Share

BAB 5. Harus operasi.

“Silakan duduk dulu, Mbak. Aku buatin minum,” kataku mempersilakan mereka untuk duduk barang sebentar.

“Enggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,” jawab suami Mbak Asih.

“Iya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,” sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.

Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.

Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur. 

Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak itulah Mas Danu mengabdi dan berbakti pada keluarga ini. 

Kupandangi undangan ini acara syukuran, tapi kenapa aku harus bawa amplop dan oleh-oleh? Apa Mbak Asih hanya menggertakku saja. Nanti akan aku tanyakan pada Mas Danu biar dia yang memutuskan.

Sembari menunggu Mas Danu pulang aku menanam batang singkong sekeliling rumah, kufungsikan untuk pagar dan lumayan daunnya bisa untuk aku masak nanti jika sudah tumbuh subur. Kutanami juga pohon kelor. Selain untuk sayuran daun kelor juga berfungsi sebagai apotek hidup.

Lelah berkutat di pekarangan rumah aku segera mandi sebentar lagi Zuhur semoga saja Mas Danu pun segera pulang.

“Eh, Ita, jadi ya, beneran pindah?” tanya Wak Ida, beliau ini teman sejawat ibu mertuaku.

“Alhamdulillah jadi, Bu. Mari mampir!" ajakku.

“Lain kali saja ya, Ta, aku ada perlu mau ke rumah mertuamu, barusan ditelpon katanya ada oleh-oleh dari si Asih makanya aku buru-buru ke sana,” jawab Wak Ida sambil mengibaskan tangannya yang dihiasi cantiknya cincin emas berderet di  jarinya.

“Besok Asih ngadain syukuran rumah baru, ya? Aku juga diundang loh, Ta. Kita berangkat bareng yuk!” ajak Bu Ida.

“Insya Allah ya, Bu.”

“Oh, iya, kamu sendiri kapan nih, ngadain syukurannya kan, udah pindahan?”

“Belum tahu, Bu. Kami menunggu ada rezeki lebih,” jawabku malas. Wak Ida ini benar-benar kepo.

“Gimana mau ada rezeki lebih, kalau kamu sendiri enggak mau sedekah. Ingat loh, Ta, sedekah itu memperlancar rezeki dan juga tentunya dipandang orang bukan sebagai orang yang pelit,” ujarnya lagi. Aku diam saja. Mungkin karena aku tidak menanggapi ucapannya lagi Wak Ida pergi begitu saja ke rumah ibu.

Ya Allah Gusti, berilah hamba kekuatan. Semoga mereka yang merendahkanku diberi pintu hidayah untuk bertaubat. 

Kulihat Wak Ida sudah balik lagi, cepat-cepat aku masuk rumah malas jika harus menanggapi ucapan beliau yang sudah seperti orang paling benar sendiri.

Bakda Asar  Mas Danu pulang. Wajahnya ditekuk sangat jelas gambaran kesedihan di sana.

“Ada apa Mas? Pulang berobat kok mukanya ditekuk gitu?” tanyaku penasaran.

“Ta, kata dokter Danu harus dioperasi. Kakinya yang patah itu harus dipasang pen biar bisa berjalan normal lagi,” jelas Mas Eko.

“Apa operasi?! Duit dari mana? Makan aja susah mau operasi segala! Aku tidak mau ya, Mas kalau disuruh iuran,” teriak Mbak Lili dari arah luar pasti dia dengar suara motor suaminya hingga menyusul ke sini.

“Jaga mulutmu Dik!” bentak Mas Eko.

“Pokoknya aku tidak sudi kalau suruh iuran, ingat itu. Ayo, cepetan pulang Mas, ada tamu yang mencarimu!”

“Aku permisi dulu ya, Dan. Besok kita cari second opinion mudah-mudahan ada jalan lain.”

Aku dan Mas Danu mengucapkan banyak terima kasih karena sudah dibantu. 

Tidak lagi kutanyakan kondisi Mas Danu, aku taku lelakiku ini sedang bersedih. Kuambilkan makan untuknya. Lahap sekali Mas Danu makan padahal hanya dengan lauk tadi pagi.

“Pelan-pelan Sayang, makannya nanti kesedak.”

“Mas, sangat lapar, Dik, tadi kami tidak membeli apa pun hanya minum saja yang  kami bawa. Sayang duitnya kalau untuk beli jajan. Sebenarnya Mas Eko tadi mau mentraktir, tapi Mas tolak, enggak enak dia sudah banyak membantu kita,” jawab suamiku. 

Tak bisa lagi kusembunyikan kesedihanku. Dalam keadaan sakit pun suamiku masih mau menahan lapar.

“Ssstt ... sudah jangan menangis Sayang, Mas enggak apa-apa. Sini Mas suapin kamu juga pasti tadi makan sedikit kan, karena nunggu Mas pulang?” Dengan linangan air mata kuterima suapan nasi dari suamiku.

“Beh, gayanya macam orang kaya suap-suapan segala, mana sini ongkos ojeknya. Enak aja seharian ngajak suamiku pergi, tapi enggak ngasih uang bensin.” Aku hampir saja tersedak. Mas Danu segera merogoh kantong celananya dan mengambil uang 50 ribu rupiah untuk diberikan pada Mbak Lili.

“Sedikit banget, mana lagi!” bentaknya.

“Enggak ada lagi, Mbak. Tinggal itu,” jawab suamiku sedih.

“Ya, sudah, tapi ingat jangan bilang sama Mas Eko, kalau sampai Mas Eko tahu kalian akan menanggung akibatnya.” Ancam Mbak Lili sebelum pergi meninggalkan gubuk kami.

“Astaghfirullah sabar,” ujar suamiku sambil mengusap-usap dadanya.

“Sudah, Mas, ikhlaskan saja. Ayo, diminum obatnya!”

Malamnya kami memutuskan untuk tidak ke dokter, kami lebih baik ke tukang urut sangkal putung saja, semoga bisa sembuh seperti sedia kala.

“Mas, beneran besok enggak mau ikut ke rumah Mbak Asih?” tanyaku memastikan.

“Kamu saja, Dik. Kalau Mas ikut nanti kita double bayar ojeknya, lumayan kan, uangnya bisa untuk nyumbang.” Benar juga yang dibilang Mas Danu meski naik ojek pulang pergi hanya 30 ribu rupiah, tapi tetap saja itu jumlah yang sangat besar bagi kami. Sebelumnya jika ada acara jauh kami selalu naik sepeda berboncengan.

🌸🌸🌸

Kupakai baju terbaikku baju pemberian Mas Danu sewaktu menikah dulu, memakai tas, dan juga sepatu senada begitu juga dengan Kia, dia terlihat sangat cantik dan menggemaskan.

Aku naik ojek pangkalan yang juga tetangga kami. Karena cuaca sangat panas Kia sedikit rewel untungnya perjalanan tidak terlalu memakan banyak waktu.

Sampai rumah Mbak Asih aku dibuat tercengang. Terpasang tenda apik beberapa unit dan banyak sekali tamu undangan. Dari pintu masuk sudah terlihat dekorasi mini yang begitu cantik seperti pelaminan padahal ini kan acara syukuran rumah baru.

Mereka semua memakai baju seragam bernuansa putih gold. Ternyata hanya aku yang tidak diberi seragam. Baguslah dengan begitu aku tidak perlu beramah tamah pada mereka karena aku menganggap hanya tamu undangan biasa.

“Hai, Ta. Bagus juga bajumu, pinjam di mana?” tanya Ibu, beliau melihatku dari ujung kaki sampai kepala tak berkedip.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status