Brak!
Aku terkejut saat pintu reot kamarku didobrak oleh Mbak Lili, pasalnya aku sedang menyusui Kia.
Seperti orang kesetanan Mbak Lili menyerangku. Kubalikkan badan untuk melindungi Kia agar tidak terkena pukulan Mbak Lili. Jika tidak ada Kia sudah kupastikan akan terjadi duel antara aku dan Mbak Lili.
“Mampus kamu Ita! Mati aja kamu! Hah! Kurang ajar ya, kamu! Gara-gara kamu mertuaku jadi lebih membelamu!”
Bugh!
Bugh!
Kunikmati pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuhku Terpenting Kia tidak jadi sasarannya.
“Bagus, pukulin aja terus biar kapok! Dasar menantu tidak tahu diri, sudah bagus dikasih tumpangan tempat tinggal masih saja belagak nyoya! Pukul terus Li, bila perlu pakai pukulan kasur itu!” seru ibu mertuaku.
“Stop!” Suara bariton Mas Danu menggema.
Benarkah itu suamiku?
Mbak Lili yang tahu suamiku pulang sangat terkejut dan salah tingkah. Kulihat wajah Mas Danu merah menahan amarah. Dia langsung memelukku. Tangisku pecah.
“Maafkan, aku ... maaf, Dik,” ucap Mas Danu, suaranya parau dia ikut menangis.
“Kalian benar-benar tidak punya hati! Aku menyesal telah percaya pada kalian!” Mas Danu menunjuk wajah Mbak Lili. Dia ketakutan dan beringsut ke belakang ibu.
“Kamu pulang, Nak? Kenapa tidak bilang dulu pada Ibu,” ucap ibu mertuaku ke dua tangannya membingkai wajah Mas Danu.
“Cukup, Bu! Tidak usah lagi bersandiwara. Aku sudah tahu semuanya!” teriak Mas Danu. Ibu terperanjat kaget dan mundur selangkah.
“Inikah perlakuanmu pada Ibu demi membela wanita ini!” Ibu pun ikut berteriak.
“Buka mata kamu Danu! Wanita yang kamu lindungi ini tidak pantas jadi istrimu, kamu harus tahu kenapa aku memukulinya, dia menggoda suamiku Danu,” sahut Mbak Lili memasang wajah sedih.
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali tuduhan Mbak Lili benar-benar tidak masuk akal.
Plak!
Plak!
Mas Danu memukul wajah Mbak Lili dua kali. Mbak Lili terperanjat kaget dan ketakutan.
“Aku tidak lagi percaya padamu Mbak! Jadi tidak usah buat fitnah yang macam-macam!” teriak Mas Danu.
“Lili! Busuk sekali mulutmu itu! Kamu menuduhku selingkuh dengan Ita? Benar-benar keterlaluan selama ini aku diam saja dengan segala perlakuan burukmu, tapi kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Malu aku sebagai suamimu.” Entah kenapa tiba-tiba Mas Eko pun ada di sini pasalnya tadi pagi dia sudah berangkat kerja.
Dia pergi tanpa mau mendengarkan pembelaan dari Mbak Lili.
Mbak Lili tidak terima dimarahi dia merajuk dan keluar kamarku.
“Bu, hari ini juga aku akan membawa anak istriku untuk pergi dari sini, oh, iya uang yang kemarin aku transfer sekalian mau aku pinta,” kata Mas Danu sebelum ibu ikutan pergi dari kamar ini.
“Dasar anak durhaka!” Kemudian ibu berlalu sambil menangis.
“Mas ....”
“Ssstt ... tenang semua akan baik-baik saja, kamu tunggu di sini ya, Mas mau menemui Ibu.” Aku mengiyakan saja. Itu urusan Mas Danu dengan ibunya aku tidak bisa ikut campur terlalu dalam.
Kubaringkan Kia, di kasur lalu Kuberanjak menyusul Mas Danu. Dari kamar tengah terdengar pertengkaran Mbak Lili dengan suaminya, lalu dari kamar ibu terdengar isak tangis ibu yang menurutku terlalu dibuat-buat.
“Sudahlah, Bu. Jangan seperti anak kecil begini, aku tahu Ibu tidak suka dengan Ita istriku, tapi itu tidak boleh menjadi alasan sampai Ibu melakukan kekerasan begitu. Sakit hatiku, Bu melihat orang yang aku sayangi diperlakukan begitu. Kalau orang tua Ita tidak terima dan melaporkan kasus ini ke polisi maka Ibu dan Mbak Lili bisa masuk jeruji besi."
“Tapi, istrimu itu memang malasan, Danu. Bangun siang, enggak pernah bantu-bantu Ibu." Aku yang mendengar penuturan ibu rasanya ingin sekali menyangkal, tapi aku urungkan aku mau lihat apakah suamiku masih membelaku atau tidak.
“Cuku, Bu! Ibu sudah tua tidak pantas memfitnah menantu Ibu sendiri seperti itu, aku kenal dan tahu betul siapa istriku. Oh, iya uangnya yang aku kirim mana, Bu, mau pakai untuk ngontrak,” sahut suamiku. Alhamdulillah dia membelaku dan yang membuatku senang adalah aku bakalan pindah dari rumah ini.
“Uangnya sudah Ibu pakai untuk beli emas, Ibu pingin pakai perhiasan seperti teman-teman arisan Ibu,” jawab ibu enteng.
“Baiklah, sisanya mana, Bu?” tanya suamiku lagi.
“Habis, Danu! Kenapa sih, kamu perhitungan sekali sama Ibu, apa kamu lupa siapa yang membiayai dan merawat kamu dari kecil?” Rasanya hatiku berdenyut sakit, setiap Mas Danu meminta haknya pasti itu lagi yang diungkit. Aku tahu Mas Danu hanya anak angkat di sini, tapi tidak cukupkah baktinya selama ini. Mereka benar-benar keterlaluan!
“Mas .... sudah selesai?” Kuketuk pintu kamar ibu perlahan.
“Sudah, Dik. Ayo!” Mas Danu mengajakku ke kamar lagi.
“Maafkan, Mas. Belum bisa bahagiain kamu, Sayang,” ucapnya sedih.
“Tidak mengapa, Mas. Asalkan kita tetap sama-sama aku bisa dan kuat melalui cobaan kita. Kita jadi pindah kan, Mas?” tanyaku hati-hati.
“Jadi, tapi tidak sekarang ya, Sayang. Bulan depan selepas gajian Mas langsung pulang kita pindah,” terangnya.
“Sekarang saja enggak apa-apa Mas, kita jual cincin nikah dulu,” usulku.
“Kalau mau pindah enggak usah jauh-jauh, kalian bisa tinggal di rumah sebelah itu kan, rumah orang tua Danu,” seloroh ibu tiba-tiba dia masuk kemari tanpa permisi.
“Tapi, Bu, aku ingin ikut Mas Danu, bukan di sini,” tolakku.
“Danu di sana kerjanya susah, Cuma kuli bangunan kalau kamu ikut mau tinggal di mana, enak di sini enggak ngontrak,” ucap ibu sewot.
“Nanti kami pikirkan lagi, Bu. Danu mau istirahat.” Mas Danu merebahkan tubuhnya lalu menghadap ke arah Kia memeluk bayi mungilnya. Ibu berdecak kesal lalu pergi.
“Mas, pasti lapar, kan? Aku buatkan teh ini, sama makan seadanya, ya? Tadi pagi kami masak banyak, tapi entah kenapa siang begini sudah habis,” ucapku heran.
“Ini saja tidak apa-apa, Dik, yang penting ada nasinya. Kamu juga pasti belum makan siang, yuk, makan.” Kami makan berdua dengan mie instan yang kuseduh pakai air panas. Nikmat karena aku pun sangat lapar.
Setelah makan kami beranjak pergi ke pasar, menjual cincin nikah kami 5 gram. Lumayan uangnya bisa aku pakai untuk biaya hidup. Kami memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua Mas Danu yang sudah lama terbengkalai.
Setelah urusan jual emas selesai kami pergi ke rumah sebelah rumah ibu. Ternyata sudah banyak yang rusak. Rumah ini dulunya dipakai untuk lumbung padi, lalu gudang oleh ibu.
Mas Danu siang ini juga memperbaiki rumah ini, membeli asbes baru dan pintu jadi di panglong kayu.
Mas Danu bilang bulan ini pekerjaannya selesai jadi kalau aku ikut ke kota juga percuma buang-buang uang saja, akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di sini, seadanya.
Menjelang Maghrib semuanya beres. Sudah ada aliran listrik numpang pada ibu.
“Bu, aku mau bawa peralatan masakku.”
“Enggak bisa, kalau kamu bawa kami mau masak pakai apa!” tolak ibu.
“Itu bukan urusanku Bu, ini hakku, barang milikku,” kataku tegas. Aku tidak peduli ibu merepet yang penting aku ambil alat masakku.
Mbak Lili seperti kerasukan jin, dia menarik-narik bajuku dengan brutal karena tak terima kompor, magicom, dan wajan anti lengket kuambil paksa.Terjadi adegan tarik menarik antara aku dan Mbak Lili. Aku tidak tahu Mas Danu di mana tadi pamit sebentar ke rumah temannya Joko, sampai mau Maghrib belum pulang juga.“Manusia tidak tahu diri, tidak bisa balas budi, barang jelek saja kamu ambil lagi, menjilat ludah sendiri kamu kan sudah memberikannya untuk Ibu!” teriak Mbak Lili.“Aku tidak pernah memberikan barang jelek ini untuk kalian, toh selama ini kalian sudah puas memakainya. Aku kalian paksa masak pakai tungku padahal ini milikku sendiri. Kalian kan, orang kaya masa beli begini saja tidak mampu,” jawabku kesal.“Sudah berani jawab ya, kamu! Mentang-mentang mau pindah!” Ibu menarik rambutku ke belakang, sakit sekali, tapi aku tahan, aku tidak mau kualat dan nambahin masalah dengan melawannya.Aku kualahan karena harus menghadapi Mbak Lili dan ibu sendirian. Beruntung Mas Eko suami
“Silakan duduk dulu, Mbak. Aku buatin minum,” kataku mempersilakan mereka untuk duduk barang sebentar.“Enggak sudilah aku duduk di tikar lusuh begini, bisa-bisa tulang ekorku pegal-pegal,” jawab suami Mbak Asih.“Iya, enggak perlu juga beramah tamah sama orang miskin enggak bakalan bisa balas juga,” sahut Mbak Lili. Kemudian mereka pergi dari gubukku ini tanpa permisi.Sakit hati sudah pasti, tapi apalah dayaku tidak bisa membalas perlakuan mereka. Mbak Lili dan Mbak Asih apa lupa mereka bisa jadi orang terpandang seperti sekarang ini karena jerih payah Mas Danu, yang dengan ikhlas siang malam membanting tulang demi biaya keluarganya meskipun mereka hanya keluarga angkat.Suamiku Mas Danu ditinggal pergi ibunya sewaktu berumur 5 tahun. Orang-orang bilang bapaknya Mas Danu suka main fisik hingga Istrinya tidak betah dan akhirnya kabur. Bapak Mas Danu sendiri ikutan pergi meninggalkan Mas Danu pada ibunya Mbak Lili padahal mereka tidak ada hubungan apa pun hanya tetangga saja. Sejak i
Assalamualaikum selamat pagi semuanya cerbung baruku ini ikutin terus, ya? Follow juga akunku. Terima kasih 💕🌸🌸🌸Belum juga aku menjawab Mbak Lili sudah menarik tangan ibu. Aku dipersilakan oleh panitia untuk langsung ke prasmanan. Meski terdengar bisik-bisik karena aku tidak memakai seragam sendiri, tapi aku tetap percaya diri saja tidak mengapa tidak dianggap keluarga.“Kamu makin cantik aja, Ta,” ucap Bibi Warni, adik ibu.“Alhamdulillah, terima kasih, Bi,” jawabku.“Maaf ya, Bibi belum jenguk suamimu. Tahu sendiri Bibi lagi sibuk banyak kegiatan maklum pejabat,” katanya lagi sambil mengibaskan jilbabnya. Aku mengiyakan saja. Entah mungkin sudah keturunan dari nenek moyangnya ibu, ini keluarga kerjaannya tukang pamer.“Kamu nyumbang berapa, Ta?” Seketika tenggorokanku tercekat susah menelan makanan.“Kenapa kamu tanya begitu, Li? Sudah tahulah jawabannya,” sindir Bibi. Kemudian mereka terkekeh.Kucoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak sesak dada ini. Kembali kunik
“Aneh, orang tua kok begitu, seumur-umur aku baru tahu orang tua aneh ya, sekarang ini,” timpal Joko.“Heh, ambil itu bingkisan dari Asih. Bukannya diambil malah dibiarkan saja,” titah ibu.“Iya, Bu, terima kasih “ Kuambil bingkisan itu lalu kubawa masuk.“Dik, kami langsung berangkat ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualaikum.” Pamit suamiku. Aku raih tangannya penuh takzim kudoakan keselamatan dan kesembuhan untuknya.Uang yang kumiliki sangat aku irit-irit makan seadanya jadilah yang penting tidak kelaparan. Sayur mayur di kebun ini sebenarnya cukup, tapi semua diakui milik ibu. Jadi mau tidak mau aku menanam sendiri di sekitar gubukku ini.Kubuka bingkisan dari ibu tadi. Hatiku mencelos ini memberi makan untuk hewan apa manusia kenapa isinya begini? Nasi yang tercampur urapan dan kering tempe sudah agak basi. Dari pada aku sakit lebih baik aku berikan saja pada ayam tetangga.Aku akan merebus daun singkong dan sambal orek saja untuk lauk malam ini.“Ita ... sudah kaya kau rupan
“Kamu kenapa, Nak? Kok diam begitu?” tanya ibu aku sedang bingung karena tidak ada beras sebutir pun untuk dimasak siang ini.Tadi pagi aku dan Mas Danu sarapan pakai nasi sisa kemarin. Sebenarnya masih ada uang sedikit tapi itu untuk jaga-jaga Mas Danu berobat.“Em ... anu aku lagi enggak enak badan Bu, seperti masuk angin,” jawabku berbohong.Ibu mengernyitkan dahinya melihatku aneh.“Oo ... ya sudah kamu istirahat saja sana biar Ibu yang masak,” ucap ibu lagi.“Enggak apa-apa, Bu ini hanya masuk angin biasa nanti juga sembuh kalau dibawa gerak, sudah Ibu di depan saja sama Kia,” tolakku halus. Meski ibu tidak mau aku tetap memaksanya. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Kasihan sudah tua. Nanti aku akan minjam beras dulu di warung semoga saja dikasih.Gegas aku ke warung Wak Haji, di sana kata orang-orang lebih lengkap dan Wak Haji orangnya baik. Aku menunggu deretan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Rasanya malu sekali karena ini pertama kalinya aku mau berhutang. Setelah aku menguta
🌸🌸🌸🌸Mas Danu sedang dilatih berjalan oleh bapak di halaman depan, tadi bapak sudah membuatkan tongkat untuk Mas Danu. Aku sedang memakaikan baju Kia, sore ini aku merasa sangat bahagia.“Ibu ini kenapa sekarang setuju hubungan Mbak Ita sama Mas Danu?” ucap Wira. Ibu dan Wira memang masih di dapur. Tadi mereka membantuku mengisi bak mandi.“Sudah jodohnya Mbaku Wir. Ibu tidak mau jadi orang tua jahat yang tidak mau mengerti perasaan anaknya. Mungkin dulu Ibu tidak setuju, tapi setelah tahu semuanya begini dan nasihat-nasihat bapakmu membuat Ibu sadar bahwa selama ini Ibu salah,” jawab ibu.Aku jadi ingat dulu sewaktu meminta restu orang tua. Ibu dan Wira adalah orang-orang yang paling menentang hubunganku dengan Mas Danu. Kata mereka asal-usulnya tidak jelas maka dari itu apa pun yang aku alami tidak pernah sedikit pun mengeluh pada keluarga. Aku takut disuruh pergi meninggalkan Mas Danu oleh mereka. Syukur sekarang ini ibu sudah ikhlas dan merestui hubungan kami.“Aku tetap tida
Sepeninggal ibu mertuaku Wira marah-marah padaku dan terus saja mengomporiku untuk meninggalkan Mas Danu. Aku tahu adikku peduli dan sayang padaku, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan Mas Danu.“Wira, Pelankan suaramu. Enggak enak didengar tetangga!” tegur ibu.Wira marah dan seperti biasa dia akan pergi keluar entah ke mana. Adikku itu memang sangat care pada keluarga, tapi sifat temperamentalnya terkadang membuatku jengah.“Gelap banget Mbak, baru juga Maghrib lampu sudah dipadamkan,” gerutu Wira.“Pakai lilin kan, ada. Tadi Ibu sudah beli satu pack,” sahut ibu.“Hari gini masih pakai lilin, semiskin-miskinnya kita enggak pernah kita gelap-gelapan begini,” ujar Wira lagi, kali ini sambil melirikku dan juga Mas Danu.“Besok pasang listrik sendiri aja, Mbak. Susah bener hidup sekali juga.”“Insya Allah. Do’akan saja kami banyak rezeki ya, biar bisa pasang sendiri,” ucap Mas Danu.“Aamiin ....” Aku mengaminkan ucapan Mas Danu begitu pula bapak dan ibu.“Kerja selama ini ke mana
Setelah selesai aku segera pergi ke rumah Wak Tono, di sanalah tempat setor Jimpitannya. Wak Tono ini kakak tertuanya ibu mertuaku maka dari itu semua urusan yang menyangkut keluarga besar beliaulah yang diberi kepercayaan untuk mengembannya.Sampai di sana sudah rame, ada Mbak Asih dan suaminya. Mereka melihatku langsung membuang muka, padahal aku belum sempat menyapa mereka.Tibalah giliranku dipanggil. Aku sedikit gemetaran dan juga takut untuk menemui Wak Tono karena aku hari ini tidak setor dan memutuskan untuk tidak ikut jimpitan lagi.“Baiklah, Danu Pratomo bulan lalu nunggak jadi setorannya Rp.500.000 sudah sama bunganya,” ucap Wak Toni sambil menunjukkan buku catatan.“Ck, itulah yang bikin jimpitan kita enggak maju-maju nunggak-nunggak gitu bayarnya,” cicit Mbak Asih di belakangku diiyakan keluarga yang lain.“Em ... begini Wak, aku mewakili Mas Danu ingin mengambil uang jimpitan kami yang 35% dan juga untuk menyampaikan bahwa kami tidak melanjutkan lagi jimpitan keluarga. K