Mau tidak mau, akhirnya kami memutar balik karena tidak bisa lewat tempat itu. "Kenapa hari ini sial banget sih," gumamku pelan. "Apa kamu merasa pernikahan kita termasuk hal yang sial?" tanya Pak Bagas pelan. Seperti ada kekecewaan dalam pertanyaan, apa pria ini kecewa dengan ucapkanku barusan. "Bukan begitu, maksudku kita jadi tidak bisa pulang. Bagaimana ditempat seperti ini akan menemukan penginapan atau hotel. Tidak mungkin kan kita tidur didalam mobil, nanti kalau digrebek lagi kita dinikahkan lagi. Mau berapa kali kita menikah?" Aku berusaha membuat candaan tapi sepertinya perkataanku yang pertama sudah membuatnya kecewa. "Disini mungkin susah mendapatkan tempat menginap, tapi jika kita kebagian kotanya pasti ramai juga seperti di Jakarta. Atau jika tidak, kita bisa cari jalan lain. Meskipun harus berputar-putar pasti ada jalan menuju ke ibukota selain jalan ini," tuturnya panjang lebar. "Tidak perlu pulang malam ini, kita cari saja penginapan sini. Bapak sudah menyetir d
Selepas mandi, aku segera berganti piyama yang tadi sempat kami beli sebelum check in di hotel. Piyama berlengan pendek dengan paduan celana panjang, berbahan katun dengan warna navy menjadi pilihanku saat berbelanja tadi. Kami sudah makan malam sebelum masuk ke hotel ini, jadi sekarang saatnya adalah beristirahat. Namun mataku benar-benar tidak mengantuk, rasa kantukku pergi entah kemana karena memikirkan berbagai hal yang terjadi hari ini. Semuanya terjadi tanpa diduga, dalam sekejap mata, aku sudah menjadi isteri Pak Bagas. Pernikahan kami sah secara agama tapi belum diakui negara. Apakah pernikahan ini akan benar-benar berjalan, atau tidak. Apa selamanya akan seperti ini atau Pak Bagas akan mengesahkan pernikahan kami agar di akui oleh negara. Bagaimana aku akan mengatakan pada ibu tentang semua ini. Berbagai pertanyaan timbul di benakku dan tidak aku temukan jawabannya. "Belum tidur?" tanya Pak Bagas yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah berganti piyama denga
Dering smartphone milikku yang berada di atas meja mengurai pertautan bibir kami. Aku menatap kearah pria yang saat ini menindih tubuhku diatas sofa. "Bisakah kamu mengabaikannya?" bisiknya, tatapan memohon terpancar di matanya. Aku membiarkan benda pipih itu terus berdering hingga mati sendiri. Laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu kembali menyatukan bibir kami, namun lagi-lagi suara ponselku mengganggu kami. "Aku angkat dulu, takut penting," ucapku sambil mendorong tubuhnya perlahan. Ah, Nayla. Dia menelponku malam-malam begini, belum terlalu malam juga sih. "Iya, Nay," sapaku. Aku berjalan menuju balkon, membuka pintunya dan menerima telepon disana. Aku tidak mau menganggu Pak Bagas dengan obrolanku. "Kamu di mana? Udah pulang apa belum? Tadi aku lihat berita di daerah sana ada tanah longsor dan hujan lebat kamu bisa pulang kan, tidak terjadi apa-apa denganmu kan?" tanyanya bertubi-tubi. "Nggak Nay aku baik-baik saja," jawabku singkat. "Yaa ampun, aku tanya panjang leba
Pukul satu siang kami akhirnya check out dari hotel tersebut. Aku memang meminta suamiku untuk menginap satu malam saja, karena kami tidak membawa apapun dan memang tidak berniat untuk menginap sebelumnya. Mobil melaju meninggalkan gedung hotel terdekat menuju arah jalan pulang. Sepanjangan perjalanan lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu menggenggam tanganku. Dia berkendara perlahan dengan menggunakan satu tangan. 'Mas, gunakan kedua tanganmu agar kita segera sampai dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ujarku memperingatkan.Iya, akhirnya aku memanggilnya dengan panggilan Mas sekarang. "Iya deh, iya. Doamu buruk banget, padahal kita belum melakukan apa-apa setelah menikah. Masa harus terjadi hal-hal yang buruk," sahutnya sembari melepas genggaman tanganku dan menyetir dengan kedua tangannya."Kamu pulang ke rumah kita saja ya," ucap Mas Bagas tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. "Rumah kita?" tanyaku."Iya rumah yang sudah kamu datangi dan kita sempat meng
Sapuan lembut dari indera pengecapnya membuat tubuhku kehilangan setengah kesadaran. Aku hanya bisa pasrah menerima sentuhan-sentuhannya. Meskipun dulu kami sering melakukannya, tapi kali ini terasa berbeda. Aku merasakan cinta dalam setiap sentuhan itu. "Bolehkah aku melakukannya?" tanyanya, kedua tangannya membingkai wajahku setelah ciuman panas kami tadi. Aku tidak menjawab, hanya kembali memeluknya dengan erat. Menyembunyikan wajahku yang memerah di dadanya. Aku harap dia sudah tahu dengan jawabanku. "Jawablah, iya atau tidak," bisiknya di telingaku. Jika aku harus menjawabnya, aku bisa gila karena malu. Kenapa dia tidak faham dengan bahasa tubuhku, haruskan aku mengatakan kata "iya". "Jawablah, Mentari," ucapnya lagi. Tidak mau menjawab, aku memilih untuk membuka kancing bajunya. Kaos yang dia gunakan memang berkerah dan berkancing. Setelah terbuka aku mendaratkan kecupan didadanya yang bidang, hingga suaranya merdu menyebut namaku. Tanpa menunggu lama lagi, lelaki yang su
Aku masih terdiam dan memainkan jari-jari tanganku."Jawab, Mentari. Mbak sudah menganggapmu seperti adik sendiri, dan tidak ingin kamu salah jalan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padamu."Mbak Aira begitu peduli padaku, dia tidak tahu seperti apa kehidupanku sebelum bekerja disini. Wanita itu selalu berpikir jika aku perempuan baik-baik dan polos. "Sebenarnya kami sudah menikah, mbak," ucapku pelan. "Hah?!"Mbak Aira tampak kaget dengan pernyataanku. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, aku dan mas Bagas sudah menikah," ucapku lagi. Kali ini dengan suara yang lebih jelas. "Ting!" Lift berbunyi, lantas berhenti. Pintu terbuka, artinya kami sudah sampai di lantai yang kami tuju. Tempat dimana kami bekerja. "Kamu berhutang penjelasan padaku, dan harus kamu jelaskan nanti saat makan siang," ucapnya saat kami keluar dari dalam lift. Mbak Aira memang begitu perhatian padaku, seakan-akan aku memiliki kakak perempuannya yang tidak aku mi
"Sepertinya aku tidak perlu memperpanjang sewa kostan bulan ini," ucapku disela-sela kantuk yang mulai melanda. Aku sudah setengah sadar dengan tubuh berbalut gaun tidur tipis, setelah sebelumnya membersihkan diri sekedarnya dikamar mandi. Entah kapan suamiku itu membeli baju yang tidak menutup dengan sempurna bagian tubuhku ini. Lelaki itu menyuruhku menemaninya di rumah ini tapi ternyata tidak sekedar menemani, tentunya dengan melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan. Aku lupa jika kami baru saja menikah, sah melakukan apa saja setelah berbulan-bulan lamanya Mas Bagas mungkin menahan diri. Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan saat ada aku di sampingnya. "Sudah pasti," sahut Mas Bagas, tangannya melingkar di pinggangku, memeluk erat tubuhku dari belakang.Kami tidur dalam satu selimut yang sama seperti layaknya pasangan suami istri. "Tapi kamar kost itu harus di perpanjang kontraknya Minggu ini," gumamku. Meskipun aku mengantuk tapi masih bisa berbicara samar-sama
"Maaf Pak, saya tidak mengingat pernah bertemu dengan anda," sahutku. "Bagaimana jika aku menyebut kota Jogja dan hotel," ucap pria yang konon katanya berusia empat puluh tahun itu. "Deg!" jantungku langsung berpacu. Ini adalah pria yang menolongku dari amukan Ibu Ayu waktu itu. Dulu aku melihatnya lebih muda dari ini, ah itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Selain itu aku juga tidak terlalu memperhatikannya, siapa sangka usianya sudah kepala empat. Lalu sekarang aku bertemu dengannya disini, ditempat kerjaku. Apa yang akan beliau pikirkan sekarang. Ah masa bodoh, anak muda yang mencinta suami orang sekarang banyak. Wanita muda yang berpacaran dengan suami orang, seperti jamur di musim hujan. Aku harap Pak Arya menganggapku saat itu juga gadis muda yang mencinta suami orang lain, bukan simpanan seorang pengusaha. "Terimakasih Pak, sudah menolong saya waktu itu." Aku berkata sambil sedikit membungkukkan badan. "Tidak masalah, waktu itu aku seperti melihat seorang gadis muda