya dia menyerah.
Ibu menangis sesenggukan di kursi pojok dapur, heran apa yang beliau tangis? Benar-benar cari sensasi.
Hingga lepas Maghrib Mas Danu tak juga kembali, aku khawatir sekali apa lagi Kia menangis terus.
Biasanya anak bayi punya firasat yang kuat pada orang-orang terdekat. Tadi saja aku memindahkan peralatan dapur sendiri, beruntung dipan reot dan lemariku sudah tadi dipindahkan.
Sebenarnya aku sangat lelah, tapi karena bahagia bisa pindah lelah itu sirna sudah. Kini aku sudah di rumahku sendiri meski papan dan jelek hatiku tetap bahagia. Semoga nanti punya rezeki lagi bisa memperbaikinya pelan-pelan.
“Danu belum pulang, Ta?” tanya Mas Eko. Dia kemari membawakan gorengan.
“Belum, Mas. Tadi bilangnya mau ke rumah Joko.”
“Biar aku susul, kamu masuklah ke dalam.” Aku hanya mengangguk saja. Mas Eko mengendarai motornya mencari Mas Danu. Entah kenapa aku sangat gelisah, tidak seperti biasanya walaupun Mas Danu jauh di perantauan.
Kia sudah tidak menangis lagi, tapi tidak mau tidur. Hingga jam 10 malam baik Mas Danu maupun Mas Eko belum juga kembali. Lelah seharian mendadak pindahan dan juga beres-beres rumah, aku tertidur di tikar yang kugelar di ruang tamu.
“Ta! Ita!”
Suara orang-orang memanggil namaku dan juga menggedor-gedor pintu membuatku kaget dan terbangun, karena rasa kantuk membuatku terhuyung jalan untuk membuka pintu.
Mas Eko dan beberapa warga menggotong Mas Danu menggunakan tandu. Aku limbung dan menangis sejadi-jadinya. Ujian apa lagi ini ya Allah.
“Sabar ya, ini suaminya kami temukan tergelincir di jurang dekat kebun kol milik Pak Yanto,” ucap seorang bapak aku tidak tahu dia siapa.
Mas Eko sudah kembali lagi dia membawa Bidan Tuti. Mas Danu berteriak kesakitan, kakinya bagian luar hanya lecet-lecet saja, tapi kata bidan lukanya ada di dalam dan cukup parah, besok harus segera dibawa ke rumah sakit. Sementara Mas Danu diberi obat pereda sakit dan diobati luka luarnya.
“Duh, kasihan ya, itulah akibatnya kalau durhaka sama orang tua, Tuhan langsung balas tunai tanpa dicicil,” ucap Mbak Lili terkekeh. Semua yang mendengar ucapan Mbak Lili geleng-geleng kepala.
“Pulang! Bikin malu saja!” Mas Eko menyeret Mbak Lili seperti anak kecil.
“Danu, kamu kini sudah cacat, coba kamu pikir salahmu apa terutama padaku sebagai Ibu yang sudah membesarkanmu, dan satu lagi jangan pernah minta tolong pada kami lagi,” ucap ibu pongah.
🌸🌸🌸🌸
Pagi ini aku masak tumis daun singkong dan goreng tempe, aku harus berhemat uang hasil jual cincin nikah kemarin tinggal sedikit karena sudah dipakai untuk keperluan rumah ini. Aku harus memutar otak agar bisa bertahan hidup agar tidak menyusahkan orang lain.
“Mas, ini uangnya untuk berobat nanti, semoga saja lukanya tidak terlalu parah, maaf aku tidak menemani Mas berobat,” kataku menahan sedih. Walau bagaimanapun aku harus tetap terlihat tegar di depan imamku.
“Maafkan Mas, ya, Dik.” Mas Danu menangis sambil memelukku.
“Untuk apa minta maaf, Sayang, ini kan, ujian kita. Sudah kehendak yang Maha Kuasa,” jawabku mencoba tegar menguatkan hatinya meski aku sendiri sebenarnya rapuh, tapi aku yakin Allah akan menolongku.
“Duh, pagi-pagi sudah peluk-pelukan sampai enggak dengar orang salam,” ujar Mas Eko. Aku dan Mas Danu tersenyum malu dan langsung mengurai pelukan.
“Wa’alaikumsalam, Mas, mari masuk, kita sarapan dulu,” ajak Mas Danu.
“Terima kasih, aku sudah sarapan, Dan. Lebih baik kita berangkat sekarang keburu siang nanti antreannya makin banyak,” jawab Mas Eko, beliau langsung memapah Mas Danu, ke motornya memakaikan helm dan juga jaket. Alhamdulillah masih ada Mas Eko yang sangat baik pada kami.
Baru saja mau jalan Mbak Lili sudah memanggil-manggil suaminya dan sedikit berlari menghampiri kami.
“Mas, jangan lupa nanti pintain ongkosnya bolak balik, ingat jangan mau kalau gratisan!” ucapnya terengah-engah mengatur nafas.
“Ngomong apa si, kamu itu Li, sudah pulang sana jangan buat masalah atau yang kuucapkan semalam akan menjadi kenyataan!” sahut Mas Eko nada bicaranya sedikit meninggi.
“Aku juga mau pulang kok, Mas. Enggak Sudi lama-lama di sini, takut ketularan miskin,” jawab Mbak Lili sambil melirikku sinis dan berlalu pulang lagi.
“Mas, berangkat dulu ya, Dik. Hati-hati di rumah, enggak usah kerjakan apa pun, istirahat dulu dari kemarin kamu belum istirahat,” ucap suamiku.
Kubersihkan bekas sarapan kami, lalu kududuk termenung menimang harus memberi kabar ke orang tua atau tidak.
“Woi, bangun! Kapan mau kaya kalau jam segini sudah molor, dasar pemalas!” teriak Ibu, beliau menendang-nendang kakiku. Mungkin karena terlalu lelah dari kemarin kurang istirahat aku terlelap. Kia menangis pasti dia kaget mendengar teriakan neneknya.
Kulihat ibu bersama Mbak Asih dan suaminya. Mbak Asih ini anak pertama ibu sifatnya tidak jauh berbeda dengan Mbak Lili, parahnya suaminya pun sama saja. Setelah salaman denganku tangannya dikibaskan-kibaskan seolah tanganku ini kotor.
“Kamu lebih memilih pindah di kandang kambing seperti ini, Ta, dari pada tinggal gratis di rumah gedongan milik ibuku?” tanya Mbak Asih, lebih tepatnya mengejek.
“Kami ingin mandiri, Mbak,” jawabku jujur.
“Halah mandiri gimana? Bilang saja enggak mau ngasih duit lagi sama ibuku,” sahut Mbak Lili.
“Bukan begitu Mbak, beneran kami ingin mandiri.”
“Kalau mau mandiri itu enggak begini, Ta. Kamu pindah ke rumah yang lebih bagus dan juga tidak di sini,” ujar suaminya Mbak Asih. Aku melongo tidak menyangka Mas Roni mau ikut nimbrung dan menyindirku.
“Sudahlah, enggak usah dibahas dulu si Ita, buang-buang waktu saja. Begini Ita, aku datang kemari untuk memberi tahu besok ada acara syukuran rumah baruku jadi aku ngundang kamu dan Danu, datang ya, habis Zuhur, ingat harus datang,” ucap Mbak Asih dia memberiku selembar kertas undangan tasyakuran.
“Sudah kan, Mah, cepat ayo kita pergi dari sini! Papa gerah banget!” seloroh suami Mbak Asih. Dia nyelonong ke luar rumah lebih dahulu.
“I—ya, Mbak insya Allah kami datang,” jawabku.
“Bawa oleh-oleh plus sumbangan ya, Ta, kalau enggak lebih baik enggak usah datang,” sahut ibu.
“Silakan duduk dulu, Mbak. Aku buatin minum,” kataku mempersilakan mereka untuk duduk barang sebentar.“Enggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,” jawab suami Mbak Asih.“Iya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,” sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur. Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak i
Assalamualaikum selamat pagi semuanya cerbung baruku ini ikutin terus, ya? Follow juga akunku. Terima kasih 💕🌸🌸🌸Belum juga aku menjawab Mbak Lili sudah menarik tangan ibu. Aku dipersilakan oleh panitia untuk langsung ke prasmanan. Meski terdengar bisik-bisik karena aku tidak memakai seragam sendiri, tapi aku tetap percaya diri saja tidak mengapa tidak dianggap keluarga.“Kamu makin cantik aja, Ta,” ucap Bibi Warni, adik ibu.“Alhamdulillah, terima kasih, Bi,” jawabku.“Maaf ya, Bibi belum jenguk suamimu. Tahu sendiri Bibi lagi sibuk banyak kegiatan maklum pejabat,” katanya lagi sambil mengibaskan jilbabnya. Aku mengiyakan saja. Entah mungkin sudah keturunan dari nenek moyangnya ibu, ini keluarga kerjaannya tukang pamer.“Kamu nyumbang berapa, Ta?” Seketika tenggorokanku tercekat susah menelan makanan.“Kenapa kamu tanya begitu, Li? Sudah tahulah jawabannya,” sindir Bibi. Kemudian mereka terkekeh.Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak sesak dada ini. Kembali kunik
“Aneh, orang tua kok begitu, seumur-umur aku baru tahu orang tua aneh ya, sekarang ini,” timpal Joko.“Heh, ambil itu bingkisan dari Asih. Bukannya diambil malah dibiarkan saja,” titah ibu.“Iya, Bu, terima kasih “ Kuambil bingkisan itu lalu kubawa masuk.“Dik, kami langsung berangkat ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualaikum.” Pamit suamiku. Aku raih tangannya penuh takzim kudoakan keselamatan dan kesembuhan untuknya.Uang yang kumiliki sangat aku irit-irit makan seadanya jadilah yang penting tidak kelaparan. Sayur mayur di kebun ini sebenarnya cukup, tapi semua diakui milik ibu. Jadi mau tidak mau aku menanam sendiri di sekitar gubukku ini.Kubuka bingkisan dari ibu tadi. Hatiku mencelos ini memberi makan untuk hewan apa manusia kenapa isinya begini? Nasi yang tercampur urapan dan kering tempe sudah agak basi. Dari pada aku sakit lebih baik aku berikan saja pada ayam tetangga.Aku akan merebus daun singkong dan sambal orek saja untuk lauk malam ini.“Ita ... sudah kaya kau rupan
“Kamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?” tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.“Em ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,” jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.“Oo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,” ucap ibu lagi.“Enggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,” tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta
🌸🌸🌸🌸Mas Danu sedang dilatih berjalan oleh bapak di halaman depan, tadi bapak sudah membuatkan tongkat untuk Mas Danu. Aku sedang memakaikan baju Kia, sore ini aku merasa sangat bahagia.“Ibu ini kenapa sekarang setuju hubungan Mbak Ita sama Mas Danu?” ucap Wira. Ibu dan Wira memang masih di dapur. Tadi mereka membantuku mengisi bak mandi.“Sudah jodohnya Mbaku Wir. Ibu tidak mau jadi orang tua jahat yang tidak mau mengerti perasaan anaknya. Mungkin dulu Ibu tidak setuju, tapi setelah tahu semuanya begini dan nasihat-nasihat bapakmu membuat Ibu sadar bahwa selama ini Ibu salah,” jawab ibu.Aku jadi ingat dulu sewaktu meminta restu orang tua. Ibu dan Wira adalah orang-orang yang paling menentang hubunganku dengan Mas Danu. Kata mereka asal-usulnya tidak jelas maka dari itu apa pun yang aku alami tidak pernah sedikit pun mengeluh pada keluarga. Aku takut disuruh pergi meninggalkan Mas Danu oleh mereka. Syukur sekarang ini ibu sudah ikhlas dan merestui hubungan kami.“Aku tetap tida
Sepeninggal ibu mertuaku Wira marah-marah padaku dan terus saja mengomporiku untuk meninggalkan Mas Danu. Aku tahu adikku peduli dan sayang padaku, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan Mas Danu.“Wira, Pelankan suaramu. Enggak enak didengar tetangga!” tegur ibu.Wira marah dan seperti biasa dia akan pergi keluar entah ke mana. Adikku itu memang sangat care pada keluarga, tapi sifat temperamentalnya terkadang membuatku jengah.“Gelap banget Mbak, baru juga Maghrib lampu sudah dipadamkan,” gerutu Wira.“Pakai lilin kan, ada. Tadi Ibu sudah beli satu pack,” sahut ibu.“Hari gini masih pakai lilin, semiskin-miskinnya kita enggak pernah kita gelap-gelapan begini,” ujar Wira lagi, kali ini sambil melirikku dan juga Mas Danu.“Besok pasang listrik sendiri aja, Mbak. Susah bener hidup sekali juga.”“Insya Allah. Do’akan saja kami banyak rezeki ya, biar bisa pasang sendiri,” ucap Mas Danu.“Aamiin ....” Aku mengaminkan ucapan Mas Danu begitu pula bapak dan ibu.“Kerja selama ini ke mana
Setelah selesai aku segera pergi ke rumah Wak Tono, di sanalah tempat setor Jimpitannya. Wak Tono ini kakak tertuanya ibu mertuaku maka dari itu semua urusan yang menyangkut keluarga besar beliaulah yang diberi kepercayaan untuk mengembannya.Sampai di sana sudah rame, ada Mbak Asih dan suaminya. Mereka melihatku langsung membuang muka, padahal aku belum sempat menyapa mereka.Tibalah giliranku dipanggil. Aku sedikit gemetaran dan juga takut untuk menemui Wak Tono karena aku hari ini tidak setor dan memutuskan untuk tidak ikut jimpitan lagi.“Baiklah, Danu Pratomo bulan lalu nunggak jadi setorannya Rp.500.000 sudah sama bunganya,” ucap Wak Toni sambil menunjukkan buku catatan.“Ck, itulah yang bikin jimpitan kita enggak maju-maju nunggak-nunggak gitu bayarnya,” cicit Mbak Asih di belakangku diiyakan keluarga yang lain.“Em ... begini Wak, aku mewakili Mas Danu ingin mengambil uang jimpitan kami yang 35% dan juga untuk menyampaikan bahwa kami tidak melanjutkan lagi jimpitan keluarga. K
#Sebelumnya terima kasih banyak semuanya atas apresiasinya 🙏😘. Maaf kalau diksinya sederhana memang aku mengambil tema-tema harian yang memakai bahasa sederhana.Happy reading everyone ❤️ Bantu follow akunku, subs semua cerbungku ....🌸🌸🌸Di rumah masih ada stok beras dan juga sarden masih cukup untuk makan dua hari, tapi uang sudah semakin menipis tidak akan cukup apa lagi Mas Danu sakit.Kulihat di pematang sawah ada kangkung yang tumbuh subur, tapi tidak diambil oleh yang punya mungkin jika aku beli sedikit saja boleh, lumayan untuk lauk besok.“Permisi, Bulek. Apa boleh aku beli kangkung itu lima ribu rupiah saja?” tanyaku pada ibu-ibu yang sedang menyiangi rumput di antara sela-sela tanaman padinya.“Boleh, Nak. Ambil saja enggak usah beli. Itu banyak banget enggak ada yang mau sudah Bulek tawar-tawarin ke orang,” jawabnya ramah.“Benarkah? Alhamdulillah,” ucapku senang.“Iya, Nak. Ambil saja yang muda-muda itu kamu bawa pulang dijual juga boleh. Dulu Bulek rajin ngambil dan