Share

NOTE 6 TIGA ANAK DAN PETUALANGAN KECIL MEREKA

Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah. 

“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?” 

Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha. 

“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.” 

“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin penasaran. 

“Mungkin Kakak membuat masalah seperti sebelumnya. . . atau mungkin ada hal lain. Aku tidak tahu karena Ibu tidak mengatakan apapun padaku bahkan tidak sempat berpamitan denganku.” 

“Lalu anak itu, siapa namanya? Aku belum pernah melihatnya di sekitar sini.” 

Dengan berusaha mengeja, Eesha berusaha keras menyebut nama Amartya. 

“Am. . . mar. . .rtya. .” Eesha berusaha keras menyebut nama Amartya namun akhirnya menyerah. “Namanya susah sekali disebutkan. Jadi. . . aku memanggilnya dengan nama Rama.” 

Eesha tertawa kecil ketika menyelesaikan kalimatnya.

“Seperti biasa. . .” kata Kiran mencibir, “kamu seenaknya sendiri mengganti nama orang seperti yang kamu lakukan di kelas. Lalu siapa paman yang bersama dengan kalian?”

“Aku tidak tahu. . .” jawab Eesha dengan mengangkat kedua bahunya, “yang aku tahu, Paman selalu mengikuti Rama ke manapun Raman pergi. Kenapa Kiran bertanya?” 

“Tidak apa – apa.”

“Kiran. . .” panggil Eesha dengan nada sedikit manja. 

“Hem. . .” 

“Nyanyikan lagu itu lagi. . .” kata Eesha dengan sedikit merayu. 

Dengan terpaksa, Kiran mulai bernyanyi menuruti permintaan Eesha. 

Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. 

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es. 

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. 

Begitu Kiran menyelesaikan nyanyiannya, suara teriakan yang tidak asing bagi Eesha terdengar. 

“Gadis tengil. . . .” teriak Amartya dengan nada ketusnya. 

Eesha dan Kiran menoleh dan melihat ke arah datangnya Amartya dan Ganendra. 

“Sudah kubilang. . . berhentilah bersikap buruk kalau begitu terus, kamu tidak akan mendapat teman nantinya. . .” jelas Eesha dengan sedikit kesal. 

“Terserah padaku memanggilmu dengan sebutan apa. Kamu seenaknya saja mengganti namaku, maka aku pun juga bebas memanggilmu dengan sebutan yang aku inginkan.” 

Melihat dua orang anak yang sedang adu mulut di depannya, Kiran hanya bisa menggelengkan kepalanya. 

“Tidak heran dia memanggilmu dengan sebutan itu, Eesha. . .” kata Kiran dingin. 

“Kirannnnn. . . .” Eesha merengek merasa Kiran tidak membela dirinya. 

“Kenapa?” tanya Kiran dingin. 

“Kenapa kamu membela anak ini?” tanya Eesha kesal dan tidak terima. 

“Aku tidak membela anak ini. Aku hanya membenarkan alasannya memanggilmu dengan sebutan gadis tengil.” 

“Lihat. . .” kata Amartya dengans senyum bangganya, “temanmu bahkan membelaku.”

Dengan cepat, Kiran memperbaiki pemahaman yang salah dari Amartya, “Aku tidak membelamu. Aku hanya membenarkan alasanmu saja. Tidak lebih.” 

“Kakak. . .” panggil Amartya dengan mata berbinar, “suaramu benar – benar indah. Maukah kakak mengajariku bernyanyi?” 

Eesha yang masih merasa kesal segera melarang Kiran. 

“Jangan mau, Kiran.” 

“Siapa juga yang mau. . .” kata Kiran menjawab Eesha. Kiran kemudian membalas permintaan Amartya padanya, “Aku tidak mau.” 

Amartya yang merasa kagum pada Kiran dengan cepat berusaha menjadikan Kiran sebagai temannya, “Kakak, bagaimana jika menginap bersamaku di rumah nenekku?” 

Mendengar permintaan Amartya yang tidak dikenalnya, Kiran segera mengalihkan pandangannya ke arah Eesha. Namun tidak seperti harapannya, Eesha menatapnya dengan penuh harap sama seperti tatapan Amartya padanya. 

“Kenapa aku harus ikut menginap?” 

“Akan lebih baik jika kamu ikut menginap, Kiran. Kamu bisa lihat sendiri, aku dan Rama benar – benar tidak akur. Kamu pasti bisa membayangkan akan bagaimana jadinya jika aku berlama – lama bersama dengan Rama. . .” jelas Eesha dengan gaya bicaranya yang menirukan kakaknya, Rhea yang berusaha merayu ibunya.

“Ayolah, Kak,” kata Amartya dengan merayu. “Aku belum punya teman sama sekali di sini. Jadi, biarkan aku menjadi temanmu, Kak.”

Kiran memandang Eesha dan Amartya yang memandangnya dengan penuh harap. Kiran yang merasa tidak tega melihat tatapan dua anak yang penuh harap ke arahnya akhirnya memilih menyerah dan menuruti permintaan dua anak di depannya. 

“Baiklah. . .” jawab Kiran menyerah. “Aku mau, tapi ibuku? Aku tidak tahu harus membuat alasan apa di depan ibuku.” 

“Biarkan saya yang meminta izin pada Ibumu. . .” kata Ganendra mengajukan diri, “bagaimana?” 

Seperti yang Ganendra katakan, Ganendra dengan mudahnya mendapatkan izin dari Bunda Kiran. Berkat Ganendra, kini Kiran bisa berada di rumah Rania bersama dengan Eesha dan Amartya. 

“Paman. . .” panggil Eesha penasaran, “bagaimana cara Paman meyakinkan Bunda Kiran?” 

“Paman hanya mengatakan pada Bunda Kiran untuk menginap dan menjamin keselamatan Kiran saat di rumah bersama dengan kita.” 

“Hanya begitu?” tanya Eesha tidak percaya. Jawaban yang diberikan Ganendra dirasa Eesha tidaklah meyakinkan. 

“Kenapa kamu tidak percaya pada Ganendra?” kata Amartya menyela dengan nada ketus.

“Kenapa kamu langsung memanggil nama Pama padahal usia Paman lebih tua darimu?” tanya balik Eesha membalas Amartya. 

“Apa kamu masih tidak sadar, Eesha?” 

Kiran justru mengajukan pertanyaan lagi dan membuat bingung Eesha yang merasa sedikit kesal. 

“Apa?” tanya Eesha bingung. 

“Paman itu bekerja sebagai pengawal Amartya. . .” jelas Kiran. 

Eesha melongo mendengar penjelasan Kiran dan tidak bisa mempercayai ucapan Kiran. 

“Benarkah itu?” 

“Tak kusangka, Kak Kiran orang yang cerdas sekali,” puji Amartya. 

“Bukankah terlihat dengan jelas?” kata Kiran datar. 

“Apanya yang terlihat dengan jelas?” 

Eesha yang masih tidak mengerti bertanya sekali lagi. 

“Apa kamu tidak memperhatikan sikap Paman Ganendra ketika bersama dengan Amartya sangat sopan? Amartya juga terkadang memanggil nama Paman secara langsung dan Paman itu tidak marah, itu artinya posisi Amartya jauh lebih tinggi dari Paman. Menurutmu apa yang membuat posisi Amartya lebih tinggi di usianya yang masih anak - anak? Satu – satunya jawaban yang sesuai hanyalah Paman bekerja untuk keluarga Amartya,” jelas Kiran. “Kamu pasti juga tahu Nenek Rania dikenal sebagai Nenek yang kaya meski terlihat sederhana.” 

Eesha melongo untuk kedua kalinya setelah mendengar penjelasan Kiran. Dan untuk memastikan kebenaran dari penjelasan Kiran, Eesha bertanya kepada Ganendra. 

“Benarkah itu, Paman?” 

“Benar sekali. Saya bekerja untuk keluarga Amartya,” jawab Ganendra pada Eesha. Ganendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Kiran dan tersenyum. “Kamu anak yang cerdas. Di usiamu yang masih anak – anak, kamu bisa menyadari hal – hal kecil seperti ini.”

Ganendra memberikan pujian kecil ke arah Kiran. 

“Kakak. . . benar – benar hebat,” puji Amartya dengan tersenyum senang. “Kalau begitu, maukah kakak menyanyikan lagu yang biasanya Kakak nyanyikan untuk gadis tengil itu?” 

Amartya melirik ke arah Eesha dengan pandangan sinis. 

“Bagaimana kamu tahu hal itu?” Kiran bertanya kepada Amartya dengan menatap ke arah Eesha dengan tatapan dingin. 

“Gadis tengil itu mengatakan padaku bahwa suara Kak Kiran sangat indah. Dan tadi siang. . . aku tidak sengaja mendengar suara kakak yang indah itu. . .” jelas Amartya. 

“Tunggu sebentar. . .” 

Eesha menyela percakapan di antara Amartya dan Kiran dan membuat keduanya menatap heran ke arah Eesha secara bersamaan. 

“Ada apa?” tanya Kiran dan Amartya bersama – sama. 

“Tunggu sebentar. . .” Eesha kemudian menatap Amartya dengan tatapan tajam. “Kenapa kamu, Rama memanggil Kiran dengan sebutan Kakak sedangkan aku, kamu memanggilku dengan sebutan gadis tengil? Jelas – jelas, aku lebih tua darimu dan usiaku sama dengan usia Kiran.” 

“Di mataku, kamu hanya terlihat sebagai gadis tengil yang selalu membuat masalah dan tidak pantas untuk dipanggil dengan panggilan Kakak. Sedangkan Kak Kiran, sudah cukup pantas untuk dipanggil dengan panggilan Kakak. Kak Kiran orang yang cerdas dan bersikap sopan. Dia bahkan memanggil namaku dengan baik. Tidak seperti dirimu.” 

Eesha hanya bisa mendengus kesal mendengar penjelasan Amartya. 

Kiran yang menangkap wajah kesal Eesha segera tersenyum kecil melihat temannya itu bisa merasa kesal. 

“Aku akan menyanyikan lagu itu untukmu, Amartya, dengan satu syarat?” 

“Apa itu?” tanya Amartya penasaran. 

“Mulai sekarang panggil Eesha dengan sebutan Kakak juga sama seperti kamu memanggilku. Menghormati orang yang lebih tua itu tidak bisa pilih – pilih, bagaimana?” 

Dengan cepat, Amartya menyutujui permintaan Kiran. 

“Baiklah. . . asal kakak mau menyanyikan lagu itu untukku.” 

Kiran tersenyum melihat senyuman di wajah Eesha dan kemudian bernyanyi di depan Eesha, Amartya dan Ganendra. 

Sore berganti malam. Setelah selesai mengerjakan tugas bersama, Eesha, Kiran dan Amartya kini bersiap untuk tidur. Kiran tidur di tempat tidur yang sama dengan Amartya, sementara Eesha tidur di bawah dengan kasur tambahan yang disediakan oleh Nenek Amartya. 

Kiran yang bersiap tidur melihat Eesha yang sejak tadi duduk di pinggiran jendela kamar Amartya. 

“Apa yang sedang kamu lihat sejak tadi di jendela, Eesha?” tanya Kiran. 

Eesha tersenyum menatap Kiran, “Kamar Amartya rupanya menghadap rumahku. Dari sini, aku bisa melihat rumahku dengan jelas.” Eesha menujuk ke arah rumahnya yang gelap gulita. 

“Sudahlah. . . berhenti menatap rumahmu yang setiap hari kamu lihat dan segera pergi tidur. Ini sudah jam tidur untuk anak – anak,” kata Kiran mengingatkan. 

“Iya. . . aku sudah mengantuk. . .” kata Amartya mengucek kedua matanya. 

“Tunggu. . . Kiran. . .” kata Eesha dengan sedikit berbisik. 

“Apa lagi?” tanya Kiran mengomel. 

“Ke sini dan lihatlah. . .” kata Eesha sembari melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kiran. “Mungkinkah aku salah lihat?” 

Kiran bangkit dari tempat tidur dan mendekat ke arah Eesha yang duduk di pinggiran jendela, “Apa? Kenapa? Apa yang kamu lihat?” 

“Lihatlah. . .” kata Eesha dengan menunjuk ke arah rumahnya, “Dari dalam rumahku ada sinar, apa aku salah lihat?”

“Benar. . .” kata Kiran mengiyakan dan heran di saat yang bersamaan. 

Amartya yang berusaha tidur pun akhirnya ikut mendekat ke arah Eesha dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Eesha. “Apa mungkin ibumu sudah pulang, gadis tengil?” 

Kiran yang merasa sesuatu yang janggal karena sinar yang dilihatnya berasal dari senter bukannya lampu yang dinyalakan. 

“Jika memang Ibu Eesha benar sudah pulang, kenapa tidak menyalakan lampu rumah dan justru menyalakan senter seperti sedang mencari sesuatu?” 

“Mungkin. . .” kata Eesha berusaha menjawab keraguan Kiran, “mungkin itu kakakku yang takut karena telah membuat Ibuku pergi mencarinya seharian. Aku akan pulang dan memarahi kakakku.” 

“Kalau begitu ayo panggil Paman Ganendra. Kita pulang bersama – sama,” saran Kiran. 

“Tidak perlu. . .” Eesha menghentikan usaha Kiran yang hendak memanggil Ganendra, “dengan melompati jendela ini, aku bisa segera pulang dan memarahi kakakku yang telah membuat ibuku khawatir.” 

“Aku juga ingin ikut. . .” kata Amartya tidak mau kalah dan tertinggal. 

“Tapi. . . sebaiknya kita izin lebih dulu pada Nenek dan Paman Ganendra. Bagaimana jika mereka masuk ke kamat dan tidak menemukan kita bertiga?” kata Kiran berusaha mengingatkan. 

“Kalau begitu. . . Kiran dan Amartya tidak perlu iku. Aku saja yang pulang sendiri. Setelah memarahi kakakku, aku akan kembali ke sini,” jawab Eesha dengan wajah polosnya. 

“Aku juga ingin ikut. . . aku tidak pernah berjalan – jalan di malam hari. . .” rengek Amartya. “Pasti seru sekali. . .”

Kiran mendesah melihat dua orang anak di depannya yang sangat sulit diatur. “Kalian berdua. . . sama – sama sulit sekali diatur. Kalau begitu, biarkan aku menuliskan pesan lebih dulu baru kita pergi. . . Jadi ketika Nenek Rania mencari, mereka akan tahu ke mana kita pergi.” 

Mendengar saran Kiran, Amartya dan Eesha kemudian menganggukkan kepalanya bersama – sama menyetujui saran yang Kiran berikan. 

Kiran kemudian menuliskan pesan dan setelah menyelesaikan pesannya, Kiran keluar dari kamar Amartya bersama - sama dengan Eesha dan Amartya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status