“Ada apa ini di kamar mandi teriak-teriak tidak jelas!” bentak ibu.“Ini Bu, bajuku basah. Gara-gara menantu Ibu yang bod*h ini. Dia mau numpang mandi tidak mau ngisi bak Ibu dengan alasan kita ada sanyo,” jawab Mbak Lili menuding-nuding wajahku.“Makin hari bukannya makin bener malah gini kamu, Ta! Kalau numpang itu tahu diri!” bentak ibu padaku. Gayung yang dipegang Mbak Lili direbut lalu dipukulkan ke pundakku. Sakit sekali.“Cukup! Aku bukan boneka yang bisa kalian perintah seenak sendiri. Ibu, aku bisa saja membalas pukulan Ibu, tapi aku masih punya otak yang waras. Jadi, aku tidak ada waktu untuk meladi orang enggak waras seperti kalian berdua,” teriakku tak kalah kencang dengan teriakan Mbak Lili tadi.“Pergi sana! Pergi! Jangan kamu pakai sumur ini lagi!” Usir ibu.“Aku tidak akan pergi dari sini, Bu. Sumur ini yang buat bapaknya Mas Danu dulu. Aku menantu beliau jadi aku berhak untuk memakai sumur ini,” jawabku tegas. Ibu gelagapan lalu menarik tangan Mbak Lili untuk pergi d
"Emmp! Emmp!" Napasku sesak sekali, aku sudah berontak, tapi kalah tenaga. Badanku sudah diseret mendekati pintu keluar. Aku mulai nangis bayangan yang tidak-tidak sudah memenuhi isi kepalaku."Emmp! Kubuka mulut lalu kugigit telapak tangannya kuat-kuat. Berhasil tangan yang menekan leherku sedikit longgar. Dengan gerakan cepat aku menyikut perutnya. Dia mengerang kesakitan dan melemparku ke tanah. Aku terlepas."Mas Danu!" teriakku sekuat tenaga.Mendengarku berteriak orang ini panik dan hendak kabur. Aku yang terjatuh tepat di bawah kakinya tidak menyia-nyiakan kesempatan segera kutendang selakangannya dan tepat sasaran mengenai benda pusakanya.Dia terjatuh meringkuk memegangi senjatanya."Mas Danu!" teriakku lagi."Tolong!""Iya, Dik, ada apa!" sahut Mas Danu.Orang itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mengancamku sambil tertatih dia berdiri lalu kabur lewat pintu dapurTergopoh-gopoh Mas Danu menghampiriku. Dia heran melihatku menangis duduk di tanah."Kamu kenapa, Dik?
Kita juga harus punya bukti, Dik. Kita selidiki dulu. Jika memang benar maka tidak segan-segan aku akan patahkan kakinya," jawab Mas Danu."Iya, Mas, betul kita harus selidiki dulu. Dia orang yang pandai bersilat lidah. Meski kita ada di pihak yang benar tetap saja kita kalah," kataku kesal dan mengingat kembali saat aku mau minta uang jimpitan bukannya memberi malah masih menganggap kami punya hutang."Sabar ya, sayang, nanti setelah kebun karet Kakek laku kita akan merubah hidup kita. Oh, iya tadi Kia bangun sudah Mas kasih makan dan minum tajin, dia tidur lagi. Mungkin karena semalam dia sangat rewel.""Iya, Mas. Kasihan ya, Kia. Mas, apa sebaiknya kita pindah saja dari sini," usulku."Iya, nanti kita pindah kalau kebun karet Kakek yang kita jual laku. Mas, juga sudah tidak betah berlama-lama di sini. Berharap hidup berdampingan dengan keluarga akan mudah dan saling bantu malah jadinya begini." Mas Danu seperti menerawang jauh matanya berkaca-kaca. Kasihan suamiku dia dari dulu sud
"Wah, bagus yaa, rapih banget anyamannya. Harganya berapa, Mbak Ita?""Ikut harga pasaran saja Mbak, karena Mbak Siti adalah pelanggan pertama kami maka kami kasih harga separuh saja." Mbak Siti tampak berbinar senang. Dia memberiku uang 100 ribu rupiah."Ini susuknya, Mbak?""Enggak usah, sudah simpan saja untuk beli jajan Dedek Kia," tolaknya halus. Terjadilah adegan tidak saling mau menerima kembalian uang itu."Kalau Mbak Ita enggak mau, besok-besok aku enggak mau lagi beli di sini." Ancamnya. Akhirnya aku terima uangnya. Alhamdulillah, bisa untuk makan lima harian."Oh, iya ini Mbak Ita, aku bawain pecel sekalian icip-icip, ya, kasih tahu aku kurangnya apa biar nanti aku perbaiki lagi bumbunya." Aku mengiyakan. Rasanya malu sekali masih sering mengeluh padahal masih ada orang yang baik dan sayang pada kami. Mbak Siti pamit pulang aku mengantarnya sampai depan."Mbak Ita, itu Mbak Asih, kan?" tanyanya saat melihat ibu dan Mbak Asih ada di pintu dapur mereka."Iya, benar. Apa Mbak
🌸🌸🌸Sejak kejadian adegan aku melempari pintu dapur ibu, mereka kompak mendiamkanku. Syukurlah ini jauh lebih baik dari pada mereka bertingkah bar-bar.Malam ini aku berkutat dengan adonan donat dan bolu pisang ditemani Mas Danu. Dia takut akan terjadi kejadian seperti kemarin malam.Saat sedang menggoreng donat menjelang azan subuh tubuhku rasanya panas sekali padahal aku menggoreng pakai kompor bukan tungku.Brugh!Suara seperti benda jatuh sangat jelas terdengar dari arah belakang rumah."Ita! Danu!" Terdengar panggilan Mak Manurung dari pintu depan sampai beliau menggedor-gedor."Sabar, Mak. Ada apa Mak, sampai ngos-ngosan begitu subuh-subuh. Ayo masuk dulu," ajakku pada Mak Manurung. Beliau mengikuti langkah kakiku."Mak, kayak habis nyangkul sawah sehektar subuh-subuh minum air putih sekali teguk gitu langsung habis," godaku."Ini bukan sekedar lari jauh puluhan kilometer, Ta, lebih dari itu karena jantung juga rasanya mau copot.""Memang ada apa, Mak?" tanya Mas Danu."Emak,
"Eeh, enggak usah masuk! Di luar aja!" pekik Mba Lili. Saat kaki ini hendak melangkah masuk ke dalam."Ada apa, Dan? Apa kamu sudah menyerah tinggal sendiri tumben banget ke sini pagi-pagi begini," ucap ibu."Enak aja! Di sini sudah enggak ada tempat untuk benalu macam mereka, Bu," sahut Mas Roni. Astaghfirullah ini laki-laki mulutnya lemes banget."Cepat bilang ada apa? Kami sibuk!" timpal Mbak Asih."Ibu, begini aku mau minta sertifikat kebun karet milikku yang dikasih Kakek dulu, Aku berniat untuk menjual kebun itu. Selama ini kan, hasilnya sudah Ibu nikmati. Jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk kujual," terang Mas Danu.Ibu kaget mendengar penuturan Mas Danu, lalu terlihat sangat gelisah sedang yang lain diam mematung."Besok saja ya, Dan. Ibu sibuk mau berangkat kondangan," jawab ibu lalu hendak menutup pintu. Dengan cepat aku menahan pintu itu."Sekarang saja, Bu. Kan, gampang tinggal ngambil aja lalu Ibu kasihkan pada kami," kataku menimpali."Eh, kamu siapa ikut-ikutan ngom
Aku mengambil Kia dari gendongannya."Orang macam mereka ini jangan diladeni bisa sama gilanya, Ta. Ada apa rupanya sampai kau itu seperti kesetanan?" tanyanya.Mas Danu akhirnya menceritakan semuanya bahwa dia mau mengambil sertifikat kebun karet miliknya. Bukan dikasih malah sudah dijual."Gila kau memang! Hak orang main ambil. Begini saja Dan, kamu panggil RT atau pamong desa buat beresin masalah ini." usulnya.Mas Danu mengiyakan dan akan membawa masalah ini ke jalur hukum."Jangan, Dan. Ibu berjanji akan menggantinya, sebentar." Susah payah ibu berjalan ke kamarnya tidak lama kemudian memberikan map coklat setelah kami periksa itu sertifikat kebun karet milik ibu."Baik aku terima ini, Bu, meski ukurannya masih kalah jauh dengan milikku. Aku akan minta pada Wak Tono sisanya." Ibu melongo saja mungkin dia sangat menyesal sudah menjual miliki orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya."Kami permisi," ucapku. Mereka tidak menyahut. Baru saja melangkah ke luar pintu langsung dibantin
"Wei, bengong aja. Awas kesambet jin cantik baru tahu rasa, lo!" tegur Joko, teman baik Mas Danu.Aku yang sedang buat adonan bolu pisang pesanan Bu RT untuk siang nanti juga merasa heran, sejak pulang dari rumah ibu tadi Mas Danu banyak diam. Jika tidak kutanya dia akan diam saja biasanya dia selalu menggodaku.Kia yang berceloteh di samping Mas Danu juga hanya ditanggapi sesekali. Mungkin Mas Danu sedang memikirkan nasib keluarganya."Bisa aja, Jok. Ada apa, nih?" Kudengarkan obrolan mereka."Enggak ada apa-apa pingin main aja. Kayaknya lagi banyak masalah kelihatan banget dari raut wajahmu yang kusut macam orang kalah main judi," ujar Joko."Ha-ha beginilah, Jok. malahan lebih dari itu," kelakar Mas Danu."Seriusan?""Iya, kalau jadi orang bod*h seperti aku ya begini dibohongi sana sini dan diakali sana sini," keluh Mas Danu."Berat banget kayaknya masalah kamu, baru kali ini aku punya kawan yang kaya masalah.""Benar, sepertinya memang hanya aku yang kaya masalah," jawab Mas Danu