Kuparkirkan motor di depan halaman rumah mertua yang sejak lama tak pernah kuinjak lagi. Ternyata dugaanku benar. Alih-alih mencari kontrakan lagi, mereka justru numpang di rumah Bu Nur.Mobil A Miftah rupanya juga masih terparkir di halaman. Besar kemungkinan dia sengaja mengambil cuti. Di samping rumah kulihat Bu Nur juga sedang mencuci beberapa pakaian bayi. Luar biasa, aku tak ingat dulu dia pernah menyentuh sehelai pun pakaian Akbar, setelah lahir.Sebelum sempat melangkahkan kaki, lebih dulu kulihat pintu rumah dibuka dari dalam. A Miftah keluar dengan kaus putih lusuh dan celana boxer kesayangannya yang biasa selalu rapi, karena rutin kusetrika, tapi kini terlihat kusut masai. Dia terlihat menggendong bayi yang baru berumur sepuluh hari untuk kemudian menjemurnya di terik matahari pagi.Pemandangan macam apa ini? Saat ayah dan mertua mengurus bayi, ibunya malah kelayapan di restoran."Tika." Tatapan kami tiba-tiba bertemu. Dia terlihat sedikit malu, hingga menarik diri. "Mau a
"Ih, amit-amit Si Tika. Baru punya kontrakan lima pintu aja belagunya udah sampe nyundul langit. Gimana kalau jadi anak direktur atau pejabat?" Bu Nur mengomel sembari melipat pakaian di samping Miftah yang baru saja mengganti popok bayinya. "Laga-lagaan bikin perjanjian pra nikah, emang berapa banyak, sih harta dan aset yang dia punya? Paling nggak lebih dari seratus juta. Dahlah, pokoknya buruan kamu tanda-tanganin, tuh gugatan cerainya! Gedeg banget Mama lama-lama liat mukanya."Miftah tak menjawab satu pun pertanyaan dari ibunya. Sembari mengganti popok sang bayi dia hanya menyimak racauan Bu Nur tanpa sedikit pun menanggapi."Mif! Kamu denger mama nggak, sih?""Denger, Mah. Udahlah, orangnya juga udah lama pergi.""Tapi, mobil kamu diambil! Pake apa kamu kerja nanti?""Kan, masih ada motor Dini," sahut Miftah santai."Motor itu, kan buat adikmu sekolah. Kenapa nggak minta Desi buat pinjemin salah satu mobil Bapaknya, sih? Dia, kan kaya.""Yang kaya, kan bapaknya, Ma. Lagian, kan
"Udah, A. Nggak apa-apa. Aku bisa lanjut kerja!" Tika tersenyum kecil di sebelah Andri yang sepanjang perjalanan terus menanyakan kondisinya. "Sekarang A'a bisa balik, aku juga mau masuk ke dalam." Andri memang sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari lokasi tempat kerja Tika yaitu Kecamatan Bandung Kulon."Ya, udah. Nanti kabari saya kalau udah pulang.""Ng, kayaknya untuk sementara kita emang harus jaga jarak, deh, A. Biar nggak menimbulkan fitnah," usul Tika hati-hati.Andri terdiam sejenak."Bener juga. Ya udah, kalau ada masalah penting pokoknya jangan sungkan buat hubungin."Tika tersenyum kecil, lalu menangguk pelan."Siap. Kalau gitu aku pamit dulu. Assalamualaikum." "Waalaikumsallam." Tika melambaikan tangan. Setelah memastikan mobil Andri hilang dari pandangan, dia langsung bersiap untuk kembali ke kantor. Namun, di tengah perjalanan perempuan itu dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang menatapnya dengan penuh kecurigaan."Astagfirullah, Bu Wulan!"Tika memegangi da
Tiga bulan kemudian ....Setelah serangkaian prosesi sidang berhasil dilalui dengan lancar. Akhirnya pengadilan Agama Bandung menetapkan bahwa sidang putusan terakhir kasus perceraian Miftah dan Tika jatuh pada hari ini.Pihak keluarga tergugat terlihat lebih dulu tiba di lokasi. Miftah datang ditemani Bu Nur nampaknya sudah duduk di kursi yang disediakan. Sementara pihak penggugat baru saja tiba bersama dengan kuasa hukum, dan adik wanitanya.Melihat Tika berpenampilan modis dengan kulit lebih berseri dan make up yang dibubuhkan tipis, membuat Miftah menatapnya nyaris tak berkedip sampai saat perempuan itu duduk di sisi. Tubuh yang sebelum kurus kering kini terlihat lebih berisi, seolah menjadi tamparan untuk Miftah. Berbeda dengannya yang akhir-akhir ini bahkan tak sempat merawat diri. Lelaki itu berpaling, saat mendapati Tika balas menatap. Miftah tertunduk dengan kedua tangan bertautan di atas paha. Dalam hati Tika membatin. Mempertanyakan tentang ke mana perginya semua kepercaya
Cuaca cerah pagi ini menjadi awal kehidupan baru untuk seorang Kartika Dewi. Titik terendah dalam hidupnya perlahan bisa dilewati. Akhirnya dia bisa belajar dari sebuah kegagalan bahwa apa pun yang terjadi segalanya akan tetap berjalan sesuai kehendak Tuhan.Kehilangan, kekecewaan, kesedihan mendalam, semua fase sudah berlalu setelah dia memutuskan untuk melepas Miftahul Hamid. Keputusan untuk bercerai adalah yang terbaik untuk saat ini daripada dia hidup dengan penuh penderitaan saat tahu lelaki itu membagi hati dan jelas tak akan pernah mampu untuk memberi kehidupan yang layak untuk kedua istri.Mengendarai mobil barunya, dari Maleber Tika mengambil jalur Stasiun Bandung menuju Subang. Setelah tiga bulan, akhirnya dia merencanakan janji temu bersama Andri di kantor Gema yang dikelolanya di cabang Sudang.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, akhirnya dia sampai di Gema Toserba Subang. Di samping mobilnya terparkir, terlihat truk yang sedang menurunankan ba
Langkah Miftah terlihat gontai saat memarkirkan motor di depan halaman. Dia lepas helm, dan jas hujan yang semula dikenakan, lalu berjalan sembari menjinjing sebungkus martabak ketan keju kesukaan sang ibu.Gajian baru saja dicairkan, tapi tak ada suka cita yang biasa tergambar di wajahnya. Kebingungan hinggap tanpa permisi, ketika dia menarik uang sejumlah tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu tersebut. Sepanjang jalan memikirkan supaya uang tersebut bisa cukup sampai bulan depan. Apalagi mengingat di samping sang istri dan anak bayinya, ada ibu dan adik yang juga harus dia nafkahi.Langkah kaki Miftah berhenti di ambang pintu. Lamunannya tercerai berai. Di tengah kekalutan pikiran, tiba-tiba bayangan Tika menyelinap tanpa permisi dan mengusik apa yang seharusnya lenyap dan tak perlu diingat lagi. Logikanya menentang, tapi hatinya tetap tak bisa dibohongi. Belum ada sepekan sejak perceraian mereka disahkan, tapi Miftah sudah mulai terganggu melihat kedekatan Tika dan Andri.Duk!Sebu
"Istri kamu tega banget, Mif. Masa beli sate dia makan sendiri di kamar. Jangankan beliin Mama, nawarin aja enggak. Makanya tadi Mama ikut botram (makan bareng) di rumah Ceu Ningsih. Di sana lumayan banyak lauknya. Daripada di sini cuma makan nasi, sama makan ati. Sendirinya aja bisa foya-foya, paketan datang hampir tiap hari, tapi beli lauk sama isi kulkas kayaknya nggak sudi. Mana nyuruh Si Dini ngelonte, terus minta ibu jadi babu. Si Desi itu keterlaluan banget tahu, nggak!" Naik-turun dada Bu Nur saat menjelaskan kronologis kejadian sepanjang hari ini, sembari menyantap martabak yang Miftah beli."Maaf, ya, Ma. Desi emang keras, tapi sebenernya dia baik, kok. Mungkin masih butuh adaptasi, efek habis melahirkan juga makanya sensi." Miftah susah payah memberi pengertian pada ibunya agar tidak memojokkan Desi."Alah, harusnya nggak perlu ada alasan, emang dianya aja yang nggak sopan. Beda banget sama Si Tika. Mama masih inget, bahkan belum 40 hari aja dia udah bisa ngapa-ngapain sen
"Besok malem aku mulai kerja di Kafe, lumayan buat nutup kekurangan kayak susu Bila sama sembako."Sembari membubuhkan cream malam di depan kaca meja rias, Desi mengutarakan tentang keinginannya untuk mulai bekerja besok."Nanti Bila suruh aja Mama yang jaga, kebetulan dia nggak ASI, jadi nggak akan repot. Tiap gajian nanti aku kasih buat keperluan Mama. Bilangin, nggak usah singgung-singgung lagi tentang Si Tika, aku nggak suka."Bu Nur memang tipe orang yang blak-blakkan dalam mengutarakan pendapatnya. Sejak ucapan Desi tempo hari, wanita paruh baya itu memang hampir tiap detik membahasnya. Membuat Desi mulai risi, karena dibanding-bandingkan dengan mantan istri Miftah itu."Emangnya cuma dia yang bisa cari duit? Emangnya cuma dia yang bisa mandiri? Istri itu harusnya nggak perlu dituntut buat cari nafkah, tugasnya itu cuma ngurus rumah tangga. Bukan ngurus rumah tangga, sama perabot-perabotan yang dibawa." Perabotan di sini Desi artikan sebagai keluar Miftah.Beberapa saat kemudian