Fajar menyingsing perlahan, menyinari padang luas yang membentang di depan kota Zephyros. Baling-baling raksasa berputar pelan di menara angin, memantulkan cahaya matahari pagi. Dari kejauhan, Zephyros tampak damai—seolah dunia luar tidak pernah disentuh kegelapan.
Namun langkah Ardyn terhenti. Dadanya berdebar aneh, tanda di tangannya berdenyut lebih cepat. Ia merasakan sesuatu yang tidak wajar.“Selene…” panggilnya pelan. “Kau merasakannya juga?”Selene mengangguk, wajahnya serius. “Bayangan sedang bergerak. Mereka sudah menunggu kita.”Lyra menggigit bibir. “Tapi… kota itu penuh orang. Kalau mereka diserang—”“Kita tidak boleh biarkan itu terjadi,” potong Ardyn, suaranya tegas meski matanya masih menyimpan ketakutan.---Tak lama kemudian, tanah mulai bergetar. Dari arah lembah, muncul pasukan Wraith dalam jumlah jauh lebih banyak dari sebelumnya. Puluhan, bahkan ratusan, bergerak seperti gelombang hitam yang sia1. Lembah yang Gelap Setelah Kaelen resmi bergabung, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan ke arah utara, mengikuti bisikan kuno dari kuil Terran. Tujuan mereka selanjutnya: mencari jejak pewaris lain, yang menurut legenda ada di tanah bersalju jauh di utara. Namun, untuk menuju ke sana, mereka harus melewati Lembah Hitam, sebuah celah panjang yang membelah pegunungan. Begitu mereka masuk, cahaya matahari seolah meredup. Tebing tinggi menutup langit, hanya menyisakan celah sempit. Kabut hitam menggantung rendah, dan suara-suara aneh menggema di udara. Lyra berbisik pelan. “Tempat ini bikin bulu kudukku berdiri…” Kaelen berjalan tenang di depan, tongkat batunya menyala hijau samar. “Ini tanah yang pernah dilalui pasukan Nefarion. Kegelapan menempel di sini, bahkan setelah berabad-abad.” Selene mengangkat busurnya. “Itu berarti kita sedang berjalan di sarang mereka.” --- 2. Bayangan Menyerang Tak lama, suara sayap berdesir terdengar. Dari kabut, puluhan makhluk hitam berwuj
1. Menuju UtaraSetelah meninggalkan Lembah Hitam, perjalanan mereka berlanjut menembus hutan rimba, padang rumput, dan akhirnya dataran tinggi yang diselimuti salju. Angin utara berembus kencang, menusuk hingga ke tulang.“Brrrr… aku benci dingin!” keluh Lyra sambil menggigil, rambutnya dipenuhi butiran salju.Nerida tersenyum tipis, mengeluarkan bola air yang berputar lalu berubah menjadi uap hangat. “Dekat denganku, ini akan membantu.”Ardyn menatap ke horizon. “Menurut peta kuil, pewaris berikutnya seharusnya berada di wilayah ini. Tanah yang tak tersentuh manusia, di balik Pegunungan Aisvara.”Kaelen mengangguk, tongkatnya menancap di salju. “Aku bisa merasakan energi bumi di bawah lapisan es ini… namun bercampur dengan sesuatu yang asing. Seperti kekuatan kuno yang membeku.”Selene memandang sekitar, waspada. “Hati-hati. Tempat sunyi seperti ini sering menyimpan rahasia yang tak ingin ditemukan.”---2. Jejak MisteriusSaat melintasi lembah salju, mereka menemukan sesuatu yang g
1. Arena BatuLingkaran batu yang diciptakan pria misterius itu menutup rapat, membentuk arena. Guncangan terasa di bawah kaki mereka, seolah tanah itu sendiri tunduk pada perintahnya.Ardyn menggenggam pedangnya, sinar emas berdenyut di bilahnya. Nerida berdiri di sampingnya, air berputar di tangannya, sementara Lyra sudah bersiap dengan pusaran angin kecil. Selene menarik busurnya, tatapannya menusuk tajam.Pria itu mengangkat tongkat batu tinggi-tinggi. “Aku, Kaelen, penjaga kuil Terran, tidak akan menyerahkan warisan bumi pada mereka yang lemah. Tunjukkan padaku… bahwa kalian layak.”Tanah bergetar keras. Dari celah-celah retakan, tiga golem batu muncul. Tubuh mereka lebih kecil dari golem sebelumnya, tapi gerakan mereka lebih cepat.Kaelen menatap dingin. “Kalau kalian tak bisa mengalahkan mereka, kalian tak pantas bicara tentang melawan kegelapan.”---2. Tiga Golem PenjagaArdyn melompat ma
1. Daratan yang TerlupakanKapal Boros akhirnya bersandar di sebuah teluk sepi. Daratan Timur terbentang di hadapan mereka: pantai berbatu dengan pepohonan kering yang mencuat seperti tangan-tangan mati, dan pegunungan jauh yang diselimuti kabut tebal.Ardyn melangkah pertama kali ke tanah itu. Begitu kakinya menyentuh pasir, hawa berat langsung menyelimuti tubuhnya. Seolah tanah ini menyimpan duka berabad-abad.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumamnya.Lyra mengusap lengannya, jelas merinding. “Seperti ada yang mengawasi kita.”Nerida menatap horizon dengan serius. “Inilah Daratan Timur. Pernah ada kerajaan besar di sini, tapi mereka semua runtuh. Kabarnya, tanah ini masih dihantui oleh roh mereka.”Boros menghela napas berat, lalu menepuk pundak Ardyn. “Hati-hati. Daratan ini bukan hanya sunyi, tapi juga penuh jebakan. Aku akan tinggal menjaga kapal. Kalau ada masalah, lari kembali ke sini.”Ardyn mengangguk. “
1. Perpisahan dari ThalassiaTiga hari telah berlalu sejak pertempuran besar di Thalassia. Kota bawah laut itu perlahan bangkit dari kehancuran. Prajurit-prajurit membersihkan reruntuhan, rakyat menyalakan lentera air untuk menghormati yang gugur, dan musik lembut terdengar dari kuil Nerion, dewa air yang mereka muliakan.Ardyn berdiri di dermaga kristal, menatap ke permukaan laut yang berkilau. Nerida berjalan mendekat, gaunnya sederhana, tapi aura pewaris yang baru bangkit membuatnya bersinar.“Sulit meninggalkan rumah,” katanya pelan.Ardyn menoleh, melihat kesedihan di matanya. “Aku tahu. Tapi kau sudah memilih. Dan dunia di luar sana butuhmu.”Nerida menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau benar.”Raja Nerisar datang, didampingi para pengawal. Wajahnya tampak letih, namun matanya tetap penuh wibawa. Ia menatap putrinya lama sebelum berkata, “Nerida, kau bukan hanya putriku, tapi juga harapan dunia. Ikuti takdirmu, me
1. Serangan DimulaiBalairung Thalassia bergetar hebat saat Jenderal Bayangan menancapkan trisulanya ke dasar laut. Gelombang hitam menjalar, membuat dinding kristal retak. Pasukan Thalassia berusaha menahan makhluk-makhluk bayangan, namun jumlah mereka terus bertambah, seolah lautan itu sendiri melahirkan kegelapan.“Ardyn!” Lyra berteriak sambil menahan pusaran air dengan kekuatan anginnya. “Kita harus hentikan makhluk itu, atau istana akan hancur!”Ardyn menggenggam pedang cahaya, tanda di tangannya berpendar terang. “Kau jaga Nerida! Aku akan menghadapinya!”Selene melesat maju, busurnya memancarkan cahaya biru. Panahnya menembus dada makhluk bayangan, namun tak cukup untuk menghentikan sang Jenderal.Jenderal Bayangan menyeringai, suaranya berat bergema di dalam air.“Cahaya dan angin… hanya mainan anak-anak. Dewa kalian sudah mati. Yang tersisa hanyalah kegelapan!”2. Duel di BalairungArdyn melompat