Share

BAB 3. Anak angkat.

Brak!

Aku terkejut saat pintu reot kamarku didobrak oleh Mbak Lili, pasalnya aku sedang menyusui Kia.

Seperti orang kesetanan Mbak Lili menyerangku. Kubalikkan badan untuk melindungi Kia agar tidak terkena pukulan Mbak Lili. Jika tidak ada Kia sudah kupastikan akan terjadi duel antara aku dan Mbak Lili.

“Mampus kamu Ita! Mati aja kamu! Hah! Kurang ajar ya, kamu! Gara-gara kamu mertuaku jadi lebih membelamu!”

Bugh!

Bugh!

Kunikmati pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuhku Terpenting Kia tidak jadi sasarannya.

“Bagus, pukulin aja terus biar kapok! Dasar menantu tidak tahu diri, sudah bagus dikasih tumpangan tempat tinggal masih saja belagak nyoya! Pukul terus Li, bila perlu pakai pukulan kasur itu!” seru ibu mertuaku.

“Stop!” Suara bariton Mas Danu menggema.

 Benarkah itu suamiku?

Mbak Lili yang tahu suamiku pulang sangat terkejut dan salah tingkah. Kulihat wajah Mas Danu merah menahan amarah. Dia langsung memelukku. Tangisku pecah.

“Maafkan, aku ... maaf, Dik,” ucap Mas Danu, suaranya parau dia ikut menangis.

“Kalian benar-benar tidak punya hati! Aku menyesal telah percaya pada kalian!” Mas Danu menunjuk wajah Mbak Lili. Dia ketakutan dan beringsut ke belakang ibu.

“Kamu pulang, Nak? Kenapa tidak bilang dulu pada Ibu,” ucap ibu mertuaku ke dua tangannya membingkai wajah Mas Danu.

“Cukup, Bu! Tidak usah lagi bersandiwara. Aku sudah tahu semuanya!” teriak Mas Danu. Ibu terperanjat kaget dan mundur selangkah.

“Inikah perlakuanmu pada Ibu demi membela wanita ini!” Ibu pun ikut berteriak.

“Buka mata kamu Danu! Wanita yang kamu lindungi ini tidak pantas jadi istrimu, kamu harus tahu kenapa aku memukulinya, dia menggoda suamiku Danu,” sahut Mbak Lili memasang wajah sedih.

Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali tuduhan Mbak Lili benar-benar tidak masuk akal.

Plak!

Plak!

Mas Danu memukul wajah Mbak Lili dua kali. Mbak Lili terperanjat kaget dan ketakutan.

“Aku tidak lagi percaya padamu Mbak! Jadi tidak usah buat fitnah yang macam-macam!” teriak Mas Danu.

“Lili! Busuk sekali mulutmu itu! Kamu menuduhku selingkuh dengan Ita? Benar-benar keterlaluan selama ini aku diam saja dengan segala perlakuan burukmu, tapi kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Malu aku sebagai suamimu.” Entah kenapa tiba-tiba Mas Eko pun ada di sini pasalnya tadi pagi dia sudah berangkat kerja.

Dia pergi tanpa mau mendengarkan pembelaan dari Mbak Lili.

Mbak Lili tidak terima dimarahi dia merajuk dan keluar kamarku.

“Bu, hari ini juga aku akan membawa anak istriku untuk pergi dari sini, oh, iya uang yang kemarin aku transfer sekalian mau aku pinta,” kata Mas Danu sebelum ibu ikutan pergi dari kamar ini.

“Dasar anak durhaka!” Kemudian ibu berlalu sambil menangis.

“Mas ....”

“Ssstt ... tenang semua akan baik-baik saja, kamu tunggu di sini ya, Mas mau menemui Ibu.” Aku mengiyakan saja. Itu urusan Mas Danu dengan ibunya aku tidak bisa ikut campur terlalu dalam.

Kubaringkan Kia, di kasur lalu Kuberanjak menyusul Mas Danu. Dari kamar tengah terdengar pertengkaran Mbak Lili dengan suaminya, lalu dari kamar ibu terdengar isak tangis ibu yang menurutku terlalu dibuat-buat.

“Sudahlah, Bu. Jangan seperti anak kecil begini, aku tahu Ibu tidak suka dengan Ita istriku, tapi itu tidak boleh menjadi alasan sampai Ibu melakukan kekerasan begitu. Sakit hatiku, Bu melihat orang yang aku sayangi diperlakukan begitu. Kalau orang tua Ita tidak terima dan melaporkan kasus ini ke polisi maka Ibu dan Mbak Lili bisa masuk jeruji besi."

“Tapi, istrimu itu memang malasan, Danu. Bangun siang, enggak pernah bantu-bantu Ibu." Aku yang mendengar penuturan ibu rasanya ingin sekali menyangkal, tapi aku urungkan aku mau lihat apakah suamiku masih membelaku atau tidak.

“Cuku, Bu! Ibu sudah tua tidak pantas memfitnah menantu Ibu sendiri seperti itu, aku kenal dan tahu betul siapa istriku. Oh, iya uangnya yang aku kirim mana, Bu, mau pakai untuk ngontrak,” sahut suamiku. Alhamdulillah dia membelaku dan yang membuatku senang adalah aku bakalan pindah dari rumah ini.

“Uangnya sudah Ibu pakai untuk beli emas, Ibu pingin pakai perhiasan seperti teman-teman arisan Ibu,” jawab ibu enteng.

“Baiklah, sisanya mana, Bu?” tanya suamiku lagi.

“Habis, Danu! Kenapa sih, kamu perhitungan sekali sama Ibu, apa kamu lupa siapa yang membiayai dan merawat kamu dari kecil?” Rasanya hatiku berdenyut sakit, setiap Mas Danu meminta haknya pasti itu lagi yang diungkit. Aku tahu Mas Danu hanya anak angkat di sini, tapi tidak cukupkah baktinya selama ini. Mereka benar-benar keterlaluan!

“Mas .... sudah selesai?” Kuketuk pintu kamar ibu perlahan.

“Sudah, Dik. Ayo!” Mas Danu mengajakku ke kamar lagi.

“Maafkan, Mas. Belum bisa bahagiain kamu, Sayang,” ucapnya sedih.

“Tidak mengapa, Mas. Asalkan kita tetap sama-sama aku bisa dan kuat melalui cobaan kita. Kita jadi pindah kan, Mas?” tanyaku hati-hati.

“Jadi, tapi tidak sekarang ya, Sayang. Bulan depan selepas gajian Mas langsung pulang kita pindah,” terangnya.

“Sekarang saja enggak apa-apa Mas, kita jual cincin nikah dulu,” usulku.

“Kalau mau pindah enggak usah jauh-jauh, kalian bisa tinggal di rumah sebelah itu kan, rumah orang tua Danu,” seloroh ibu tiba-tiba dia masuk kemari tanpa permisi.

“Tapi, Bu, aku ingin ikut Mas Danu, bukan di sini,” tolakku.

“Danu di sana kerjanya susah, Cuma kuli bangunan kalau kamu ikut mau tinggal di mana, enak di sini enggak ngontrak,” ucap ibu sewot.

“Nanti kami pikirkan lagi, Bu. Danu mau istirahat.” Mas Danu merebahkan tubuhnya lalu menghadap ke arah Kia memeluk bayi mungilnya. Ibu berdecak kesal lalu pergi.

“Mas, pasti lapar, kan? Aku buatkan teh ini, sama makan seadanya, ya? Tadi pagi kami masak banyak, tapi entah kenapa siang begini sudah habis,” ucapku heran.

“Ini saja tidak apa-apa, Dik, yang penting ada nasinya. Kamu juga pasti belum makan siang, yuk, makan.” Kami makan berdua dengan mie instan yang kuseduh pakai air panas. Nikmat karena aku pun sangat lapar.

Setelah makan kami beranjak pergi ke pasar, menjual cincin nikah kami 5 gram. Lumayan uangnya bisa aku pakai untuk biaya hidup. Kami memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua Mas Danu yang sudah lama terbengkalai.

 Setelah urusan jual emas selesai kami pergi ke rumah sebelah rumah ibu. Ternyata sudah banyak yang rusak. Rumah ini dulunya dipakai untuk lumbung padi, lalu gudang oleh ibu.

Mas Danu siang ini juga memperbaiki rumah ini, membeli asbes baru dan pintu jadi di panglong kayu.

Mas Danu bilang bulan ini pekerjaannya selesai jadi kalau aku ikut ke kota juga percuma buang-buang uang saja, akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di sini, seadanya.

Menjelang Maghrib semuanya beres. Sudah ada aliran listrik numpang pada ibu.

“Bu, aku mau bawa peralatan masakku.”

“Enggak bisa, kalau kamu bawa kami mau masak pakai apa!” tolak ibu.

“Itu bukan urusanku Bu, ini hakku, barang milikku,” kataku tegas. Aku tidak peduli ibu merepet yang penting aku ambil alat masakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status