Pov NurmaHari yang ditunggu telah tiba. Kami pindah ke rumah baru. Anak-anak begitu senang, apalagi sekarang mereka punya kamar masing-masing. Meski tetap saja tidur berkumpul di kamarku, maklumlah keduanya belum terbiasa tidur sendiri lantaran sebelumnya memang tidak punya kamar banyak. Setidaknya mereka bisa berekspresi di kamar mereka, dengan menaruh barang-barang pribadi serta koleksi boneka mereka.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mbak Hesti sudah datang berkunjung, padahal saat itu aku sedang bersiap-siap pergi ke toko."Mbak Nurma mau pergi, ya?" tanyanya ketika melihatku sudah bersiap. Sementara Mas Fikri sedang memanaskan mesin mobil."Iya Mbak, kebetulan saya mau ke pasar sekalian mengantar anak saya ke sekolah," jawabku sambil mengacungkan tas berisi bekal Naya ke sekolah. Kebetulan anak pertamaku itu masih bersekolah di tempat yang lama, yang jaraknya lumayan jauh. Hari ini rencananya aku mau mengurus untuk pindah ke sekolah yang lebih dekat."Wah, mau belanja, ya?""Eu
Anak-anak Mbak Ira dibesarkan oleh uang, bukan oleh kasih sayang. Asal sudah memberi uang jajan, Mbak Ira tidak mau tahu apa yang dilakukan anak-anak di sekolah maupun selepas itu. Kedua orang tuanya, tidak tahu dengan siapa saja Reno bergaul dan ke mana saja anak itu selepas sekolah. Kadang Mbak Ira pun pulang sore. Karena kesepian, Reno memilih bergaul dengan teman-temannya yang mungkin punya kesamaan. Beberapa kali Reno ditahan di kantor polisi, meskipun hanya satu atau dua hari karena kasus dengan geng motornya. Kasus tawuran yang membuatnya cedera kemarin pun buka sekali terjadi. Hanya saja sebelumnya tidak pernah separah itu, mungkin kemarin Reno sedang naas.Apalagi Rani, sebagai anak perempuan paling tua, aku tahu Mbak Ira seperti melimpahkan tanggung jawab adik-adiknya pada Rani. Anak itu kerap diminta untuk menjaga Reno dan Rendi. Meski terpaksa, Rani selalu melakukannya. Setelah kedua adiknya besar, Rani memilih kuliah di luar kota. Padahal di kota ini terdapat universitas
"Sepertinya Mas Fikri perlu menambah karyawan lagi," ucapku setelah dia selesai membersihkan diri."Nanti saja, Dek. Sejauh ini masih bisa ditangani. Toh tidak setiap hari, hanya sekali-kali saja.""Aku cuma gak mau Mas Fikri kecapean.""Sejauh ini masih bisa ditangani. Oh ya, apa Dek Nurma sudah mengabari Emak kalau kita sudah pindahan?""Sudah Mas, kalau tidak salah kemarin sore. Memangnya kenapa?""Tadi siang mas Fahmi telepon kalau Emak dan Bapak minta dijemput. Katanya mau liat rumah baru kita.""Kalau begitu besok Mas Fikri jemput mereka.""Kamu gak ikut?""Aku nyiapin jamuan untuk mereka saja di rumah. Supaya pas Emak dan Bapak datang, makanan sudah siap.""Baiklah, kalau begitu besok pagi-pagi Mas berangkat."*** Pagi-pagi sekali mas Fikri pergi menjemput orang tuanya. Katanya, Emak sudah tidak sabar ingin melihat rumah kami. Aku pun hanya setengah hari di toko. Lepas itu pulang untuk menyiapkan jamuan. Karena diperkirakan sebelumnya hari gelap Emak dan Bapak sudah datang."W
Aku semakin mendekati ketika keduanya saling menarik diri. Mbak Hesti menatap Rani dengan tatapan sedih juga. "Kalian .... " Aku menatap keduanya bergantian."Sebaiknya Rani dibawa masuk dulu Mbak," usul Mbak Hesti sambil merangkul bahu Rani. Benar 'kan, Mbak Hesti sudah tahu nama Rani.Wanita itu pun urung pulang. Makanan yang tadi aku berikan disimpan begitu saja di teras rumahku. Dia sendiri dengan gesit memapah Rani memasuki rumah lalu menemaninya duduk di sofa."Tiduran di kamar saja, Ran," ucapku pada Rani agar bisa beristirahat dengan nyaman."Di sini saja, Bi. Aku nggak apa-apa, kok," tolak Rani sambil memiringkan tubuhnya, lalu perlahan berbaring di atas sofa.Melihat itu aku segera pergi ke kamar terdekat lalu membawa bantal dan selimut. Kuberikan pada Mbak Hesti supaya membantu Rani menggunakan dua benda itu. Setelah melihat Rani tiduran dengan nyaman, aku duduk di kursi yang lain. Ada banyak pertanyaan yang harus kau ajukan pada Rani dan Reno perihal kedatangan mereka. Ju
Setelah Reno mulai makan, aku pun pergi membawa makanan untuk Rani. Kupilih makanan yang tidak pedas karena dia masih sakit."Apa Reno sudah cerita sama Bibi?" tanya Rani begitu aku duduk di samping ranjang."Sudah barusan.""Please, jangan usir kami, ya, Bi.""Tapi bagaimana kalau orang tuamu datang ke sini lalu meminta kalian pulang. Nanti Bibi juga yang kena marah Papamu.""Pokoknya aku nggak mau. Papa terus mendesakku untuk pulang ke rumah Mas Andre, padahal saat itu dia sudah mengusirku. Ini memang salahku yang tidak bisa menjaga diri." Rani duduk lalu menerima piring yang kuajukan dan bersiap untuk makan."Apa yang kamu lakukan itu memang salah. Tidak seharusnya kamu menyerahkan apa yang menjadi kebanggaan seorang wanita pada pria yang tidak halal, terlepas dia calon atau bukan calon suamimu.""Saat itu aku dijebak oleh teman-temanku. Aku tak sengaja melakukannya dalam keadaan setengah sadar." Rani berhenti menyuap beberapa saat."Apapun alasannya itu tetap salah. Coba saja kala
"Ada di kamar tamu. Tadi mereka sempat panik saat Mbak Ira menelepon. Lalu ketika mendengar suara mobil berhenti mereka pun tambah panik, disangkanya orang tua mereka yang datang.""Kasihan sekali mereka, sepertinya punya trauma tersendiri. Kalau mereka tidak mau pulang, jangan dipaksakan. Ini demi kesehatan mental mereka." Mas Fikri memberikan pendapat."Tapi bagaimana dengan orang tuanya, Mas. Bang Usman pasti akan memarahi kita.""Jangan terlalu dipikirkan. Kita pikirkan saja mental Rani dan Reno. Soal Bang Usman, bukankah sebelumnya pun dia sudah tidak suka pada kita. Jadi itu tidak akan berpengaruh pada kita. Soal caci maki, anggap saja burung beo."Setelah mendengar pendapat Mas Fikri, aku jadi lebih tenang. Jika aku memikirkan sikap Bang Usman terhadapku, maka sama aja aku ini egois. Lebih mementingkan perasaanku daripada mental anak-anak."Setelah itu aku pun menemui mereka di kamar, memberikan kabar bahwa Mas Fikri mengizinkan mereka tinggal di sini. Keduanya langsung bersora
"Oh, jadi Mbak Ira belum tahu perihal uang itu? Jangan-jangan digunakan untuk kawin lagi dan menafkahi istri mudanya.""Apa?!" Mbak Ira menegakkan badannya seraya menatap tajam ke arah Bang Usman yang membeliak.Kakak tertuaku itu mengalihkan pandangan padaku. Sejenak aku pun salah tingkah namun segera bisa menguasai diri."Apa benar yang dikatakan oleh Nurma?!" Mbak Ira mengulang pertanyaannya. Tatapannya lekat pada wajah suaminya sementara telunjuknya terarah padaku."Tentu saja tidak benar. Nurma itu hanya sok tahu. Nur, kamu jangan sembarangan kalau ngomong, nanti jadi fitnah!" Bang Usman beralih padaku."Lalu dikemanakan uang itu?!" tanya Mbak Ira lagi dengan nada tinggi."Tenang Ma, uang itu ada. Nanti sepulang dari sini kita bahas, ya." Bang Usman meraih tangan mbak Ira meski wanita berpenampilan glamor itu menariknya perlahan."Jangan lupa, Bang. Itu uang milikku!" Aku menegaskan sekali lagi. "Nur, bukankah sudah Abang katakan kalau kamu tidak .... " Bang Usman menjeda kalima
"Baru punya rumah segini saja sudah sombong, apalagi kalau sudah punya istana!""Tidak apa-apa sombong. Rumah ini dibeli menggunakan uangku, warisan dari orang tuaku. Daripada menyombongkan harta yang didapat dari hasil merampas warisan saudara sendiri.""Kurang ajar kamu!" Bang Usman bergerak mendekat ke arah Mas Fikri, tangannya terangkat ke atas. Namun bersamaan dengan itu Mbak Ira segera meraih tubuhnya."Sudah Pa, lebih baik kita pulang saja," bujuk Mbak Ira."Kalau mau, aku bisa memanggil satpam," lanjut Mas Fikri datar.Untuk beberapa saat Bang Usman hanya berdiri menatap kami secara bergantian, lalu beralih pada anak mereka. Sementara di sampingnya, Mbak Ira berdiri sambil memegangi tangan suaminya. Dada Bang Usman naik turun, menandakan emosinya sedang tidak stabil. Detik berikutnya pria itu pun berbalik ke arah pintu lalu keluar dengan langkah tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun. Tapi sepertinya amarahnya kian memuncak, terbukti dia membanting pintu dengan sangat keras lalu