Meski baru lima hari aku membuka toko sembako di pasar, tapi alhamdulillah sudah punya pelanggan. Sengaja aku memasang harga sedikit lebih murah untuk menarik pembeli, yang penting ada sedikit sisa dari modal. Aku pernah mendengar bahwa rezeki itu tertakar dan tidak mungkin tertukar. Jadi meskipun banyak toko serupa di pasar, jika sudah rezeki maka pelangganku akan datang sendiri. Aku pun punya banyak waktu untuk keluarga, sebab jualan hanya rame sampai jam 15.00 saja.Sebenarnya Mas Fikri sempat ragu untuk mengizinkan aku berjualan. Dia bilang urusan mencari nafkah itu tanggung jawabnya. Tapi setelah aku membujuknya, akhirnya dia mengizinkan juga dengan syarat aku tidak boleh terlalu cape dan tentu saja aku tidak boleh lalai pada tanggung jawabku sebagai seorang istri dan juga ibu. Selain itu, aku punya alasan sendiri sebelum memutuskan untuk mencari kesibukan dengan cara berjualan. Disamping ingin merubah perekonomian keluargaku, aku juga ingin menghindari pekerjaan di rumah Mbak Ir
"Ap-apa?! Abang bilang aku anak haram?" Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Bagaimana tidak, kalimat yang tidak pernah aku duga itu terucap dari mulut Bang Usman dalam keadaan sangat marah.Mendapat pertanyaan seperti itu, Bang Usman seperti menyadari sesuatu. Kakak tertuaku itu, sejenak hanya tertegun kemudian saling tatap dengan Bang Halim. Mbak Ira pun sontak menutup mulutnya sementara matanya membelalak. Aku beralih pada Mbak Diah yang tadi menunduk dan terisak, bahkan sempat histeris, kini wanita itu pun terdiam seperti menahan nafas."Ada apa sebenarnya, Bang? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?!" Nafasku memburu, aku berusaha menguasai diri.Bang Usman masih diam. Tak ada penjelasan apapun dari mulut kedua kakakku. Mereka hanya saling pandang lalu masing-masing berpaling sambil membuang napas kasar."Bukankah aku juga anak Bapak dan Ibu? Kalau aku anak haram, tolong jelaskan padaku!" Aku bertanya lagi dengan nada meninggi.Tapi keduanya masih bungkam, hanya mata Mbak I
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di rumah Bi Rahmi. Wanita yang sudah semakin tua itu menyambut kedatangan kami dengan gembira. Selain bapak dan Ibu, Bi Rahmi memang cukup dekat denganku. Hanya sayangnya beliau tinggal agak jauh karena ikut suaminya. Setelah suaminya tiada pun beliau masih menetap di sini."Bagaimana kabar kalian, kenapa lama tidak berkunjung ke sini?""Maafkan kami, Bi. Setelah kepergian Ibu, memang kami sibuk mengurus tahlilan. Dan setelah itu aku sibuk pindah rumah.""Pindah rumah? Kalian pindah ke mana? Bukankah itu rumah untukmu?"Lalu aku menceritakan pada Bibi perihal rumah yang dijual oleh Bang Usman dan sampai saat ini uang itu belum sampai ke tanganku. Bahkan kemarin aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan."Maksud kedatanganku ke sini untuk menanyakan pada Bibi. Apa benar yang dikatakan oleh Bang Usman itu?"Bi Rahmi terdiam, sepertinya ia juga tidak siap menceritakan sesuatu padaku."Tolong katakan saja, Bi. Aku ingi
"Makan dulu, Dek. Kamu jangan terlalu larut dalam masalah ini. Nanti kalau mobil kita sudah datang, Mas janji kita akan mencari ibu Nuning."Mendengar itu sontak aku menoleh ke arah suamiku."Beneran, Mas?""Walau bagaimana dia adalah ibu yang mengandung dan melahirkanmu. Meskipun tidak mengurusmu, dia tetap Ibumu. Kita harus menemukan beliau entah itu orangnya ataupun pusarannya."Tak terasa air mataku pecah lagi, bagaimana kalau saat ini Bu Nuning sudah meninggal? Aku belum sempat berterima kasih pada beliau karena perjuangan yang mengandung dan melahirkan aku. Aku juga ingin tahu apa alasannya hingga beliau tidak merawatku. "Menurut Mas Fikri, kira-kira kenapa Bu Nuning tidak mau merawatku? Apa mungkin beliau tidak menginginkan aku!""Kita jangan berburuk sangka dulu, Dek. Siapa tahu ada alasan yang membuat kalian harus berjauhan. Mas pikir tidak ada Ibu yang tidak mau merawat anaknya.""Atau ... jangan-jangan Ibu sudah tiada, hingga ayah membawaku pulang ke sini lalu kembali pada
Hmm, rupanya bang Halim mengira kami membeli mobil dengan cara kredit. Padahal hampir semua orang sudah tahu jika Mas Fikri tidak pernah mau mengambil kreditan."Alhamdulillah, Bang. Sudah engga betah berdesakan dalam satu motor." Sengaja aku menunjuk motor baruku yang terparkir tidak jauh. Ternyata itu berhasil membuat bang Halim menoleh. "Motor kamu baru juga?""Iya, Bang. Motor lama sudah sering mogok."Untuk beberapa saat, Bang Halim hanya mangut-manggut."Berani sekali kalian, ngambil cicilan dua kendaraan sekaligus," cibirnya kemudian yang membuat aku tersenyum kaku."Motor yang lama dijual?" Ya ampun kenapa pertanyaan Bang Usman detail sekali?"Enggak kok, Bang, masih ada. Lumayan buat saya kemana-mana kalau ada kerjaan mendadak," jawab Mas Fikri sambil tersenyum. Dulu sewaktu di tempat lama, memang kerap ada yang memanggil untuk membetulkan kendaraan. Meski semenjak kami pindah dari tempat itu belum pernah ada yang membutuhkan jasa Mas Fikri melalui panggilan."Kalian 'kan s
Ternyata dugaanku benar, ini mobilnya Bang Halim. Rupanya sebelum mampir ke ruko, tadi Bang Halim juga sempat mampir ke toko sembako milikku. Tapi Fitri bilang yang turun itu seorang wanita. Apa mungkin tadi di dalam mobil Bang Halim itu ada Mbak Diah? Hanya saja dia tidak turun. Bisa jadi karena dia malu padaku lantaran ketahuan terlibat pinjaman online."Sebentar ...." Aku mengambil ponsel untuk memastikan apakah wanita yang datang ke toko itu adalah Mbak Diah. Kucari kontak Mbak Diah lalu kutunjukkan foto profilnya pada Fitri."Orangnya yang ini, bukan, Fit?""Ah iya, Mbak Nurma kenal?""Eum ... dia kakak iparku. Tapi kami tidak begitu dekat. Jadi aku minta tolong jangan bilang-bilang padanya kalau toko ini milikku, jika suatu saat dia datang lagi ke sini.""Baik Mbak, sepertinya hubungan kalian tidak harmonis, ya."Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban untuk Fitri, males sekali membahas kakak iparku itu. Jadi benar, tadi Mbak Diah tidak turun dari mobil ketika mereka mampir k
Aku menjatuhkan bahu. Hilang harapanku untuk memiliki surat itu sebagai bukti kuat bahwa rumah dan bengkel itu adalah milikku."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Terima kasih informasinya. Semoga cepat sembuh ya, Pak.""Maaf, Nak Nurma. Bapak tidak biasa banyak membantu. Bapak sudah mendengar semuanya. Yang sabar, ya. Rezeki itu tidak akan kemana."Aku urung berdiri, jika Pak RT--lebih tepatnya mantan ketua RT--mengetahui hal ini, tentu berita tentang penjualan rumah itu sudah menyebar. Tapi tak mengapa, toh yang menjualnya kedua kakakku. Bukan aku."Terima kasih, Pak. Mohon doanya, semoga ada rezeki untuk daya dan keluarga.""Pasti, Nak. Rezeki itu sudah diatur oleh yang di atas. Tenang saja. Bisa jadi Allah sedang menyelamatkan kami dari rezeki yang tidak halal."Sejenak aku berpikir, sepertinya mantan Pak RT ini tahu sesuatu. Mengingat usianya yang seumuran Bapak. Apa aku tanya dia saja, ya?"Eum ... sebelumnya maaf, Pak. Saya gak jadi pamitan, deh. Apa Bapak mengetahui sesuatu
Jadi para tetangga juga selama ini pandai menyembunyikan masalah ini dariku. Bukan hanya orang-orang terdekatku yang menjaga rahasia ini ternyata para tetangga sekelilingku sepakat tidak menceritakan aib kedua orang tuaku. Semula aku memang tidak enak mendengar ucapan Bu Sarif, tapi sepertinya dia bisa memberikan informasi yang tidak aku dapatkan dari Pak Suratno tadi."Bu Sarif tahu dengan siapa dulu Bu Farida berselingkuh?""Ya tahu lah. Orang sekampung dulu geger kalau Farida main gila dengan Suratno.""Apa? Pak Suratno?!"Ya Tuhan, entah apa lagi ini? Pantas saja barusan Pak Suratno tak mau menyebut nama. Rupanya dia sendiri pelakunya."Pak Suratno yang mantan ketua RT itu?" Aku memastikan sebelum mengambil kesimpulan."Siapa lagi, yang namanya Suratno itu 'kan cuma dia. Dulu Pak Suratno itu dikenal sebagai playboy. Gonta ganti pacar meskipun dia punya istri. Kedua istrinya meninggal karena sakit tekanan batin lantaran seringnya diselingkuhi.""Jadi tidak benar kalau Bu Farida ber