“Enggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,” jawab suami Mbak Asih.
“Iya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,” sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.
Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.
Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur.
Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak itulah Mas Danu mengabdi dan berbakti pada keluarga ini.
Kupandangi undangan ini acara syukuran, tapi kenapa aku harus bawa amplop dan oleh-oleh? Apa Mbak Asih hanya menggertakku saja. Nanti akan aku tanyakan pada Mas Danu biar dia yang memutuskan.
Sembari menunggu Mas Danu pulang aku menanam batang singkong sekeliling rumah, kufungsikan untuk pagar dan lumayan daunnya bisa untuk aku masak nanti jika sudah tumbuh subur. Kutanami juga pohon kelor. Selain untuk sayuran daun kelor juga berfungsi sebagai apotek hidup.
Lelah berkutat di pekarangan rumah aku segera mandi sebentar lagi Zuhur semoga saja Mas Danu pun segera pulang.
“Eh, Ita, jadi ya, beneran pindah?” tanya Wak Ida, beliau ini teman sejawat ibu mertuaku.
“Alhamdulillah jadi, Bu. Mari mampir!" ajakku.
“Lain kali saja ya, Ta, aku ada perlu mau ke rumah mertuamu, barusan ditelpon katanya ada oleh-oleh dari si Asih makanya aku buru-buru ke sana,” jawab Wak Ida sambil mengibaskan tangannya yang dihiasi cantiknya cincin emas berderet di jarinya.
“Besok Asih ngadain syukuran rumah baru, ya? Aku juga diundang loh, Ta. Kita berangkat bareng yuk!” ajak Bu Ida.
“Insya Allah ya, Bu.”
“Oh, iya, kamu sendiri kapan nih, ngadain syukurannya kan, udah pindahan?”
“Belum tahu, Bu. Kami menunggu ada rezeki lebih,” jawabku malas. Wak Ida ini benar-benar kepo.
“Gimana mau ada rezeki lebih, kalau kamu sendiri enggak mau sedekah. Ingat loh, Ta, sedekah itu memperlancar rezeki dan juga tentunya dipandang orang bukan sebagai orang yang pelit,” ujarnya lagi. Aku diam saja. Mungkin karena aku tidak menanggapi ucapannya lagi Wak Ida pergi begitu saja ke rumah ibu.
Ya Allah Gusti, berilah hamba kekuatan. Semoga mereka yang merendahkanku diberi pintu hidayah untuk bertaubat.
Kulihat Wak Ida sudah balik lagi, cepat-cepat aku masuk rumah malas jika harus menanggapi ucapan beliau yang sudah seperti orang paling benar sendiri.
Bakda Asar Mas Danu pulang. Wajahnya ditekuk sangat jelas gambaran kesedihan di sana.
“Ada apa Mas? Pulang berobat kok mukanya ditekuk gitu?” tanyaku penasaran.
“Ta, kata dokter Danu harus dioperasi. Kakinya yang patah itu harus dipasang pen biar bisa berjalan normal lagi,” jelas Mas Eko.
“Apa operasi?! Duit dari mana? Makan aja susah mau operasi segala! Aku tidak mau ya, Mas kalau disuruh iuran,” teriak Mbak Lili dari arah luar pasti dia dengar suara motor suaminya hingga menyusul ke sini.
“Jaga mulutmu Dik!” bentak Mas Eko.
“Pokoknya aku tidak sudi kalau suruh iuran, ingat itu. Ayo, cepetan pulang Mas, ada tamu yang mencarimu!”
“Aku permisi dulu ya, Dan. Besok kita cari second opinion mudah-mudahan ada jalan lain.”
Aku dan Mas Danu mengucapkan banyak terima kasih karena sudah dibantu.Tidak lagi kutanyakan kondisi Mas Danu, aku taku lelakiku ini sedang bersedih. Kuambilkan makan untuknya. Lahap sekali Mas Danu makan padahal hanya dengan lauk tadi pagi.
“Pelan-pelan Sayang, makannya nanti kesedak.”
“Mas, sangat lapar, Dik, tadi kami tidak membeli apa pun hanya minum saja yang kami bawa. Sayang duitnya kalau untuk beli jajan. Sebenarnya Mas Eko tadi mau mentraktir, tapi Mas tolak, enggak enak dia sudah banyak membantu kita,” jawab suamiku.
Tak bisa lagi kusembunyikan kesedihanku. Dalam keadaan sakit pun suamiku masih mau menahan lapar.
“Ssstt ... sudah jangan menangis Sayang, Mas enggak apa-apa. Sini Mas suapin kamu juga pasti tadi makan sedikit kan, karena nunggu Mas pulang?” Dengan linangan air mata kuterima suapan nasi dari suamiku.
“Beh, gayanya macam orang kaya suap-suapan segala, mana sini ongkos ojeknya. Enak aja seharian ngajak suamiku pergi, tapi enggak ngasih uang bensin.” Aku hampir saja tersedak. Mas Danu segera merogoh kantong celananya dan mengambil uang 50 ribu rupiah untuk diberikan pada Mbak Lili.
“Sedikit banget, mana lagi!” bentaknya.
“Enggak ada lagi, Mbak. Tinggal itu,” jawab suamiku sedih.
“Ya, sudah, tapi ingat jangan bilang sama Mas Eko, kalau sampai Mas Eko tahu kalian akan menanggung akibatnya.” Ancam Mbak Lili sebelum pergi meninggalkan gubuk kami.
“Astaghfirullah sabar,” ujar suamiku sambil mengusap-usap dadanya.
“Sudah, Mas, ikhlaskan saja. Ayo, diminum obatnya!”
Malamnya kami memutuskan untuk tidak ke dokter, kami lebih baik ke tukang urut sangkal putung saja, semoga bisa sembuh seperti sedia kala.
“Mas, beneran besok enggak mau ikut ke rumah Mbak Asih?” tanyaku memastikan.
“Kamu saja, Dik. Kalau Mas ikut nanti kita double bayar ojeknya, lumayan kan, uangnya bisa untuk nyumbang.” Benar juga yang dibilang Mas Danu meski naik ojek pulang pergi hanya 30 ribu rupiah, tapi tetap saja itu jumlah yang sangat besar bagi kami. Sebelumnya jika ada acara jauh kami selalu naik sepeda berboncengan.
🌸🌸🌸
Kupakai baju terbaikku baju pemberian Mas Danu sewaktu menikah dulu, memakai tas, dan juga sepatu senada begitu juga dengan Kia, dia terlihat sangat cantik dan menggemaskan.
Aku naik ojek pangkalan yang juga tetangga kami. Karena cuaca sangat panas Kia sedikit rewel untungnya perjalanan tidak terlalu memakan banyak waktu.
Sampai rumah Mbak Asih aku dibuat tercengang. Terpasang tenda apik beberapa unit dan banyak sekali tamu undangan. Dari pintu masuk sudah terlihat dekorasi mini yang begitu cantik seperti pelaminan padahal ini kan acara syukuran rumah baru.
Mereka semua memakai baju seragam bernuansa putih gold. Ternyata hanya aku yang tidak diberi seragam. Baguslah dengan begitu aku tidak perlu beramah tamah pada mereka karena aku menganggap hanya tamu undangan biasa.
“Hai, Ta. Bagus juga bajumu, pinjam di mana?” tanya Ibu, beliau melihatku dari ujung kaki sampai kepala tak berkedip.
Assalamualaikum selamat pagi semuanya cerbung baruku ini ikutin terus, ya? Follow juga akunku. Terima kasih 💕🌸🌸🌸Belum juga aku menjawab Mbak Lili sudah menarik tangan ibu. Aku dipersilakan oleh panitia untuk langsung ke prasmanan. Meski terdengar bisik-bisik karena aku tidak memakai seragam sendiri, tapi aku tetap percaya diri saja tidak mengapa tidak dianggap keluarga.“Kamu makin cantik aja, Ta,” ucap Bibi Warni, adik ibu.“Alhamdulillah, terima kasih, Bi,” jawabku.“Maaf ya, Bibi belum jenguk suamimu. Tahu sendiri Bibi lagi sibuk banyak kegiatan maklum pejabat,” katanya lagi sambil mengibaskan jilbabnya. Aku mengiyakan saja. Entah mungkin sudah keturunan dari nenek moyangnya ibu, ini keluarga kerjaannya tukang pamer.“Kamu nyumbang berapa, Ta?” Seketika tenggorokanku tercekat susah menelan makanan.“Kenapa kamu tanya begitu, Li? Sudah tahulah jawabannya,” sindir Bibi. Kemudian mereka terkekeh.Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak sesak dada ini. Kembali kunik
“Aneh, orang tua kok begitu, seumur-umur aku baru tahu orang tua aneh ya, sekarang ini,” timpal Joko.“Heh, ambil itu bingkisan dari Asih. Bukannya diambil malah dibiarkan saja,” titah ibu.“Iya, Bu, terima kasih “ Kuambil bingkisan itu lalu kubawa masuk.“Dik, kami langsung berangkat ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualaikum.” Pamit suamiku. Aku raih tangannya penuh takzim kudoakan keselamatan dan kesembuhan untuknya.Uang yang kumiliki sangat aku irit-irit makan seadanya jadilah yang penting tidak kelaparan. Sayur mayur di kebun ini sebenarnya cukup, tapi semua diakui milik ibu. Jadi mau tidak mau aku menanam sendiri di sekitar gubukku ini.Kubuka bingkisan dari ibu tadi. Hatiku mencelos ini memberi makan untuk hewan apa manusia kenapa isinya begini? Nasi yang tercampur urapan dan kering tempe sudah agak basi. Dari pada aku sakit lebih baik aku berikan saja pada ayam tetangga.Aku akan merebus daun singkong dan sambal orek saja untuk lauk malam ini.“Ita ... sudah kaya kau rupan
“Kamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?” tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.“Em ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,” jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.“Oo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,” ucap ibu lagi.“Enggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,” tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta
🌸🌸🌸🌸Mas Danu sedang dilatih berjalan oleh bapak di halaman depan, tadi bapak sudah membuatkan tongkat untuk Mas Danu. Aku sedang memakaikan baju Kia, sore ini aku merasa sangat bahagia.“Ibu ini kenapa sekarang setuju hubungan Mbak Ita sama Mas Danu?” ucap Wira. Ibu dan Wira memang masih di dapur. Tadi mereka membantuku mengisi bak mandi.“Sudah jodohnya Mbaku Wir. Ibu tidak mau jadi orang tua jahat yang tidak mau mengerti perasaan anaknya. Mungkin dulu Ibu tidak setuju, tapi setelah tahu semuanya begini dan nasihat-nasihat bapakmu membuat Ibu sadar bahwa selama ini Ibu salah,” jawab ibu.Aku jadi ingat dulu sewaktu meminta restu orang tua. Ibu dan Wira adalah orang-orang yang paling menentang hubunganku dengan Mas Danu. Kata mereka asal-usulnya tidak jelas maka dari itu apa pun yang aku alami tidak pernah sedikit pun mengeluh pada keluarga. Aku takut disuruh pergi meninggalkan Mas Danu oleh mereka. Syukur sekarang ini ibu sudah ikhlas dan merestui hubungan kami.“Aku tetap tida
Sepeninggal ibu mertuaku Wira marah-marah padaku dan terus saja mengomporiku untuk meninggalkan Mas Danu. Aku tahu adikku peduli dan sayang padaku, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan Mas Danu.“Wira, Pelankan suaramu. Enggak enak didengar tetangga!” tegur ibu.Wira marah dan seperti biasa dia akan pergi keluar entah ke mana. Adikku itu memang sangat care pada keluarga, tapi sifat temperamentalnya terkadang membuatku jengah.“Gelap banget Mbak, baru juga Maghrib lampu sudah dipadamkan,” gerutu Wira.“Pakai lilin kan, ada. Tadi Ibu sudah beli satu pack,” sahut ibu.“Hari gini masih pakai lilin, semiskin-miskinnya kita enggak pernah kita gelap-gelapan begini,” ujar Wira lagi, kali ini sambil melirikku dan juga Mas Danu.“Besok pasang listrik sendiri aja, Mbak. Susah bener hidup sekali juga.”“Insya Allah. Do’akan saja kami banyak rezeki ya, biar bisa pasang sendiri,” ucap Mas Danu.“Aamiin ....” Aku mengaminkan ucapan Mas Danu begitu pula bapak dan ibu.“Kerja selama ini ke mana
Setelah selesai aku segera pergi ke rumah Wak Tono, di sanalah tempat setor Jimpitannya. Wak Tono ini kakak tertuanya ibu mertuaku maka dari itu semua urusan yang menyangkut keluarga besar beliaulah yang diberi kepercayaan untuk mengembannya.Sampai di sana sudah rame, ada Mbak Asih dan suaminya. Mereka melihatku langsung membuang muka, padahal aku belum sempat menyapa mereka.Tibalah giliranku dipanggil. Aku sedikit gemetaran dan juga takut untuk menemui Wak Tono karena aku hari ini tidak setor dan memutuskan untuk tidak ikut jimpitan lagi.“Baiklah, Danu Pratomo bulan lalu nunggak jadi setorannya Rp.500.000 sudah sama bunganya,” ucap Wak Toni sambil menunjukkan buku catatan.“Ck, itulah yang bikin jimpitan kita enggak maju-maju nunggak-nunggak gitu bayarnya,” cicit Mbak Asih di belakangku diiyakan keluarga yang lain.“Em ... begini Wak, aku mewakili Mas Danu ingin mengambil uang jimpitan kami yang 35% dan juga untuk menyampaikan bahwa kami tidak melanjutkan lagi jimpitan keluarga. K
#Sebelumnya terima kasih banyak semuanya atas apresiasinya 🙏😘. Maaf kalau diksinya sederhana memang aku mengambil tema-tema harian yang memakai bahasa sederhana.Happy reading everyone ❤️ Bantu follow akunku, subs semua cerbungku ....🌸🌸🌸Di rumah masih ada stok beras dan juga sarden masih cukup untuk makan dua hari, tapi uang sudah semakin menipis tidak akan cukup apa lagi Mas Danu sakit.Kulihat di pematang sawah ada kangkung yang tumbuh subur, tapi tidak diambil oleh yang punya mungkin jika aku beli sedikit saja boleh, lumayan untuk lauk besok.“Permisi, Bulek. Apa boleh aku beli kangkung itu lima ribu rupiah saja?” tanyaku pada ibu-ibu yang sedang menyiangi rumput di antara sela-sela tanaman padinya.“Boleh, Nak. Ambil saja enggak usah beli. Itu banyak banget enggak ada yang mau sudah Bulek tawar-tawarin ke orang,” jawabnya ramah.“Benarkah? Alhamdulillah,” ucapku senang.“Iya, Nak. Ambil saja yang muda-muda itu kamu bawa pulang dijual juga boleh. Dulu Bulek rajin ngambil dan
“Boleh, tentu saja boleh. Besok tiga hari lagi ke sini pasti itu sudah tunas lagi.”“Alhamdulillah, Bulek terima kasih banyak, ya,” ucapku penuh haru. Beliau hanya mengangguk saja dan mengelus-elus bahuku.Di pertigaan jalan perbatasan jalan kami berpisah. Bulek Minah masih metapku hingga aku belok ke arah jalan rumahku. Alhamdulillah meski aku sangat lelah, tapi aku senang semoga saja habis dan berkah jadi cukup untuk kebutuhan kami.“Kamu bawa apa, Dik?” tanya Mas Danu heran rupanya dia sudah pulang.“Kangkung, Mas. Besok aku mau jualan kangkung. Ini tadi aku dapat ngambil dari sawah Bulek Minah, orangnya baik sekali,” jawabku sumringah.Mas Danu tidak menanggapi celotehanku, dia langsung masuk ke dalam. Aku yang bingung langsung memasukkan sepeda dari pintu belakang. Lalu memasak air hangat untuk mandi Kia.“Mas ... apa kamu marah padaku?” Kuhampiri suamiku. Mas Danu hanya menggeleng.“Mas, bukan marah, tapi merasa sangat malu. Kamu berjuang sendiri sampai nekat mau jual kangkung m